Selasa, 05 April 2011

Ekonomi 2011

anwar syaddad al rizky
(anwar_terlena_putra_petir)

Tanpa terasa, kita sudah memasuki paruh tiga 2010. Sejauh ini, kinerja ekonomi global cenderung terus membaik dan sinyal pemulihan terasa semakin kuat.
Kondisi ini terutama didukung oleh performa beberapa negara pilar perekonomian dunia, seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, China, dan India yang kinerjanya terus membaik.
Perbaikan ekonomi AS di antaranya tercermin dari laju ekonomi triwulan I-2010 yang mampu tumbuh 2,4 persen dengan ditopang dari penguatan kinerja ekspor dan konsumsi rumah tangga serta perbaikan di sektor industri.
Hal senada juga terjadi di Jepang dan India di mana ekspor,konsumsi masyarakat, dan produktivitas industri menjadi daya dorong perekonomian nasional.
Untuk China, perbaikan ekonomi terlihat dari kinerja triwulan I-2010 di mana produk domestik bruto (PDB) melaju kencang sebesar 11,9 persen (yoy) dan merupakan pertumbuhan tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
Selain itu, investasi aset tetap dan produktivitas industri juga tumbuh sangat tinggi masing-masing 25,6 persen dan 19,6 persen.
Performa ekonomi China yang fantastis ini tercatat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia lainnya khususnya melalui jalur perdagangan (trade channel).
Sejalan dengan perkembangan positif ekonomi global, kinerja ekonomi Indonesia pada paruh pertama 2010 juga terus membaik. Dari sisi ekonomi makro, stabilitas berbagai indikator ekonomi relatif terjaga dengan kecenderungan semakin menguat.
Kurs rupiah terhadap dolar AS, misalnya pada Januari 2010 pergerakan rata-ratanya masih berkisar Rp9.294, namun rupiah terus menguat dan pada Juni 2010 sudah berada pada tingkat Rp9.150 per dolar AS.
Untuk laju inflasi,meskipun pada Mei dan Juni 2010 mengalami kenaikan, tapi secara umum tekanan inflasi sepanjang Januari-Juni 2010 masih relatif terkendali dan berada dalam koridor sesuai sasaran pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Dari sisi sektor riil, kinerja beberapa variabel terkait juga mencerminkan adanya penguatan.
Kinerja ekspor, misalnya nilai kumulatifnya dalam lima bulan pertama 2010 mencapai USD60 miliar atau meningkat cukup tajam 47,68 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2009 lalu.
Sejalan dengan penguatan ekspor tersebut, posisi cadangan devisa pada akhir Juni 2010 meningkat menjadi USD76,32 miliar dan kinerja neraca pembayaran pada triwulan II-2010 diperkirakan tetap surplus sebagaimana pada triwulan sebelumnya.
Dari sisi konsumsi, total penjualan mobil enam bulan pertama 2010 yang naik fenomenal 76 persen dibandingkan tahun lalu menjadi salah satu indikator masih kuatnya konsumsi rumah tangga.
Sedangkan dari sisi investasi, penjualan semen di dalam negeri triwulan I-2010 yang naik secara tahunan sebesar 17,7 persen mencerminkan perkembangan positif kinerja investasi.
Kenaikan penjualan semen ini sejalan dengan maraknya kegiatan investasi sektor properti di berbagai kota besar di Indonesia baik untuk kepentingan komersial maupun residensial.
Berkaca pada kondisi di atas, bisa disimpulkan performa ekonomi domestik di sepanjang paruh pertama 2010 cukup menggembirakan. Tanpa adanya kebijakan dan kejadian luar biasa (shock), kinerja ekonomi Indonesia hingga akhir 2010 akan tetap prospektif. World Economic Outlook (WEO) Juli 2010 memperkirakan Indonesia akan tumbuh 6,0 persen pada 2010.
Krisis Eropa dan OJK
Sementara untuk 2011, kinerja ekonomi Indonesia diperkirakan semakin prospektif. Berbagai publikasi internasional, seperti WEO dan Consensus Forecast memproyeksikan laju PDB Indonesia pada 2011 akan lebih tinggi dibandingkan 2010, yakni pada tingkat 6,2 persen. Meskipun diwarnai sejumlah sinyal positif, namun potensi datangnya tantangan pada 2011 tetap perlu diwaspadai.
Sesungguhnya ada berbagai tantangan pada 2011, namun dalam tulisan ini saya akan menguraikan dua tantangan saja yang cukup krusial.
Dari perspektif global, salah satu tantangan berasal dari meluasnya dampak lanjutan Krisis Eropa. Seperti diketahui, Krisis Eropa terdeteksi pada akhir 2009 yang dipicu oleh melonjaknya beban utang dan defisit fiskal beberapa negara anggota Uni Eropa.
Dari sisi beban utang, dalam Maastricht Benchmarksudah disepakati bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB tidak boleh melampaui 60 persen, namun banyak negara Uni Eropa yang melanggar ketentuan ini, seperti Italia (115,8 persen), Yunani (115,1 persen), Prancis (77,6 persen),Portugal (76,8 persen), Jerman (73,2 persen), Inggris (68,1 persen), dan Irlandia (64 persen).
Sedangkan,dari sisi defisit fiskal di mana rasionya terhadap PDB tidak boleh lebih 3 persen, pada 2010 ada 12 negara yang melanggar konsensus ini, seperti Irlandia (14,3 persen),Yunani (13,5 persen), Inggris (11,3 persen), Spanyol (11,2 persen), Portugal (9,4 persen), Prancis (7,6 persen), Belanda (6,1 persen),Italia (5,2 persen),Belgia (4,8 persen), Austria (4,7 persen), Finlandia (3,6 persen),dan Jerman (3,3 persen).
Akibat krisis Eropa, beberapa waktu lalu bursa saham dan pasar finansial Eropa mengalami kejatuhan terindikasi dari pelarian modal (capital flight) secara masif dari pasar Eropa ke negara-negara yang dianggap lebih aman seperti AS.
Selain itu, Krisis Eropa telah melemahkan permintaan agregat dan produktivitas industri dalam beberapa waktu terakhir.
Bagi Indonesia, meluasnya dampak lanjutan krisis Eropa pada 2011 merupakan tantangan tersendiri. Pasalnya, Uni Eropa merupakan salah satu tujuan ekspor nonmigas Indonesia yang potensial.
Dalam lima tahun terakhir, kinerja perdagangan Indonesia–Uni Eropa terus meningkat dan selalu mendatangkan surplus bagi Indonesia sebesar rata-rata USD5,16 miliar per tahunnya.
Pada 2006 dan 2007, misalnya surplus Indonesia tercatat USD6,0 miliar dan USD5,6 miliar. Berlanjutnya Krisis Eropa pada 2011 tentu berpotensi menurunkan kinerja ekspor Indonesia ke kawasan tersebut yang pada gilirannya bisa menghambat ekspansi ekonomi pada 2011.
Hal ini perlu segera diantisipasi dengan mencari negara substitusi tujuan ekspor. Tantangan kedua terkait dengan sektor keuangan.
Seperti diketahui, setelah tertunda delapan tahun, pemerintah bertekad mewujudkan terbentuknya otoritas jasa keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawasan sektor keuangan yang baru selambat-lambatnya akhir tahun ini.
Saat ini, RUU OJK tengah di bahas di DPR. Jika OJK benar terbentuk pada tahun ini, berarti pada 2011 merupakan tahun pertama operasional lembaga tersebut.
Ini artinya, akan terjadi perubahan dan transformasi secara mendasar dalam tatanan sektor keuangan di Indonesia pada 2011.
Pengawasan perbankan yang sebelumnya dilakukan BI dan supervisi lembaga keuangan nonbank, seperti asuransi, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan yang selama ini di bawah otoritas Bapepam-Lembaga Keuangan akan dipindah dan menjadi kewenangan OJK.
Namun,persoalan tidak selesai di sini. Pengalaman pahit beberapa negara dengan OJK-nya, seperti Inggris dan Prancis serta keberatan sejumlah pelaku industri jasa keuangan untuk membayar iuran OJK, menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk bisa merumuskan formulasi terbaik sekaligus mewujudkan OJK sebagai lembaga pengawasan yang independen, kuat, dan kredibel yang mampu mengubah pengelolaan sektor keuangan di Indonesia menjadi jauh lebih baik.

*anwar syaddad al rizky*

kebijakan fiskal luar negeri Kemenkeu RI
Senin, 4 Oktober, 2010 09:02

Tidak ada komentar:

Posting Komentar