Minggu, 31 Juli 2011

Artikel Ringan yg Ditulis di Saat Jenuh Menunggu Delay Pesawat (Suatu Kajian Antropologi Bisnis)

Oleh:  Ratmaya Urip

Dear Managers,

Sudah lama sekali  benak ini  dijejali dengan  banyak pertanyaan. Di antaranya adalah,  mengapa ya banyak teman-teman Madura yang tacit dalam jual beli besi tua? Mengapa pula teman2 dr Padang piawai dalam berdagang? Sedang kawan2 dari Bali sangat intens menggeluti pariwisata. Teman-teman Batak saya banyak yg menjadi penyanyi dan pengacara, teman-teman Melayu di Riau senang berpantun,
sementara teman2 Tionghoa banyak yg  merajai bisnis

Di kesempatan lain saya coba cermati, mengapa orang-orang Jawa. Khususnya Jawa dr sub etnis Mataraman tekun dalam bertani atau selalu ingin jadi priyayi (baca: birokrat).
Sedang sama-sama dari Jawa Sub Etnis Mataraman, namun asalnya dari Wonogiri, Gunung Kidul, Pacitan, Trenggalek dan Tulung Agung ternyata perilaku atau stereotip antropologisnya berbeda dengan main stream Jawa-Mataraman pada umumnya, krn yg terakhir ini  gemar merantau? (Catatan: Etnis Jawa terbagi dlm berbagai sub etnis, yaitu Jawa Mataraman, yg mendiami wilayah dengan Plat Nomor Polisi dengan huruf Ganda: AA, AB, AD, AE dan AG. Di Jawa biasanya No. Polisinya adalah huruf tunggal seperti: B, D, H, L, M, dll, kecuali wilayah
Jawa-Mataraman. Di samping Jawa Mataraman ada Jawa-Banyumasan, Jawa-Tegal, Jawa-Semarangan atau orang Jatim menyebutnya sebagai Jawa-Kulonan, Jawa-Arek, Jawa-Tengger, Jawa-Osing, dan Jawa-Cirebon. Setelah coba saya pelototi, ternyata masing2 memiliki stereotip antropologi bisnis yg berbeda.

Belum lagi jika dihadapkan pada fenomena, mengapa orang Jawa Mataraman kok suka masakan yang manis, Jawa-Arek suka petis atau yg asin, orang Sunda suka lalapan, orang Padang suka pedas, dan sebagainya.

Di Jawa Timur, teman2 dr Coca Cola, harus bisa menyikapi, mengapa di Madura lebih banyak Sprite yg terjual. Di kota2 besar yang laku adalah Coke atau Cola, sementara di daerah Mataraman (Kediri, Blitar, Madiun, Ponorogo, dan sekitarnya)  lebih laris Fanta.


Setelah itu saya mencoba untuk mengembangkan dengan  mencari tahu, mengapa ya, di daratan Cina, terdapat perbedaan yg cukup signifikan antara yang tinggal di sebelah utara yg sehari2 memang sdh berbahasa Mandarin, dengan yang di sebelah selatan, yg lebih sering menggunakan Cantonese, Hokkian, atau Khek.
Di samping itu ternyata beda pula jenis2 masakannya.

Benang merah yg menghubungkan  antropologi dengan bisnis, semakin terkuak setelah saya memelototi perilaku bisnis dari berbagai etnis
yang membentuk Amerika Serikat menjadi seperti sekarang ini.

Amerika Serikat, dibentuk oleh para imigran dari belahan dunia yg lain dengan etos antropologis yg berbeda.

Orang Amerika Serikat keturunan Jerman yg merupakan etnis terbesar jumlahnya, lebih suka bisnis di sektor riil, seperti manufaktur, jasa, dan farming serta menjadi militer.
Mereka tidak suka menjadi birokrat, maka dari 44 Presiden Amerika Serikat mulai dari George Washington sampai Barack Obama hanya berkontribusi dengan 2 Presiden saja, yaitu Hoover dan Eidenhower. Sebagai etnis terbesar di Amerika Serikat, etnis Jerman  beda dengan etnis Jawa yg merupakan etnis terbesar di Indonesia,  yg menempatkan 5 dari 6 Presiden di Republik Indonesia. Meskipun Presiden Soekarno ada darah Bali-nya.

Di Amerika Serikat, justru etnis Irish yang memberikan kontribusi terbesar bagi Presiden Amerika Serikat. Karena lebih dari 50 persen dr 44 Presidennya adalah keturunan Irish.  Nama2 beken Kennedy, Clinton, Reagan, Bush, Nixon, dll adalah marga atau fam dr Irish. Bahkan Presiden Obama juga berdarah Irish dari ibunya.

Etnis Jews meskipun jumlahnya hanya sekitar 7,5 juta jiwa dari total penduduk Amerika Serikat yg jumlahnya 311,8 juta jiwa menguasai Finance, Science, IT, Media and Entertainment. Keturunan Eropa Timur dan Spanish menguasai Pertanian, etnis Afro-American mendominasi olah raga dan hiburan, dan sebagainya.

Rahasia mengapa Cina dapat menguasai Amerika Serikat dalam persaingan bisnis, itu karena mereka cerdik dalam memanfaatkan antropologi untuk keperluan bisnis. Mereka tahu jika bisnis di bidang manufaktur mereka berhadapan dengan etnis Jerman. Di bidang IT, Finance, Media, dan Science mereka berhadapan dg etnis Jews. Olah raga dengan etnis Afro-American. Di bidang pertanian dg etnis Eropa Timur dan Spanish. Cina mempelajari stereotip antropologis masing2 etnis di Amerika Serikat, untuk menaklukkannya. Strategi tersebut juga diterapkan untuk menginvasi seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia.

Khusus Indonesia, mereka tahu, bahwa stereotip antropologis orang2 Indonesia relatif suka barang murah, suka nawar, dan tentu saja tdk begitu berorientasi pada kualitas. Maka barang2 yg masuk ke Indonesia ya sesuai dengan stereotip tsb.

(BERSAMBUNG)

Ratmaya Urip
Senin, 25 Juli, 2011 10:48
============= ==========

Diskusi & Opini:

1.  Bpk. Andre:

Wah hebat pak Urip. Bener juga uraiammya.
So kesimpulannya apa donk ?
Andre
go...go...go...to the top
Senin, 25 Juli, 2011 11:36
=========== ==========
Ayo kapan pak tatap muka.
Pencerahannya ditunggu .
Salam
Andre
go...go...go...to the top
Selasa, 26 Juli, 2011 20:57
====== =============
Dear Pak Urip
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dengan org Indonesia ?
Kita kan hidup n makan di Indo jadi musti ngerti juga andro nya :-)
Andre
go...go...go...to the top
Selasa, 26 Juli, 2011 21:24
=========== =======

2.  Bpk. Liman Pap:


Terima kasih Pak,
Catatan ringan yang mencerahkan. Selalu menarik menunggu artikel atau catatan ringan Pak Ratmayaurip yang menambah wawasan kita semua.
Regards,
Liman
Selasa, 26 Juli, 2011 09:45
=========== ==========

3.  Response Kembali dari  Ratmaya Urip:

BAGIAN 2
(Sekaligus sbg response utk Pak Andre dan Pak Liman):
Pak Andre dan Pak Liman:
Konklusinya:
Ilmu antropologi terapan jarang sekali yg merelasikannya dengan bisnis. Padahal itu sangat bermanfaat dalam marketing, production, human capital, dll.
Ilmu antropologi adalah pecahan dr sosiologi, yg lebih menitikberatkan pd aspek perilaku manusianya baik individu maupun kelompok.
Selama ini ilmu antropologi terapan hanya dikaitkan dengan bidang sosial dan budaya. Jarang yg mengaplikasikannya dlm bisnis.
Dalam perjalanan panjang hidup saya ketika saya berinteraksi dg banyak etnis di dunia ternyata bermanfaat, khususnya jika kita memahami kultur dan stereotip antropologi bisnisnya.
Contoh interaksi tsb khususnya utk marketing, human capital, production, quality, environment,  dll, semoga saja dpt saya sharing-kan di milis ini.
Sayangnya, literatur ttg antropologi bisnis jarang sekali. Ketika saya menulis buku utk topik ini, saya sulit mencari referensinya, mk lebih banyak menulis ttg pengalaman empiris saja.
So, dengan memahami stereotip antropologis suatu bangsa, akan memudahkan dlm mengidentifikasi kebutuhan hidupnya, keinginan2  dan visi mereka, utk kita jadikan sbg salah satu kontribusi atau  referensi dlm memenangkan persaingan global. Seperti halnya China yg jeli dalam memanfaatkan antropologi bisnis, sebagai salah satu cabang dr ilmu antropologi terapan.
Ketertarikan saya pd antropologi bisnis bermula ketika saya mulai menemukan benang merah, mengapa etnis Jews begitu dominan di bidang Finance, IT, Science, Medicine, Media, dan Entertainment khusus visual. Contoh yg paling mudah dan dekat:
1. Di bidang IT:
Mark Zuckerberg si kreator Facebook, Larry Page  dan Sergey Brin kreator Google, Steve Jobs founder Apple, Bill Gates (founder Microsoft), Oracle, dll. Semua adalah Jews.
2. Di bidang Finance:
Pencipta sistem bunga, deposito, MLM, kemudian sudah menjadi rahasia umum, bahwa 9 di antara 10 pelaku bisnis  di Wallstreet
adalah orang Jews. Pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi didominasi Jews.
Krisis ekonomi dunia thn 1997 jg disebabkan oleh perilaku mereka yg terlalu kreatif, shg memunculkan fenomena bisnis finance sampai 14 turunan/derivative. Maka skandal2 finance terbesar  jg banyak yg disebabkan oleh mereka. Kasus "supreme mortgage", mega skandal finance oleh Bernard Lawrence Madoff, chairman Nasdaq, dll.
3. Science:
Sekitar 40 persen Profesor di Universitas terkemuka di Amerika Serikat keturunan Jews. Pemenang Nobel bidang Ekonomi, Kedokteran, Fisika dan Kimia menjadi ladang mereka krn mayoritas dikuasai mereka. Lantas giliran kita kapan?
4. Media
Siapa yg tak kenal Rupert Murdoch, si raja media global ranking kedua dg NEWS CORPORATION nya? yg saat ini via media nya di Inggris, terbongkar skandal penyadapannya atas media lain. Belum lagi si ranking satu DISNEY!
CNN, NBC, Star TV, National Geographic, The New York Times, The Washington Post, International Herald Tribune, The Sun  dan ratusan media lain di seluruh dunia semua adalah jaringan JEWS. Bahkan ANTV sempat jadi milik Jews ketika Star TV sempat singgah di sana.
5. Entertainment:
Reputasi MGM, Century 20th Fox, Disneyland, serta film stars dan pekerja film yg didominasi Jews.
Orang keturunan Irish sangat menguasai birokrasi. Orang keturunan Jerman di bisnis sektor riil. Orang keturunan Eropa Timur, Belanda, menguasai pertanian. Orang Scandinavia menguasai Kehutanan. Mafia dikuasai orang Italia Selatan dan Albania. Orang negro menguasai olah raga dan musik. Orang keturunan Spanyol di pertanian. Dsb.
Nah, ternyata setiap etnis itu memiliki kecenderungan dan minat dan menjadi tacit utk spesialisasi tertentu.
Hal ini setelah saya kemudian mengarahkan penelitian saya ke negara2 maju yg lain ternyata banyak fenomena yg sama.
Saya kemudian menurunkan ANTROPOGI BISNIS ini ke yg lebih detail, antara lain:
1. ANTROPOLOGI MARKETING
2. ANTROPOLOGO HUMAN CAPITAL
3. ANTROPOLOGI PRODUKSI
4. ANTROPOLOGI MUTU
5. DLL.
Hal ini saya lakukan krn di Perguruan tinggi, khususnya di program studi antropologi, ilmu antropologi hanya diajarkan secara teori. Itupun hanya yg berkaitan dg antropologi sosial dan budaya, bukan Antropologi Bisnis. Ketika materi ini saya sampaikan ke perguruan tinggi mereka sangat antusias shg sering diminta memberikan kuliah tamu atau kuliah umum perdana.
Kebetulan krn saya sering berinteraksi dg berbagai etnis global mk saya banyak memberikan studi kasus riil di lapangan.
Memang banyak yg heran, krn meski saya berlatar belakang engineer namun paham benar masalah ini.
Saya sebenarnya ingin sharing tatap muka ttg topik ini dg members milis, utk menggugah kemampuan bersaing bangsa, namun masih belum cocok waktunya
Salam Manajemen
Kredo:
Teori tanpa Praktek itu Omong Kosong, sedangkan Praktek tanpa Teori itu Ngawur. Apalagi tanpa Teori dan Praktek.
(BERSAMBUNG)
Ratmaya Urip
Selasa, 26 Juli, 2011 20:36
========= ===========

4.  Bpk. Yosha Pideksa:

Dear pak/bu Ratmaya,
In my opinion,tidak hanya antropologi dalam sisi etnis saja yang menarik untuk dibahas..
Saat ini ada juga kecenderungan manajemen lebih condong untuk memilih orang lulusan akuntansi untuk duduk di marketing dan hampir seluruh sektor..lalu orang-orang pertanian banyak yang mendominasi sektor perbankan..
Terima kasih.
Yosha Pideksa
Selasa, 26 Juli, 2011 20:48
============= ========

5.  Bpk. Ervan:

Dear Pak Ratmaya Urip,
Bila ada seminar ataupun semacam kuliah umum untuk orang umum yang diselenggarakan di Jakarta, mohon informasinya ya pak. Saya tertarik dengan kajian Bapak ini. Semoga acara spt ini bisa terselenggara.
Atau kalau sudah dibukukan, tolong referensinya pak.
Terimakasih,
Ervan
Selasa, 26 Juli, 2011 21:36
=========== =========

6. Bpk.  Surjo Sulaksono:


Dear Pak Yosha,
Pak Ratmaya itu lelaki tulen yang sanggup mengingat nama-nama wanita cantik yang pernah dijumpainya dalam pengembaraan jiwa dan menumpuk harta hahaha.
Pak Ratmaya,
Di Jakarta ada guyon begini: kalo orang Jawa Tengah merantau ke Ibukota, biasanya jadi PRT. Orang Batak jadi supir, kondektur, atau tambal ban. Orang Padang, buka resto, penjahit, atau PKL. Orang Madura jual-beli besi tua, dst.
Saya kira ada juga dasarnya. Misalnya, PRT Jateng telpon atau waktu mudik bilang sama familinya,  "Kamu ikut saya, bantu-bantu di rumah majikan sampai dapat majikan baru." Atau orang Batak juga bilang, "Ikut Abang, kau bisa jadi kenek Abang." dst. Jadi 'asal-usul profesi bisa ditelusuri dari siapa 'pendahulunya'. Sebab belum ada sekolah yang mencetak PRT, Supir-kenek Metromini, PKL, penjahit, atau lapak. Mereka belajar, magang, nyantri dari seniornya.
Sebagai orang keturunan Jawa, generasi Bapak saya adalah PNS. Ayah, Ibu, Pak Dhe, Pak Lik adalah PNS. Setelah mereka menetap di Jakarta, uniknya pada generasi saya cuma segelintir yang jadi PNS. Dari 6 bersaudara hanya 1 yang PNS, satu karyawan swasta, 4 wiraswasta. Semula ada kekuatiran: apa BISA keturunan PNS berwiraswasta. Kok nyatanya BISA. Sepupu saya juga rata-rata karyawan swasta dan wiraswasta. Memang belum ada yang menonjol, sebab darah PNS masih 'mengalir deras', dibesarkan dari nasi hasil pembagian jatah PNS, hehehe. Mungkin kelak generasi anak saya ada yang jadi atlit, seniman, profesional (dokter, pengacara, atau trainer), penulis,  atau wiraswastawan yang sukses ;)
Poin saya, persepsi antropologis-etnis, juga perlu mempertimbangkan 'pergeseran' generasi. Bukan tidak mungkin kelak etnis Arab, India, China akan duduk sebagai prajurit, birokrat, menteri, atau bahkan presiden di NKRI. Sebaliknya, kaum 'pribumi' malah menjadi pengusaha, konglomerat, Indonesia Enterprise, hehehe.
Kalau itu yang terjadi, akan menarik untuk dikaji; tidak hanya dari ranah ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, bahkan politik.
Salam berandai-andai (untuk pramugari yang cantik :)
Surjo Sulaksono, Sang Pemimpi
Selasa, 26 Juli, 2011 21:56
========== ==========

7. Bpk.  Nugraha Amijaya:

Terima kasih, Pak Ratmaya Urip. Suatu kajian yang sangat cerdas dan membuka wawasan berpikir kita tantang pentingnya antropologi dalam dunia bisnis.
Aku sependapat dengan anda, sudah waktunya kita mengenal dan memahami lebih jauh antropologi bisnis untuk melengkapi wawasan sebelumnya terkait sosial dan budaya.
Aku menunggu kajian berikutnya yang tentu spektakuler dan sangat bermanfaat.
Sukses selalu untuk kita,
Nugraha AMIjaya
Rabu, 27 Juli, 2011 08:18
========= =========


8.  Ibu Ietje Sumiati Guntur:

Pak Urip,
Terima kasih atas uraian dan analisis yang menarik dan menggelitik.
Yang saya tahu, Belanda punya peta antropologi Etnis Indonesia, yang mereka pergunakan untuk mendayagunakan orang Indonesia dalam berbagai bidang pekerjaan. Sebagai contoh, suku tertentu cocok untuk jadi tentara, suku tertentu cocok untuk administratur perkebunan, suku tertentu cocok untuk jadi distributor perdagangan. Saya amati memang ada beberapa ciri perilaku etnis yang sesuai dengan peta antropologi yang dibuat Belanda. Barangkali pengetahuan dan pemahaman ini yang perlu kita perdalam untuk dimanfaatkan di dunia bisnis maupun birokrasi di Indonesia.
Saya tertarik untuk mendiskusikan hal ini lebih lanjut. Barangkali ada masukan tambahan untuk buku saya berikutnya tentang Food Psychology yang berbasis budaya dan antropologi.
Semoga berkenan.
Salam hangat,
Ietje S. Guntur
Rabu, 27 Juli, 2011 10:06

============ ============

9.   Response Kembali dari Ratmaya Urip:


BAGIAN 3:
(Sekaligus response atas tulisan Pak Surjo),
He.he.he..jangan buka arsip lama akh..malunya itu lho.
Saya hanya akan sedikit sharing ttg reorientasi atau perubahan jalur profesi dari tacit antropologi yg dimiliki masing2 etnik, yg Bpk singgung dalam tulisan Bpk.
Stereotip atau bahkan prototip antropologis terbentuk oleh kondisi geografis yg kemudian membentuk budaya atau hubungan sosial dalam etnis-nya.
Lingkungan yang subur makmur gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja, bukan lautan hanya kolam susu yg menghijau bak zamrud di khatulistiwa, membuat etnisnya terninabobokkan. Karena tongkat kayu jadi tanaman mk membuatnya relatif menjadi malas. Juga jarang yg mau meninggalkan tanah yg subur tsb. Maka jarang yg berdiaspora atau merantau.
Jadinya juga membuat tdk mau susah2. Maunya sedang2 saja, tdk mau mengambil risiko meski risiko yg sdh diperhitungkan. Gaya hidupnya ordinary saja, tdk mau yg extra ordinary.
Lha wong semuanya sudah disediakan oleh alam.
Contoh tentang yang ini adalah Lingkungan Geografis dr etnis: Jawa khususnya sub-etnis Jawa-Mataraman, yg meliputi wilayah di Jawa yg terdiri dari 5 ex-karesidenan yg secara historis dibedakan dg no polisi utk kendaraan bermotor dengan huruf kapital ganda. Untuk membedakannya dengan wilayah lain di Jawa yang no polisinya menggunakan huruf tunggal dari A (Banten), B (Jakarta), H (Semarang), L (Surabaya) dst sampai Z.
Khusus untuk Jawa-Mataraman digunakan huruf ganda seperti halnya no polisi di luar Jawa.
Mengapa kok di Jawa ada yg no polisinya dg huruf ganda pdhal wilayah lain dengan huruf tunggal? Itu historis.
Adapun 5 wilayah dg no polisi ganda tsb adalah AA utk ex-Karesidenan Kedu (Magelang, Wonosobo, Temanggung, Purworejo, Kebumen). AB (Yogyakarta, Bantul, Sleman, Kulon Progo, Gunungkidul), AD (Solo, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali, Sragen, Wonogiri), AE (Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan), AG (Kediri, Blitar, Nganjuk, Tulung Agung, Trenggalek).
Dari Etnis Jawa, khususnya Sub-Etnik Jawa-Mataraman ini lahir 4 (empat) dari 6 (enam) Presiden Republik Indonesia. Suatu jumlah yg mencengangkan. Yaitu Soekarno (Blitar), Soeharto (Kemusuk, Yogyakarta), Megawati (krn anak Soekarno mk dimasukkan sbg etnis Jawa Mataraman), Susilo Bambang Yudhoyono. (Pacitan). Bahkan Gus Dur (Jombang) dapat disebut setengah Jawa-Mataraman, krn Jombang merupakan wilayah perbatasan antara Jawa-Mataraman dan Jawa Arek (Surabaya, Malang, dan sekitarnya).
Mengapa etnis Jawa Mataraman berprofesi mulai dr Presiden, birokrat, bakul jamu, tukang batu sampai PRT? Dari yg extrim atas sampai extrim bawah. Untuk yg ini analisisnya sbb:
Jawa Mataraman mayoritas subur wilayahnya, sehingga jarang yg merantau. Kecuali pejabat publik/birokrat dan militer atau petinggi bisnis yg ditempatkan di luar wilayah atau bahkan di luar Jawa.
Namun ada wilayah enclave di Jawa Mataraman yg kondisi geografisnya tdk subur bahkan kering, seperti Gunung Kidul, Wonogiri, Pacitan, Trenggalek, Tulung Agung bag Barat.
Dalam Filosofi Jawa dikenal nilai bahwa orang merantau itu karena 3 (tiga) hal: 1. KURANG 2. WIRANG. 3. PERANG. Nah, krn kondisi geografis yg tdk mendukung untuk tercapainya kehidupan itulah(filosofi KURANG), maka banyak manusia dr enclave tsb yg merantau, utk melanjutkan hidup di tempat lain.
Catatan: Tentang Filosofi Diaspora (Kurang, Wirang, Perang ini akan diuraikan dalam artikel khusus di luar tulisan ini).
Mk jika seseorang kemudian lepas dr native geografisnya, akan kebih mudah utk diubah stereotip antropologisnya, tergantung dari daerah barunya.
Sementara jika seseorang tetap tinggal di wilayah native-nya relatif lebih sulit berubah kecuali terjadi FORCEMAJEURE, yg membuat hidupnya menjadi KURANG secara drastis.
Seperti bencana alam, krisis ekonomi yg luar biasa, dll.
Contoh lain yg dpt mengubah stereotip antropologis: jika keluar dr native geografisnya, yaitu: orang Jawa yg merantau ke Malaysia, Singapura, Jepang, Amerika Serikat, atau negara dengan disiplin tinggi dan etos bisnis luar biasa lainnya, tiba2 saja jadi ikut disiplin. Di tempat barunya, menyeberang jalan dan berkendara di jalan lebih tertib, dll. Pdhal biasanya di native geografisnya ugal-ugalan.
Contoh lain jika native geografisnya tetap atau tdk mau pindah: adalah etnis Jawa Mataraman (maaf ini otokritik, krn saya juga dr Jawa Mataraman, namun sejak muda sdh menjauhi native geografisnya). Bagi yg tetap di native geografisnya, tetap saja feodal, apa yg diucapkan sering beda dengan yg di hati, relatif tdk suka kerja terlalu keras, dll. Sifat positipnya, adalah suka menjadi penengah dlm setiap benturan sosial, tekun belajar dan bekerja, lebih suka menetap dalam bekerja atau tdk suka jadi kutu loncat, dan tidak suka ribut2.
Senada dengan itu, etnis English yg native geografisnya England, juga relatif tdk suka merantau krn subur, yg berbeda dengan wilayah yg lain di sekitarnya yg tdk subur yg didiami etnis Welsh (Wales), Scottish (Scotland), Cornish (Cornwall). Pdhal masih sama2 lingkup British (Great Britain / United Kingdom). Yang terakhir ini kemudian banyak merantau ke Amerika Serikat dan berhasil. Namun jika dibandingkan dengan etnis lain yg serumpun yaitu Irish (Irlandia) yang tdk tergabung sbg British, yg tanahnya gersang, sehingga ditinggalkan penduduknya, seluruh etnis yg tergabung sebagai etnis British (English, Scottish, Welsh, Cornish) tdk dapat menandingi dlm hal etos antropologi bisnisnya.
Etnis Irish banyak yang berdiaspora ke negara lain yg jumlahnya 8 kali lebih besar jika dibandingkan dengan yg tetap tinggal di negaranya. Mereka relatif berhasil di negara tujuan emigrasinya. Di Amerika Serikat malah menguasai birokrasi. Shg separo dr jabatan Presiden yg jumlahnya 44 direbutnya. Kemudian juga senator, anggota Konggres, Gubernur Negara Bagian, County)
Ada yg menarik ketika saya meneliti etnis Dayak. Suku Dayak Maanyan mirip dengan etnis Jawa dalam hal etos kerjanya. Sementara suku Dayak Bakumpai mirip dengan suku Minang.
Sementara Dayak Kenyah, Dayak Putuq, Dayak Punan, Dayak Tidung, Dayak Kanayatn, dll, lain lagi etos bisnisnya.
Yang pasti ada bbrp catatan yg dapat digarisbawahi dlm hal etos bisnisnya ttg etnis Sunda, Batak, Bugis, Ambon/Maluku, Banjar, Toraja, Minahasa, Minang, Bali, Sasak, Melayu, Betawi, Rote, dll.
Tentang etnis Tionghoa di Indonesia-pun kajian etos bisnisnya berbeda meskipun sama2 dari China Daratan bagian selatan. Antara
yg Hokkien (berasal dr Fujian Selatan dan dominan di Jateng, Jatim dan Pantai Barat Sumatra), Tiociu atau Teochews (berasal dari lokasi lebih selatan lagi dr Fujian yg di Indonesia dominan di Pantai Timur Sumatra, Kepulauan Riau serta Kalimantan Barat), Hakka (yg berasal dr wilayah pegunungan Guangdong dan dominan di Kalbar dan Bangka Belitung, sebagian Jakarta dan Jawa Barat) serta Cantonese (yg menyebar di Pantai Timur Sumatra dan Jawa.
(BERSAMBUNG)
Kredo:
Teori tanpa Praktek adalah Omong Kosong, sedang Praktek tanpa Teori adalah Ngawur. Apalagi tanpa Teori dan Praktek
Salam Manajemen
Ratmaya Urip
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Rabu, 27 Juli, 2011 12:22
====== ============
BAGIAN 4:
(Sekaligus sbg response utk Pak Andre)
He.he.he..Pak Andre, utk antropologi bisnis khas Indonesia saat ini sedang saya susun.
Justru itulah Bpk, dari antropologi bisnis di ranah global kemudian muncul ide utk menggalinya pada tataran nasional, regional dan lokal.
Di tingkat tsb nampaknya belum ada yg tertarik utk meneliti kemudian mengaplikasikannya dalam praktek.  Referensi pustaka juga sedikit, sehingga semuanya berbasis kajian empirik lapangan.
Yang pasti seluruh data dan informasi sudah terkumpul, yg kebetulan saya kumpulkan dari lapangan. Berupa  stereotip antropologis dari sebagian besar etnis di Indonesia, dan tinggal mengolahnya dalam suatu kajian, yg segera dituangkan dalam kajian populer maupun kajian ilmiah. Sebenarnya jika kajiannya adalah kajian populer lebih mudah utk segera selesai, hanya saya lebih suka utk mengolahnya menjadi kajian ilmiah, kalau perlu dapat menjadi textbook. (Mimpi punya textbook kan boleh kan? He.he.he...) Hanya jk kajiannya ilmiah,  perlu kaidah2 ilmiah yg wajib diikuti. Misalnya referensi2 berupa textbook lain atau jurnal pilihan yg terakreditasi, yg kebetulan itu sulit dicari.
Bukunya sendiri sudah sampai halaman 275 dari rencana 600 halaman yg direncanakan. Sebagai Pengantar, Pak Andre bisa menyimak sekelumit tulisan saya di Blog "The Managers Indonesia" dengan membuka laman:
themanagers.org
Kemudian KLIK nama saya pada kolom KONTRIBUTOR. Kebetulan Pengantar tsb adalah sebagai artikel pertama saya di Blog sekaligus artikel pertama dr Blog. Coba simak artikel saya yg berjudul: "Keunggulan Bersaing Bangsa dalam Perspektif Antropologi Bisnis"
Seperti diketahui, di Indonesia ini terdapat lebih dari 300 kelompok etnis, yang masih terbagi lagi menjadi sekitar 1700 sub-etnik/dialek. Masing2 memiliki stereotip antropologis yg berbeda yg jika kita jeli dapat dimanfaatkan utk dpt memberikan kontribusi pada pencapaian keunggulan bersaing (competitive advantages).
Seperti halnya dengan Amerika Serikat dan China, kita sdh memiliki "comparative advantages"(keunggulan komparatif)  krn memiliki banyak natural resources dan human resources (sayangnya belum menjadi "human capital"). Juga  sayangnya lagi "competitive advantage" (keunggulan kompetitif) kita  masih payah. Belum merata dan kuantitasnya belum memadai, atau belum massal.
Utk selanjutnya Bpk dpt membaca BAGIAN 3 dr thread ini yg sdh saya luncurkan ke milis sebelum ini.
Jika Bpk belum puas, saya akan tuangkan dalam buku, smg cepat selesai.
Semoga saja dengan sedikit pengantar saya,  yg ada di Blog themanagers.org spt tsb di atas, Bpk dapat menarik sarinya.
Salam Manajemen
Ratmaya Urip
Rabu, 27 Juli, 2011 12:36
========== =========

10.  Bpk.  Simon Sibarani:

Bpk Ratmajaya Urip,
Tergelitik dengan komen Bpk, Di tingkat tsb nampaknya belum ada yg tertarik utk meneliti kemudian mengaplikasikannya dalam praktek.  Referensi pustaka juga sedikit, sehingga semuanya berbasis kajian empirik lapangan. bukankah sudah ada buku buku karya Bpk. Koentjaraningrat (alm)?
Saya pernah baca buku beliau tentang manusia Indonesia dan kewirausahaan, beliau mengatakan bahwa manusia Indonesia tidak suka / tidak berani dengan hal hal yang bersifat spekulatif, sehingga kebanyakan tidak berani terjun ke dunia wirausaha, walau sebenarnya pada beberapa daerah tertentu suka bermain judi.
Kalau buku yang bapak maksudkan sudah terbit, saya pasti ikut beli, karena memang dari dulu saya suka mempelajari literatur tentang manusia Indonesia, apalagi yang berkaitan dengan perilaku bisnis. Tapi tentu akan lebih baik bila nyambung dengan buku buku yang sudah terbit lebih dulu, seperti bukunya Bpk. Koentjaraningrat.
Saya menunggu terbitnya buku bapak. 
Simon J. Sibarani
www.yosibara.com
yosibara

Rabu, 27 Juli, 2011 19:53
========= ============

11.  Response dari Ratmaya Urip:

Yth Bpk Simon Sibarani yg jeli,
Prof Koetjaraningrat adalah Begawan Antropologi Indonesia. Saya kan menyampaikan "sedikit". Yang sedikit itu adalah beliau sbg akademisi di samping Mochtar Lubis sebagai praktisinya. Kalau saya tidak salah beliau dalam bukunya lebih banyak konsentrasi ke Antropologi Nusantara, sementara saya krn berangkat dr relation dengan etnis Global, maka itulah yg saya kuasai. Baru kemudian mulai "ngeh" dengan Antropologi Nusantara. Khususnya Antropologi Terapan, dalam hal ini Antropologi Bisnis-nya. Antropologi Bisnis masih terbuka lebar utk penelitian lebih rinci menjadi Antropologi Industri, Antropologi Pertanian, Antropologi Produksi, Antropologi Marketing, Antropologi Keuangan, dll.
Di samping Antropologi Bisnis/Ekonomi, saya sedang meneliti tentang Antropologi Politik, baik Nusantara maupun Global.
Siapa tahu dpt memberikan jalan bagi tercapainya keunggulan bersaing bangsa, sehingga dapat lepas dr keterpurukan, mengingat kondisi kita yg seperti "ayam mati di lumbung padi" saat ini.
Sebagai catatan awal saya yg merupakan Pengantar buku saya, mohon diintip tulisan saya di Blog:
themanagers.org
Kemudian KLIK nama saya di kolom "Kontributor". Mhn dicari yg berjudul:
"Keunggulan Bersaing Bangsa dalam Perspektif Antropologi Bisnis"
Trm kasih Bpk.
Salam selalu
Kredo: Teori tanpa Praktek itu omong kosong, sedangkan Praktek tanpa Teori itu Ngawur. Apalagi tanpa Praktek dan Teori.
Ratmaya Urip
Rabu, 27 Juli, 2011 20:45
============== ========

12.  Ibu  Emmy Kasim:

Dear Manager,
Wah saya merasa antusias juga membaca tuliasan dan rencana Pak Ratmaya membagi ilmu dan gagasannya tentang Antropoligi Bisnis yang menarik dituangkan dalam kurikulum di perguruan tinggi . Dengan demikian ilmu ini bisa lebih menarik dipelari dan dikembangkan serta dapat dipraktekkan dalam bisnis. Sangat menarik.
Saya ingin mendengarnya....
Salam hangat
Emmy Iriani Kasim
Rabu, 27 Juli, 2011 21:10
============= =======

13. Bpk.  Simon Sibarani:

Terima kasih Bpk. Urip.
Saya sangat menunggu kemunculan buku Bapak.
Sebagai praktisi HR, saya memang sangat berminat pada diskusi dan literatur yang bertujuan membangun manusia Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan perilaku kerja.
Mengenai pemikiran Mohtar Lubis sebagaimana dalam bukunya Manusia Indonesia, lebih fokus pada masalah antropologi politik, dan saya sudah merasa jenuh dengan masalah perilaku politik di negeri kita ini.
Lebih baik kita fokus pada antropologi bisnis saja Pak, sebagaimana yang dilakukan oleh Jepang sejak masa Restorasi Meiji, yaitu pemberdayaan intelektualitas / paradigma bisnis pada SDM.
Selamat berkarya Pak Urip. Masa depan bangsa ini menantikan karya karya pemikir seperti Bapak.
Salam
Simon Sibarani
Rabu, 27 Juli, 2011 21:11
=  ====================


14.   Bpk.  Surjo  Sulaksono:

Pak Ratmaya yang multi talenta,
Pernahkan Bapak meneliti, paling tidak memikirkan: kalau begitu siapa (dari suku apa) yang mengisi profesi2 yang tidak ditekuni oleh native di daerah Mataram. Misalnya di daerah nopol AB, petani dan ndoronya 'pasti' native, lalu yang jadi dokter, lawyer, sopir, pedagang, dll itu dari etnis apa? Lalu untuk kota yang mayoritas penduduknya memiliki profesi tertentu bisnis apa yang cocok untuk dijalankan di sana?
Di daerah AB (Yogyakarta, Bantul, Sleman, Kulon Progo, Gunungkidul)  saya agak paham (sebab ayah saya dari Kulon Progo). Jogja itu kota pelajar tetapi  Kulon Progo daerah pertanian dan ada sedikit daerah nelayan (di daerah pesisir Laut Selatan). Gunung Kidul, dulu tandus, sekarang kabarnya banyak yang sukses jadi pengusaha bakso (?) Di Jogja mungkin bisnis edukasi (bimbingan tes, foto-kopi, wartel, kos-kosan, sego kucing, wartel, warnet) atau pariwisata (hotel, losmen, kaos, batik, rental mobil, ticketing) akan maju, tetapi bila buka di Bantul bisa jadi kurang laku. Tetapi di sekitar Jogja memang ada sentra produk kerajinan (perak, keramik, kulit, dll)
Mestinya pejabat pemerintah juga belajar antropologi ya Pak Urip? Agar mereka dapat mengembangkan daerah sesuai dengan etos kerja, keterampilan, bakat dan minat lokal. Saya dengar Sragen sudah maju pesat sebagaimana Gorontalo juga maju gara-gara Jagungnya. Daerah-daerah lain semoga menyusul dengan kisah2 sukses lainnya.
Surjo Sulaksono,
tinggal di Serpong
Rabu, 27 Juli, 2011 21:30
============ =======

15.  Response  Ratmaya Urip:

BAGIAN 5
(Sekaligus response utk Ibu Ietje S. Guntur,  Bpk. Nugraha Amijaya, Bpk Simon Sibarani):
Terima kasih atas apresiasi dari Bpk2 dan Ibu.
@Ibu Ietje S. Guntur:
Ibu benar, memang apa yg Ibu sampaikan itu ada. Peta Antropologi sangat membantu dalam menganalisis dan memberi solusi masalah antropologi. Baik untuk keperluan pendekatan Antropologi Bisnis/Ekonomi, Antropologi Sosial/Budaya, Antropologi Politik/Pertahanan/Keamanan, Antropologi Publik, dll. Khusus untuk Antropologi Bisnis/Ekonomi dapat diperdalam menjadi Antropologi Marketing, Antropologi Keuangan, Antropologi "Human Capital", Antropologi Produksi, dll.
Masalahnya sampai saat ini belum banyak dari kita yg memanfaatkan peta antropologi tsb utk keperluan bisnis. Dan juga perlu disesuaikan secara terus menerus.
Ada lagi buku wajib dr Clifford J.  Geertz yg berjudul: "Santri, Priyayi , dan Abangan", yang kita dapat mendalaminya dari perspektif Antropologi Bisnis. Bukan hanya yg berkutub pada Antropologi Sosial/Budaya.
Tentang diskusi masalah Antropologi, silakan saja. Ilmu Antropologi selama ini memang Ilmu pinggiran bahkan Ilmu yg tdk diperhitungkan. Padahal negara2 Maju menggunakan Ilmu ini utk strategi dalam memenangkan persaingan global. Di pergururuan tinggi di Indonesia jadi program studi pinggiran, itupun konotasinya tdk dpt dimanfaatkan utk keperluan bisnis. Juga hanya ada di bbrp PTN terkemuka di Indonesia, seperti UI, UGM, Unair.  Di PTS mana ada yg mau membuka program studi ini.
Pdhal saya sangat terbantu dlm marketing, produksi dan Human Capital dg ilmu ini.
Salah satu contoh kecil adalah sbb:
Suatu saat, institusi saya harus berkolaborasi dengan perusahaan konstruksi asing dari Amerika Serikat. Kebetulan saya ditunjuk untuk menjadi Leader dlm negosiasi.
Saya kebetulan tahu bahwa di perusahaan asing tersebut banyak petingginya yg dr etnis Bavarian, Jerman Selatan.
Kebanyakan etnis Jerman dikenal kaku, ada kesan sombong, angkuh, perfeksionis, quality-oriented, standar hidup tinggi, dan profesional. Ingat sejarah Perang Dunia yg triggernya adalah krn mereka mengganggap dirinya sbg bangsa Arya yg superior, dan menganggap etnis lain inferior. Sehingga muncul kredo: "Deutsche uber alles".
Ketika mau rapat pertama, saya agak keder juga, krn waktu itu saya masih muda dan minim experience.
Ketika kemudian  bertemu dengan Leader dr calon partner, saya mendapat kartu nama yg dari nama fam/marganya saya tahu bahwa dia dari Bavaria, di lereng pegunungan Alpen.
Karena saya tahu persis tentang Bavaria, di lereng utara pegunungan Alpen yg sangat indah, maka sebelum rapat dimulai saya berbasa-basi tentang tanah leluhurnya tersebut. Saya katakan tentang panen anggur yg meriah, dengan gadis2 cantik Bavaria yang sintal2 atau Teji2 kalau dalam Bahasa Jawa, kayak kuda sembrani karena medannya bergunung2 shg olah raganya alami naik turun gunung (saya sampaikan sambil bercanda),  yang sering berpakaian tradisional, saling berceloteh dan bercanda sambil menggunjingkan jejaka pujaannya. Eh, dari cerita saya yg detail dan panjang lebar tersebut, wajah angkernya berubah jadi ramah dan bersahabat. Bahkan ketika dia mengatakan bahwa dia bukan lahir di Bavaria meski menyandang nama Jerman, karena dia lahir dan dibesarkan di Denver, Colorado, USA, dia tetap semakin bersahabat dan intimation kemudian tercipta.
Apalagi setelah secara fasih saya kemudian cerita tentang kota Denver, negara bagian Colorado, di lereng Pegunungan Rocky Mountains, kota kelahirannya, yg dikenal sebagai atap USA krn tempatnya yg sangat tinggi. Yg sekilas mirip Bavaria, meski di Denver perkebunan anggur tidak dijumpai,karena perkebunan anggur di Amerika Serikat banyak di California. Saya kemudian  cerita tentang Puncak Pike, juga tentang Colorado Springs, tempat USAFA (United State Air Force Academy), kawah candradimuka-nya kadet2 Angkatan Udara Amerika Serikat yg megah, di dekat hulu Sungai Arkansas yg kemudian meliuk2 melewati negara bagian Kansas, Oklahoma, Arkansas dan bersatu dengan Sungai Mississippi menuju Teluk Mexico.
Juga saya cerita tentang Danau Granby, dan Cripple Creek, tempat tambang emas dan perak yg terkenal.  Juga pesta ski yg meriah dan arsitektur airport Denver yg indah.
Dia terkejut atas pengetahuan saya, dan memberi apresiasi tinggi. Sehingga urusan bisnis menjadi lebih lancar dan mudah karena diawali dengan intimation yang pas, lewat sentuhan antropologis.
Cerita lainnya masih banyak. Namun untuk Ibu Ietje,  sementara sekian dulu.
Salam ya, Bu.
÷÷÷÷÷÷÷÷÷
@Bpk Nugraha Amijaya:
Sekali lagi terima kasih banyak atas response positipnya. Semoga di Bagian 5 ini masih ada yg dapat bermanfaat.
Salam selalu.
÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷
@Bpk Simon Sibarani:
Tentang Antropologi Politik yg disinggung Bpk Simon Sibarani:
Jangan kita memandang Antropologi Politik semata2 krn perilaku politisi kita yg orientasinya pd uang atau kekuasaan semata, seperti yg terjadi  pada saat ini. Kalau demikian memang kita jadi jengkel dan muak. Pandanglah ilmu Antropologi Politik secara science and knowledge, baik teori maupun terapan.
Ilmu antropologi lahir karena kepentingan politik di abad ke 19. Dalam hal ini kepentingan kolonisasi bagi penjajah untuk "menjinakkan" daerah jajahannya.
Politik "devide et impera" adalah kebijakan yg muncul krn penguasaan mereka atas ilmu antropologi. Buku Raffles tentang "The History of Java" bukan semata2 history, namun juga ada kajian antropologisnya. Jadi di awal penemuan ilmunya, antropologi lebih bermakna dan bertujuan "politis" bagi penjajah, terutama Inggris, Belanda, Spanyol, dan Perancis.
Amerika Serikat dapat menyingkap tirai bambu China shg Deng Xiaoping muncul ke permukaan juga menggunakan Antropologi Politik via agen2nya yg menginfiltrasi China sehingga berubah orientasi ekonominya dari ekonomi tertutup menjadi pro-pasar yg terbuka. Juga Amerika Serikat mendekati Jepang abad 19 shg pelabuhannya dapt menerima kapal2 asing dengan antropologi politik.
Sampai saat inipun Antropologi Politik, dapat dipergunakan untuk memprediksi siapa pemenang pemilihan gubernur suatu wilayah di Indonesia.
Untuk kajian Antropologi Politik, kebetulan saya sempat memprediksi pemilihan beberapa gubernur di Indonesia. Dari 12 pemilihan, hanya 2 event pemilihan Gubernur  yg tdk sesuai dg prediksi saya pemenangnya.
Bahkan saya pernah diminta utk mengkaji prediksi pemilihan gubernur suatu wilayah oleh Tim Pemenangan, utk menentukan strategi pemenangan berbasis Antropologi Politik.
Meskipun waktu itu saya bukan pendukung mereka krn saya netral, namun saya memberikan masukan2 demi mengasah kemampuan ilmu Antropologi Politik saya.
Contoh Analisis Antropologi Politik:
1. Pemilihan Gubernur Kalbar.
Tahun 2007, ada 4 pasang kandidat yang bertarung. 3 pasang kandidat mengusung Gubernur dr etnis Melayu dengan Wakil Gubernur dr etnis Dayak. Salah satunya adalah incumbent yg didukung Partai Besar. Yg lain adalah tokoh yg berpengaruh di sana. Semua memiliki nama besar. Sehingga sangat dijagokan.
Kandidat ke-4, calon Gubernur adalah dr suku Dayak, yg tdk dijagokan meski mantan Bupati di wilayah tsb, yg mencoba peruntungan utk promosi sbg gubernur melawan atasannya yg sudah Gubernur krn incumbent.
Calon Gubernur dengan etnis Dayak disandingkan dengan etnis Tionghoa.
Kalimantan Barat didominasi oleh etnis Melayu dan etnis Dayak. Kemudian etnis Tionghoa, dr sub-etnis HAKKA yg berbahasa Khek dan sub etnis  Tiociu/Teochews.
Tentu saja yang menang adalah calon Gubernur dr etnis Dayak secara mutlak. Karena orang2 Melayu suaranya terpecah jadi tiga, sementara orang Dayak bersatu. Apalagi wakil Gubernur dari etnis Tionghoa mengundang pemilih Tionghoa yg jumlahnya signifikan di Kalbar.
Contoh lain ketika pertarungan perebutan Gubernur Jatim antara Pakde Karwo dengan Ibu Khofifah Indarparawansa.
Kebetulan Pakde Karwo adalah Jawa Mataraman, Ibu Khofifah adalah Jawa Arek.
Di Jatim terdapat 6 sub etnis utama, yaitu:
1.  Jawa-Mataraman, di daerah Plat No Polisi AE (Madiun dan sekitarnya), dan AG (Kediri dan sekitarnya). Daerah ini basis Nasionalis atau kalau Islam adalah Islam Modernis. Sehingga partai2 Nasionalis (PDIP, Demokrat, Golkar) dan Partai Islam Modernis (PAN, PKS), cukup kuat.  Maka Eko Patrio dapat melenggang menjadi anggota DPR ketika memilih daerah pemilihan di sini dengan membawa bendera PAN, di tunjang pula oleh popularitasnya sbg komedian.
2. Jawa-Arek, yang terdiri dari
2.a.  Arek Pesisir (Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Lamongan Bag. Timur, Mojokerto , Jombang, sebagian Jember, sebagian Lumajang). Orientasi politiknya kalau di kota2 besar adalah partai berhaluan nasionalis, sedang di luar kota besar adalah Partai Islam tradisional. Kecuali pesisir pantai utara Lamongan yg orientasi politiknya adalah Islam Modernis.
2.b. Arek Pedalaman (Malang, Pasuruan Selatan, Lumajang bag. Barat, dan sekitarnya)
Orientasi politiknya adalah Nasionalis, Islam Modernis, dan sedikit Islam Tradisional
3. Madura-Pedalungan (meliputi daerah tapal kuda: Madura, Pasuruan Utara, Probolinggo, Bondowoso, Sebagian Jember, sebagian Lumajang).
Orientasi politiknya adalah Islam tradisional.
4. Jawa Kulonan (Eks Karesidenan Bojonegoro)
Orientasi politiknya heterogin, meski Islam Tradisional dan Nasionalis bersaing ketat.
5. Jawa-Osing (Banyuwangi)
Orientasi politiknya heterogen
6. Jawa-Tengger (Lereng Gunung Bromo)
Orientasi politiknya Nasionalis
Di samping itu ada etnis Tionghoa. Yg orientasi politiknya lebih ke Nasionalis atau partai2 agama non Muslim.
Dari kalkulasi antropologi politik yg diramu dengan demografi sebenarnya sudah bisa dihitung suaranya. Dan siapa pemenangnya.
Namun utk kalkulasi politiknya hanya dapat saya sampaikan secara tatap muka krn off the record.
Perlu diketahui untuk pemilihan Gubernur masih dapat dianalisis secara antropologi politik, karena cakupannya lebih luas. Meskipun ada politik uang,namun  secara antropologi politik lebih kuat sentimen etnisnya, bukan karena aliran politiknya. Dalam pemilihan langsung prestasi atau pesona individual lebih mudah dijual, apalagi ditambah asal etnisnya. Krn secara umum etnis2 di Indonesia, mayoritas memiliki emosi melo-dramatis dibanding rasional. Sedang utk pemilihan Bupati sulit dianalisis dengan antropologi politik.
Bagaimana dengan Pemilihan Presiden dari Perspektif Antropologi Politik?
Untuk Pemilihan Presiden apalagi secara langsung, meski ada Partai Politik yg mengusung, tetap saja sentimen etnis sulit dihilangkan selama tingkat pendidikan rata2 masih rendah. Meski juga sekarang lebih cenderung pragmatis.
Dari 6 Presiden selama ini , 4 Presiden dr etnis Jawa-Mataraman, 1 Presiden  etnis dari Jawa Arek yang ada Jawa Mataramannya, 1
Presiden lagi dari Sulawesi. Itupun  jadi Presiden krn kebetulan Pak Harto lengser, shg sebagai Wakil Presiden mewarisi jabatan Presiden utk mengembang amanat Undang2 Dasar.
Dari calon yg dijagokan bbrp pihak  saat ini muncul nama: 1. Sri Mulyani (Jawa Semarangan).  2. Prabowo Subianto (Jawa- Mataraman).  3. Ibu Ani Yudhoyono (Jawa Mataraman), 4. Anas Ubaningrum (Jawa-Mataraman), 5. Surya Paloh (Manado-Minahasa). 6. Aburizal Bakrie (Lampung) 7. Pramono Edie Wibowo, adik Ibu Negara yg KSAD ( Jawa Mataraman). Nama2 lain belum muncul.
Terlepas dari fenomena Golput yg semakin membesar, tetap saja sentimen etnis yg mengemuka, meski tidak ditunjukkan secara vulgar.
Nah saya tetap memegang pilihan bahwa etnis Jawa masih memegangnya krn alasan sentimen etnis dan sifat melo-dramatis yg ada.
Kecuali suara etnis Jawa terpecah2 menjadi beberapa pilihan krn calon Presidennya banyak yg dr etnis Jawa. Nah di sini baru calon Presiden dari etnis non-Jawa bisa tampil.
Tapi saya pesimis juga, karena ada teorema, bahwa etnis non-Jawa selalu saling berebut posisi kedua di bawah etnis Jawa, mengingat anggapan, bahwa mengatasi etnis Jawa sangat sulit. Apakah 2014 lain situasinya? Kita tunggu saja. Semoga ada calon dari non-Jawa yang kuat. Saya akan analisis secara antropologi politik setelah calon2nya jelas dan ditetapkan.
Perlu diketahui, data terakhir jumlah etnis di Indonesia sebelum Sensus Penduduk 2010 adalah (saya belum mendapat data terbaru):
1. Jawa: 86 juta atau 41,7%
2. Sunda: 31,765 juta,15,4%
3. Melayu: 8,789 juta, 4,1%
4. Tionghoa: 7,776 juta 3,7% dr sub-etnis Cantonese, Hakka/Khek, Tiociu/Teochews, Hokkien
5. Madura 6,807 juta, 3,3%
6. Batak 6,188 juta, 3%
7. Bugis 6 juta7n 2,9%
8. Minang 5,569 juta, 2,7%
9. Betawi 5,157 juta, 2,5%
10.Arab 5 juta,
11. Dilanjut Banjar, Banten, Aceh, Bali, Dayak, Sasak, Makassar, Cirebon, Ambon, dst.
Salam,
Ratmaya Urip
Kamis, 28 Juli, 2011 12:41
=============== ========

Untuk Ibu Emmy Kasim:

Trm kasih Ibu atas apresiasinya. Semoga harapan Ibu terpenuhi. Saya lebih bersemangat untuk nulis jadinya. Ada tambahan dorongan utk menyelesaikan buku, krn antusiasme Ibu dan kawan2 member milis yg lain
Salam Manajemen
Ratmaya Urip
Kamis, 28 Juli, 2011 14:08
=========== ========
Pak Suryo,
Ilmu Antropologi membahas stereotip atau kecenderungan. Sehingga anomali atau yg tdk termasuk mainstream pasti ada, namun tdk sampai mengalahkan mainstreamnya.
Saya belum pernah meneliti dan memikirkan secara detail seperti yg Bpk tulis. Mungkin jika ada sponsor penelitian dan waktunya ada Insya Allah dapat saya lakukan. Penelitian saya selama ini dilakukan krn saya kebetulan sedang melakukan pekerjaan utama di suatu lokasi, sehingga penelitiaan antropologi bisnis yg saya lakukan adalah side-visit. Tidak secara khusus melakukan penelitian antropologi bisnis. Jika kebetulan saya sedang survey yg berkaitan dengan pekerjaan utama yaitu engineering (geoteknik, geokimia, mekanika tanah, geometri, mineralogi, kristalografi, hidrologi, konstruksi, dll), di suatu wilayah, saya sekaligus melakukan penelitian antropologi bisnis, di sela2 kesibukan utama. Tujuannya utk menghemat biaya.
Sedikit tentang Yogyakarta, dapat saya sampaikan, bahwa Pemda Propinsi sudah on the right track.
Mereka menetapkan core competecy daerah. Tidak semua bidang dikerjakan. Selama ini saya lihat banyak Pemda yg rakus dengan menggarap banyak bidang garapan, sehingga tidak fokus. APBD terpecah jadi kecil2, dunia bisnis juga bingung jadinya. Dari core competency yg hanya 3 tsb kemudian terjadi efek domino ke yang non-core secara otomatis, sehingga tanpa biaya. Krn biaya datang secara otomatis dari partisipasi warga dan juga wisatawan secara tdk langsung.
Core competency utk Yogyakarta adalah: 1. Pariwisata. 2. Pendidikan 3. Pertanian Holtikultura terutama yg mendukung Pariwisata (salak pondoh dll). Di luar core competency diserahkan ke swasta.
Dari setiap core/inti tsb di atas, kemudian masing2 menciptakan Plasma yg luar biasa mengguritanya yang independent, sekaligus dependent dan interdependent.
1. Pariwisata
Etos kerjanya luar biasa, dengan bekerja secara all-out, mulai dengan destinasi yg menarik, baik wisata alam, wisata budaya, wisata sejarah, wisata belanja, wisata kuliner, wisata pendidikan, dll. Hanya wisata konvensi (MICE) yang kalah dari Bali dan Jakarta.
Infrastrukturnya memang disiapkan utk 3 core competency tsb. Ingat, sejak saya kecil, Yogyakarta adalah kota yg sibuk 24 jam. Khususnya Malioboro.
Semua seolah terintegrasi dan terpadu, sehingga menarik bagi wisatawan mancanegara maupun nusantara. Berbagai souvenir/kerajinan, dan oleh2 yg bermacam2 yang khas Yogya sudah disiapkan. Mulai Dagadu, Bakpia Pathook, Gerabah Kasongan, Gudeg Wijilan, batik Mirota dan kaki lima Malioboro, dll.
Semuanya saling mendukung
2. Pendidikan
Yogyakarta adalah Pusat Pendidikan. Core competency yg ini benar2 disiapkan secara matang. Core-nya memang pendidikan, tapi Plasma-nya jauh lebih menggurita. Karena menghidupi pemilik2 rumah kost, warung makan,tempat fotokopi dll.
Yogyakarta bukan daerah industri manufaktur. Industrinya bisa dihitung dengan jari, yaitu Sarihusada, industri lampu pijar, Industri Garment Mataram Garment, dan beberapa industri manufaktur lainnya yg sedikit sekali jumlahnya.
Yang banyak adalah industri kecil kerajinan utk pendukung pariwisata, Kasongan dan desa2 wisata lainnya. Juga industri kuliner pendukung pariwisata dan pendidikan. Yang semuanya sesuai dengan stereotip antropologi bisnisnya.
3. Pertanian Holtikultura Pendukung Pariwisata.
Salak pondoh, adalah contohnya. Satu2nya buah lokal Yogya yg mampu bersaing dengan buah impor yg dengan bangga nampang di supermarket, hypermarket, dan wholesaler besar. Thailand yang terkenal dengan banyak buah unggulan mencoba membudidayakan salak pondoh, namun tdk berhasil.
Jadi sebaiknya Pemda itu jangan rakus untuk menggarap seluruh bidang aktifitas. Supaya fokus, pilih core competency maka akan muncul plasma2. Arahkan semuanya sesuai dengan stereotip antropologis native nya.
Demikian, sementara sekian dulu.
Salam Manajemen
Ratmaya Urip
Kamis, 28 Juli, 2011 14:09
========== =============

16.  Bpk.  Shaladin:

Pak urip,
Thank atas informasi yg bermanfaat ini. Semoga bapak terus berkarya dan bukunya bisa diselesaikan. Klo ngga salah, di pertambangan besar, ilmu antropolgi digunakan dalam memetakan stakeholder di daerah kerjanya.
Tx
shaladins,CSRS
Kamis, 28 Juli, 2011 18:34
======== ==========

17.  Ratmaya Urip:

Pak Shaladin,
Memang di pertambangan besar sering dilakukan kajian antropologi. Khususnya pertambangan besar dengan manajemen Asing/Barat. Untuk yg manajemen Native Indonesia tdk selalu demikian.
Tujuannya utk memprediksi dan meredam gejolak sosial, untuk mengetahui potensi antropologis yg dapat dimanfaatkan, untuk memudahkan KISS (Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi dan Sinergi), jika terjadi masalah, dll.
Apalagi situasi bisnis yg turbulent spt saat ini yg running unusual bukan lagi running as usual, penuh ketidakpastian, yg uncountable dan unpredictable.
Mengendalikan bisnis sudah bukan lagi hanya dengan berbekal cara kuno dengan berbekal "Faktor Produksi/Production Factors" atau 5M (Money, Material, Machine, Method and Manpower), tapi wajib berbekal senjata yg saya create dan kemudian saya sebut: "Faktor Kelola/Managing Factors" atau 12-M (lihat artikel saya di Blog themanagers.org)
Salah satu dari 12-M yg secara hierarki merupakan peringkat pertama adalah MILIEU. Nah dalam MILIEU inilah peran Ilmu Antropologi sangat diperlukan, jika ingin "winning the battle or the wars in business".
Terima Bpk atas apresiasinya.
Salam Manajemen
Ratmaya Urip
Kamis, 28 Juli, 2011 20:35

============== =====

18.

Sejarah Wali : Sunan Ampel / Raden Rachmad.

Oleh:  Zach
(Memperingati Haul Agung Sunan Ampel ke 562 tanggal 22-24 Juli 2011)
 
PRABU Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau memikirkan pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit.
 
Perang saudara berkecamuk di mana-mana. Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi ''kesibukan'' harian kaum bangsawan --pun rakyat kebanyakan. Melihat beban berat suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk. ''Saya punya keponakan yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti,'' kata permaisuri yang juga putri Raja Campa itu.
''Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,'' Darawati menambahkan.
 
Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali Rahmatullah ke Campa --kini wilayah Kamboja. Ali Rahmatullah inilah yang kelak lebih dikenal sebagai Sunan Ampel.
Cucu Raja Campa itu adalah putra kedua pasangan Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Dewi Candrawulan.
 
Ayahnya, Syekh Ibrahim, adalah seorang ulama asal Samarkand, Asia Tengah. Kawasan ini melahirkan beberapa ulama besar, antara lain perawi hadis Imam Bukhari.
Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Campa. Ia kemudian diangkat sebagai menantu. Sejumlah sumber sejarah mencatat silsilah Ibrahim dan Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad lewat jalur Imam Husein bin Ali.
 
Tarikh Auliya karya KH Bisri Mustofa mencantumkan nama Rahmatullah sebagai keturunan Nabi ke-23. Ia diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika berada di Palembang, pada 1440, sebuah sumber sejarah menyebutnya berusia 20 tahun. Soalnya, para sejarawan lebih banyak mendiskusikan tahun kedatangan Rahmatullah di Pulau Jawa.
 
Petualang Portugis, Tome Pires, menduga kedatangan itu pada 1443. Hikayat Hasanuddin memperkirakannya pada sebelum 1446 --tahun kejatuhan Campa ke tangan Vietnam.
De Hollander menulis, sebelum ke Jawa, Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada Raja Palembang, Arya Damar, pada 1440. Perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat.
 
Dalam lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan sahabatnya (Abu Hurairah). Rombongan mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai Syekh Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban.
Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap Kertawijaya. Di sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit.
Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan untuk dididik dan mendirikan permukiman di Ampel. Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan.
 
Selama tinggal di Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban. Sejak itu, gelar pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan sebagai keluarga keraton Majapahit. Ia pun makin disegani masyarakat.
Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning.
Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus melakukan dakwah. Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat.
Pengikutnya pun bertambah banyak. Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun langgar (musala) sederhana di Kembang Kuning, delapan kilometer dari Ampel. Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang --dan diberi nama Masjid Rahmat.
 
Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal masyarakat Jawa.
 
Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ''salat'' diganti dengan ''sembahyang'' (asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai musala, tapi ''langgar'', mirip kata sanggar.
Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari shastri --orang yang tahu buku suci agama Hindu. Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat.
 
Meski menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa saja. Dengan cara pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan luas.
 
Dari sinilah sebutan ''Sunan Ampel'' mulai populer. Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ''Moh Limo''. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela.
Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau mengisap candu), dan moh madon (tidak mau berzina).
 
Falsafah ini sejalan dengan problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya. Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan santrinya, ada yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka.
Dari perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, menurut satu versi, Sunan Ampel dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim).
Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak menjadi sultan pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua muridnya yang juga wali. Yakni Dewi Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang dinikahkan dengan Sunan Kalijaga.
 
Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang juga para wali. Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga pernah menawarkan untuk mengislamkan adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan Ampel menolak halus. ''Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?'' kata Sunan Ampel. ''Nanti bisa bid'ah, dan Islam tak murni lagi.''
Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. Sunan Kudus membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama sekali tidak.
Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa dijadikan sumber hukum Islam atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu tidak mengganggu silaturahmi antarpara wali.
 
Sunan Ampel memang dikenal bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana Malik Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa.
 
Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan Wali Songo, sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut politik Majapahit.
 
Namun, mengenai tanggal wafatnya, tak ada bukti sejarah yang pasti. Sumber-sumber tradisional memberi titimangsa yang berbeda. Babad Gresik menyebutkan tahun 1481, dengan candrasengkala ''Ngulama Ampel Seda Masjid''. Cerita tutur menyebutkan, beliau wafat saat sujud di masjid.
Serat Kanda edisi Brandes menyatakan tahun 1406. Sumber lain menunjuk tahun 1478, setahun setelah berdirinya Masjid Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, di areal seluas 1.000 meter persegi, bersama ratusan santrinya.
Kompleks makam tersebut dikelilingi tembok besar setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel bersama istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64 meter persegi.
 
Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi pasir putih. Setiap hari, penziarah ke makam Sunan Ampel rata-rata diatas 1.000 orang, dari berbagai pelosok Tanah Air.
 
 
 
~Zach~
*dari berbagai sumber.
Rabu, 20 Juli, 2011 22:16

Mending Calo Properti atau Broker Profesional

Oleh:  Andre Vincent Wenas


  Pada dasarnya, usaha perantara (pialang/makelar/broker) adalah menjalankan
fungsi penghubung antara penjual dengan pembeli, atau sebaliknya antara pembeli
dengan penjual. Maka modal utama dari bisnis ini adalah relasi. Relasi untuk
mencari barang dan jasa yang akan dijual dan relasi pembeli yang akan membeli
barang atau jasa mereka. Dalam hal ini, komoditi yang DIjalankan adalah rumah
(properti).

  Oleh karena ini adalah bisnis berdasarkan relasi, maka faktor-faktor yang
memperkuat relasi itulah yang perlu dibangun terus, seperti misalnya ‘data-base’
atau kumpulan informasi tentang rumah yang akan dijual, dan kumpulan informasi
tentang daftar nama calon pembeli (orang-orang yang sedang mencari rumah). Dan
relasi itu bisa terbangun di atas dasar saling-percaya. Inilah aset utama yang
perlu dijaga.

  Biasanya, broker/pialang properti profesional (seperti misalnya Century21, LJ
Hooker, Ray White, Coldwell-Banker, dll.) menawarkan ‘data-base’ dan sistem
manejemen (yang dikemas dalam paket merek/brand dari waralaba/franchise mereka).
Oleh karena itu, jika Ibu Shania memutuskan untuk bergabung (artinya membeli hak
waralaba/franchise) dengan salah satu dari broker/pialang profesional itu,
tentunya ada keuntungannya, tapi juga ada konsekuensi/kewajiban yang perlu
Dipatuhi.

  Keuntungan yang paling jelas ya tentu tidak perlu repot-repot lagi untuk
membangun sistem manajemen unit usaha dalam jual-beli properti, juga basis data
yang mereka miliki bisa DIakses. Sehingga kemungkinan (probability) untuk
mendapat peluang bisnis bisa lebih tinggi dibanding dengan menggali potensi dari
‘data base’ pribadi yang kita miliki. Untuk ini Anda bertindak sebagai pemilik
(business owner), dan oleh karena itu mungkin Anda perlu mempertimbangkan untuk
merekrut tenaga-tenaga pemasaran properti demi mencapai tingkat kinerja
penjualan tertentu. Di sini Anda perlu menetapkan target pendapatan, karena di
sisi lain ada kewajiban pembayaran (iuran/royalti) yang perlu Anda penuhi kepada
pemilik merek/brand waralaba itu.

  Kalau pilihan sebagai tenaga pemasaran mereka, tentunya Anda tidak
berkewajiban untuk membayar hak waralaba/franchise-nya. Penghasilannya
semata-mata dari komisi yang didapat berdasar kinerja Anda sendiri, tentunya
setelah dipotong biaya administrasi (karena memakai sistem manajemen mereka) dan
juga royalti (karena bisnis ini tetap dipayungi oleh merek waralaba mereka).

  Kalau Anda memilih untuk tetap menjadi broker tradisional, bukan berarti Anda
tidak bisa mengembangkan usahanya. Anda tetap bisa berkembang terus dengan
membangun organisai Ibu sendiri. Misalnya dengan mulai merekrut staf marketing
sendiri dan menyusun sistem administrasi sederhana yang efektif. Perhitungkan
betul biaya telepon, internet/email dan biaya marketing lain (komisi untuk staf,
transportasi, kartu nama, foto-foto rumah, komputer lap-top, dll), jangan sampai
besar pasak dari pada tiang.  Bermodalkan relasi dan nama baik Ibu Shania selama
ini, yakinlah peluang untuk terus berkembang akan tetap ada.

-----------------------------------------------------
(artikel dari Tabloid Bisnis KONTAN)


STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Business Advisory & Management Consulting

Rabu, 20 Juli, 2011 07:26

Pertanyaan Paling Sulit Tentang Pernikahan

Oleh:  Dadang Kadarusman

Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Salah satu pertanyaan paling sulit yang saya dapatkan adalah ini;”Bagaimana mempertahankan pernikahan kami?” Sampai sekarang pun saya belum tahu harus menjawab apa,  soalnya pernikahan kami sendiri baru berumur 14 tahun lebih sedikit. Masih terlalu dini untuk bisa menjawab pertanyaan itu berdasarkan pengalaman kami sendiri. Sebenarnya saya bisa saja menjawabnya secara ‘teoritis’. Toh sang penanya tidak tahu bagaimana saya menjalani kehidupan pernikahan kami. Tetapi, lha kok rasanya kurang afdol ya? Bagaimana jadinya jika teori yang saya gunakan itu, ternyata benar-benar ‘hanya sebatas teori’ saja. Bagaimana seandainya ternyata suatu saat nanti saya tidak berhasil melewati masa-masa sulit dalam kehidupan rumah tangga kami. Bagaimana seandainya kami…..
Akhirnya saya memilih untuk ‘tidak menjawab’ pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Sebab setelah cukup lama bersemedi pun ternyata saya tidak memiliki kemantapan hati untuk berani menjawabnya. Kalau pun saya harus menjawabnya, saya harus melakukannya berdua dengan istri saya. Dan jika kami jadi menjawabnya, maka kami terikat oleh sebuah kewajiban untuk melakukan apa yang kami katakan kepada orang lain. Padahal, jika kami menghadapi badai yang sama; belum tentu kami pun berhasil melewatinya. Walhasil, daripada menjawab pertanyaan itu; saya lebih memilih untuk berceloteh saja tentang apa yang sedang saya dan istri saya pelajari saat ini dalam pernikahan kami. Bagi Anda yang tertarik menemani kami belajar menjaga bahtera pernikahan ini; saya ajak untuk memulainya dengan merenungkan 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:  
1.      Mengingat saat pertama kali jatuh cinta. Saat jatuh cinta pertama kali kepadanya adalah salah satu saat terindah dalam hidup saya. Seperti serum saja, didalam darah saya terkandung nuansa romansa itu. Dan serum inilah yang sering menolong saya menghadapi masa-masa sulit dalam kehidupan pernikahan kami. Setiap kali saya memerlukan penyegaran atas cinta dan kehidupan rumah tangga kami, saya berusaha untuk mengingat saat-saat pertama kali kami jatuh cinta. Mengingat hal itu, rasanya setiap kekesalan dan kekecewaan mencair begitu saja. Dalam sekejap saya sudah bisa merasakan gelora itu lagi. Persis seperti pertama kali saya melihatnya. Persis seperti ketika saya bertekad; tidak ada perempuan lain yang lebih saya inginkan selain dirinya.
2.      Mengikrarkan cinta saat dia tidak mendengarnya. Rajin-rajinlah mengucapkan kata ‘cinta’ ditelinganya. Begitulah nasihatnya. Saya tidak terlalu percaya itu.  Faktanya, sering sekali kata cinta itu hambar rasanya. Terutama ketika kita mengucapkannya tidak sambil membawa ketulusan hati. Saya memilih untuk lebih banyak mengikrarkan cinta justru pada saat istri saya tidak mendengarnya. Ketika dia sedang bergaya didepan cermin, saya berbisik didalam hati;”Damn, I love her sooo much!”. Saat dia sedang senyum-senyum didepan blackberry, saya bergumam sendiri;”Saya sangat mencintainya…” Waktu dia cemberut, hati saya berkata;”dia semakin menggairahkan saat bibirnya manyun begitu…”
3.      Berterimakasih atas penerimaannya. Jujur saja, saya belum tentu merupakan lelaki terbaik untuk belahan jiwa saya. Dia bisa saja mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik daripada saya. Tetapi, dia menerima saya. Mengijinkan saya untuk mengobral rayuan gombal dibungkus kata cinta yang klise itu. Membiarkan saya melamarnya dengan gaya koboy. Mengangguk ketika saya mengajaknya untuk menikah. Menandatangai surat nikah itu. Mengikuti kemana saja saya membawanya pergi meski lebih banyak susahnya daripada senangnya. Sungguh, dia bisa mendapatkan yang jauh lebih baik dari ini. Maka tak pernah lekang rasa terimakasih saya kepadanya atas semua penerimaan yang telah diberikannya kepada saya. Saya lebih sering terjaga dimalam hari daripada dirinya. Sehingga saya memiliki kesempatan untuk menatap wajahnya ketika sedang terlelap. Memandangnya, sungguh membuat hati saya tersentuh. Sambil mengecup keningnya, saya berterimakasih kepadanya. Atas penerimaan yang telah diberikannya kepada saya.
           
4.      Ganti ‘tak kenal maka tak sayang’ dengan ‘semakin kenal semakin sayang’. Tak kenal maka tak sayang. Itu benar. Tetapi, banyak juga pasangan yang justru bercerai setelah satu sama lain saling mengenal. “Sekarang saya tahu siapa dia sesungguhnya,” adalah kalimat yang sering kita dengar di infotainmen saat sedang mengeksploitasi pasangan yang sedang bermasalah. Makanya, dalam konteks pernikahan pepatah itu tidak cocok. Ganti pepatah itu menjadi ‘semakin kenal semakin sayang’. Sebelum menikah, kita tidak tahu kalau dia tidurnya mengorok. Kita juga tidak tahu jika dia suka melempar handuk sembarangan. Atau menyimpan pakaian kotor dilantai. Kita, tidak tahu tentang semua hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Setelah menikah, kita mengetahui lebih banyak hal. Seandainya saja ‘semakin kenal kita semakin sayang’, maka mungkin cinta kita semakin hari semakin bertambah murni.
5.      Percaya kepada diri sendiri. Awalnya, saya menuruti nasihat untuk ‘memberi kepercayaan kepada pasangan’. Sebab katanya, jika kita memberi kepercayaan itu, maka dia pasti menjaganya dengan baik. Tetapi kemudian saya merasa hal itu malah menempatkan dirinya pada sebuah tuntutan untuk ‘bisa saya percaya’. Padahal saya percaya bahwa ‘cinta’ bukan soal tuntutan kepada orang yang kita cintai; melainkan memberikan komitmen kita kepada dirinya. Makanya, titik berat saya sekarang bukanlah menuntut dirinya untuk menjaga kepercayaan yang saya berikan, melainkan menjaga kepercayaan saya kepada diri saya sendiri. Yaitu; saya ‘percaya kepada diri saya sendiri’ bahwa saya dapat menjaga kesucian cinta kami. Jika saya sampai merusak kepercayaan itu, maka saya sendiri mengetahuinya. Dan saya tidak sedang mengkhianati siapapun selain diri saya sendiri. Tidak fair jika saya menuntut soul mate saya untuk mempercayai saya, jika dihadapan diri sendiri saja ternyata saya tidak bisa dipercaya. Maka sebelum memintanya untuk percaya kepada saya, sekarang saya belajar untuk terlebih dahulu memberi diri saya sendiri kepercayaan itu.
Sungguh, saya tidak tahu akan menjadi seperti apakah perjalanan pernikahan kami. Namun dengan ke-5 hal itu saya menjadi lebih tentram. Bahkan saya masih tenang ketika di HP-nya ada SMS gombal dari para lelaki culas. Apalagi setelah kita memasuki era blackberry. Didunia ini banyak sekali lelaki yang gemar menggoda istri orang dengan menyalahgunakan anugerah teknologi yang Tuhan titipkan ditangannya. Saya tahu itu karena istri saya sesekali menunjukkan pesan-pesan di blackberry-nya yang tidak senonoh. Kadang kami menjadikannya sebagai bahan candaan. Malah ada diantara para lelaki itu yang saya tahu persis siapa orangnya. Bahkan di fitness center, saya mengenal seorang lelaki yang dia tidak tahu jika saya tahu kata-kata apa yang dikirimkannya kepada blackberry istri saya. Alih-alih emosi, saya malah kasihan kepadanya. Kasihan, sudah setua itu masih saja mengumbar nafsu hewani. Jadi;”Bagaimana mempertahankan pernikahan kami?” Saya tidak tahu. Tetapi, semoga celoteh ini bisa mengkompensasi ketidakmampuan saya dalam menjawabnya.  
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman  - 20 Juli 2011
Catatan Kaki:
Tidak ada yang mengetahui akan menjadi seperti apa perjalanan perkawinannya. Namun, jika sesuatu yang buruk terjadi, kita perlu memastikan bahwa bukan kita penyebabnya.
 
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain.
Selasa, 19 Juli, 2011 20:31

Sukses berkat Sikap Positif

Oleh: Andre Vincent Wenas

  Tantangan sebagai pemimpin bisnis tidaklah ringan. Namun demikian bukan
berarti itu membuat kita patah arang. Kesuksesan adalah impian setiap pemimpin,
bahkan semua orang. Yakinlah bahwa tiap orang ingin sukses, tak ada yang punya
cita-cita untuk gagal.

  Mengejar sukses perlu strategi. Kecuali Anda menang lotere, kesuksesan
haruslah diraih lewat suatu upaya, komitmen, konsistensi dan kerja keras. Dan
fondasi terpenting dari langkah menuju sukses adalah sikap Anda. Sikap
(attitude) menentukan tingkat kesuksesan yang bakal diraih.

  Perbedaan antara orang sukses dengan yang tidak sukses dalam hidup adalah
bahwa kehidupan orang sukses senantiasa diatur dan dibayangi oleh pikiran
tentang saat-saat terbaik mereka, rasa optimistis yang tinggi, serta rangkaian
pengalaman terbaik mereka. Jim Dornan & Robert C. Maxwell menulis dalam buku
mereka, Strategi Menuju Sukses (1996), bahwa orang yang sukses harus selalu
berpikiran positif. Sementara kehidupan orang gagal dibayangi oleh rasa ragu
serta bayangan kegagalan di masa lalu. Mereka tidak bisa memaafkan dirinya,
bahkan kerap mengutuki dirinya sendiri.

  Pendeknya, belenggu kegagalan masa lalu harus dipatahkan, dan mulai arahkan
hidup ke masa depan. Pikiran negatif cuma mempersulit kita menjalani dan
menikmati hidup.

  Perjalanan menuju sukses perlu strategi. Dan sebagaimana lazimnya, strategi
adalah cara mencapai tujuan, maka rumuskan tujuan (visi) dengan jelas. Kriteria
tujuan (visi) itu adalah S.M.A.R.T. Ia mesti specific/tajam rumusannya,
measurable/terukur, attainable/bisa dicapai dan realistic/masuk akal, serta
time-phases/ada fase-fase waktunya.

  Visi besar bisa sangat idealistis, tidak ada yang salah dengan itu, asalkan
dalam strategi pencapaiannya bisa Anda bagi (cacah) ke dalam bingkai waktu
perencanaan tahunan, tiga tahunan dan lima tahunan. Dan yang terpenting, jika
gagal di tengah jalan, segera bangkit! Di sinilah sikap (attitude) sangat
menentukan.

  Beberapa tips praktis untuk membangun sikap positif:

1. Punya model kesuksesan. Pilih beberapa orang yang Anda anggap sukses (yang
masih hidup ataupun yang sudah jadi legenda). Proses belajar cepat adalah
pertama-tama imitasi (meniru). Bertindak dan berpikirlah seperti mereka. Setelah
proses imitasi, masuk ke improvisasi, lalu inovasi dan invensi sehingga pada
gilirannya Anda akan punya gaya sendiri yang otentik.

2. Tanamkan pikiran positif dan pusatkan pikiran hanya pada hal-hal yang
membangun. Dengan demikian Anda akan memancarkan sikap yang baik, memancarkan
rasa percaya diri, dan tidak ragu untuk menceriterakan tentang tujuan atau visi
Anda.

3. Perlakukan setiap orang yang Anda jumpai dalam hidup ini sebagai orang yang
paling penting di dunia. Sikap penghormatan yang Anda berikan akan memantul
balik pada aura Anda. Usahakan supaya semua orang yang Anda temui merasa
dibutuhkan, diperlukan dan dihargai.

4. Berusaha untuk melihat hal-hal yang terbaik dalam diri tiap orang. Dan selalu
carilah yang terbaik dari setiap gagasan yang muncul.

5. Jangan buang waktu untuk soal sepele. Dalam manajemen waktu, hal sepele
adalah soal-soal yang destruktif terhadap pencapaian visi dan yang merusak
hubungan (relasi) dengan orang-orang yang memegang peran penting dalam gambaran
visi.

6. Kembangkan dalam diri kita mental untuk memberi. Tak ada seorang pun yang
akan menolak Anda jika yang akan Anda berikan dan lakukan bakal membantu
memecahkan masalah yang mereka hadapi.

  Perlu kita camkan baik-baik, bahwa berpikir dan bersikap positif bisa
dipelajari dan dilakukan siapa pun, bagaimana pun keadaannya, apa pun tabiatnya,
bahkan setinggi/serendah apa pun tingkat kecerdasannya. Nah, bersiaplah untuk
sukses!

----------------------------------------------------
(artikel dari Tabloid Bisnis KONTAN)


STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Business Advisory & Management Consulting
Selasa, 19 Juli, 2011 06:56

Catatan: Artikel ini telah dikontribusikan oleh Kontributor pada hari/tanggal seperti tsb diatasdalam milis The Managers Indonesia

The FINE DAY 13.07.2011: "The 3 Phases of Life™"

Oleh:  Freddy Pieloor

Dear Rekan,


Selamat pagi dan salam sejahtera,

1 minggu lewat kembali, dan kita jumpa lagi dalam even "The Fine Day" edisi 20 Juli 2011.

Saya ingin melanjutkan tema

"The 3 Phases of Life"

Minggu lalu sudah dibahas Phase hidup pertama, yaitu 0 - 25 tahun, dimana dalam rentang usia tsb kita ber-posisi sebagai anak dan menggantungkan hidup secara ekonomi kepada orang tua.

Hari ini adalah phase hidup kedua, yang berada dalam rentang umur 25 - 55 tahun.

Dalam rentang waktu ini, posisi Anda dan saya berganti dari anak menjadi orang tua (yang memiliki anak).

Saat posisi Anda sebagai anak, Anda menggantungkan hidup kepada orang tua, dan sekarang siklus kehidupan berputar, Anda menjadi orang tua dan digantungkan hidup oleh anak-anak yang Anda miliki.

Usia 0 - 25 tahun, persiapan (belajar).
Usia 25 - 55 tahun, produktif (berkarya/bekerja).

Kewajiban Anda sebagai orang tua di sini adalah membentuk dan menjadikan setiap anak yang Anda hadirkan dan lahirkan ke dunia, menjadi insan mandiri dan berkarakter mulia yang lebih "sukses" dan "sempurna" dari diri Anda.

Seperti yang saya sampaikan minggu lalu, setiap anak adalah "master piece" / maha karya orang tua di dunia (dan bukan harta kekayaan yang menggunung).

Akan percuma bila orang tua memiliki jabatan tinggi dan kekayaan berlimpah ruah 7 turunan, namun anak-anaknya adalah penjahat dan pengedar/pecandu narkoba, dan atau tidak mandiri secara ekonomi dan mental.

Kewajiban Anda sebagai orang tua dalam phase kedua, mencukupkan dan menyediakan "asupan" karakter dan akhlak, serta tentunya ekonomi kepada setiap anak, (dan dilarang keras berdalih apapun).

Dalam hal ekonomi, orang tua "wajib" menyediakan dana pendidikan bagi setiap anaknya, paling tidak hingga tingkat sarjana. Karena bila hanya hingga tingkat SMA, saat ini anak-anak kurang dapat bersaing dalam dunia pekerjaan. Mungkin 10 tahun lagi S1 sudah tidak memadai, dan harus mempersiapkan hingga S2.

Jadi selayaknya anak yang dihadirkan dalam dunia ini, diberikan "bekal" dan "bimbingan" yang memadai, sehingga dia kelak menjadi manusia yang mandiri dan mulia.

Saya sungguh sangat menyayangkan (dan agak geram) bila ada orang tua hanya mampu melahirkan ("membuat") anak, tanpa mampu mengurus dan menuntaskan tanggung jawabnya menjadikan setiap anak sebagai maha karya.

Bahkan ada orang tua yang "sakit mental", dengan menyuruh anak-anaknya mencari uang (dengan mengemis atau apapun), sementara dia (bapaknya) atau mereka (bapak dan ibu) "ongkang2 kaki" menunggu hasil kerja anak-anaknya.

Adalagi orang tua yang "menjual" dan "menyewakan" anaknya untuk menghasilkan uang bagi mereka, para orang tua.

Orang tua membuat anak, hanya untuk memperbudak anak. Benar-benar sudah edan.

Jadilah orang tua yang berharkat dan bermartabat, melakukan kewajiban secara moral dan ekonomi.

Anda dan saya, sudah memahami bahwa fase hidup produktif secara formal, akan berlangsung hanya sampai 55 tahun dan setelah itu kita akan keluar dari "arena" pekerjaan yang diberikan oleh majikan atau perusahaan atau lembaga apapun.

Jadi Anda hanya ber-produksi selama 30 tahun, dan setelah itu Anda masih akan hidup dan memerlukan biaya hingga umur berakhir.

Jadi selama fase hidup kedua ini, tugas Anda, selain mempersiapkan masa depan anak2 Anda dengan dana pendidikan, Anda juga sudah harus mempersiapkan masa depan diri Anda (dan pasangan) dalam fase hidup ketiga (55 - 80 tahun).

Apapun yang Anda peroleh hari ini, hendaknya dipergunakan untuk masa depan dan hari ini. Sisihkan sebagian rejeki Anda hari ini dahulu, setelah itu sisanya silahkan dikonsumsi.

So, fase kedua ini Anda digantungkan hidup secara ekonomi oleh anak-anak Anda, yang merupakan "OBLIGASI" (dan bukan Investasi) Anda sebagai orang tua.

Ingat Siklus Hidup dan Hukum Alam "Apa yang kamu tabur akan kamu tuai pada saatnya nanti".

-----

Demikian phase hidup kedua dalam "3 Phases of Life".

Sampai jumpa minggu depan dan semoga bermanfaat.


Salam,
Freddy Pieloor
IFPC Member

====================

Dear Rekan,


Selama pagi dan salam sejahtera,

Jumpa lagi dengan saya pada hari Rabu 13.07.2011 dalam even The FINE DAY dan kali ini saya akan share tema:

"The 3 Phases of Life™"

Dalam setiap pelatihan perencanaan keuangan yang saya berikan, saya selalu men-share konsep dan nilai2 yang terkandung dalam "The 3 Phases of Life™" yang saya ciptakan setelah melalui perjalanan hidup dan membaca lebih dari 100 buku Perencanaan Keuangan.

"The 3 Phases of Life™" sesuai dengan namanya, bahwa sesungguhnya kehidupan terkait perencanaan keuangan dapat dibagi dalam 3 masa atau fase kehidupan yaitu:
1. Masa persiapan (masa anak) berlangsung dari 0 tahun - max 25 tahun.
2. Masa produktif (masa orang tua) berlangsung dari 25 - 55 tahun.
3. Masa menikmati (masa senior) berlangsung dari 55 - 80 tahun atau meninggal.

Setiap Fase Kehidupan hanya akan berlangsung 1 kali saja.

Hari Rabu ini saya akan bahas Masa Persiapan (masa anak) dari 0 - max 25 tahun.

Fase hidup sebagai anak adalah masa persiapan diri, dalam meningkatkan kemampuan teknis dan kematangan karakter.

Di fase ini, pada umumnya kita "menggantungkan" hidup kepada orang tua kita masing2.

Kita meminta uang atau orang tua membayar seluruh tagihan kebutuhan kehidupan kita.

Mulai dari pakaian, uang sekolah, makanan dan lain sebagainya, hingga uang jajan untuk ngapel sang pacar.

Intinya di fase ini kita "menggantungkan" hidup pada orang tua, karena memang masa ini adalah masa sekolah dan persiapan untuk mandiri.

Orang tua "wajib" membayar segala kebutuhan hidup sang anak sesuai dengan kemampuannya, terutama dalam hal dana pendidikan.

Orang tua "wajib" membentuk dan menciptakan setiap anak-anaknya menjadi "manusia mandiri, sukses dan mulia" melebihi keadaan dirinya.

Setiap anak adalah "Master Piece" orang tua di dunia, dan bukan jabatan/pangkat, harta dunia atau barang dunia lainnya.

Sehingga perlu dipahami dalam konsep "The 3 Phases of Life™", setiap anak adalah OBLIGASI atau kewajiban orang tua, dan bukan Investasi (yang harus memberikan keuntungan dan imbal hasil).

Tanggung jawab orang tua kepada anak dalam hal ekonomi hanya sebatas dana pendidikan tuntas, dan tidak ada tanggung jawab ekonomi lainnya, seperti membiayai pesta perkawinan atau membelikan rumah.
Namun bila orang tua memiliki kemampuan keungan yang OK, ya silahkan saja, dengan catatan "Jangan Mati Bangkrut".

Jadi setelah anak selesai menempuh pendidikan Sarjana 1, mulai saat itu dia harus berdiri dengan bertumpu pada kakinya sendiri. Dia sudah harus menjadi manusia produktif.

Dia tidak boleh lagi meminta bantuan orang tuanya untuk menopang kebutuhan hidupnya, apalagi saat dia sudah berani untuk berumah tangga.

Saya pikir orang yang sudah berumah tangga namun masih meminta ransum dari orang tua adalah orang tidak pernah berpikir dan tidak memiliki kebanggaan dalam dirinya (tiada harga diri).

So, saat selesai sekolah S1, setiap anak harus menghadapi "Dunia Nyata" dan harus memampukan dirinya menjalani kehidupan ini dengan otak, tenaga, keringat dan air mata-nya sendiri.

Orang tua juga harus mendukung kemandirian setiap anaknya, jangan memanjakan anak yang sudah berusia dewasa dan bahkan sudah berumah tangga.

Ingat, setiap anak adalah "Master Piece" orang tua di dunia, dan kala mereka sudah meninggal dunia, anak dan cucu yang akan meneruskan "garis" dan "nilai" keluarga.

Demikian share saya pada pagi hari ini, semoga bermanfaat.


Salam,
Freddy Pieloor
Financial Planning & Marriage Counselor

Selasa, 19 Juli, 2011 18:21

The MONEYnLOVE Inspires 20 Juli 2011: "Uang Jago Lelaki"

Oleh:  Freddy Pieloor
Dear Sahabat,


Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua.

Apa kabar Anda? Semoga Anda, pasangan dan keluarga dalam keadaan sehat dan bahagia.

Senang bisa menyapa Anda kembali dalam momen inspirasi "The MONEYnLOVE" jilid 20 Juli 2011 hari ini yang bertemakan:

"Uang Jago Lelaki"

Istilah ini sering kita dengar di sela-sela perbicangan para suami kala mereka nangkring di coffee shop.

Uang Jago Lekaki (UJL) adalah dana yang diperuntukkan bagi hiburan atau entertainment diri para suami, yang merupakan pencari nafkah (katanya), karena ada juga para "suami" yang tidak melakukan hal ini.

Lebih banyak UJL tidak dilaporkan kepada pasangan/istri, baik nilainya maupun peruntukkannya.
Sehingga UJL tidak diketahui oleh para istri. UJL gelap.

Sehingga seringkali "pemanfaatan" UJL ini bertendensi negatif dan merusak tatanan dan komitmen suami istri serta keluarga.

Apakah UJL diperbolehkan?
Bila ya, berapa nilai yang pantas?
Lalu, untuk keperluan apa saja yang boleh dilakukan?

Saya percaya, pasti sebagian besar Lelaki, akan menjawab: "BOLEH DONG! Kan gua yang nyari duit! Gua perlu hiburan untuk refreshing!"

Bila jawabannya demikian, hukum keuangan keluarga, dimana posisi suami dan istri adalah equal, dan uang suami dan istri adalah uang bersama, maka bila ada UJL berarti ada UBP (Uang "Betina" Perempuan). Perempuan juga perlu hiburan, karena perempuan juga bekerja di kantor (untuk profesi karyawan) dan di rumah (ibu RT), bahkan ada perempuan dwifungsi (karyawan dan ibu RT).

Sesungguhnya rejeki yang diperoleh lelaki dan atau perempuan sesaat mereka sudah menikah, akan menjadi "Hak Keluarga" dan sudah tidak lagi dimiliki secara pribadi.

Lalu, "UJL" atau "UBP" menurut saya harus dideklarasikan atau disepakati bersama, nilai dan peruntukkannya. Karena uang ini adalah "Uang Kita".

Bila suami ada UJL, maka istri ada UBP. UJL atau UBP, sebaiknya disebut "Uang Saku", uang saku ini hanya diperuntukkan bagi kegiatan yang positip dan membangun.

-----

Saya sering menyaksikan pasangan suami istri dan kadangkala membawa anak-anak mereka, untuk menyegarkan diri di sebuah pijat "SS" atau spa di "NP".

Alangkah indah dan baik, bila aktifitas positip dan berguna bagi tubuh dan pikiran dilakukan bersama. Meningkatkan kualitas hubungan dan harmonisasi suami istri.

So, Uang Saku buat suami atau istri boleh saja, silahkan sepakati, jumlah dan peruntukkannya, lalu laporkan/informasikan kepada pasangan.

Keharmonisan membutuhkan kepercayaan, dan kepercayaan dimulai dari keterbukaan dan perbuatan yang bertanggung jawab.

-----

Demikian dan semoga bermanfaat.


Salam,
Freddy Pieloor
Financial Planner & Marriage Counselor

Selasa, 19 Juli, 2011 19:11

Sukses berkat Sikap Positif

Oleh:  Andre Vincent Wenas

Tantangan sebagai pemimpin bisnis tidaklah ringan. Namun demikian bukan
berarti itu membuat kita patah arang. Kesuksesan adalah impian setiap pemimpin,
bahkan semua orang. Yakinlah bahwa tiap orang ingin sukses, tak ada yang punya
cita-cita untuk gagal.

  Mengejar sukses perlu strategi. Kecuali Anda menang lotere, kesuksesan
haruslah diraih lewat suatu upaya, komitmen, konsistensi dan kerja keras. Dan
fondasi terpenting dari langkah menuju sukses adalah sikap Anda. Sikap
(attitude) menentukan tingkat kesuksesan yang bakal diraih.

  Perbedaan antara orang sukses dengan yang tidak sukses dalam hidup adalah
bahwa kehidupan orang sukses senantiasa diatur dan dibayangi oleh pikiran
tentang saat-saat terbaik mereka, rasa optimistis yang tinggi, serta rangkaian
pengalaman terbaik mereka. Jim Dornan & Robert C. Maxwell menulis dalam buku
mereka, Strategi Menuju Sukses (1996), bahwa orang yang sukses harus selalu
berpikiran positif. Sementara kehidupan orang gagal dibayangi oleh rasa ragu
serta bayangan kegagalan di masa lalu. Mereka tidak bisa memaafkan dirinya,
bahkan kerap mengutuki dirinya sendiri.

  Pendeknya, belenggu kegagalan masa lalu harus dipatahkan, dan mulai arahkan
hidup ke masa depan. Pikiran negatif cuma mempersulit kita menjalani dan
menikmati hidup.

  Perjalanan menuju sukses perlu strategi. Dan sebagaimana lazimnya, strategi
adalah cara mencapai tujuan, maka rumuskan tujuan (visi) dengan jelas. Kriteria
tujuan (visi) itu adalah S.M.A.R.T. Ia mesti specific/tajam rumusannya,
measurable/terukur, attainable/bisa dicapai dan realistic/masuk akal, serta
time-phases/ada fase-fase waktunya.

  Visi besar bisa sangat idealistis, tidak ada yang salah dengan itu, asalkan
dalam strategi pencapaiannya bisa Anda bagi (cacah) ke dalam bingkai waktu
perencanaan tahunan, tiga tahunan dan lima tahunan. Dan yang terpenting, jika
gagal di tengah jalan, segera bangkit! Di sinilah sikap (attitude) sangat
menentukan.

  Beberapa tips praktis untuk membangun sikap positif:

1. Punya model kesuksesan. Pilih beberapa orang yang Anda anggap sukses (yang
masih hidup ataupun yang sudah jadi legenda). Proses belajar cepat adalah
pertama-tama imitasi (meniru). Bertindak dan berpikirlah seperti mereka. Setelah
proses imitasi, masuk ke improvisasi, lalu inovasi dan invensi sehingga pada
gilirannya Anda akan punya gaya sendiri yang otentik.

2. Tanamkan pikiran positif dan pusatkan pikiran hanya pada hal-hal yang
membangun. Dengan demikian Anda akan memancarkan sikap yang baik, memancarkan
rasa percaya diri, dan tidak ragu untuk menceriterakan tentang tujuan atau visi
Anda.

3. Perlakukan setiap orang yang Anda jumpai dalam hidup ini sebagai orang yang
paling penting di dunia. Sikap penghormatan yang Anda berikan akan memantul
balik pada aura Anda. Usahakan supaya semua orang yang Anda temui merasa
dibutuhkan, diperlukan dan dihargai.

4. Berusaha untuk melihat hal-hal yang terbaik dalam diri tiap orang. Dan selalu
carilah yang terbaik dari setiap gagasan yang muncul.

5. Jangan buang waktu untuk soal sepele. Dalam manajemen waktu, hal sepele
adalah soal-soal yang destruktif terhadap pencapaian visi dan yang merusak
hubungan (relasi) dengan orang-orang yang memegang peran penting dalam gambaran
visi.

6. Kembangkan dalam diri kita mental untuk memberi. Tak ada seorang pun yang
akan menolak Anda jika yang akan Anda berikan dan lakukan bakal membantu
memecahkan masalah yang mereka hadapi.

  Perlu kita camkan baik-baik, bahwa berpikir dan bersikap positif bisa
dipelajari dan dilakukan siapa pun, bagaimana pun keadaannya, apa pun tabiatnya,
bahkan setinggi/serendah apa pun tingkat kecerdasannya. Nah, bersiaplah untuk
sukses!




----------------------------------------------------
(artikel dari Tabloid Bisnis KONTAN)


STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Business Advisory & Management Consulting

Catatan:
Artikel ini telah dikontribusikan oleh Kontributor pada hari/tanggal:
Selasa, 19 Juli, 2011 06:56
Karena Artikel ini sudah dikontribusikan dalam milis The Managers Indonesia, maka yang berkaitan dengan Undang-undang Hak Cipta,menjadi tanggung jawab Kontributor

WTShare: Pelajaran Hati

 Oleh:  Hadi  Poernomo


1. Awal dari Ƈinta = membiarkan orang yang kita cinta menjadi dirinya sendiri dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kita inginkan.
Jika tidak, kita hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kita temukan di dalam dirinya.. :)

2. Kebahagiaan tersedia bagi mereka yang menangis, mereka yang disakiti hatinya, mereka yang mencari dan mereka yang mencoba.
Karena hanya mereka itulah yang menghargai pentingnya orang² yang pernah hadir dalam hidup mereka.. :D

3. Jangan pernah mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba, jangan pernah menyerah jika kamu masih merasa sanggup dan jangan pernah mengatakan kamu tidak mencintainya lagi jika kamu masih tidak dapat melupakannya.. ({})

4. Hanya diperlukan waktu satu menit untuk menaksir seseorang, satu jam untuk menyukai seseorang dan satu hari untuk mencintai seseorang.
Tetapi diperlukan waktu seumur hidup untuk melupakan seseorang.. :(

5. Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, pergilah ke tempat² yang kamu ingin pergi, jadilah seperti yang kamu inginkan, karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal² yang ingin kamu lakukan.. ;)

6. Waktu kamu lahir, kamu menangis dan orang² disekelilingmu tersenyum - maka jalanilah hidupmu dengan baik, sehingga pada waktu kamu meninggal, kamu akan tersenyum dan orang² disekelilingmu menangis.. :'(

Don't forget..
Whatever it is, always stay positive..
Always eager to achieve happiness in life together in peace


Hadi Poernomo
Senin, 18 Juli, 2011 23:35

Perkembangan Industri Korupsi di Indonesia


Oleh: Ratmaya Urip *)


Era Orde Lama dikenal dengan kredo “Politik adalah Panglima”. Era Orde Baru dikenal sebagai era “Ekonomi sebagai Panglima”. Sedangkan konon, era Orde Reformasi ingin menegakkan hukum di atas segala-galanya, sebagai dasar berbangsa dan bernegara. Maka dapat pula disebut dengan jargon “Hukum adalah Panglima”.
Dalam setiap era, menarik untuk dicermati perilaku korupsi yang ada, khususnya jika hal itu dikaitkan dengan pemahaman, bahwa korupsi dalam perjalanannya sudah menjelma menjadi suatu industri tersendiri.
Kosakata  “industri” memiliki banyak definisi dan arti yang dapat disimak dari berbagai macam kamus dan textbook. Namun pemahaman yang paling mudah dimengerti oleh kalangan bawah, atau paling awam atau paling generik tentang industri adalah upaya mengolah input dalam suatu proses untuk mendapatkan output yang bermanfaat bagi kehidupan. Bisa juga disebut, bahwa industri adalah aktifitas mengolah atau memroses input untuk menjadi output, dengan tujuan untuk mendapatkan sejumlah revenue atau omzet, dengan tujuan akhir adalah untuk mendapatkan profit secara materiil. Itu jika kita mau jujur. Identik dan sejalan dengan ketentuan tersebut, maka aktifitas korupsi tujuan akhirnya adalah mendapatkan profit. Sehingga sah-sah saja jika  aktifitas korupsi juga dapat disebut sebagai aktifitas industrial. Dalam hal ini saya lebih suka menyebutnya sebagai “Industri Korupsi”. Bedanya adalah jika industri dalam pengertian umum selalu saja diinginkan untuk selalu tumbuh dan berkembang atau menggurita, supaya dapat memberikan kontribusi kepada kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dari sektor riil, maka Industri Korupsi diinginkan untuk segera mati. Karena Industri Korupsi yang tumbuh, berkembang dan bahkan menggurita, akan membuat bangsa dan negara menderita dan menumpulkan atau bahkan mematahkan keunggulan bersaing. Yang mengakibatkan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa sulit digapai. Tetapi di Indonesia, ternyata Industri Korupsi malah semakin tumbuh, berkembang dan menggurita, yang nampaknya sudah menyalip kinerja industri-industri konvensional. Sehingga kemakmuran dan kesejahteraan bangsa sulit untuk terwujud.

Perjalanan Industri Korupsi
Baik di era Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, ternyata Industri Korupsi, menyajikan fakta yang sangat menarik untuk dicermati.
Di era Orde Lama, fenomena korupsi jarang sampai muncul ke permukaan. Ketatnya sensor pemerintah waktu itu, membuat pers tidak berkutik. Era yang membawa kehidupan ke alam Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin, dengan Manipol-USDEK membuat semuanya serba homogen. Era “Asal Bapak Senang” membuat korupsi sulit dideteksi, dikritisi, dan diungkap, apalagi diberitakan secara luas. Tidak ada yang berani mengungkapnya. Juga lembaran pemberitaan didominasi oleh berita-berita politik, sehingga tidak ada tempat lagi bagi berita tentang korupsi.  Apalagi suhu politik, mulai dari saat terbentuknya Konstituante sampai menjelang diberlakukannya Dekrit Presiden 1 Juli 1959, serta saat-saat akan meletusnya G30S di Akhir September 1965, sangat panas dengan adanya pergumulan-pergumulan politik pada waktu itu. Berita tentang politik benar-benar menjadi news, sehingga banyak dinanti oleh para pembacanya sebagai issue yang paling digandrungi. Sehingga perilaku korup jarang diungkap oleh pers. Apalagi memang uang pada waktu itu tidak banyak yang dapat dikorupsi, karena modal asing belum masuk secara frontal dan simultan seperti halnya pada saat ini.  Ingat jargon “Go to Hell with Your Aid”.
Banyak sekali pers yang menjadi corong pemegang ideologi, dalam hal ini partai-partai politik, sehingga mereka lebih gencar menjual propaganda politik ideologinya, daripada menjual berita tentang korupsi. Media sebagai corong informasi waktu itu baru media cetak yang ada. Sedangkan media elektronik hanya ada RRI dan TVRI (sejak tahun 1962). Di samping itu program-program pembangunan yang biasanya menjadi sasaran empuk untuk tindak korupsi besarannya tidak sebesar seperti yang ada pada saat ini. Partisipasi publik lebih menonjol, terutama jika dikaitkan dengan kepentingan dan orientasi ideologis-politis. Bukannya tidak ada korupsi, namun korupsi tidak mendapat tempat yang layak untuk tampil sebagai issue yang layak dibaca atau dikritisi. Atau industri korupsi belum secara riil diperhitungkan oleh banyak pihak. Korupsi masih dapat dikatakan lebih sebagai seni daripada sebagai  industri
Di era Orde Baru, modal asing mulai banyak menyerbu Indonesia dengan kebijakan pemerintah untuk memasukkan modal-asing sebanyak-banyaknya, yang konon akan diperuntukkan bagi pembangunan nasional. Widjojonomics yang sering disebut sebagai cikal bakal kebijakan para Mafia Berkeley, telah membuat bumi pertiwi berlumur “gula”. Tentu saja “gula” yang mulai melimpah, membuat “semut” pada berdatangan. Pelahan namun pasti, kebocoran-kebocoran semakin membesar. Hanya karena pada waktu itu kendali pemerintahan dilakukan secara sentralistik, maka “bocoran-bocoran” yang kemudian menjadi “banjir” itu membuat “basah kuyup” hanya pada sejumlah aparat di tingkat pusat. Korupsi lebih banyak di sekitar lingkaran kekuasaan. Berita-berita miring dari mulut ke mulut tentang hal tersebut banyak bermunculan pada waktu itu. Namun seperti pada era Orde Lama, tidak ada yang berani mengungkapnya. Kekuasaan dengan tangan besi yang otoriter tidak dapat membuat perilaku korupsi menjadi “bintang kehidupan” atau “news” bagi pers nasional. Meskipun media cetak dan media elektronik semakin banyak. Sehingga tidak banyak nama-nama yang dapat hadir bak meteor sebagai aktor korupsi.
Kroni-kroni yang melingkari pusat kekuasaan beserta keluarganya seolah tak henti menjadi buah bibir pembicaraan masyarakat, namun hanya sebatas pembicaraan di warung kopi dan gunjingan antar tetangga dekat. Pers tidak berani untuk mengungkapkannya secara terbuka. Kendali pemerintahan dengan menggunakan tangan besi dan kontrol penuh, membuat 32 (tiga puluh dua) tahun masa pemerintahan nyaris tanpa gejolak tentang korupsi yang berarti, kecuali Malari, dan saat-saat menjelang kejatuhan rezim di bulan Mei tahun 1998. Era ini korupsi sudah memasuki babagan baru, karena dari semula “hanya” sebagai “seni” di era Orde Lama, kemudian berubah menjadi “industri”. Namun yang berkembang adalah “industri besar korupsi” bahkan dapat disebut “konglomerasi industri korupsi”. Karena memang yang bermain lebih banyak di tingkat pusat daripada di daerah. Juga nominalnya sangat besar.
Bagaimana halnya dengan Industri Korupsi di era Orde Reformasi?
Era Orde Reformasi, konon mengusung jargon “Hukum sebagai Panglima”. Namun kenyataanya yang berkuasa tetap saja Politik, bukan Hukum. Penulis lebih suka menyebut hiruk pikuk perpolitikan nasional saat ini telah memasung “Kekuasaan Hukum” menjadi semu (pseudo-law), karena faktanya yang berkembang adalah “Industri Politik”. “Industri Politik” di era ini kemudian menjadi mata air bagi hadirnya “Industri Korupsi”. Tatanan hukum juga akhirnya tergerus mengikuti eranya, karena tidak mau kalah untuk  ikut bermetamorfosis menjadi “Industri Hukum”, namun omzetnya mungkin saja masih berada di bawah omzet “Industri Politik”.
Di era Orde Reformasi ini, jika penulis berada di titik manapun di bumi Nusantara, khususnya jika sedang berlangsung kontes politik untuk perebutan pimpinan negara maupun wilayah, baik Presiden, Gubernur maupun Bupati, selalu saja rimba baliho, spanduk, dan pamflet  mewabah di seluruh pelosok kawasan. Mulai dari yang bertengger di seluruh tempat-tempat strategis di perempatan-perempatan jalan  di kota besar, di pucuk-pucuk pohon, di kendaraan-kendaraan umum maupun kendaraan pribadi, di tembok-tembok rumah, di gerbang-gerbang perbatasan wilayah antara dua kabupaten atau propinsi, di pelosok-pelosok kampung dan desa, sampai di tengah-tengah hutan yang masih dapat didatangi manusia. Yang terakhir ini saya jumpai di jalan-jalan setapak yang biasa dilewati oleh teman-teman kita dari Suku Dayak Maanyan, Dayak Dusun, dan Dayak Bakumpai, di tengah rimba Kalimantan Tengah. Jalan setapak yang menjadi nadi bagi lalu lintas para penyadap karet alam, yang biasanya pohon karetnya berada di sela-sela rimbunnya belantara Kalimantan Tengah. Tidak ketinggalan baliho-baliho raksasa yang mencolok dengan tidak santun juga men-distorsi keindahan daerah-daerah wisata, seperti yang saya lihat di Bali, di Yogyakarta, di Danau Singkarak, maupun di gapura perbatasan yang memisahkan Kabupaten Enrekang dengan Kabupaten Tana Toraja.
Fenomena di atas adalah fenomena politik kontemporer Indonesia masa kini.
Ironisnya, fenomena politik tersebut yang dalam perjalanan panjangnya kerap kali berakibat pada ekses hukum sehingga menciptakan fenomena hukum yang sarat dengan masalah, muaranya selalu kembali ke penyelesaian politik, di tengah upaya-upaya untuk terciptanya law enforcement di republik ini, yang konon  mengusung jargon “Hukum adalah Panglima”. Macan atau Singa Hukum menjadi ompong. Fenomena yang terjadi tetap saja politik-lah yang dikedepankan, bukan hukum. Buktinya banyak sekali kasus tentang adanya pengayom dan pelayan masyarakat yang terjerat masalah korupsi, namun kemudian menguap begitu saja kasusnya. Yang mungkin saja karena adanya political bargaining.
Diakui atau tidak jualan politik telah menuju ambang inflasi politik, yang bermuara pada kepentingan-kepentingan politik sesaat yang sering kali hanya bermuatan sektoral atau partisan, jauh dari tujuan untuk perbaikan nasib bangsa. Hal itu terjadi karena tingginya penawaran politik yang nampaknya tidak di-response secara baik oleh permintaaan politik yang memadai. Masing-masing calon menjajakan dirinya untuk dipelototi para pengguna jalan. Penulis memroyeksikan, bahwa meletusnya economical bubble beberapa saat yang lalu akan segera diikuti meletusnya political bubble. Entah apa wujudnya Karena kedua aktifitas tersebut, baik politik maupun ekonomi telah masuk secara dalam ke aktifitas semu, maya dan baka, pseudo activity.
Di bidang ekonomi sektor finansial semakin jauh meninggalkan basic-nya yaitu sektor riil. Aktifitasnya semu, karena seluruh aktifitas ekonomi mendewa-dewakan sektor finansial dan moneter saja, tanpa didasarkan pada pencapaian keunggulan aktifitas di sektor riil. Apalagi diperburuk oleh perilaku para pengambil keputusan dalam menyikapi kebijakan dan aplikasinya di sektor fiskal dan sektor riil. Padahal logikanya, prestasi sektor finansial adalah cermin prestasi sektor riil.
Sementara aktifitas politik juga semu, karena politik telah menjadi sangat pragmatis, tidak santun, meninggalkan kejujuran, yang semuanya diukur dengan materi atau uang, yang mengabaikan sama sekali  ideologi atau idealisme, yang biasanya merupakan mata air bagi semangat kebangsaan dan persatuan untuk tercapainya kesejahteraan bangsa. Karena politik sudah dijadikan lahan garapan untuk hidup atau sebagai mata pencaharian. Politik hanya kendaraan untuk mencapai kekuasaan, untuk memperkaya diri. Kekuasaan yang diperolehpun dianggap sebagai kedudukan bukan sebagai tindakan atau program. Bagi mereka, Power is a position, not  an action. Juga kekuasaan selalu dianggap sebagai kedudukan atau jabatan bukan sebagai tanggung jawab. Power is a position not a responsibility. Padahal, sebaiknya semuanya harus proporsional, profesional ataupun balance. Itulah mungkin yang kemudian membuat  Industri Korupsi di era Orde Reformasi ini  lebih bergema dan menjadi lebih menggurita, yang mungkin saja secara aggregat sudah jauh melewati besaran yang ada jika dibandingkan dengan industri korupsi di era sebelumnya. Dari hiruk pikuknya dan membanjirnya pengungkapan korupsi yang enggan untuk berhenti, yang ditopang secara kuat dan masiv oleh kebebasan berpendapat yang ada, membuat Industri Korupsi lebih membahana dan menggelegar.
Apakah itu berarti Industri Korupsi di era Orde Reformasi memang jauh lebih besar daripada Industri Korupsi di era-era sebelumnya? Hanya Tuhan yang Maha Tahu. Karena jika tokh ada data yang dapat dikumpulkan dari sidang-sidang pengadilan atau dari lembaga-lembaga lainnya, itu hanyalah semacam fenomena gunung es saja. Namun yang pasti, jika pada era yang sentralistik dan otoriter sebelumnya yang kesempatan korupsinya lebih banyak berada di pusat pemerintahan, maka di era ini kesempatan tumbuh-kembangnya “Industri Korupsi” menjadi lebih besar dan lebih luas lagi. Karena menjangkau tingkat yang paling bawah dari level kehidupan ini, karena adanya pengukuhan otoritas  di tingkat yang lebih bawah lagi, dengan desentralisasi atau otonomi.
Realitas lapangan yang dapat dirasakan adalah, bahwa semakin lama rakyat semakin merasakan beban yang lebih berat bagi kehidupannya, yang jauh lebih berat daripada era sebelumnya. Meskipun penyelenggara negara selalu saja berkilah dengan membeberkan angka-angka keberhasilan pembangunan, namun di atas kertas. Atau datanya masih mudah untuk diperdebatkan.
Konklusinya ternyata adalah, bahwa setiap era ternyata sami mawon alias sama saja bagi bahagian terbesar dari bangsa ini. Yang berbeda adalah besaran atau omzet industri korupsinya. Semakin besar industri korupsinya akan semakin miskin dan menderitalah bangsa ini. Dengan kata lain akan semakin jauh dari cita-cita untuk menggapai bangsa dan negara yang makmur dan sejahtera. Diakui atau tidak nampaknya era yang sekarang ini secara riil kehidupan rakyat menjadi semakin berat dibanding era sebelumnya.
Benarkah bahwa sejak negara ini berdiri sampai dengan saat ini selalu saja terjadi miss-management? Karena negeri yang gemah ripah loh jinawi dan lautannya penuh kolam susu yang membentang hijau bak zamrud di khatulistiwa ini tokh sampai sekarang masih menyandang kemiskinan yang enggan beranjak untuk pergi. Mungkin benar apa yang disampaikan oleh Peter Drucker yang mengatakan, bahwa “tidak ada kemiskinan, yang ada adalah miss-management.

Ratmaya Urip
Senin, 18 Juli, 2011 02:24
ooOoo