FENOMENA MARKET LEADER DAN MARKET FOLLOWER
Contributed by: Rky Refrinal Patiradjawane
Beberapa tahun yang lalu, kita bersama di milist membaca sebuah fenomena tentang ‘11 alasan mengapa tidak mengkonsumsi Coca Cola’. Bagi seorang ‘pemasar pemula’ atau bahkan mungkin di ‘kalangan akademisi’ hal ini sudah pasti merupakan sebuah isu yang begitu menarik perhatian, menghabiskan ‘banyak energi’ dan dijadikan topik kajian untuk dibahas diberbagai kesempatan. dan beberapa hari yang lalu saya kembali menerima dan membaca isu yang sama di sebuah milist dan menjadi pembicaraan hangat dikalangan profesional terbatas.
Adapun isu, yang kemudian di beri judul ’11 alasan tidak minum Coca Cola’ berisikan antara lain :
- Soft drinks menguras air dalam tubuh kita. Seperti halnya diuretik yang bukannya memberikan air untuk tubuh kita, tapi malah menghabiskannya.
- Pemrosesan gula tingkat tinggi dalam soft drinks memerlukan sejumlah besar air dalam tubuh kita. Untuk mengganti air ini, anda harus minum 8-12 gelas air untuk setiap gelas yang anda minum!
- Soft drinks tidak pernah menghilangkan rasa haus anda, karena soft drinks bukanlah air yang diperlukan tubuh anda. Dengan tetap tidak memasok air ke dalam tubuh kita terus menerus akan menyebabkan Dehidrasi Seluler Kronis, sebuah kondisi yang melemahkan tubuh pada tingkat sel. Pada gilirannya akan menyebabkan melemahnya sistem kekebalan dan menimbulkan berbagai penyakit.
- Tingkat kandungan fosfat yang tinggi dalam soft drinks dapat menghancurkan mineral penting dalam tubuh. Soft drinks terbuat dari air murni yang juga dapat menghancurkan mineral penting dalam tubuh. Kekurangan mineral yang serius dapat menyebabkan Penyakit Jantung (kekurangan magnesium), Osteoporosis (kekurangan kalsium) dan banyak lagi. Sebagian besar vitamin tidak berfungsi di dalam tubuh tanpa adanya mineral.
- Soft drinks dapat membersihkan karat pada bumper mobil atau benda logam lainnya. Bayangkan apa yang akan terjadi pada fungsi pencernaan dan organ tubuh lainnya.
- Jumlah gula yang tinggi dalam soft drinks menyebabkan pankreas memproduksi insulin dalam jumlah besar, yang mengakibatkan ‘benturan gula’. Kelebihan dan kekurangan gula dan insulin dapat menyebabkan diabetes dan penyakit yang terkait dengan ketidak seimbangan dalam tubuh. Keadaan ini dapat mengganggu pertumbuhan anak yang dapat menyebabkan masalah kesehatan seumur hidup.
- Soft drinks sangat mempengaruhi pencernaan. Kafein dan jumlah gula yang tinggi dapat menghentikan proses pencernaan. Ini artinya tubuh tidak menyerap gizi sama sekali dari makanan yang baru dimakan, bahkan yang sudah dimakan beberapa jam sebelumnya. Bila dimakan bersamaan dengan kentang goreng akan memakan waktu berminggu-minggu untuk dicerna. Jadi tidak ada yang lebih buruk dari pada soft drinks yang bisa kita simpan di dalam tubuh
- Soft drinks diet mengandung aspartame, yang dihubungkan dengan depresi, insomnia, penyakit saraf dan banyak penyakit lainnya. FDA telah menerima lebih dari 10.000 keluhan konsumen terhadap aspartame, 80% diantaranya mengeluhkan zat aditif pada makanan.
- Soft drinks bersifat sangat asam, sehingga dapat menembus garis sambung pada kaleng aluminium dan dapat melumerkan kaleng tersebut bila disimpan terlalu lama. Pasien penderita alzheimer yang telah diotopsi semuanya memiliki kadar aluminium yang sangat tinggi dalam otaknya. Logam berat dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan syaraf dan penyakit lainnya.
- Soft drinks bersifat sangat asam: Tubuh manusia secara alamiah memliki pH 7,0. Soft drinks memiliki pH 2,5 artinya anda memasukkan sesuatu yang ratusan ribu kali lebih asam ke dalam tubuh anda! Penyakit berkembang dalam lingkungan asam. Soft drinks dan makanan asam lainnya mengendapkan limbah asam dalam tubuh yang menumpuk dalam sendi dan disekitar organ tubuh. Contohnya, pH tobuh penderita kanker atau radang sendi selalu rendah. Semakin parah penyakit seseorang semakin rendah pH tubuhnya.
- Jangan pernah berfikir untuk meneguk soft drinks ketika anda demam, flu atau lainnya. Soft drinks akan mempersulit tubuh melawan penyakit tersebut.
Namun di kalangan ‘pemasar profesional’ dan ‘praktisi’ ini merupakan hal yang ‘sangat biasa’, bahkan dapat dinggap sebagai sebuah kasus yang ‘sangat wajar’ di dunia pemasaran dan ‘dapat dimengrti’ terjadi untuk sebuah produk ‘Market Leader’. Akan tetapi untuk sebuah pembelajaran, harus saya akui bahwa terlepas dari apapun ‘fenomena ini’ cukup menarik. Perkenankan saya dengan segala keterbatasan pengetahuan dan pengalaman mencoba mengkaji hal ini dari beberapa sudut pandang, tentunya dengan harapan semoga kita semua, terutama ‘generasi muda pemasar’ dapat belajar memahami fenomena ini dan ‘belajar dari pengalaman’ tanpa sedikitpun bermaksud membela merek tersebut, karena tanpa tulisan ini pun saya yakin bahwa Coca Cola itu adalah Excelent of Brand
Jika kita mau ‘meluangkan ingatan’ kemasa lalu dan menoleh sedikit ke belakang, maka kasus ini bukanlah kasus pertama terjadi di dunia pemasaran.
Ada beberapa kasus fenomenal yang bahkan melebihi apa yang di alami oleh ‘Soft Drink, terutama Coca Cola’ saat ini. Sengaja saya garis bawahi, karena sejarah pemasaran mungkin telah mencatat bahwa pegeseran, materi ‘black campaign’ memang terjadi. Pada awalnya ketika pertama kali dipublikasikan, materi tersebut diberi judul ’11 alasan mengapa tidak minum Soft Drink’ yang memang pada saat itu sangat merajai pasar dengan market share lebih dari 80%. Seiring dengan berjalannya waktu, materi itu kemudian ber-replikasi menjadi ’11 alasan mengapa tidak minum Coca Cola’ yang tak satupun orang meragukan keperkasaannya ‘merajai pasar’ soft drink hingga saat ini, dan menjadi barometer keberhasilan sebuah produk minuman di seantero jagad. Jadi sangat tidak berlebihan jika saya pun harus mengakui merek Coca Cola sebagai ‘Produk Market Leader Sejati’.
Kasus-kasus ini juga dialami oleh beberapa produk ‘market leader’ farmasi, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu pada produk-produk Tempo Group, walau dalam tataran yang agak berbeda. Pada suatu ketika kita dihebohkan oleh edaran, yang disebar berupa selebaran maupuin di milist yang ‘seolah-olah’ dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) tentang produk obat-obatan yang ‘haram’ dikonsumsi karena mengandung zat-zat yang dianggap berbahaya dan dilarang penggunaannya. Tindakan ini bisa dikatakan ‘pengecut’ dan ‘premanisme pemasaran’ karena tidak dilakukan dengan elegan dan menggunakan jalur-jalur resmi di media massa , baik media cetak maupun elektronika. Namun dengan sangat mudah dan cepat isu tersebut dapat diklarifikasi dengan cepat, dan hebatnya klarifikasi itu tidak dilakukan oleh pihak ‘Korban’ Tempo Group sebagai distributor/pemegang lisensi produk, tetapi disampaikan langsung oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Badan POM. Dapat di duga bahwa ‘kemunginan besar’ bahkan sangat mungkin hal ini dilakukan oleh kompetitor terdekat dan dapat di kategorikan sebagai ‘Produk Market Follower’. Sehingga merupakan gambaran keputus-asaan ‘market follower’ menghadapi ‘market leader’ berkenaan dengan hal paling krusial dalam pemasaran, yaitu HARGA!
MARKET LEADER VS MARKET FOLLOWER
Posisi sebagai market leader atau bukan, juga jadi faktor yang menentukan kapan saat yang tepat untuk menentukan harga. Market leader punya keleluasaan untuk bertindak sebagai inisiator menaikkan harga di pasar, karena posisi yang solid dan Konsumen tidak dengan begitu saja beralih akibat adanya kenaikan harga, dengan catatan masih pada tingkat yang lumrah. Jika sebuah produk termasuk kategori market follower, maka sesungguhnya yang bisa dilakukan hanyalah ‘wait and see’ terhadap action yang dilakukan oleh leader. Akan berdampak serius apabila follower menaikkan harga, sedangkan ternyata pesaing utama tetap mempertahankan harga. Situasi ini justru akan mempersulit posisi di pasar. Dan tidak dapat diabaikan bahwa benchmark sebuah produk adalah market leader. Padahal secara biaya, kemungkinan biaya produksi per kapita produk follower mungkin lebih besar dari pada produk leader. Dan salah satu dari ’tindakan keliru’ yang bisa dilakukan adalah men-develop sebuah materi ’black campaign’ dan di komunikasikan ’secara tidak elegan’ pada konsumen ’produk market leader’
Kembali ke bahasan awal, Seberapa jauh kebenaran isu Coca Cola tersebut, ditinjau dari sisi keilmuan? Apakah ’Black campaign’ itu merupakan tindakan efektif? lalu seberapa besar pengaruh ’Black Campaign’ itu terhadap penjualan Coca Cola? dan apa yang sesungguhnya terjadi? Apakah ini merupakan satu-satunya ’fenomena Black Campaign’? Sejauh ini, apa yang bisa kita petik?
Di hampir semua negara termasuk Indonesia berlaku ketentuan yang sangat ketat untuk sebuah produk yang akan memasuki pasar. Berbagai produr ketat harus dilalui untuk memperoleh nomor registrasi dari Badan Pemeriksa Obat dan makanan (BPOM-RI) sebelum produk tersebut diedarkan di pasar. Jadi dapat dikatakan, jika sebuah produk dinyatakan lolos dan mendapatkan nomor registrasi, maka produk tersebut dapat dinyatakan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat dan pemerintah menjamin keamanan produk tersebut. Untuk produk dalam negeri yang lolos uji diberi nomor registrasi yang dapat kita lihat pada kemasan produk BPOM MD 01234567890 sedangkan untuk produk impor BPOM RI ML 09876543210 Dalam arti yang dipersempit bolehlah jika pemerintah selalu ingatkan... Sebelum anda memutuskan untuk mengkonsumsi sebuah produk, yakinkan produk itu telah memiliki MD atau ML dengan mengabaikan ingredien/komposisi. Pemerintah sangat menyadari bahwa tidak semua konsumen mengerti dengan ingredien/komposisi sebuah produk. Hal ini tentunya dapat dipahami karena tidak semua konsumen adalah ahli gizi dan memeiliki pengetahuan tentang pangan. Dan untuk memberi kenyamanan bagi masyarakat maka MD/ML adalah sebuah jaminan atas keamanan produk untuk dikonsumsi, dan lebih dari itu MD/ML juga merupakan representasi bahwa semua ’khasiat’ yang tercantum dalam sebuah kemasan sudah sesuai dan dapat dipertanggung jawabkan. Kalaupun sebuah produk itu mengandung pemanis buatan, pengawet, bahkan zat additif lainnya, maka dengan adanya MD/ML pada produk mengindikasikan bahwa kadar zat-zat tersebut berada pada batas tolerasi yang aman untuk dikonsumsi, dan hal ini dipantau dengan ketat oleh pemerintah dengan melakukan uji terhadap sampel yang beredar secara kontinyu di pasar dan melakukan pengujian lab secara berkesinambungan sehingga bener-benar aman dikonsumsi. Demikian pun dengan Coca Cola, dengan MD pada kemasan yang tertera, maka hal ini mengindikasikan sebuah jaminan bahwa produk tersebut sangat aman dikonsuimsi dan sekali lagi, DIJAMIN OLEH PEMERINTAH!
Lalu apalagi? Apakah kita masih berfikir bahwa Coca Cola seperti yang dinyatakan oleh isu tersebut?. Sebagai merek yang sudah dikonsumsi dan beredar sepanjang tiga zaman, menemani dan menjadi sahabat kehidupan masyarakat dunia dari generasi ke generasi, berinovasi sebagai produk yang cerdas sesuai dengan dinamika perubahan lingkungan, maka sungguh ’sebuah berita’ yang sangat sulit diterima kebenarannya, karena sepanjang produk itu itu, tiga generasi paling tidak mengakui ’eksistensinya’ sebagai produk yang customer centric.
Rky Refrinal Patiradjawane
E : refrinal@research-indonesia.com
YM : refrinal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar