Hore!
Hari
Baru, Teman-teman.
Semua orang yang belum menjadi atasan, ingin menjadi atasan yang baik.
Tepatnya, semua percaya bahwa jika kelak dirinya menjadi seorang atasan; tentu
mereka bisa menjadi atasan yang baik. Kepercayaan ini setengahnya merupakan
sifat percaya diri, dan setengahnya lagi tidak lebih dari sekedar klaim kosong belaka.
Sebenarnya sekedar klaim juga tidak apa-apa jika memang bisa dibuktikan dengan
kemampuan yang sesungguhnya. Tapi, bagaimana mengetahui jika kita bisa menjadi
atasan yang baik sebelum kita benar-benar menjadi atasan? Bukankah orang yang
sudah menjadi atasan pun banyak yang tidak bisa membuktikan klaim keyakinannya
itu?
Ayah saya – seorang petani –
bisa meramalkan bibit yang kelak bisa menghasilkan pohon yang banyak buahnya.
Yaitu, bibit yang diambil dari buah yang bagus. Artinya, kalau Anda ingin mendapatkan
pohon yang berbuah bagus, maka Anda harus mengambil biji dari buah yang bagus.
Begitu pula dengan calon pemimpin dimasa depan. Ada cara sederhana untuk ‘meramalkan’
apakah seseorang bisa menjadi atasan yang baik, kelak. Lihat saja kualitas
pribadinya ketika dia menjadi bawahan. Jika seseorang sanggup menjadi bawahan
yang baik untuk atasannya maka dia punya peluang besar untuk menjadi atasan
yang baik nantinya. Seseorang yang tidak bisa menjadi bawahan yang baik? Kecil
sekali peluangnya untuk menjadi atasan yang baik. Bagaimana mungkin bisa
menjadi atasan yang baik jika dia tidak sanggup menjadi bawahan yang baik.
Menjadi bawahan yang baik itu
tidak berarti menjadi pribadi yang ‘Yes, Mam’ atau ‘Yes Sir’ belaka kok. Karena
mereka yang ABS tidak termasuk bawahan yang baik. Bawahan yang baik itu ada
kalanya harus menjari supporter kuat bagi atasannya. Dan ada kalanya, harus
menjadi sparing partner yang tangguh. Seorang sparing partner tidak pasrah begitu
saja menerima apapun yang dilakukan atasannya. Dia menangkis, menghindar,
bahkan menyerang. Dalam hubungan atasan dan bawahan, sparing partner berarti
menempatkan diri sebagai orang yang sanggup memberikan masukan kepada atasan, melengkapi
hal-hal yang masih kurang, atau menawarkan alternatif dan solusi yang lebih
baik. Ketika menjadi sparing partner itulah seseorang secara tidak langsung
melatih dirinya menjadi seorang atasan.
Bagaimana seandainya dia
dipimpin oleh atasan yang buruk? Tidak ada bedanya. Malahan, atasan yang buruk
dalam banyak situasi bisa menempanya dengan lebih intensif. Ingat istilah kawah
candra dimuka? Itu adalah kawah tempat para ksatria ditempa. Kawah yang sangat
panas sehingga hanya pribadi-pribadi yang benar-benar tangguh dan tahan banting
saja yang bisa lulus dari ujian terberatnya. Atasan yang buruk, sering lebih
mampu memainkan fungsi sebagai kawah candra dimuka. Ketika atasan buruk
bersikap lembek, maka kelembekannya menjadi contoh betapa sikap lembek yang
tidak pada tempatnya melemahkan kualitas kepemimpinan seseorang. Ketika atasan
yang buruk bersikap kasar, maka kekasarannya itu menjadi pelajaran berharga
bagaimana seharusnya seorang atasan memperlakukan anak buahnya.
Kalau dipimpin oleh atasan yang
baik, kelihatannya tidak perlu kita bahas panjang lebar. Karena, mendapatkan
pemimpin yang baik itu merupakan sebuah anugerah yang tiada ternilai, bukan?
Beruntung sekali kalau kita mendapatkan atasan yang baik. Maka pertanyaanya
kemudian adalah; seandainya kelak kita menjadi seorang atasan, apakah anak buah
kita akan mendapatkan keberuntungan itu atau tidak?
Untuk memastikan hal itu, kita
mesti belajar menjadi bawahan yang baik untuk atasan kita terlebih dahulu. Jika
saat ini Anda belum menjadi atasan; maka ini adalah saat yang paling tepat
untuk memulai proses pembelajaran itu. Sekalipun – misalnya – sekarang Anda
dipimpin oleh atasan yang kurang baik, namun Anda punya kesempatan untuk
mempelajari; hal-hal yang perlu Anda hindari ketika memimpin orang lain nanti.
Misalnya. Jika atasan Anda
plin-plan. Tidak enak dipimpin atasan plin-plan, bukan? Bagaimana memastikan
kelak kita tidak menjadi atasan plin-plan seperti dirinya. Jika atasan Anda
yang sekarang tidak adil, pilih kasih, suka membeda-bedakan berdasarkan selera
pribadinya saja; maka Anda bisa merasakan betapa sakitnya dipimpin dengan atasan
seperti itu. Jika atsan Anda hanya bisa memerintah saja, tanpa mau peduli
kesulitan anak buahnya dilapangan; Anda tahu itu bukan cara memimpin yang
tepat. Apapun yang dilakukan atasan buruk Anda, merupakan pelajaran penting
untuk menjadikan diri Anda atasan yang baik dimasa depan.
Dan jika atasan Anda itu
memimpin dengan cara yang baik, maka Anda bisa belajar dengan merasakan;
bagaimana perasaan seorang anak buah ketika dipimpin oleh atasan yang baik.
Sehingga Anda bisa memperkirakan; bagaimana perasaan anak buah Anda, ketika
Anda memimpin mereka kelak. Yang jelas, seorang atasan yang baik itu tidak
dihasilkan dari jenis anak buah yang buruk saat ini. Atasan yang baik,
dihasilaknd ari sikap dan perilaku yang baik ketika dia menjadi bawahan.
Jika kita menjadi anak buah yang
buruk saat ini, maka kita mungkin akan menjadi atasan yang butuk nanti. Tapi,
jika sekarang kita bisa menjadi anak buah yang baik; kita bisa menjadi atasan
yang hebat kelak. Jadi, apapun jenis atasan yang Anda dapatkan sekarang –
bersyukurlah – karena melalui bentuk kepemimpinan atasan itu; Anda bisa belajar
menjadi atasan yang baik, untuk anak buah Anda kelak. Ingin menjadi atasan yang
baik? Yuk kita terlebih dahulu praktek menjadi anak buah yang baik. Yang tetap
bersikap dan berperilaku baik. Berkontribusi baik. Dan mengambil pelajaran yang
baik, di setiap situasi yang kita hadapi. Insya Allah, kelak kita menjadi
atasan yang baik.
Salam hormat,
Mari Berbagi
Semangat!
DEKA – Dadang
Kadarusman – 7 Agustus
2012
Catatan Kaki:
Seperti buah yang
buruk tidak menghasilkan bibit pohon yang baik, bawahan yang buruk tidak
mungkin menjadi atasan yang baik.
Silakan di-share jika naskah ini Anda
nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu.
Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda
tidak berkurang karenanya.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman
DEKA - Dadang Kadarusman