Oleh: Refrinal Patiradjawane
Industri
otomotif di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan menghadapi kondisi
yang dilematis sebagai akibat disahkannya Undang-Undang APBN Perubahan Tahun
2012 pada tanggal 30 Maret 2012 dan dikeluarkannya Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 14/10/DPNP yang ditandatangani pada 15 Maret 2012 tentang Penerapan
Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan
Kredit Kendaraan Bermotor
Pasal
7 ayat 6a UU APBN-P Tahun 2012 memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk
menaikkan dan menurunkan harga bahan bakar minyak bersubsidi (premium dan
solar) dengan asumsi jika terjadi kenaikan rata-rata lebih dari 15 persen dalam
kurun waktu 6 bulan terakhir dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/10/DPNP menyebutkan
besaran uang muka yang kini harus dibayar masyarakat untuk kredit sepeda motor
adalah 25 persen, roda empat 30 persen, dan roda empat atau lebih untuk
keperluan produktif 20 persen.
Sebagai
implementasi dari kedua peraturan perundangan tersebut, Bank Indonesia telah
mengkaji aturan loan to value (LTV) kredit di sektor konsumsi, khususnya
kredit kendaraan bermotor dengan berkoordinasi dengan Badan Pengawas Pasar
Modal dan Keuangan (Bapepam-LK) selaku pengawas multifinance, dimana LTV
adalah sebuah dasar atau metode yang digunakan untuk menentukan seberapa besar
pinjaman yang dapat diberikan kepada debitur berdasarkan aset yang dijadikan
jaminan. Demikianpun pemerintah sedang
menyusun sebuah aturan dan bentuk Peraturan Pemerintah tentang pelarangan
penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan tertentu pada kapasitas mesin 1.300
cc keatas.
Statistik
menunjukkan bahwa angka penjualan mobil secara agregat pada tahun 2011 sebesar
813.856 unit meningkat 6 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sedangkan angka
penjualan motor pada tahun yang sama sebesar 7.580.104 unit meningkat 9 persen
dari tahun sebelumnya. Dari angka
agregat penjualan mobil tersebut 87 persen adalah mobil dengan kapasitas mesin
1300 cc keatas yang menjadi objek pelarangan penggunaan BBM bersubdisi yang
rencananya efektif berlaku pada tanggal 1 Mei 2012.
Sesuai amanat konstitusi bahwa dasar hukum perubaan APBN
2012 diatur dalam UU No 22/2011, tentang APBN 2012 pada pasal 42. Di pasal itu
ada aturan yang menyebutkan asumsi makro ekonomi yang digunakan dalam
penyusunan APBN-P 2012 yakni, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen atau lebih
rendah dari asumsi APBN 2012 sebesar 6,7 persen. Selanjutnya, inflasi sebesar
6,8 persen, tingkat suku bunga SBN disepakarti 5 persen, nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS diproyeksikan Rp9 ribu, dan harga minyak diproyeksikan
sebesar 105 dolar per barel atau lebih tinggi jika dibandingkan asumsi APBN
2011 sebesar 90 dolar per barel serta lifting minyak diperkirakan sebesar 930
ribu barel per hari atau lebih rendah dari asumsi APBN 2012 sebesar 950 ribu
barel per hari.
Mengacu
pada data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan kredit di sektor
konsumsi untuk kredit kendaraan bermotor belum masuk kategori bubble, namun dari
kenyataan praktikal menunjukkan pertumbuhan kredit sektor itu sudah memasuki
lampu kuning, sebagai akibat diberlakukannya kedua peraturan tersebut ditambah
dengan parameter ekonomi yang tidak stabil yang mengakibatkan terjadi
pergeseran perilaku konsumsi masyarakat akibat inflasi dan oppotunity cost yang harus ditanggung sebagai akibat kenaikan
harga-harga yang tidak dapat dikendalikan, dan angka inflasi jauh melebihi suku
bunga perbankan dan pertumbuhan ekonomi nasional secara agregat. Implikasi dari ketidakpastian ekonomi pada
inflasi yang tidak terkendali, dimana jika seluruh asumsi APBN-P tersebut
dibelakukan maka bisa jadi pada tanggal 1 Mei 2012 akan diberlakukan sekaligus
pelarangan BBM pada kendaraan tertentu dan kenaikan harga BBM karena dalam 6
bulan terakhir rata-rata kenaikan harga minyak dunia teleah menembus angka 18
persen.
Dengan
terjadinya pergeseran konsumsi dimana opportunity cost digunakan untuk menutup
inflasi mikro yang mencapai 40 persen secara agregat jika kedua peraturan
tersebut berlaku, dimana sektor industri sekunder akan terkena dampak langsung,
dengan perkiraan terjadinya penurunan permintaan rata-rata 20 persen untuk
industri otomotif secara agregat, dan khusus untuk mobil yang terkena dampak
pelarangan penggunaan BBM bersubsidi akan terkoreksi penurunan permintaan
diatas 25 persen.
Sebagai
akibat dari inflasi mikro selain penurunan permintaan juga berpotensi
menimbulkan kejadian gagal bayar pada barang-barang yang pembeliannya dilakukan
dengan cara cicilan untuk kalangan menengah kebawah untuk mobil dan motor,
sebagai akibat berkurangnya saving dan alokasi belanja yang banyak beralih pada
sektor primer dan subtitusi, sehingga alokasi pembayaran cicilan akan terpakai
untuk menutupi inflasi, dan besarnya potensi gagal bayar ekuivalen dengan
penurunan permintaan kedua produk tersebut, sehingga tahun 2012 merupakan
tahun-tahun terberat bagi industri otomatif termasuk industri pembiayaan yang
harus melakukan berbagai upaya strategi pemasaran untuk dapat mempertahankan market share pada market size yang akan menurun.
Penurunan
permintaan secara signifikan tidak hanya terjadi pada kendaraan baru, namun
juga akan terjadi pada kendaraan bekas walau tidak signifikan, dan jika kondisi
makro dan mikro tidak membaik pada akan terjadi migrasi pembelian pada
kendaraan bekas dengan market size yang tidak berubah secara keseluruhan.
Untuk
menghadapi hal ini baik produsen otomotif maupun pembiayaan untuk terus
bertahan di pasar perlu melakukan langkah-langkah antisipasi untuk
meminimalisir penurunan kinerja perusahaan, dengan mengambil langkah-langkah
strategi pemasaran yang efektif dan cerdas dengan membaca dan memetakan kembali
pasar, dengan melakukan aktivitas pemasaran yang lebih fokus berdasarkan
customer profiling, dan terus melakukan inovasi-inovasi terutama dalam hal
layanan dan pemberian informasi yang utuh kepada konsumen tentang produk, serta
yang paling penting melakukan kai ulang secara keseluruhan atas produk dan
konsumen, sehingga walaupun pada akhirnya terjadi penurunan penjualan secara
signifikan, perolehan laba operasional dan laba bersih perusahaan tidak
terkoreksi secara signifikan.
--
Rky Refrinal Patiradjawane
Praktisi Riset Pemasaran, Bisnis dan Strategi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar