KEUNGGULAN BERSAING BANGSA
DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI BISNIS
Oleh: Ratmaya Urip*)
DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI BISNIS
Oleh: Ratmaya Urip*)
ABSTRAK
Indonesia dikenal memiliki keunggulan komparatif (“comparative advantage”) berupa sumber daya alam yang melimpah yang terkandung di bumi, laut dan udaranya, dengan kekayaan tanah yang subur yang membentang bak zamrud yang membentang di khatulistiwa, subur makmur, “gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharjo”, “bukan lautan hanya kolam susu”, dan lain sebagainya, namun kesejahteraan yang didambakan seluruh rakyatnya tak juga kunjung tiba.
Selepas dari penjajahan politik, sejak jaman kemerdekaan, khususnya setelah era orde baru, bahkan era orde reformasi, bangsa Indonesia harus kembali dalam cengkeraman penjajah, meski dalam bentuk yang baru, yaitu penjajahan ekonomi. Setelah lebih dari 65 tahun kemerdekaan, modal-modal asing menguasai hampir seluruh lini ekonomi bangsa. Itu semua karena bangsa
Ketergantungan yang tinggi dari pihak luar dan ketidakberdayaan yang ”acute”, dengan daya saing yang lemah, menyebabkan kekayaan bangsa yang jelas-jelas ada dan nyata, tidak dapat dimanfaatkan oleh bangsa untuk menyejahterakan dan memakmurkan dirinya sendiri. Pasti ada yang salah dalam mengelolanya. Disadari atau tidak, salah urus (“miss-management”) nampaknya sudah terjadi sejak awal berdirinya bangsa. Hal tersebut tentu saja tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Bangsa ini nampaknya tidak memiliki keunggulan kompetitif (“competitive advantage”) sehingga keunggulan komparatif (“comparative advantage”) yang dimilikinya secara melimpah, ternyata tidak ada artinya bagi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Belum lagi jika kita bicara tentang inferioritas bangsa yang accut, jauh dari semangat superioritas, esensi bagi tercapainya semangat untuk pencapaian keunggulan bersaing.
Pencapaian Keunggulan Bersaing Bangsa dalam Perspektif Antropologi Bisnis, dimana itu merupakan hal yang baru dan tidak ada yang menyentuhnya sama sekali sampai dengan saat ini, merupakan jawaban yang paling baru untuk menjawabnya.
Kata kunci : Inferioritas, kesejahteraan (“welfare”) dan kemakmuran
(“prosperity”), keunggulan komparatif (“comparative advantage”), keunggulan kompetitif (“competitive advantage”), salah urus (“miss-management”),
---------------------------------------------------------
*) Ratmaya Urip, adalah pemerhati, pelaku serta konsultan untuk berbagai aktifitas stratejik, manajerial, taktikal, dan operasional di bisnis industri & jasa bidang manufaktur, konstruksi dan pertambangan. Saat ini adalah Wakil Ketua Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia) Cabang Surabaya, Pembina & Pendiri Quality Network Indonesia Chapter Jawa Timur, dan Ketua Ikatan Ahli Pracetak-Prategang Indonesia Cabang Jatim. Selain itu adalah Host dan co-Producer di Radio Suara
Notes:
1.Tulisan ini berwujud makalah
2.Materi ini sudah pernah disampaikan di
= Program Magister Manajemen Universitas Airlangga (MM-Unair),
= Program Magister Manajemen Teknologi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),
= Jurusan Antropologi FISIP Universitas Airlangga,
= Forum “Human Capital Summit” Telkom Group, Seluruh Indonesia di Novotel Hotel,
3.Materi ini juga dikirimkan ke Jurnal ilmiah salah satu penerbitan Perguruan Tinggi di Surabaya, serta di kirim pula ke milis Asosiasi Manajemen
PENDAHULUAN
Kajian atas kemampuan atau daya saing bangsa (national competitiveness) yang merupakan bagian dari nation & character building, jarang sekali yang membahas dan meninjaunya dari perspektif antropologi ekonomi (economic anthropology) atau lebih spesifik penulis lebih suka menyebutnya sebagai antropologi bisnis (business anthropology)
World Competitiveness Index 2008 yang surveinya dilakukan oleh International Institute for Management Development (IIMD) menempatkan kemampuan bersaing bangsa Indonesia yang diartikulasikan sebagai Indonesian Competitiveness Index 2008 pada level 51 dari 55 negara yang disurvei. Level ini adalah peningkatan dari tahun sebelumnya yang masih berada di level 54.
Peningkatan peringkat ini merupakan pertama kali setelah sempat mengalami penurunan selama
Kemudian terjadi lompatan peringkat dari tahun 2009-2010 yang menduduki level 54 menjadi level 44 pada periode tahun 2010-2011. Ini patut dicermati sebagai bagian atau kajian yang selaras dengan topik tulisan ini, atau lebih tepatnya kajian dalam perspektif antropologi bisnis. Mengapa demikian, karena lompatan prestasi tersebut diperoleh bukan karena prestasi yang dicapai secara murni, namun karena negara-negara lain yang sebelumnya berperingkat di atas
Faktor yang dinilai dalam survei tahunan itu mencakup pertumbuhan ekonomi, efisiensi bisnis, efisiensi birokrasi, dan infrastruktur.
Karena itulah sangat wajar jika tingkat kesejahteraan atau kemakmuran masih belum juga sesuai dengan harapan semua pihak, yang tercermin dari pencapaian Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang sejak tahun 2000 sampai sekarang masih berkutat di sekitar peringkat 110 (sekitar 0,710 point), yang berada di bawah negara-negara Asean lainnya. Sementara pada tahun 2009 peringkat HDI Indonesia tetap bertahan di ranking 111.
Jutaan warga negara
Yang menyedihkan, suara 105,3 juta jiwa itu tidak terartikulasikan di ruang publik, terutama di media
Pada akhirnya, meminjam perspektip Joseph E. Stiglitz (peraih Nobel Ekonomi), kemiskinan di Indonesia, hanya bisa dipecahkan jika ada kekompakan dan kesadaran bersama antara negara, dunia usaha dan civil society (masyarakat madani) untuk mengatasinya secara serius, terarah dan efektif, meskipun sejatinya masalah kemiskinan merupakan tanggung jawab negara sepenuhnya.
Korelasi antara pencapaian Human Development Index dengan tingkat kemakmuran suatu bangsa sudah lama diketahui.
Seperti diketahui, kemiskinan kini memperoleh pemaknaan baru, bukan sekadar pengertian konvensional, yakni pendapatan rendah.
Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999) mendefinisikan kemiskinan sebagai capability deprivation, yang jauh lebih fundamental daripada sekadar pendapatan rendah yang bersifat instrumental.
Dalam hal ini, capability deprivation ditandai oleh ketiadaan akses bagi warga negara untuk memenuhi hak-hak dasarnya, seperti memperoleh layanan pendidikan dan kesehatan, mendapat akses ke sumber daya finansial dan kegiatan ekonomi produktif, bahkan kebebasan dan partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik yang berkaitan dengan urusan dan kepentingan umum. Jika warga negara tidak memperoleh hak-hak dasar itu, mereka akan mengalami social exclusion yang menjadi sumber utama kemiskinan kolektif.
Perjuangan menghapus kemiskinan sejatinya merupakan ikhtiar untuk meningkatkan human capability. Itu adalah satu usaha membuka jalan bagi setiap orang atau kelompok agar mampu memberdayakan diri sendiri dengan cara menghilangkan berbagai kendala dan hambatan.
Menurut beberapa literatur atau textbook, human capability atau human capacity mencakup human ability (skill & knowledge) dan human moral atau human integrity/credibility/accountability (attitude & behavior), yang menurut penulis masih belum lengkap. Sementara itu menurut penulis, di samping kajian, tinjauan, dan apresiasi menurut literatur tersebut di atas, juga wajib dibarengi dengan kajian, tinjauan dan apresiasi human capability yang disebut soft skill, yang mencakup dan merupakan integrasi dari komponen-komponen yang penulis sebut sebagai arts, yaitu human creativity (ability of human to creat inovation & invention), human acceptability, human adabtability, human flexibility, dan human durability, yang penulis dapat katakan sebagai the essentials of talent potential atau truly human culture.
Human capability yang dikupas dalam perspektip Human ability (skill & knowledge), dan human moral (skill & knowledge) terutama dalam Human Capital Management (d/h Human Resource Management) sudah banyak para ahli yang mengupas dan mengapresiasikannya, meskipun menurut penulis belum lengkap, komprehensif dan terintegrasi memberikan solusi bagi masalah yang dihadapi oleh manusia Indonesia sejak dulu sampai saat ini. Sehingga kemakmuran bangsa belum juga dapat tergapai tangan. Itu terjadi karena apresiasinya belum lengkap, komprehensif dan terintegrasi, dan lebih banyak bersifat mikro atau teknis operasional, belum menyentuh yang makro atau fundamental.
Maka menurut penulis, human capability yang di dalamnya juga terkandung truly human culture, yang merupakan integrasi dari human creativity (ability of human to creat inovation & invention), human credibility, human acceptability, dan lain-lain seperti tersebut di atas, yang dikaji dan diapresiasi dalam perspektif antropologi, khususnya antropologi ekonomi atau antropologi bisnis adalah jawaban yang lebih tepat untuk menjawab masalah kemiskinan yang bersumber dari ketidakmampuan bersaing bangsa. Ketidakmampuan bersaing bangsa yang acute, yang bermuara pada ketidakmakmuran atau ketidaksejahteraan bangsa, pada gilirannya nanti akan menyebabkan konflik internal dan keterpurukan harga diri bangsa, yang saat ini sudah diawali dengan konflik-konflik horisontal maupun vertikal, serta pelecehan atas bangsa Indonesia di negara jiran, Malaysia, dengan sebutan Indon untuk para TKI dan komponen bangsa yang lain yang mengunjungi negara tersebut.
PRASYARAT PENCAPAIAN KEUNGGULAN BERSAING
Sebagai prasyarat, untuk meningkatkan kemampuan bersaing, khususnya dalam dunia bisnis, supaya kesejahteraan dan atau kemakmuran bangsa dapat segera terwujud, diperlukan tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur yang bersumber dari modal dan biaya yang bersifat fisik (physical infrastructure), namun juga infrastruktur sosial dan budaya (social & culture infrastructure), yang tentu saja harus ditambang dengan modal sosial dan budaya (social & culture capital) dan biaya sosial dan budaya (social & culture cost).
Membangun infrastruktur sosial dan budaya (social & culture infrastructure), berarti membangun tatanan dan pranata sosial & budaya serta para pengelola pembangunan dari aspek kemanusiaannya, humaniora, atau aspek yang harus dipenuhi dari dirinya sendiri, atau dari subyeknya, supaya benar-benar siap untuk membangun dan memenangkan persaingan.
Competitive advantage tidak cukup hanya diperoleh dari keunggulan-keunggulan yang bersifat fisik, namun juga harus dibarengi dengan keunggulan-keunggulan sikap dan perilaku manusianya secara utuh.
Mengupas sikap, perilaku, atau bahkan budaya manusia Indonesia secara individu maupun kelompok yang sesuai atau cocok untuk memenangkan persaingan, erat kaitannya dengan ilmu antropologi terapan, dalam hal ini Ilmu Antropologi Ekonomi atau Ilmu Antropologi Bisnis. Kajian ini khusus memberi solusi bagaimana cara meningkatkan kemampuan bersaing bangsa (competitive ability of nation) dari sudut pandang antropologi, khususnya antropologi ekonomi atau antropologi bisnis.
Salah satu contoh fundamental yang masih erat melekat dalam berperilaku atau berbangsa yang sangat kontraproduktif bagi tercapainya pencapaian keunggulan bersaing adalah adanya inferioritas yang accut yang selalu menyelimuti setiap pengambilan keputusan dalam bidang apapun, atau lebih tepatnya tidak adanya superioritas dalam diri bangsa ini.
Inferioritas bangsa, diakui atau tidak sudah bertengger secara masif di kehidupan berbangsa. Salah satu contoh kecil adalah seringnya kita mendengar atau bahkan melakukan pilihan bahwa produk asing lebih berkualitas daripada produk
Contoh-contoh lain masih banyak, yang beberapa di antaranya dapat disimak dari uraian di bawah ini.
KAJIAN ANTROPOLOGI BISNIS
Kebudayaan sebagai sebuah konsep yang menyatu dalam kehidupan manusia selalu berhubungan dengan kebutuhan hidupnya. Kebudayaan yang merupakan seperangkat sistem pengetahuan atau sistem gagasan yang berfungsi menjadi blue print bagi sikap dan perilaku manusia sebagai anggota atau warga dari kesatuan sosialnya, tumbuh, berkembang, dan berubah sesuai dengan kebutuhan hidup manusia.
Antropologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Antropologi adalah istilah bahasa Yunani yang berasal dari kata anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos memiliki arti cerita atau kata. Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan perilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakatnya sendiri.
Antropologi ekonomi atau antropologi bisnis adalah antropologi terapan yang lebih menekankan pada kajian antropologis yang berkaitan dengan manusia dalam upayanya untuk menggali dan mengelola aktifitas ekonomi-bisnisnya, dalam rangka kelangsungan hidupnya secara berkesinambungan.
Dari pengamatan penulis, terdapat 2 (dua) kutub utama yang merupakan pilar penting dalam memenangkan persaingan atau memperoleh keunggulan bersaing, khususnya persaingan bisnis, jika dikaitkan dengan antropologi bisnis, yaitu :
1. Keunggulan bersaing berbasis pada keinginan untuk tetap atau selalu dapat hidup (survival-based competitiveness), dan
2. Keunggulan bersaing berbasis pada kegairahan yang menggebu, atau semangat besar untuk selalu menjadi pemimpin, menjadi nomor 1 (satu) atau menjadi juara atau memperoleh kekuasaan tertinggi (hegemony-based competitiveness).
Gambar 1 : Model Keunggulan Bersaing (Maaf gambar tidak dapat ditampilkan)
Keunggulan Bersaing Berbasis Survival (Survival-based Competitiveness)
Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, dan Macan-macan Asia, telah lama dikenal sebagai basis kekuatan ekonomi dan perdagangan dunia, yang memberikan kontribusi sangat besar bagi pendapatan global secara agregat (global GDP). Sementara
Kenapa Amerika Serikat, Jepang, Eropa Barat, dan
1. Model Amerika Serikat (Periode Abad 16 s/d Tengah Abad 20)
Orang sering lupa, bahwa Amerika Serikat dipenuhi dan dibentuk oleh imigran-imigran Irish, Jews, Scottish, Jerman, Bavarian, Sicilian, Spanish-Basque, yang di tempat asalnya dulu, sangat menderita secara ekonomi. Irish terpaksa pergi dari
Mereka adalah type pekerja cerdas (baca : bukan pekerja keras) yang jauh dari rasa malas, memiliki entrepreneurship yang tinggi, hemat, cermat, dengan human capability yang tinggi. Mereka juga cukup sportif dalam menyikapi kekalahan, sehingga setiap konfliks sering berakhir dengan happy ending setelah melalui proses pemahaman dan pendalaman dari esensi konfliknya. Spirit of Diaspora, apakah itu Irish Diaspora, German Diaspora, Spanish Diaspora, Italian Diaspora, dan sejumlah diaspora lainnya membawa etnis-etnis tersebut menjadi lebih bersatu untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan di tempat asalnya. Semangat untuk dapat tetap survive dalam kondisi serba kekurangan, dalam perjalanan waktu kemudian bermetamorfosa menjadi semangat untuk hidup lebih berkecukupan, yang kemudian merujuk teori Maslow, mereka akhirnya menggapai level tertinggi dalam hierarki Maslow.
Beruntunglah Amerika Serikat menerima imigran-imigran miskin namun mempunyai semangat hidup tinggi seperti imigran-imigran Jerman, Irish, English, Spanish, Italian, Jews, dan lain-lain, yang hampir semuanya memiliki etos kerja yang tinggi dengan bakat dan jiwa entrepreneurship bawaan (potential entrepreneurship) atau yang sudah mendarah daging.
Khusus untuk Jews dan Irish, berikut ini akan dikupas lebih dalam secara antropologis kekuatan bersaingnya, mengingat dua etnis inilah yang nampaknya lebih dominan dalam mewarnai pencapaian kemakmuran Amerika Serikat (yang tidak bermaksud mengabaikan kontribusi etnis-etnis lainnya). Amerika Serikat kebetulan memiliki 2 kutub keunggulan bersaing sekaligus, meski dalam periode yang berbeda.
Keunggulan Bersaing Berbasis Survival (Survival-based Competitiveness) pada periode abad 17 sampai dengan pertengahan abad 20, kemudian dilanjutkan secara estafet dengan pencapaian Keunggulan Bersaing Berbasis Hegemoni (Hegemony-based Competitiveness), pada periode pertengahan abad 20 sampai awal abad 21 di milenium ketiga ini, atau setelah kondisi survival bangsa secara agregat dapat terlewati.
Orang Yahudi (Jews).
Terlepas dari carut marut permasalahan politik dan agama yang mewarnai dunia akibat sikap dan perilaku negatip Jews atau Yahudi di seluruh dunia, penulis akan membahas etnis ini dari kaca mata antropologi bisnis.
Dr. Mahathir Muhammad dipandang sebagai tokoh anti-Semit, setelah tudingan kerasnya dalam KTT Organisasi Islam ke-10, 16 Oktober 2003 di
Entitas Yahudi tak pernah lekang dari sejarah hitam. Semenjak dibebaskan oleh Nabi Musa dari penindasan Firaun, Bani Israil, sebagai kabilah basis Yahudi, seringkali menjadi sumber masalah. Nuansa hitam itu bukan sekedar stereotip, tapi prototip bagi Yahudi. Prototip hitam Yahudi itu menjadikan mereka sebagai bangsa tertindas selama ribuan tahun, mulai kekaisaran Romawi sampai saat ini, mulai Kaisar Titus, Hitler, sampai Mahathir Muhammad (Sakri, 2008).
Ketertindasan tersebut justru telah membawa mereka untuk menjadi bangsa yang survive, bahkan kemudian secara evolusioner memegang hegemoni di berbagai aktifitas bisnis dunia.
Prestasi besar mereka diawali dengan inovasi keuangan yang kemudian dikenal sebagai riba (bunga) dalam aktifitas bisnis beberapa abad yang lalu. Selanjutnya disusul dengan penemuan sistem perbankan dan pencetus kapitalisme, yang kemudian menggurita dalam berbagai aktifitas bisnis lainnya, maupun aktifitas di bidang ilmu pengetahuan & teknologi, hiburan, media dan lain-lain. Hal itu menurut Mahathir Muhammad, karena mereka tidak pernah berhenti untuk belajar dan berpikir. Mereka tidak sekedar pekerja keras tapi lebih sebagai pekerja cerdas.
Di Amerika Serikat, meskipun pemukim Yahudi hanya berjumlah 7 juta jiwa atau sekitar 2,5% penduduk Amerika Serikat, ternyata 45% orang kaya Amerika Serikat, 40% Professor dari Universitas-universitas terkemuka di Amerika Serikat, serta 30% peraih Nobel Amerika Serikat, berdarah Yahudi.
Sebagai salah satu bukti bahwa mereka tidak pernah berhenti untuk berpikir, yang merepresentasikan keberhasilan mereka dalam berbisnis maupun membuktikan tingginya apresiasi mereka terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, invensi dan inovasi, maka secara global dapat dilihat prestasi etnis Yahudi dalam memenangkan Hadiah Nobel sepanjang masa sebagai berikut :
Bidang Kimia : 28 hadiah (19% dari total dunia, 27% dari total AS)
Bidang Ekonomi : 22 hadiah (39% dari total dunia, 53% dari total AS)
Bidang Kesusastraan : 13 hadiah (13% dari total dunia, 27% dari total AS)
Bidang Kedokteran : 52 hadiah (28% dari total dunia, 42% dari total AS)
Bidang Perdamaian : 9 hadiah (10% dari total dunia, 11% dari total AS)
Bidang Fisika : 46 hadiah (26% dari total dunia , 38% dari total AS)
Di bidang Sains dan Teknologi, popularitas telah ditunjukkan oleh Albert Einstein, Karl Marx, Lenin, Sigmund Freud, dan lain-lain.
Faisal M. Sakri (2008) dan berbagai sumber menyebutkan data keberhasilan orang-orang Yahudi dalam merajai dunia seperti berikut ini :
Teknologi Informasi
Orang-orang Yahudi menguasai mayoritas saham dari situs-situs raksasa AOL, Yahoo, MSN, Microsoft, Apple Computer (dengan fenomena iPad, dll), AT & T dan WB. Hal yang sangat fenomenal yang mencengangkan adalah kesuksesan luar biasa dari Sergey Brin dan Larry Page, pendiri dan pemilik Google Inc, yang hanya dalam waktu 10 tahun berhasil menempati 10 besar orang terkaya di Amerika Serikat. Juga prestasi Mark Zuckerberg dengan fenomena Facebook-nya, yang mendapatkan kesuksesan luar biasa hanya dalam waktu 4 tahun. Fenomena Appel dengan penjualan perdana 3 juta unit iPad pada akhir-akhir ini juga sangat mencengangkan.
Di samping itu juga dikenal sosok Michael Rubens Blooberg, yang juga walikota
Media
Orang Yahudi menguasai saham-saham stasiun-stasiun televisi sejak dekade 1950-an. Mereka mendirikan NBC dan CBS. Kemudian juga menguasai CNN, NBC, CBS dan ABC.
Perlu dicatat juga keberhasilan Rupert Murdoch dengan News Corporation-nya yang membawahi 20th Century Fox, Star TV, National Geographic Channel, dan lain-lain. Di samping itu Murdoch juga menguasai media cetak dunia, The New York Times, The Wall Street Journal, The Washington Post, The Times, The Mirror, The Sun, Daily Telegraph, dan lain-lain, serta majalah-majalah Time, Newsweek, dan US News & World Report.
Sepakbola
Roman Abramovich menguasai
Investasi dan Valuta Asing
George Soros mendominasi bisnis ini
Minyak Bumi
Orang-orang Yahudi membeli sumber-sumber minyak, dan membentuk 7 perusahaan minyak terbesar di dunia, Shell, Mobil, Texaco, Exxon, BP, Caltex, dan Amco.
Lembaga Ekonomi Global
Yahudi menguasai sistem moneter internasional. Mereka menguasai Wallstreet. Dalam bisnis valuta asing, 9 di antara 10 orang broker adalah orang-orang Yahudi
Dalam ekonomi global, mereka menguasai IMF, World Bank, dan WTO.
Pakaian dan Kosmetika
Mereka memiliki Levi’s, Marks & Spencer, dan Revlon
Makanan dan Minuman
Yahudi menguasai Coca Cola, McDonald’s dan Starbucks.
Industri Hiburan
Top bisnis film dan hiburan dikuasai oleh orang-orang Yahudi, seperti Fox Company, Golden Company, Metro Company, Warner Bros,
Orang Irlandia (Irish)
Tidak seperti orang Yahudi yang termasuk golongan minoritas di Amerika Serikat, populasi orang Irlandia (Irish) atau lebih dikenal sebagai Gael-Mheiriceánach (Irish American) menduduki peringkat 2 di Amerika Serikat dengan populasi sejumlah 36 juta (12%), setelah etnis Jerman di peringkat pertama dengan populasi sejumlah 51 juta (17,1%). Catatan:
Irish memiliki stereotip antropologis yang mirip dengan Yahudi (Jews). Hanya Irish lebih mendominasi pusat-pusat kekuasaan (politik), yang terbukti dengan banyaknya etnis Irish yang menduduki jabatan presiden Amerika Serikat atau sekitar 50% dari seluruh Presiden Amerika Serikat, jauh di atas orang Jerman yang hanya menempatkan 2 orang Jerman (0,05%) sebagai Presiden. Popularitas Presiden Amerika Serikat dari etnis Irish, tidak perlu diragukan lagi, seperti John Kennedy, Ronald Reagan, Bill Clinton, Richard Nixon, George Bush, dan lain-lain
Kolaborasi antara orang-orang Yahudi dan orang-orang keturunan Irlandia yang kebetulan memiliki prototip yang mirip inilah yang kemudian bersinergi membentuk Amerika Serikat dengan kemampuan bersaingnya yang tinggi selama ini.
Orang Jerman (German)
Orang Amerika Serikat keturunan Jerman, atau lebih dikenal dengan Deutschamerikaner (German American) adalah etnis dengan populasi terbesar di Amerika Serikat. Kiprah mereka nyaris tidak terdengar, meskipun di tanah asalnya di Eropa, mereka dikenal sebagai bangsa yang agresif, atraktif dan ekspansif. Ingat perannya dalam Perang Dunia I dan II. Perilaku tersebut diproyeksikan di tanah baru Amerika Serikat di bidang-bidang science sampai engineer, architecture, industry, sports, entertainment, theology, government, dan military. Di bidang keuangan dan birokrasi mereka tidak banyak memberikan kontribusinya. Karena bidang keuangan merupakan ranah orang Yahudi, sementara birokrasi merupakan ranah orang Irlandia. Ingat kiprah Rockefeller, Donald Trump, William Boeing, Walter Chrysler di bidang bisnis, Jenderal-Jenderal Baron von Steuben, John Pershing, Dwight Eisenhower, dan Norman Schwarzkopf di bidang militer. Sedangkan Elvis Presley an Leonardo di Caprio di bidang hiburan.
2. Model Jepang
Keunggulan Bersaing Berbasis Survival model Jepang muncul karena kondisi fisik lingkungan yang miskin sumber daya alam, dan selalu didera bencana alam berupa gempa bumi dan topan serta badai salju, yang secara terus menerus menerpanya.
Berbeda dengan Amerika Serikat yang etnisnya sangat heterogen, etnis Jepang lebih homogen. Kekuatan survivalnya terpacu oleh beratnya kondisi lingkungan yang miskin sumber daya alam dan deraan bencana alam, yang kemudian terakumulasi menjadi proteksi, resistensi, dan dorongan untuk tetap survive berujud kekuatan untuk selalu unggul dalam menghadapi tekanan lingkungan, yang kemudian bermuara pada keunggulan untuk selalu memenangkan pertarungan dengan ganasnya kekuatan alam, dan ketiadaan sumber daya. Dari sekedar dorongan untuk mempertahankan hidup, kemudian bermetamorfosa menjadi kearifan, kecerdasan, dan kreatifitas untuk menang, untuk menjadi yang terbaik dalam pertarungannya dengan alam dan kehidupan secara utuh.
3. Model
Setelah berakhirnya Revolusi Kebudayaan, yang kemudian membuka isolasi yang mengungkungnya, potensi kemampuan bersaing yang sebelumnya tersembunyi menjadi muncul ke permukaan.
Keunggulan Bersaing Berbasis Survival Model China muncul karena dorongan untuk dapat hidup di tengah kompetisi antar-mereka karena tekanan jumlah penduduk yang berat sekali bebannya (jumlah penduduk 1,3 miliar jiwa). Tekanan itulah yang menyebabkan adanya Chinese Diaspora, yang menyebar ke berbagai belahan
Gambar 2 : Model Keunggulan Bersaing Berbasis Kesinambungan Hidup
(Maaf, gambar tidak dapat ditampilkan)
Keunggulan Bersaing Berbasis Hegemoni (Hegemony-based Competitiveness)
1. Model Amerika Serikat (Periode Tengah Abad 20 s/d Sekarang).
Keunggulan Bersaing Berbasis Survival yang terjadi di Amerika Serikat berakhir setelah berakhirnya krisis Depresi Besar tahun tiga puluhan. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, kemudian berubah menjadi Keunggulan Bersaing Berbasis Hegemoni. Hal tersebut terjadi karena setelah tidak ada musuh bersama, kekuatan sekutu terpolarisasi menjadi Blok Barat yang diketuai oleh Amerika Serikat yang didukung Inggris, Perancis, Jerman Barat dan kekuatan NATO. Sementara Blok Timur dipimpin oleh Uni Soviet (pada waktu itu), dengan didukung oleh negara-negara komunis Eropa Timur. Perang Dingin yang terjadi telah memaksa kedua belah pihak untuk berlomba memenangkan persaingan, untuk memperebutkan hegemoni. Inovasi-inovasi banyak dilakukan yang dimulai oleh pihak militer yang dibiayai dengan anggaran yang seolah tidak terbatas. Selanjutnya di kalangan industri yang melayani keperluan militer berkreasi dan menciptakan keunggulan-keunggulan baru yang terinspirasi dan terimbas oleh keperluan-keperluan militer. Dengan kata lain perebutan hegemoni telah membawa Amerika Serikat menuju tingkat kemampuan bersaing yang baru, setelah kemampuan bersaingnya berbasis survival pada era sebelum Perang Dingin.
2. Model Eropa Barat
Sejak Abad 16, bangsa-bangsa di Eropa Barat khususnya Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Italia, Portugis, dan Belanda berlomba-lomba untuk memenangkan hegemoni global. Karena mereka termasuk bangsa-bangsa yang makmur, maka tahapan survival untuk mencapai keunggulan bersaing sudah terlampaui. Mereka kemudian ingin menjadi nomor satu dalam hal kekuatan angkatan lautnya, jumlah koloninya, penyebaran budaya khususnya penguasaan bahasa, dan lain-lain. Mereka berlomba-lomba menguasai jajahan, sementara angkatan lautnya saling berperang untuk meraih kemenangan di laut. Negara-negara tersebut akhirnya memang menguasai banyak koloni di belahan dunia lainnya, bahasanya juga menyebar di koloninya. Kulminasinya terjadi pada Perang Dunia I dan II, yang berawal dari tekad Hitler untuk menjadikan Jerman sebagai Deutche Uber Alles. Perebutan hegemoni yang berlangsung selama berabad-abad ini berdampak pada perilaku dan sikap antropologis mereka yang ingin selalu menjadi nomor satu, dan tidak mau mengalah kecuali memang kalah dalam perang di bidang-bidang selain militer, seperti bidang bisnis, bidang sains dan teknologi, bidang olah raga, dan lain-lain. Itulah yang kemudian menciptakan keunggulan bersaing di masing-masing negara tersebut.
3. Model Belgia
Belgia merupakan negara padat penduduknya namun kecil wilayahnya karena dapat dilintasi dengan pesawat udara hanya dalam waktu 20 menit saja. Merdeka sejak tahun 1830, dengan tingkat industrialisasi dan perdagangan yang tinggi, didukung oleh tingkat pertanian yang tinggi pula.
Berbeda dengan bangsa-bangsa Eropa Barat lainnya yang perebutan hegemoninya adalah hegemoni eksternal atau hegemoni antarbangsa, maka Belgia perebutan hegemoninya adalah hegemoni internal. Belgia adalah kekuatan Eropa Barat yang warganya kurang suka beremigrasi ke luar negeri karena tingkat kemakmuran yang tinggi di negara tersebut.
Kemakmuran didapatkan karena tingginya kemampuan bersaing bangsa yang terjadi karena sejarah persaingan dramatik dan frontal selama berabad-abad antara dua etnis utama di Belgia, yaitu etnis Fleming yang berbahasa Belanda yang mendiami Flanders, bagian utara dari negara tersebut dengan etnis Walloon yang berbahasa Perancis, yang mendiami Wallonia, bagian selatan negara tersebut. Persaingan tersebut telah bermuara pada perebutan hegemoni antara kedua etnis tersebut, untuk menjadi yang terbaik, menjadi nomor satu, atau memenangkan persaingan.
Dengan modal budaya yang secara antropologis memiliki prototip hemat, praktis, suka bekerja keras, berani, dan dapat dipercaya, menjadikan bangsa Belgia sangat disegani oleh bangsa-bangsa lain di Eropa, sehingga “ibukota” Eropa ditempatkan di Brussel, Belgia. Mulai dari Masyarakat Batubara dan Baja Eropa, Masyarakat Tenaga Atom Eropa, Uni Eropa, dan lain-lain. Bangsa Belgia, baik Fleming maupun Walloon beranggapan, bahwa kemalasan dan hasil kerja yang buruk adalah kejahatan. Itu semua adalah cikal-bakal keunggulan bersaingnya.
Gambar 3 : Model Keunggulan Bersaing Berbasis Hegemoni
(Maaf gambar tidak dapat ditampilkan)
BAGAIMANA DENGAN INDONESIA ?
Prof Koentjaraningrat (Bpk. Antropologi
Bangsa
Mereka menghindari kerja keras
Menikmati statusnya
Berusaha menjadi kaya dengan cara yang halus
Percaya pada ramalan mistik
Maka pembangunan ekonomi jelas akan terhambat oleh rintangan ini (Niels Murder, 2007)
Sementara Potret manusia
Munafik atau hipokrit
Enggan bertanggung jawab
Berjiwa feodal
Percaya takhyul
Artistik
Berwatak lemah
Menurut penulis, apa yang telah dilontarkan oleh Prof. Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis di atas harus diakui dan diartikulasikan, bahwa secara antropologis bangsa Indonesia terindikasi tidak memiliki kepekaan untuk tercapainya keunggulan bersaing, karena tidak adanya sense of competitiveness , spirit of competitiveness atau soul of competitiveness. Itulah sebabnya meskipun sudah merdeka lebih dari 65 tahun masih juga belum beranjak dari kemiskinan.
Pemeo atau ungkapan nrimo ing pandum, alon-alon waton kelakon, mangan ora mangan kumpul, bukan lautan hanya kolam susu, tongkat kayu jadi tanaman, negara bak zamrud khatulistiwa, rayuan pula kelapa dan pemeo-pemeo atau ungkapan-ungkapan lain telah meninabobokan bangsa Indonesia selama berabad-abad, yang mungkin itu sengaja dikondisikan oleh penjajah, sehingga fighting spiritnya padam. Pemeo-pemeo atau ungkapan-ungkapan tersebut tentu saja masih diperlukan dalam konteks , fungsi dan zaman yang berbeda, untuk kepentingan yang berbeda pula. Dengan kata lain, pemeo-pemeo tersebut masih diperlukan dalam konteks yang lain, atau diberi interpretasi yang lain.
Kondisi subur makmur, tata tentrem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi, memang telah membawa bangsa untuk malas, tidak mau berusaha mendapat lebih, karena sudah serba cukup, dan tidak perlu bersusah payah untuk survive, sehingga tidak ada persaingan untuk tetap survive karena semuanya sudah disediakan oleh alam. Sehingga Keunggulan Bersaing Berbasis Survival (Survival-based Competitiveness) tidak mendapat tempat yang layak untuk muncul sebagai kekuatan dalam memenangkan persaingan.
Keunggulan Bersaing Berbasis Hegemoni (Hegemony-based Competitiveness) sempat tumbuh ketika Mahapatih Gajah Mada mengikrarkan Sumpah Palapa, dengan tekad dan semangat yang besar untuk menjadi kekuatan besar dengan menguasai Nusantara, dalam hal ini tentu saja harus bersaing dengan kekuatan-kekuatan lain pada zaman tersebut. Semangat Sumpah Palapa sebenarnya adalah cikal bakal Keunggulan Bersaing Berbasis Hegemoni (Hegemony-based Competitiveness). Sayang kemudian padam oleh waktu.
Beruntung (dengan tanda kutip) kemudian terjadi krisis ekonomi, yang telah menyadarkan bangsa akan arti survive, sehingga kemudian spirit of competitiveness mulai tumbuh, meski belum kolosal dan massal atau belum menjadi budaya, atau jauh untuk menuju bentuk stereotip bahkan prototip antropologis bangsa. Memang tidak mudah mengubah budaya bisnis bangsa dalam waktu yang singkat. Upaya untuk itu sempat dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengusung Bersama Kita Bisa dalam peringatan 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional (yang menurut penulis itu mirip dengan slogan perjuangan orang
Melakukan deployment atau cascading atas visi Bersama Kita Bisa, memerlukan kemampuan manajerial di atas rata-rata. Penjabaran visi, misi dengan strategi yang tepat menuju action plan dalam rangka pencapaian goal dan objective, memerlukan ketajaman analisa dan evaluasi. Stereotip atau bahkan prototip antropologis bangsa perlu diubah secara revolusioner, supaya speed and power of competitiveness dapat berpacu dengan waktu. Kalau perlu harus lebih cepat dari kecepatan cahaya, untuk tercapainya kemakmuran bangsa.
Tidak ada yang tidak bisa, asal soul, sense and spirit of competitiveness telah tertanam dalam benak, hati, dan perilaku setiap komponen bangsa, atau sjukur jika saat ini sudah dapat dimulai dan tercermin dalam peri kehidupan riil dalam kehidupan sehari-hari seluruh komponen bangsa.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
Keunggulan bersaing sebagai fundamental pencapaian kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa tidak cukup hanya membangun infrastruktur fisik, namun juga memerlukan infrastuktur sosial, berupa kemampuan manusianya, dan kesiapan budayanya yang tercermin dari potensi-potensi antropologisnya.
Diperlukan tindakan-tindakan yang revolusioner untuk mengubah stereotip
atau prototip antropologis bangsa, jika tidak sesuai dengan tuntutan akan
adanya sense, soul and spirit of competitiveness. Mengubah stereotip atauprototip antropologis bangsa yang tidak sesuai untuk tercapainya keunggulan
bersaing memang tidak mudah, namun itu wajib dilakukan, jika memang
keunggulan bersaing ingin terwujud.
Diperlukan dorongan yang sangat kuat, atau stimulans untuk munculnya
sense, soul and spirit of competitiveness, apakah itu survival-based
competitiveness maupun hegemony-based competitiveness.
Pada akhirnya, keunggulan bersaing hanya akan dapat dicapai jika
memasukkan perspektif antropologi bisnis sebagai salah satu acuan pokoknya.
DAFTAR PUSTAKA
Boas, F (1962), Anthropology and Modern Life, W.W. Norton and Company Inc,
Chambers, E (1989), Applied Anthropology: A Practical Guide,
Illinois, Waveland Press, Inc.
Eddy, E.M and Partridge, W.L (1987), Applied Anthropology in
University Press,
Forrest, Edward (1995), Activity-Based Management,
Husaini, Adian (2005), Yahudi Menguasai Dunia, Gatra Edisi 51,
International Institute for Management Development –IIMD (2008), World
Competitiveness Index 2008,
Kaplan, Robert S. and Norton, David (1996), The Balanced Scorecard Translating Strategy into Action,
Kaplan, Robert S. and Norton, David (2001), The Strategy-Focused
Organization : How Balanced Scorecard Companies Thrive in The
Business Environment,
Marzali, Amri (2002), Ilmu Antropologi Terapan bagi
Membangun, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Antropologi Universitas
Morrisey, G.L. (1996), A Guide toLong-Range Planning, Jossey-Bass Inc, San
Fransisco.
Morrisey, G.L. (1996), A Guide to Strategic Thinking, Jossey-Bass Inc, San
Fransisco.
Morrisey, G.L. (1996), A Guide to Tactical Planning, Jossey-Bass Inc, San
Fransisco.
Sairin, Sjafri, Dkk (1992), Pengantar Antropologi Ekonomi, Studi Sosial PAU-UGM,
Sakri, Faisal M (2008), Rahasia Kekayaan Yahudi, Bali Siasat,
Tjiptono, F. dan Diana, A. (2002), Total Quality Manajemen (TQM),
Andi,
UNDP (2009) Human Development Report , UNDP Publisher,
Urip, Ratmaya (2006), Faktor-faktor Kelola dan Faktor-faktor Kendali dalam
Manajemen Bisnis, AMA Publisher,
Urip, Ratmaya (2007), Tousled Yarn Philosophy, Solusi Manajemen Bisnis di
Masa Krisis, AMA Publisher,
Wibisono, D. (2006), Manajemen Kinerja : Konsep, Desain dan Teknik
Meningkatkan Daya Saing Perusahaan, Erlangga,
World Economic Forum (2010-2011), The Global Competitiveness Report, WEF,
ooOoo
Terima kasih,
Ratmaya Urip
========================================
Komentar Teman-teman:
Re: [The Managers] KEUNGGULAN BERSAING BANGSA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI BISNIS
Selasa, 8 Februari, 2011 22:03Dari: "Harry Tjahjono Ang"
Kepada: "undercover_manager@yahoogroups.com"
Thanks atas artikel ini.
Bagus sekali.
Menggugah semangat berjuang nih :)
Salam
Harry T
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar