Senin, 17 September 2012

Untuk Gubernur DKI Terpilih


SEPOTONG KAJIAN MANAJEMEN PUBLIK

Dear All,
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, sebentar lagi akan dilaksanakan. Menyongsong hal tersebut, sekaligus untuk mengingatkan kembali betapa beratnya permasalahan yang dihadapi kota Jakarta dan wilayah "suburb"-nya, berikut ini saya sampaikan kembali artikel saya yang pernah saya sampaikan di milis ini beberapa waktu yang lalu, dengan beberapa suntingan baru.



Demikian, terima kasih.

UNTUK GUBERNUR DKI TERPILIH
(SIAPAPUN DIA)

Oleh: Ratmaya Urip*)
=================== =====

PENGANTAR

Permasalahan yang dihadapi kota Jakarta, tidak akan pernah selesai, jika pendekatannya selalu dengan "tactical-based approach" dan "operational-based approach". Karena pada hakekatnya diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Diperlukan pendekatan ideologis, visioner, dan stratejik, di samping pendekatan yang taktikal dan operasional. Selama pendekatannya hanya secara taktikal dan operasional, maka siapapun Gubernurnya tidak akan membuat permasalahan dapat terurai secara signifikan. Dalam "case" dengan "tactical-based approach" dan "operational-based approach" pun, sering tidak dapat menyelesaikan masalah.

Di samping itu jalan keluar berupa "physical-based approach" yang hanya berkutat pada pembenahan atau pembangunan infrastruktur fisik, tanpa dibarengi dengan pembenahan atau pembangunan infrastruktur sosial , seperti sikap dan perilaku manusianya, juga hanya akan membuat masalahnya hanya beringsut sedikit untuk menuju perbaikan. Masalahnya berkembang seperti deret ukur, sementara penanganan masalah hanya beringsut seperti halnya deret hitung.

Ini adalah masalah Manajemen. Karena Manajemen bukan hanya berkutat pada Manajemen Bisnis, namun juga Manajemen Publik. Memang menelaah permasalahan yang ada di Jakarta bukan "pure business management", karena lebih berat ke "public management". Bagi yang berkecimpung di "business management" tidak ada jeleknya untuk mengkajinya, khususnya dalam memberikan kontribusi aktif bagi penyelesaian masalah yang ada. Karena bagaimanapun geliat bisnis tidak dapat dilepaskan dari masalah publik, karena bisnis tidak dapat dilepaskan dari kondisi publik. Bisnis tidak akan dapat dilepaskan dari "milieu"-nya, baik "physical environment", maupun "social & political environment", meski kadang hanya sebatas "indirect influence"
============= =====


PENDAHULUAN

Survey di suatu stasiun televisi swasta yang dipubikasikan di suatu hari, di suatu kota, dan di suatu kesempatan menunjukkan, bahwa "kemacetan lalu lintas" dan "banjir" di Jakarta merupakan ranking 1 dan 2 dari "segepok" masalah yang bertebaran di Jakarta. Masalahnya kemudian berkembang ketika pada akhirnya berubah menjadi bumerang bagi Gubernur yang saat ini menjabat, karena di awal masa jabatannya konon jika saya tidak salah dengar, pernah mengatakan: "serahkan saja pada ahlinya", untuk menjawab masalah tersebut. Tebaran "statement" tersebut ketika kemudian diangkat kembali dan dibandingkan dengan pencapaian atau kinerja riilnya yang nampaknya kedodoran, telah menuai badai politik. Karena lawan-lawan politik dan pendukungnya telah menjadikannya sebagai senjata pamungkas dalam kampanye pemilihan Gubernur yang kembali digelar di pertengahan tahun 2012 ini. Khususnya dalam pergulatan politik lokal Jakarta menuju DKI-1, meski kemudian me-nasional. Banyak intelektual yang menganggap bahwa Gubernur saat ini (incumbent) telah gagal.

Terlepas dari seluruh kepentingan politik apapun, di bawah ini saya akan menelaah beberapa hal yang berkaitan dengan hal tersebut. Pura-puranya untuk mencoba "netral" dan mencoba untuk mencelupkan kepala ke dalam kulkas yang dingin (supaya kepala tetap dingin...he.he.he...), atau pura-pura mencoba untuk obyektif dan konstruktif. Tentang kebenaran atas kenetralan, keobyektifan dan kekonstruktifan dari artikel ini silakan sidang pembaca yang menjadi yurinya. Saya juga mencoba untuk menghindari kepentingan-kepentingan tertentu yang emosional, dengan lebih mengedepankan nilai-nilai kultural sesuai jati diri bangsa, dengan mencoba untuk lebih rasional dan spiritual. Untuk penilaian dari pembaca silakan ambil rentang antara 1 sampai 10 atau E sampai A atau " poor" sampai "excellence". Saya tidak akan bersedih jika kemudian hanya mendapat nilai 1 atau E atau "poor". Karena mungkin memang pantas untuk mendapatkan nilai tersebut. Percayalah!

Saya tidak mendengar atau mebaca sendiri pernyataan tersebut di atas, atau kelima indra saya belum cukup mendapat kesempatan untuk menjadi tempat bertengger bagi pernyataan tersebut secara langsung. Kalau dikaitkan dengan ilmu Statistik, data yang saya peroleh adalah data sekunder atau data tersier atau malah data kuarter, bukan data primer. Saya hanya mendengar dari kabar burung yang sayup-sayup sampai, dari mulut ke mulut. Mulai dari mulut dengan bibir sensual nan indah berbalut "lipstick" berwarna "pink" seperti bibir yang dimiliki Angelina Jolie, sampai mulut dengan bibir tebal yang menggantung di bawah kumis tipis seperti yang dimiliki Williard Christopher Smith Jr, atau yang lebih dikenal dengan Will Smith, atau mulut yang bibirnya membengkak karena kebanyakan jengkol dan sambal terasi (serta ikan asin yang kadang berbalut bahan pengawet), seperti bibir Minah di suatu pedesaan di lereng Gunung Sumbing, Magelang. Sehingga untuk percaya 100% pada pernyataan tersebut saya belum yakin benar. Semoga pernyataan itu memang benar adanya, bukan hanya sekedar khabar burung tapi khabar yang memang lepas dari dekapan sarung, atau bukan kabar dari politisi lawannya yang hanya meraung-raung, atau bukan sekedar rintihan atau belaian yang medayu-dayu dari sebuah kidung. Supaya tidak dianggap gossip murahan yang sering membuat bingung.

JAKARTA YANG RAKUS

Pangeran Jayakarta, Pangeran dari Banten yang pernah berkuasa di Jayakarta serta Jan Pieterszoon Coen, pentolan pedagang dari Belanda yang merebut Jayakarta dan yang kemudian mengubahnya menjadi Batavia di Tahun 1619 atas nama VOC, mungkin akan terheran-heran melihat Batavia menjadi seperti saat ini. Maklum waktu itu Pangeran Jayakarta hanya memosisikan Jayakarta sebagai pusat pemerintahan, tidak lebih dan tidak kurang. Sementara Jan Pieterszoon Coen hanya menjadikan Batavia sebagai tempat bercokolnya VOC, yang "hanya" suatu organisasi dagang. Heran karena yang semula "hanya" kota dagang, dalam perkembangannya kemudian menjadi begitu "rakus" karena kemudian berkembang menjadi pusat pemerintahan, kota industri, kota wisata, kota maritim, kota hiburan, kota bisnis, dan sejumlah predikat lain. Maklum, di negaranya dan juga di negara-negara maju, untuk menjadi Pusat Pemerintahan, itu biasanya harus memenuhi kaidah-kaidah tertentu. Juga setiap kota itu wajib memiliki core competency-nya sendiri, tidak malah "rakus" mau mengangkangi seluruh aktifitas kehidupan. "Rakus" karena tidak memberi kesempatan kepada wilayah-wilayah lain untuk ikut "mencicipi" madunya kehidupan yang penuh gebyar dan kerlap-kerlip materialisme dan hedonisme.

Bandingkan dengan kota New York di Amerika Serikat, yang pertama kali ditemukan oleh Giovanni da Verrazzano pada tahun 1524 dan diberi nama "Nouvelle Angoulême", yang kemudian pada tahun 1614 dihuni oleh pemukim Belanda dan menamainya dengan Nieuw Amsterdam oleh rekan Jan Pieterszoon Coen yang bernama Pieter Minuit pada tahun yang hampir bersamaan dengan Jan Piterszoon Coen menguasai Batavia (sebelum Nieuw Amsterdam direbut Inggris dan diganti namanya menjadi New York pada tahun 1664).

Sama dengan Jakarta yang dikuasai oleh Belanda pada tahun yang hampir sama di awal abad ke-17, sampai sekarang kota New York (Belanda pernah menguasai sebelumnya dengan nama Nieuw Amsterdam) masih tetap menjadi kota dagang atau kota bisnis, bukan pusat pemerintahan. Karena pusat pemerintahannya adalah Washington DC, yang sejuk, yang santun, yang damai, yang tertib, yang artistik, dan yang menawan.

Jika kita mau berpikir jernih, di negara-negara maju, hampir semua Ibukota Bisnis dipisahkan dengan Ibukota Pemerintahan atau ibukota Negara. Itupun, setiap jenis bisnis memiliki ibukotanya masing-masing yang terpisah satu sama lain. Tergantung core competency-nya. Juga patut dicatat di negara-negara maju, hampir seluruh Ibukota pemerintahan berada di pedalaman, bukan di bibir pantai. Bandingkan dengan Jakarta, yang mengangkangi hampir seluruh aktifitas kehidupan bisnis maupun kehidupan publik bagi negaranya, yang juga berlokasi di bibir pantai.

Karena "rakus" maka wajar saja jika Jakarta akhirnya menjadi penuh dengan masalah. Tidak seperti negara-negara maju, yang memisahkan Ibukota Negara atau Ibukota pemerintahan dengan ibukota Bisnis-nya, dan meletakkan ibukota negara atau ibukota pemerintahan jauh dari garis pantai.

Lihat saja Ibu kota Amerika Serikat ada di Washington DC (di pedalaman bukan di bibir pantai), sementara ibukota bisnisnya dalam hal ini ibukota finance, jasa dan perdagangan ada di New York, ibukota minyak ada di Dallas,ibukota industri ada di Chicago, ibukota otomotif ada di Detroit, ibukota pertanian ada di Pennsylvania, ibukota hiburan ada di Los Angeles dan Las Vegas, ibukota peternakan ada di Wyoming, ibukota penerbangan ada di Seattle, ibu kota pertambangan ada di Appalachia, ibukota wisata ada di Miami, ibukota pendidikan dan ilmu pengetahuan ada di Boston, ibukota IT ada di Lembah Silikon-California dan sebagainya.

Ibukota negara maju lainnya juga demikian, seperti halnya London sebagai ibukota pemerintahan bagi Inggris (yang juga berada di pedalaman bukan di bibir pantai), ibukota bisnisnya dibantu oleh Liverpool dan Manchester. Beijing sebagai ibukota pemerintahan China, namun ibukota bisnisnya ada di Shanghai, Guangdong serta kota-kota lainnya. Ibukota pemerintahan Jerman ada di Berlin, namun ibukota industri ada di Stuttgart, dan Munich, ibukota pertanian di Bremen. Ibukota pemerintahan Australia ada di Canberra, sementara ibukota bisnisnya ada di Sidney dan Melbourne. Ibukota pemerintahan Spanyol ada di Madrid, namun ibukota bisnisnya tersebar di Malaga, Barcelona, Santander, dan Donostia-San Sebastián. Belanda ibukota pemerintahannya ada di Amsterdam, namun ibukota bisnisnya ada di Rotterdam. Ibukota pemerintahan Rusia ada di Moskwa, tapi ibukota bisnis sesuai spesialisasi bisnisnya ada di Krasnodar, Khabarovsk, Yekaterinburg, Chelyabinsk, Novosibirsk, Omsk, Rostov dan Samara. India menempatkan ibukota pemerintahannya di New delhi, sementara ibukota bisnisnya ada di Mumbai. Kanada, ibukota pemerintahan ada di Ottawa, sementara ibukota bisnisnya ada di Toronto, Halifax, Montreal dan Vancouver. Ibukota pemerintahan Italia ada di Roma, namun ibukota bisnis ada di Milan. Ibukota pemerintahan Brasil ada di Brasilia, sementara ibukota bisnis ada di Rio de Janeriro. Juga negara-negara lainnya.

Hampir semua ibukota pemerintahan atau ibukota negara maju atau setengah maju, berdasar referensi kasat mata di atas terpisah dengan ibukota bisnisnya. Juga hampir seluruh ibukota negara atau ibukota pemerintahan semuanya ada di pedalaman yang jauh dari garis pantai. Yang tersirat adalah, nampaknya secara "ideologis" dan politis banyak negara yang menempatkan ibukota pemerintahan yang terpisah dengan ibukota bisnisnya. Juga ibukota pemerintahan atau ibukota negara hampir semuanya terletak jauh dari garis pantai. Sementara Jakarta yang "rakus" menempatkan ibukota negara atau ibukota pemerintahan yang sama dengan ibukota bisnisnya. Demikian juga Jakarta menempatkan dirinya di bibir pantai.

KEMACETAN LALU LINTAS

Jakarta, sebagai wilayah megapolitan terbesar ke-enam di dunia dengan jumlah penduduk 9.607.787 jiwa (Sensus Penduduk 2010). Saat ini (14 Juli 2012 atau 2 tahun setelah berakhirnya Sensus Penduduk 2010 yang berakhir di bulan Juni 2010) berpenduduk 9.896.232 jiwa, jika diasumsikan pertumbuhan penduduknya 1,49% per tahun, sesuai dengan data pertumbuhan Sensus Penduduk 2010. Luas wilayahnya 661,52 km2, yang merupakan core atau inti dari wilayah urban atau suburb Jabodetabek yang secara keseluruhan memiliki jumlah penduduk 28 juta jiwa. Dengan demikian tingkat kepadatan DKI saja saat ini, 14 Juli 2012, rata-ratanya adalah 14.959 jiwa/km2. Bayangkan, dalam 1 km2 dijejali oleh 14.959 jiwa (Data Sensus Penduduk 2010 masih 14.440 jiwa/km2.

Belum lagi tidak seimbangnya laju pertumbuhan pembangunan jalan yang hanya 0,01% per tahun jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang 9% per tahun (Source: Kompas.com). Tentu saja, amat mustahil bagi seorang Gubernur, siapapun dia, untuk mengurai masalah yang ada.

Memang sudah ada 3 (tiga) strategi yang dilakukan untuk mengatasi masalah kemacetan ini, melalui "Traffic Demand Management (TDM)". Strategi pertama adalah pengembangan angkutan massal, seperti proyek MRT dan busway. Kedua pembatasan lalulintas seperti ERP atau 3 in 1. Ketiga peningkatan kapasitas jaringan berupa pembangunan dua ruas jalan layang non tol. Namun sepanjang itu masih merupakan aktifitas operasional semata, tanpa didukung penajaman atau perubahan visi dan strategi, amat sulit dapat menyelesaikan masalah yang ada. Secara visioner, sebaiknya perlu dikaji, apakah Jakarta akan tetap dibiarkan "rakus' dengan mengangkangi seluruh aktifitas kehidupan, baik aktifitas publik maupun bisnis. Apakah akan diubah khusus sebagai kota bisnis seperti halnya New York, Shanghai, Mumbai, Milan, Sidney dan sebagainya? Atau akan menjadi kota dengan kehidupan publik yang lebih dominan sepertui halnya Beijing, Washington DC, Canberra, Ottawa, London, New Delhi dan sebagainya? Selama Jakarta, masih dipertahankan untuk rakus, maka masalah akan sulit diurai. Menurut saya, Jakarta sebaiknya dipilih sebagai kota jasa dan perdagangan, seperti halnya Singapura. Sebagai kota industri dan sebagai kota pemerintahan negara sebaiknya jangan di Jakarta lagi.

MASALAH BANJIR & ROB

Sudak sejak awal tahun delapan puluhan Jakarta memiliki KOPRO BANJIR. Kemudian dibangun Cakung Drain dan Cengkareng Drain. Saat ini sudah dibangun Banjir Kanal Timur, namun tokh masalah banjir tidak juga selesai.

Sudah diuraikan di atas, bahwa ibukota pemerintahan atau ibukota negara-negara maju, hampir semuanya berada di pedalaman, yang biasanya memiliki topografi yang berbukit atau landai, bukan di garis pantai. Kondisi kota di pedalaman, akan memudahkan air lebih mudah mengalir, asal topografinya landai atau perbukitan.

Posisi Jakarta yang berada di garis pantai, akan membuat aliran air tersendat atau berhenti, karena topografi tanahnya "flat" atau datar. Apalagi diperparah dengan adanya "rob", atau air laut yang masuk ke pedalaman.

Banjir yang terjadi di Jakarta disebabkan oleh 3 (tiga) hal, yaitu banjir yang disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi di "catchment" area DKI, ditambah banjir kiriman dari hulu DKI, dan banjir "rob" karena air laut pasang. Itu jika kajiannya hidrologi.

Jika dikaji secara geokimia, mineralogi dan kristalografi, tanah Jakarta, mayoritas adalah tanah lempung ekspansif ("expansive clay"), dengan kandungan Silika Oksida (SiO2) dan Alumina Oksida (Al2O3) dominan (dugaan saya lebih dari 75%), berbentuk "amorphous".

Khusus dalam perspektif mineralogi, jenis "expansive clay" (lempung kembang) yang mendominasi wilayah DKI Jakarta, wajib diperdalam dengan mengetahui sejauh mana korelasi dan kontribusinya dalam memperparah atau menghambat potensi banjir di DKI Jakarta. Hal ini dapat dilakukan dengan mengetahui jenis mineralnya, karena dengan hanya memahami sebatas "clay" saja tidaklah cukup. Kedalaman pemahaman tentang sifat-sifat mineral "clay" (lempung) apakah termasuk dalam "Kaolin Group" seperti "kaolinite", "dickite", "nacrite", "halloysite" atau termasuk dalam "Montmorillonite Group" seperti "montmorillonite", "beidellite", "nontronite", "saponite" maupun termasuk dalam "Alkali Bearing Clays" seperti "illite". Karena masing-masing memiliki pengaruh berbeda, khususnya dalam ketahanan menghadapi banjir.

Bagaimanapun jenis tanah "clay" memiliki potensi serapan tanah terhadap air ("absorption") yang sangat rendah, karena tanah tersebut kedap air. Sehingga air akan lebih banyak melakukan "run off" karena tanahnya kedap air. Apalagi karena muka air tanah yang tinggi (karena berada di tepi laut), dan penguapan air relatif kecil, maka air akan memenuhi setiap sudut tanah yang ada di Jakarta. Juga pembangunan infrastruktur dan banyaknya bangunan publik, akan membuat aliran air terkonvergensi, yang kemudian akan terdivergensi ke tanah-tanah dengan topografi yang lebih rendah.

Memang sudah ada 5 (langkah) yang dilakukan untuk mengatasi hal ini, namun saya tidak begitu yakin akan dapat mengatasi masalah banjir ini. Sehingga siapapun Gubernurnya, masalah ini akan selalu berulang.

Langkah-langkah untuk mengatasi banjir yang ada saat ini adalah:

1. Normalisasi sungai (ada 13 sungai yang akan dikeruk, karena selama 30 tahun tidak pernah dikeruk) dalam suatu program yang dinamakan Jakarta Emergency Dredging, yang diharapkan akan menyelamatkan 57 Kelurahan atau sekitar 1,7 s/d 1,8 juta jiwa bebas banjir.

2. Pembangunan Banjir Kanal Timur, diharapkan akan membebaskan 2,7 juta jiwa dari bencana banjir.

3. Perbaikan Saluran

4. Peningkatan kapasitas pompa (di waduk-waduk atau di polder-polder atau boezem-boezem)

5. (yang no. ini saya lupa)

Menurut saya, 5 (lima) program yang dicanangkan untuk mengatasi banjir tersebut sangat baik, namun belum cukup untuk mengatasi masalah yang ada, karena kondisi Jakarta seperti yang telah saya uraikan di atas.

Dari telaah dan analisis saya tersebut di atas, maka saya menarik kesimpulan, bahwa siapapun Gubernur-nya akan menuai masalah jika sempat janji akan dapat mengatasi banjir atau mengatasi kemacetan lalu lintas yang menjadi biang masalah bagi DKI selama ini. Karena jika mau realistis, kemungkinan mengurai masalah wajib dilakukan jika ada perubahan yang bersifat ideologis, visioner dan stratejik, tidak hanya tindakan yang bersifat taktikal maupun operasional semata. Anggaplah seluruh langkah taktikal dan operasional yang ada saat ini sebagai eksekusi atau action jangka pendek. Perlu dilengkapi dengan perubahan visi dan strategi, mau dibawa kemana kota Jakarta sesuai dengan core competency-nya sebagai rencana dan eksekusi jangka panjang.

Demikian, semoga bermanfaat.

Salam Manajemen (Manajemen Publik)

Ratmaya Urip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar