Oleh: Andre Vincent Wenas
“Government that limit corruption and put their windfalls to good use rarely
face unrest. Unfortunately, oil production is now rising precisely in those
countries where leadership is often in short supply.” (Prof. Michael R. Ross,
2008).
***
Adalah William Wilberforce – anggota parlemen/politikus/negarawan, pewaris usaha besar dari kakek dan ayahnya – hidupnya didedikasikan bagi perjuangan abolisi perbudakan di Inggris, hidup di tahun 1759 – 1833, yang bahkan oleh lawan politiknya (seperti diceriterakan dalam film Amazing Grace) dikomentari dengan noblesse-oblige. Pertanyaannya, masih adakah
sifat/panggilan/tanggungjawab agung (noblesse-oblige) di antara para petinggi
dan professional kita?
Tatkala teori Thomas Malthus (An Essay on the Principle of Population, 1798)
menjadi paradigma ekonomi, di mana keyakinannya adalah: populasi manusia secara alamiah akan bertumbuh mengalahkan kapasitas tanah yang terbatas untuk menghasilkan makanan (baca laporan The Economist, May 17th, 2008, Malthus, the false prophet), maka perilaku yang muncul bisa jadi homo homini lupus gaya Leviathan-nya Thomas Hobbes. Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, noblesse-oblige adalah cuma lamunan di siang bolong. Walaupun memang perlu diakui juga bahwa tulisan The Economist itu sangat first-world centric (kurang seimbang dalam perspektif dunia-ketiga, negara terbelakang). Mentalitas melimpahruah adalah prasyarat noblesse-oblige (sayangnya sering menjadi ‘the road less travelled), sedangkan scarcity-mentality adalah jalan tol menuju homo homini lupus.
***
Adalah kebutuhan dasar manusia untuk meninggalkan legacy yang agung selama hidupnya di dunia. Pepatah kita mengajarkan, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama (baca: legacy). Bahkan sesungguhnya perilaku pengaturan rumah-tangganya (oikos nomos) manusia terletak dalam konteks relasi sosialnya. Penemuan yang mengagumkan dari penelitian sejarah dan antropologis menyebutkan, “... that man’s economy, as a rule, is submerged in his social relationship. He does not act so as to safeguard his individual interest in the possession of material goods; he acts so as to safeguard his social standing, his social claims, his social assets.
He values material goods only in so far as they serve this end.” (Karl Polanyi,
The Great Transformation, 1944). Sehingga masyarakat yang kehilangan
perbendaharaan kata-kata seperti legacy (reputasi, nama baik), noblesse-oblige
(tanggungjawab moral/agung), adalah cerminan masyarakat koruptif
par-excellence.
***
Bersama kita (bisa) bingung, mengapa sebagai pemilik tambang sumberdaya alam dan produsen minyak tatkala harga BBM dunia naik, rakyatnya malah (tambah) sengsara untuk menanggung beban (dari loss opportunity) pemerintah? Baru-baru ini Michael L. Ross, mahaguru dari University of California menulis analisanya di jurnal Foreign Affairs (Blood Barrels, Why Oil Wealth Fuels Conflicts, May/June 2008), bahwa sebagian besar dunia sudah lebih damai dibanding 15 tahun yang lalu, kecuali di negara-negara kaya minyak. Rejeki minyak kerap malah ikut membocorkan kekuatan dan potensi perekonomian negara, menjadi sumber keresahan sosial dan kerusuhan etnis-suku terutama di daerah tambang minyak itu berada. Sepertinya ada kutuk (the oil curse), semakin kaya dengan sumber minyak, malah semakin tidak kreatif dan melemahkan daya juang. Prof.Ross mengingatkan, “…problem with the current standards is that even though exporting governments are pressured to disclose the revenue they collect, they are not expected to reveal how they spend the money. Oil revenues often vanish into the nooks of state-owned oil companies or into governments’ off-budget accounts.” Contoh yang diberikan adalah Angola, seperti yang dilaporkan IMF bahwa penerimaan minyak antara tahun 1997-2002 paling tidak sebesar US$4.2 Milyard tidak tercatat (dan tidak bisa dipertanggunjawabkan). Ironisnya, Angola adalah negara yang tingkat kematian bayi (infant mortality rate) terbesar kelima di dunia.
***
Para pelaku pasar (pengusaha dan profesional) serta para pengatur perilaku
pasar (regulator) bukanlah aksidentalia yang lewat begitu saja dalam momen
sejarah Indonesia kontemporer. Masing-masing harus ambil bagian dalam perannya masing-masing. Ataukah hidup para petinggi dan kita sebagai professional tinggal seperti yang digambarkan George Orwell dalam bagian akhir novel Animal Farm, “…their life, so far as they knew, was as it had always been. They were generally hungry, they slept on straw, they drank from the pool…” Tragis dan membosankan.
-------------------------------------------------
(artikel ini sebelumnya telah dikontribusikan ke Majalah MARKETING sebelum dikirim ke milis ini oleh Kontributornya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar