Kamis, 21 April 2011

Serial Filosofi Manajemen 4

FILOSOFI WAYANG
(Monolog dunia manajemen dan bisnis  dalam aplikasi) :
Leadership Versus Followership dalam Perspektif Dunia Pewayangan
Oleh : Ratmaya Urip *)


Jansen Hulman S. menyampaikan, bahwa pada tahun 1967 Gerhard Gschwandtber mengadakan riset mengenai kekecewaan dan menemukan bahwa di Library of  Congress terdapat 1.500 judul buku mengenai kesuksesan sedangkan buku mengenai kekecewaan hanya 16 judul saja.
Ini mengherankan Gerhard, karena observasi menunjukkan bahwa kekecewaan sesungguhnya merupakan pengalaman paling akrab dengan manusia ketimbang kegembiraan. Dukacita lebih sering terjadi daripada sukacita. Lalu mengapa topik kekecewaan begitu sedikit dibahas orang? Mengapa sukses dan sukacita yang jarang dirasakan dan  dicapai orang mendapat perhatian begitu banyak? Mengapa orang-orang yang sukses saja yang dibahas, sementara orang-orang yang gagal, yang jumlahnya sangat jauh lebih banyak tidak ditonjolkan untuk menggali mengapa kegagalan itu dapat terjadi? Karena kesuksesan itu tidak pernah lepas dari faktor luck, meskipun tidak boleh melupakan kerja keras, kerja waras dan kerja cerdas.
Demikian juga kalau kita cermati lebih dalam, ternyata dari hasil-hasil penelitian, textbooks, seminar, workshop, pelatihan, dan sebagainya, topik mengenai Leadership lebih banyak diminati (baca : dibahas) daripada topik Followership. Padahal dalam praktek berorganisasi apapun, baik organisasi bisnis, organisasi publik, maupun organisasi lainnya, jumlah Follower sangat jauh lebih banyak dibandingkan Leader.
Seorang follower lebih suka memahami dan atau menganggap dirinya sebagai leader (mungkin karena seringnya menerima cekokan konsep-konsep Leadership). Padahal sebagai follower tentu saja dia harus menerima  lebih banyak konsep-konsep maupun aplikasi tentang FOLLOWERSHIP, dalam hal ini bagaimana sikap, perilaku, tindakan dan mindset kita sebagai follower (yang kebetulan jumlahnya mayoritas). Kalau dia seorang follower, namun mindset-nya selalu leader, ya payah.
Saya kemudian berpikir...itulah mungkin biang dari segala keruwetan bangsa ini, sehingga tidak pernah beringsut dari keterpurukan yang berkepanjangan, karena semua maunya jadi leader (follower pun maunya jadi leader), meskipun itu tidak dilarang, tapi harus menunggu saatnya. Masalahnya, tdk ada yang mau jadi follower. Padahal yang terpenting sebenarnya adalah seberapa jauh pembagian peran itu dapat terbagi habis secara benar, tepat dan adil, tanpa menyisakan potensi konflik sekecil apapun. Setiap konflik di Indonesia sering berakhir dengan perpecahan, kemudian membentuk organisasi tandingan, yang disebabkan oleh lemahnya leadership, atau followership. Itu semakin nampak, ketika organisasi baru sudah terbentuk sebagai tandingan, ternyata hidupnya  sering kali tidak lama.

Dalam organisasi apapun, bagaimanapun, dan dimanapun selalu ada fenomena, bahwa follower ( pengikut ) jumlahnya selalu jauh lebih banyak daripada leader ( pemimpin ),  dan untuk hal yang satu ini tidak akan pernah ada seorangpun yang dapat membantahnya. Namun dalam manajemen, ternyata leadership lebih sering ditonjolkan daripada followership, sehingga training, coaching dan conselling yang dilaksanakan lebih sering mengakomodasi kepentingan-kepentingan atau cara-cara untuk menjadi seorang leader (dalam hal ini untuk mencetak leader yang baik atau mempunyai leadership yang kuat dan efektif). Jarang sekali ada pembahasan yang intens ataupun textbook yang best-seller mengenai followership yang mengemuka.

Mungkin sekali karena cukup dengan leadership yang kuat diharapkan organisasi akan dapat meraih goal atau objective sesuai dengan yang diharapkan. Atau followership adalah bagian dari leadership. Dalam hal ini tentu saja akan beruntung sekali jika  suatu organisasi dipimpin oleh seorang leader dengan kemampuan leadership yang kuat dan efektif. Namun, bagaimana jika organisasi dinakhodai oleh leader dengan kemampuan leadership yang lemah? Yang terakhir ini sangat banyak terjadi dalam organisasi-organisasi di Indonesia, baik organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, bisnis, olah raga, pemerintahan, perwakilan rakyat, maupun organisasi-organisasi yang lain. Faktanya, dan boleh juga disebut sebagai akibatnya, Indonesia sampai sekarang selalu dan selalu ketinggalan dalam segala hal dibandingkan dengan kinerja negara-negara lain, semakin terpuruk dan menderita. Seperti ayam mati di lumbung padi. Dalam bidang ekonomi, Indonesia telah merasakan betapa sakit dan beratnya keterpurukan yang terjadi. Dalam bidang olahraga belum pernah mengenyam prestasi yang membanggakan kecuali bulutangkis, sesekali panahan dan angkat besi. Dalam berdemokrasi kita masih kedodoran. Dalam pengelolaan sumber daya alam, baik pertanian, pertambangan dan lain-lain, prestasi Indonesia sangat jauh ketinggalan. Pastilah ada yang salah dalam mengelola hidup dan kehidupan bangsa ini. Apakah karena masalah leadership atau followership yang lemah, atau kedua-duanya lemah, atau masalah-masalah lainnya? Kajian tentang hal ini tentu saja tidak akan pernah ada habisnya, dan  akan bias atau tidak fokus ke topik tulisan ini. Ilustrasi di atas hanyalah sebagai referensi natural semata (sebab ada referensi artificial). Juga terlalu naïf untuk menuduh faktor leadership atau followership sebagai satu-satunya biang kegagalan, sebab masih banyak faktor-faktor yang lain, seperti aplikasi  management system ( baik manajemen generik maupun branded ), management style, organization climate, ability (skill & knowledge), moral (attitude & behavior), arts (creativity, adabtability, acceptability, flexibility, durability, etc),  bahkan luck.

Tentang luck atau ada yang sering menyebutnya dengan windfall ini juga perlu diperhatikan. Luck tidak akan dapat terjadi tanpa persiapan dan kesempatan. Luck tanpa persiapan yang baik  jarang yang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sedang luck jarang yang dapat maksimal didapatkan tanpa kesempatan. Persiapan dan kesempatan merupakan dua sisi mata uang untuk mendapatkan luck atau windfall. Persiapan itu sendiri kadang-kadang tidak kita sadari sudah tersedia sebelumnya dari personal maupun institutional experiences kita. Maka pandai-pandailah memanfaatkan persiapan ketika kesempatan tiba, supaya mendapatkan luck atau windfall. Contoh paling mudah adalah, ketika harga minyak dunia naik secara fantastik, yang saya sebut itu sebagai kesempatan bagi Indonesia sebagai penghasil minyak yang ketika itu masih anggota OPEC, tidak dapat menikmatimya, karena sudah beberapa tahun produksi minyak Indonesia malah terus merosot. Puncak produksi yang pernah dicapai sebesar 1,4 juta barrel/hari turun menjadi 990 ribu barrel/hari. Itupun Indonesia malah mengalami nett import. Sehingga kenaikan harga minyak dunia malah menjerat perekonomian Indonesia. Contoh lain adalah ketika harga komoditas dunia juga naik, namun karena tidak ada persiapan, maka kesempatan itu menguap begitu saja. Padahal Indonesia memiliki potensi komoditas yang menggiurkan. Namun karena manusia Indonesia disibukkan oleh perebutan posisi sebagi leader, tanpa ada yang mau berperan sebagai follower, atau kalau jadi follower malah merecoki leader-nya, maka jadinya ya seperti sekarang ini.

Leadership akan jauh lebih efektif dan kuat pada organisasi yang sistemnya sudah sangat bagus, sehingga tidak akan dapat “diakali” atau “tidak ada celah” untuk memanfaatkan sistem bagi kepentingan pribadi, atau tidak ada “loop-hole” sama sekali. Karena di organisasi dengan sistem seperti itu roda aktifitas manajerial dan operasional sudah dapat berjalan “auto pilot”. Sehingga siapapun leader-nya tidak akan memberikan pengaruh signifikan terhadap kinerja organisasi. Tentu saja harus diimbangi dengan followership yang kuat dan efektif  serta efisien, dan tidak ada goncangan dari luar pesawat yang fatal. Namun organisasi dengan sistem sempurna seperti itu hanya ada di dunia impian (di Ancol?).

Kembali kita fokus ke topik bahasan. Organisasi dengan kemampuan leadership kuat maupun  lemah tentu memerlukan kemampuan dan kontribusi dari follower untuk tetap dapat menjalankan organisasi on the right track, supaya vision, mission, strategy, action plan, goal ataupun objective tetap dapat tercapai. Dengan kata lain diperlukan followership yang kuat pula. Apa dan bagaimana followership yang kuat dan efektif itu dapat dijadikan kontributor dalam pencapaian kinerja suatu organisasi? Tentu saja lumayan sulit untuk menjabarkannya, karena praktek lapangannya sangat banyak, namun teori-teori atau textbooks tentang hal itu sulit dicari, karena kebanyakan mengulas tentang leadership. Bagaimanapun diharapkan ada benang merah atau balance antara teori dan praktek, supaya terjadi harmoni yamg komplementer, melengkapi keserbaduaan ( baca : harmoni ) yang telah ada sebelumnya, seperti tua-muda, laki-perempuan, siang-malam, gelap-terang, kaya-miskin, hitam-putih, besar-kecil, dan lain-lain.  Jangan sampai terjadi  dikotomi.
Berangkat dari keterbatasan teori tersebut, penulis mencoba menggali dari dunia pewayangan, yang kebetulan penulis cukup paham, meskipun hanya secuil. Dari dunia pewayangan penulis mengenal Ramayana, maupun Mahabharata dan lanjutannya Bharatayudha.



1. Ramayana.
 
Sebagai ilustrasi pertama, dalam Ramayana dikenal seorang raja sebagai leader bernama Rahwana atau Dasamuka, seorang raksasa yang sangat kejam, lalim dan arogan, yang jika marah kepalanya bisa bertambah menjadi sepuluh kepala. Rahwana adalah leader dalam hal ini top management dari para raksasa jahat yang amat sangat antagonis. Bukan kebetulan kalau Rahwana mempunyai follower, dalam hal ini posisinya middle management berjumlah 3 ( tiga ) orang, dengan fenomena followership yang beragam, yang kalau dicermati, fenomena tersebut banyak terjadi dalam dunia manajemen di Indonesia. Ketiga follower tersebut kebetulan adalah adik-adiknya. Ketiga adiknya, sebagai midlle manager, memang di samping memiliki  leadership yang kuat dan efektif, karena harus memimpin anak buahnya, mereka juga mempunyai masalah followership, dalam menyikapi sikap kakaknya yang semau gue. Namun karena leader-nya adalah sang kakak, yaitu Rahwana, dengan style seperti tersebut di atas, maka fungsi follower lebih menonjol daripada fungsi leader, dengan kata lain mereka lebih sering melayani leader daripada memimpin lower manager (anak buah-nya) sebagai follower mereka.

Dalam epos Ramayana diceritakan, bahwa Rahwana sebagai leader dari organisasi kerajaan yang bernama Alengkadiraja, mempunyai instant-goal untuk memperisteri Dewi Shinta, yang kebetulan sudah bersuami Prabu Ramawijaya, leader dari Kerajaan yang lain. Untuk tercapainya goal tersebut, Rahwana mempunyai instant action plan, yaitu merebutnya dari Prabu Ramawijaya, dengan menculik Dewi Shinta yang kebetulan sedang ditinggal berburu suaminya. Dengan strategi yang jitu, berupa tipu daya  alih rupa menjadi orang lain sehingga Dewi Shinta terkecoh, akhirnya Dewi Shinta dapat dibawa oleh Rahwana ke istananya. Pada akhirnya, karena adanya benturan kepentingan, dalam hal ini Prabu Ramawijaya tidak rela, maka berusaha untuk merebut kembali Dewi Shinta ke pangkuannya, sementara Rahwana tetap dengan goal ingin memperisteri Dewi Shinta, maka terjadi perang. Tentu saja dalam perang terjadi adu strategi.

Dalam kajian Strategic Management maupun Quality Management System, sebenarnya ulah Rahwana dengan menetapkan goal dan strategy secara instant di luar Longterm Plan (Rencana Jangka Panjang-RJP) dan Annual Plan (Rencana Jangka Pendek atau rencana Tahunan-RKAP), tanpa ada vision, mission, dan policy adalah kurang tepat. Prosesnya seharusnya ada vision dulu kemudian mission dan policy serta strategy, baru kemudian ada deployment atau cascading dalam action plan untuk pencapaian goal. Apalagi tidak ada corporate culture yang berkembang baik dalam organisasi atau kerajaan Rahwana.

Dalam hal ini tiba-tiba ada goal tanpa sebab dan alasan yang sistematik sesuai Strategic Management System ataupun Quality Management System. Berarti jelas ada Non Conformance dan kelasnya adalah very-very  Major jika rujukannya ISO Series (ISO 9001, ISO 14001, ISO 18001, dll). Apalagi tidak ada team-work yang baik karena semua dilakukan berbasis keputusan one man show.
Dalam menyikapi perang yang terjadi ternyata 3 (tiga) follower Rahwana mempunyai sikap yang berbeda, dengan kata lain followership style mereka  berbeda satu sama lain.

1. Kumbakarna, dikenal sebagai raksasa yang berjiwa ksatria, santun, lemah lembut, arif, adil, dan baik hati, meskipun badannya sebesar gunung dan wajahnya mengerikan, dengan kata lain sangat menakutkan. Ketika dihadapkan pada kelakuan Rahwana, seorang leader yang sangat antagonis, Kumbakarna diam, namun setelah sebelumnya selalu mengingatkan sang kakak atas perbuatannya yang tidak terpuji. Ketika Kumbakarna menasehati kakaknya supaya mengembalikan Dewi Shinta, Rahwana marah besar, dan mengusir Kumbakarna dari Istana. Kumbakarna akhirnya pergi bertapa, tidak menghiraukan lagi keadaan istana (organisasi). Tidak mau tahu bahwa akhirnya terjadi perang.

2. Sarpakenaka adalah raksasa wanita yang sangat identik dengan kakaknya, buruk rupa, buruk kelakuan, sukanya menggoda laki-laki...pokoknya identik dengan kakak sulungnya, Rahwana. Apa yang diperintahkan Rahwana pasti dilaksanakan dengan suka cita, meskipun itu salah.

3. Gunawan Wibisana, si bungsu yang berwajah manusia, tampan, cukup arif, bijak, selalu bertindak penuh perhitungan, selalu beroposisi (dalam hal ini selalu memberi nasehat) kepada Rahwana agar tidak selalu berbuat buruk. Ketika nasehatnya kepada Rahwana untuk mengembalikan Dewi Shinta kepada Prabu Ramawijaya malah mebuat Rahwana berang, dan mengusirnya dari Istana, Gunawan Wibisana malah memilih bergabung dengan musuh Rahwana atau kompetitornya.
Follower’s type yang manakah anda?


2. Mahabharata- Bharatayudha

Dalam Mahabharata yang kemudian berlanjut dengan Bharatayudha, pengayaan kita tentang followership lebih lengkap.

Di pihak Astina ada  Suyudana atau Duryudana sebagai leader Kurawa dari Kerajaan Astina, dengan 99 adiknya sebagai middle manager, yang dikenal sebagai antagonis tulen. Namun di samping itu Astina sebagai organisasi memiliki middle manager lain di luar Kurawa, atau profesional lain luar Kurawa yang cukup unik.
Prabu Karna dari Awangga, adalah type middle manager (follower Duryudono), yang bergabung ke Kurawa karena sebagai balas budi, karena sudah diberi pangkat dan jabatan yang tinggi oleh Kurawa. Maka meskipun Pandawa yang sebenarnya adik2nya sendiri satu ibu berperang dengan Kurawa dalam Bharatayudha, Prabu Karna membela mati2an organisasinya tersebut, meskipun akhirnya dengan mengorbankan jiwa raganya. Seperti halnya Fernando Torres yang harus professional membela mati2an klub barunya Chelsea karena dibayar mahal, dalam menghadapi mantan klubnya Liverpool, meskipun akhirnya kalah 0-1, kemarin. (Maaf, dalam konteks Fernando Torres, semata-mata adalah konteks profesionalisme, bukan konteks antagonis-protagonis).

Prabu Salya, lain lagi. Dia sangat membenci sikap dan perilaku Duryudana yang sangat antagonis. Namun karena Astinapura adalah tanah airnya (organisasinya), maka ketika perang Bharatayudha terjadi, dia membela Astinapura sampai titik darah penghabisan. Dia hanya mau mempertahankan kehormatan organisasinya (Astinapura), bukan membela Duryudana, leader-nya yang antagonis. Setelah kematiannyapun Para Pandawa yang dalam konteks Bharatayudha adalah musuhnya, sangat menghormati Prabu Salya.
Hal serupa juga terjadi pada Resi Bisma, yang mirip dengan Prabu Salya, yang berperang di Pihak Astinapura, yang kebetulan dipimpin oleh Kurawa dengan leader Duryudana,  yang antagonis, karena semata-mata mempertahankan negaranya (organisasinya), bukan membela leader-nya yang antagonis meskipun hati nuraninya berada di pihak Pandawa, atau musuhnya.

Sementara di Pihak Pandawa, semua follower sangat mendukung karena sikap dan perilaku kepemimpinan Pandawa yang sangat protagonis, sehingga tidak ada yang aneh di follower-nya, semua berjalan on the right track, sesuai sistem. Karena telah memahami esensi followership secara benar.
Bagaimana dengan organisasi anda, atau negara anda? Jika seandainya anda berada dalam organisasi dengan leader yang leadership-nya payah, apalagi antagonis? Apakah sebagai follower anda akan bersikap seperti Prabu Karna, Prabu Salya, Resi Bisma, atau adik2 Rahwana yang 99 orang tersebut? Beruntunglah jika anda mendapatkan leader seperti Pandawa. Itu jika berkaca dari epos Mahabharata-Bharatayudha.

Demikian juga jika kita menengok kembali epos Ramayana, apakah jika anda sebagai follower anda akan bersikap seperti Kumbakarna, Sarpakenaka atau Gunawan Wibisana?
Jika anda bukan follower, namun leader, saya yakin, leadership anda lebih condong ke leadership yang dimiliki Prabu Ramawijaya atau Pandawa, bukan Rahwana atau Kurawa.


Pesan moral yang ingin disampaikan:

Leadership amat sangat dan begitu penting, khususnya bagi para leader. Bagi calon-calon leader (baca: follower) juga akan sangat menunjang, karena sebagai persiapan menyongsong regenerasi. Apalagi jika posisinya adalah middle manager, yang harus dapat berperan ganda sebagi leader maupun follower. Bagi yang saat ini posisinya masih di middle manager apalagi yang masih front-liner, disarankan, disamping harus benar2 memahami leadership juga untuk benar-benar memahami esensi followership, karena mereka tidak hanya menghadapi masa depannya sebagai leader, namun juga masa kini dimana mereka berada sebagai follower. Masa depan yang cerah tidak akan dapat digapai tanpa masa kini yang baik. Untuk itu, memahami dan mengoperasionalkan leadership harus balance dengan pemahaman yang benar tentang followership, supaya tidak “nggege mangsa”, belum-belum sudah merasa sebagai leader, melupakan realitasnya sebagai follower. Meskipun lebih nyaman sebagai leader daripada sebagai follower. Untuk itu raihlah posisi leader, dengan cara-cara yang cantik, dengan kompetisi yang sehat dan baik, karena memang sudah dibekali followership yang cukup dan leadership yang kuat dan efektif, syukur bisa efisien.
Semoga ini dapat sedikit membantu menjelaskan juga tentang fenomena kutu loncat.

Kalimat kuncinya adalah:

Followership yang masih berkutat hanya pada teori-teori Five reasons to follow, yaitu tentang relasi antara leader-follower yang berkaitan dengan follow, respect, trust, liking, support, dan ideas, tidaklah cukup. Meskipun ditambah dengan teori-teori tentang exemplary, alienation, conformist, pragmatist, passive (Kelly’s Model, 1992). Karena dalam prakteknya di Indonesia sering terjadi distorsi atau deviasi yang sangat lebar. Teori dan praktek harus balance. Karena teori tanpa praktek itu omong kosong, sementara praktek tanpa teori itu ngawur.

Salam Manajemen
Ratmaya Urip
===============================
Note: *) penulis adalah fungsionaris Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia), dan Quality Network Club – Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar