Oleh: Dadang Kadarusman
Hore!
Hari Baru, Teman-teman.
Di  tempat tinggal saya, ada pedagang buah pisang keliling. Dengan tubuh  bungkuk dan cara berjalan khas manusia yang sudah renta, beliau tetap  gigih menjajakan dagangannya. Saya sering merasa iba kepadanya. Lalu  berguman didalam hati; “Bukankah seharusnya kakek itu sudah menikmati  masa tuanya? Mengapa  masih harus bekerja seperti itu?”
Mantan  atasan saya juga sudah pensiun bertahun-tahun, namun sampai sekarang  saya mendengar beliau masih menjadi eksekutif di berbagai perusahaan  terkemuka. Saya sering merasa heran kepadanya. Lalu berguman didalam  hati; “Bukankah beliau itu sudah kaya raya? Mengapa masih harus bekerja  seperti itu?”
Ketika  ayah saya pensiun dari profesinya sebagai guru beberapa tahun lalu,  beliau ‘kembali ke sawah’. Benar-benar turun ke sawah dengan seragam  siap tempur untuk nyebur kedalam lumpur. Saya sering memikirkan apa yang  masih dicarinya. Lalu berkata kepada beliau; “Bukankah ini saatnya  beristirahat? Mengapa masih harus bekerja seperti itu?” 
Sejak masih kecil, saya mengenal ayah  sebagai  orang yang menyukai bekerja di sawah. Selepas sembahyang subuh, beliau  pergi ke sawah. Lalu pulang sekitar jam setengah tujuh. Setelah  bersih-bersih, beliau berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda.  Jam satu siang, beliau sudah pulang. Sembahyang dzuhur, lalu kembali ke  sawah hingga beduk magrib tiba. Jam kerjanya dibagi rata 50%-50% untuk  mengajar dan bertani. 
Ketika  berada di puncak karir keguruannya, beliau menjadi kepala sekolah di  dua sekolah berbeda pada saat yang bersamaan. Sehingga tidak sempat lagi  untuk mengurusi sawah. 100% jam kerjanya diberikan kepada profesinya  sebagai pendidik. Setelah pensiun. Beliau kembali ke sawah. Sekarang,  100% jam kerjanya untuk bercocok tanam lagi. 
Kepada  ketiga jenis pekerja gigih ini saya mempunyai satu pertanyaan yang  sama; “Sampai kapan Bapak akan terus bekerja?” Dari ketiganya saya  mendapatkan jawaban yang juga sama;” Sampai tidak mampu lagi  melakukannya….” Dan saya masih juga tidak memahami ketiganya.
Dulu  sekali saya sering tidak mengerti kepada ketiga jenis orang itu.  Mungkin karena banyak orator dan buku yang mengajak kita untuk pensiun  dini. Lalu menikmati hidup dengan pelesir kesana sini. Dulu sekali, saya  sering merasa iba kepada orang-orang seperti kakek tua yang mesti  keliling kampung menjajakan buah pisang itu. Dulu sekali, saya sering  tidak habis pikir dengan para pensiunan seperti mantan atasan saya. Dulu  sekali, saya sering kasihan pada ayah. Meskipun beliau  mengatakan;”Bekerja itu bagian dari penyempurnaan hidup. Maka bekerjalah  terus hingga hidup tidak mengijinkan lagi.” Saya belum faham juga.
Suatu  waktu, saya mendapatkan berita dari kampung halaman. Ini tentang kakek  saya – ayah dari ayah saya. Beliau bekerja sebagai petani hingga usia  senja. Saya dikabari jika beliau meninggal di sawah ketika sedang  merawat tanamannya. Ayah saya juga sedemikian cintanya pada pekerjaan di  sawah. Saya curiga jika beliau akan mengalami hal yang sama seperti  kakek saya. Sekarang saya mulai memahami bahwa bekerja itu merupakan  bagian dari perjalanan ruhani dalam kehidupan spiritual mereka. Usia  saya sudah melewati 40 tahun kini. Dan saya punya kecintaan yang sama  mendalamnya terhadap pekerjaan. Jangan-jangan, saya akan mengalami hal  yang sama seperti kakek dan ayah saya.  
Sekarang  saya tahu, kita keliru jika mengasihani orang-orang tua yang masih  mencintai pekerjaannya. Kita salah alamat jika demikian. Kalau kita mau  mengasihani seseorang karena bekerja, maka kasihanilah mereka yang  bekerja sambil menggerutu. Kasihanilah mereka yang percaya bahwa bekerja  itu adalah beban kegiatan yang ingin segera ditinggalkannya sedini  mungkin. Kasihanilah mereka yang bekerja karena merasa tidak punya  pilihan lain. Karena mereka yang bekerja karena terpaksa, tidak akan  mendapatkan kepuasan batin seperti yang terpancar diwajah orang-orang  yang bekerja karena mengikuti panggilan hatinya. 
Kelak  jika anak-anak sudah dewasa, saya ingin mereka memahami bahwa mereka  tidak perlu mengasihani orang tua yang masih mau bekerja. Karena dengan  bekerja seseorang bisa tetap menjadi pribadi yang berguna. Pantaslah  Rasulullah menasihatkan jika sebaik-baik manusia itu adalah yang paling  banyak manfaatnya bagi orang lain. Bahkan Tuhan pun tidak pernah  berhenti berkarya. Maka ijinkanlah tubuh renta ini untuk terus berkaya,  hingga akhir hayat kelak. 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
Catatan Kaki:
Yang patut  dikasihani itu adalah mereka yang bekerja dengan perasaan terpaksa,  bukan tubuh-tubuh renta yang terus berkarya karena panggilan hati  mereka. Siapapun yang terpaksa, tentu tersiksa. Sedangkan orang yang  terpanggil hatinya, menjalani pekerjaan dengan suka cita.
Silakan  di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung  saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai  tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya. 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman
DEKA - Dadang Kadarusman
Kamis, 28 Juni, 2012 21:26

Tidak ada komentar:
Posting Komentar