Oleh: Dadang Kadarusman
Hore!
Hari Baru, Teman-teman.
Pemimpin
yang sempurna itu kayaknya tidak ada ya. Setidaknya, begitulah hasil
pengamatan saya. Sebaik apapun cara kita memimpin, tidak akan bisa
memenuhi harapan semua orang. Kita juga tidak bisa memenuhi semua
harapan. Hal itu tidak selalu disebabkan karena terbatasnya otoritas
kita, atau kesalahan kita. Melainkan juga karena ada hal-hal yang kita
lakukan dengan niat yang baik namun tidak pada tempatnya. Lho, kok
bisa? Buktinya, cukup banyak kan atasan yang sudah merasa melakukan yang
terbaik buat anak buahnya namun masih dinilai jelek oleh mereka.
Mengapa bisa begitu ya? Bisa, jika semua yang kita lakukan untuk anak
buah itu tidak dilandasi oleh pemahaman yang baik terhadap kebutuhan
mereka.
Tidak mudah untuk
memahami kebutuhan anak buah. Khususnya bagi orang yang selalu yakin
bahwa apa yang dilakukannya itu adalah yang terbaik buat mereka. Padahal
memahami kebutuhan itu penting sekali. Karena apapun yang kita lakukan
untuk anak buah, jika tidak sesuai dengan kebutuhan mereka; maka
hasilnya tidak akan optimal. Mungkin juga sia-sia. Bahkan boleh jadi
malah bisa berbahaya bagi mereka. Pagi ini saya kembali diingatkan
tentang betapa pentingnya memahami kebutuhan anak buah itu. Ijinkan saya
menceritakannya kepada Anda.
Hari
minggu kemarin, kami berencana menyajikan hidangan buka puasa istimewa
di rumah. Saya pergi ke pasar, lalu membeli 3 ekor kepiting berukuran
jumbo. Salah satunya berbobot 700 gram dengan capit yang sangat besar.
Sebagai penggemar kepiting, kami bisa membayangkan kelezatan dagingnya
yang tebal. Namun karena jalan pulang macet berat, saya tiba di rumah
tepat ketika masuk waktu buka sehingga tidak ada waktu lagi untuk
memasaknya. Maka kami pun memutuskan untuk menyajikanya saat buka puasa
besok saja. Menunggu semalam lagi tidak menjadi soal. Anggap saja
sebagai pengobar selera, agar besok kami benar-benar ‘all out’
menikmatinya.
Sepulang
sembahyang tarawih, saya menengok kepiting-kepiting itu. Membayangkan
mereka sudah berjam-jam dipajang pedagang tanpa air membuat saya merasa
kasihan pada mereka. Tentunya mereka sangat merindukan air. Maka saya
pun berinisiatif untuk memasukkan kepiting itu kedalam wadah berisi air.
Maksud saya; supaya mereka bisa menikmati malam terakhirnya dengan
nyaman seperti di alam bebas. “Anggap saja di rumah sendiri ya…” Lalu
saya pun meninggalkan kepiting itu di dalam air bening dan menyegarkan.
Keesokan
paginya saya menengok mereka. Dengan harapan bisa melihat capit-capit
besarnya bergerak kesana-kemari. Tapi mereka malah pada diam saja. Saya
menggodanya. Dengan harapan mereka menggunakan capitnya yang kuat untuk
menyerang. Namun, mereka sama sekali tidak bereaksi. “Mengapa
kepiting-kepiting itu tidak merespon?” saya tercekat. Lalu memberanikan
diri menangkapnya. Mereka tidak melakukan perlawanan sama sekali. Duh,
ternyata mereka semua sudah pada mati.
Saya
diberitahu seseorang bahwa itu adalah kepiting air payau sehingga
justru akan mati kalau disimpan dalam air tawar. Oh. Rasanya seperti
disentil karena telah melakukan kesalahan besar. Ternyata, niat baik
saya untuk kepiting-kepiting itu justru membuat mereka mati tenggelam.
Sekarang perasaan saya bercampur aduk antara kasihan dan menyesali
kebodohan diri sendiri. Gara-gara tidak mengerti kebutuhan
kepiting-kepiting itu, maksud baik saya malah membahayakan mereka.
Di
kantor, kita mungkin tidak melakukan sesuatu yang membahayakan jiwa
seperti itu. Namun, jika kita melakukan kebaikan untuk orang-orang yang
kita pimpin tanpa mengerti kebutuhan mereka; maka hasilnya belum tentu
menjadi baik. Mungkin juga kita hanya mengatakan sesuatu yang menurut
kita benar. Namun, boleh jadi justru hal itu sangat menyakitkan perasaan
anak buah kita. Soal ini, saya pernah mengalaminya sendiri. Ketika saya
merasa telah mengatakan yang seharusnya, namun ternyata itu tidak cocok
untuk orang-orang tertentu, meskipun orang lainnya baik-baik saja.
Sekarang, saya lebih paham mengapa mereka begitu.
Kepiting-kepiting
itu tampak utuh. Maka saya pun segera menyiapkan alat dapur untuk
membersihkannya. Namun, ketika saya memotong bagian-bagiannya, saya
menemukan bahwa daging kepiting itu sudah membusuk didalam. Tidak ada
lagi yang masih tersisa untuk diselamatkan. Semuanya sudah mencair
sambil mengeluarkan bau tidak sedap. Ketika kita melakukan sesuatu yang
keliru untuk anak buah kita. Mungkin saja penampakan fisik mereka
baik-baik saja. Senyum mereka masih bisa kita lihat. Kata-kata mereka
masih terdengar ‘normal’. Namun, siapa yang tahu bisikan didalam hati
mereka? Namanya juga anak buah. Tentu berusaha untuk bersikap baik pada
atasannya. Namun, didalam hatinya? Tidak seorang pun tahu.
Maka
penampilan anak buah yang terlihat baik-baik saja belum tentu
menunjukkan bahwa perlakuan kita kepada mereka sudah tepat. Meskipun
mereka bisa menyesuaikan diri, namun cepat atau lambat mereka akan
mengalami kelelahan. Lalu, tanpa kita sadari mulai membusuk dari dalam.
Kenyataannya tidak ada orang yang bisa bertahan terlalu lama di suatu
tempat atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kebutuhan emosinya.
Persis seperti daging kepiting yang tampak utuh dari luar, namun hancur
di dalam itu.
Sekarang
saya paham, apa yang dibutuhkan oleh kepiting air payau. Jika kelak
membelinya kembali, saya tahu apa yang mesti saya lakukan untuk mereka
agar tidak menyebabkan mereka menderita karena niat baik saya. Andai
saja kita juga bisa lebih memahami kebutuhan orang-orang yang kita
pimpin. Mungkin kita menjadi tahu persis tentang apa yang mesti kita
lakukan untuk mereka sehingga tugas kepemimpinan ini bisa kita tunaikan
dengan sebaik-baiknya. Insya Allah, kita akan bisa melakukannya jika
kita belajar untuk lebih memahami apa sesungguhnya yang mereka butuhkan
dari kita.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
Catatan Kaki:
Memahami kebutuhan fisik dan emosi anak buah itu sangat penting untuk memastikan kita bisa melakukan yang terbaik bagi mereka.
Silakan
di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung
saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai
tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman
DEKA - Dadang Kadarusman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar