Senin, 04 April 2011

Selebriti atau Selebritas?

Selebriti atau Selebritas ?
Oleh : Ratmaya Urip*)
 
“Selebriti”, kosakata ini sekarang banyak sekali dipakai sebagai kosakata tulis maupun kosakata tutur dalam berbagai kesempatan. Hampir seluruh media menulisnya seolah sebagai kosakata baku Bahasa Indonesia. Contoh yang paling nyata, ada media elektronik yang memberi nama program acaranya dengan judul “Investigasi Selebriti (Insert),” dan juga “Selebrita-Selebriti”.
Maaf, saya sangat awam dalam berbahasa Indonesia, jauh dari predikat ahli Bahasa Indonesia, dan tidak bermaksud untuk memosisikan diri menjadi pakar Bahasa Indonesia, namun kosakata “selebriti” yang sekarang sudah menjamur (dan mungkin juga akan mengakar) yang telah dipakai sebagai kosakata Bahasa Indonesia selama beberapa tahun ini, telah membuat dahi saya mengernyit dan berombak, benak saya bergejolak, hati saya penuh onak, nyali saya berkelopak, sementara hasrat untuk segera mendiskusikannya menjadi beranak pinak.
Menilik apa yang sedang terjadi ini, saya mencoba untuk menganalisisnya dari apa yang selama ini terjadi dalam proses bentukan kata yang bersistem. Dengan kata lain, apakah kata “selebriti” ini sudah memenuhi kaidah-kaidah dalam proses bentukan kosakata Bahasa Indonesia baku, yang dapat disebut sebagai hasil bentukan kosakata yang bersistem.
Dalam sejarahnya, Bahasa Indonesia tidak akan pernah lepas dari serapan bahasa-bahasa asing maupun bahasa-bahasa daerah. Khusus serapan dari bahasa asing, pada awalnya banyak sekali serapan-serapan dari Bahasa Belanda, namun sejak kemerdekaan, dan terlebih-lebih pada era Orde Baru, kiblat serapannya lebih banyak ke Bahasa Inggris. Hal ini seiring dengan surutnya peran Bahasa Belanda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan semakin menonjolnya peran Bahasa Inggris. (Peran Bahasa Arab juga semakin menonjol mengimbangi peran Bahasa Inggris, dengan semakin besarnya peran negara-negara Arab dan relasinya dengan Bangsa Indonesia dan dunia internasional di bidang-bidang keagamaan, ekonomi, bisnis, politik, sosial dan budaya. Namun dalam konteks tulisan ini kebetulan tidak ada relevansinya).
Contoh-contoh serapan dari Bahasa Inggris yang kini sudah menjadi kosakata baku Bahasa Indonesia adalah, quality menjadi “kualitas” (dulu ditulis “kwalitas”, karena ketika itu masih berbasis Bahasa Belanda), quantity menjadi “kuantitas” (dulu ditulis “kwantitas” karena alasan yang sama), productivity menjadi “produktivitas”, integrity menjadi “integritas”, capability menjadi “kapabilitas”, capacity menjadi “kapasitas”, acceptability menjadi “akseptabilitas”, electability menjadi “elektabilitas”, stability menjadi “stabilitas”, priority menjadi “prioritas”, liquidity menjadi “likuiditas”, rentability menjadi “rentabilitas”, solvability menjadi “solvabilitas”, dan masih banyak lagi serapan-serapan lain yang senada.
Dari proses terjadinya bentukan, nampak sekali bahwa sistemnya adalah, bahwa setiap kosakata dalam Bahasa Ingris yang diakhiri dengan huruf “...ty”, selalu diserap dalam Bahasa Indonesia, dan berubah menjadi “...tas”. Dengan kata lain kosakata dalam Bahasa Indonesia yang merupakan serapan dari Bahasa Inggris “...ty” bentukan yang seharusnya mengikuti, atau sistemnya adalah menjadi “...tas”.
Bagaimana dengan kosakata “selebriti” yang merupakan serapan dari Bahasa Inggris celebrity yang sekarang sedang menjadi kosakata yang populer di berbagai kesempatan dan kepentingan? Menurut saya, sejalan dengan sistem bentukan kosakata yang selama ini dijadikan acuan untuk menjadi bentukan kosakata yang bersistem, maka kosakata celebrity dari Bahasa Inggris, serapan bakunya adalah “selebritas” bukan “selebriti”. Karena di atas sudah diuraikan sistemnya. Jika kosakata “selebriti” masih diinginkan sebagai kosakata yang dapat dipakai sebagai kosakata Bahasa Indonesia, dapat disebut sebagai kosakata bukan baku. Dengan demikian, sejalan dengan sistem bentukan kata yang bersistem, seperti diuraikan di atas, maka kosakata “polibriti”, sebutan untuk para “politisi” yang telah menjadi “selebriti” bukanlah kosakata yang baku. Adapun yang lebih baku untuk ditulis dan ditutur adalah kosakata “polibritas”, karena merupakan bentukan kosakata yang bersistem.
Bentukan kosakata yang tidak bersistem, sering terjadi dalam berbahasa Indonesia. Contoh lain adalah kosakata “santriwan” atau “santriwati”. Menurut saya kosakata tersebut bukan hasil bentukan kosakata yang bersistem. Akhiran “wan” atau “wati” dan “man” mempunyai fungsi “meng-orangkan”, atau menjadikan orang suatu kosakata yang bukan orang. Sehingga “pahala” menjadi “pahlawan”, “warta” menjadi “wartawan”, “seni” menjadi “seniman”, “rela” menjadi “relawan”, dan sebagainya. Kosakata “santriwan” atau “santriwati” berasal dari kosakata dasar “santri”, dan kosakata “santri” itu adalah orang, sehingga jika ditambah dengan “wan” atau “wati” akan mubazir, karena arti dan pengertiannya sama atau tidak mengubah arti apapun kecuali menambah huruf, dan bukan merupakan bentukan kosakata yang bersistem.
Pada awal berdirinya TVRI, dulu pernah dipopulerkan kosakata “pirsawan” oleh pihak TVRI, namun karena ternyata kemudian kosakata tersebut juga bukan kosakata yang berasal dari bentukan kosakata yang bersistem, maka akhirnya kosakata tersebut lenyap dari Bahasa Indonesia, dan diganti menjadi yang lebih tepat, yaitu “pemirsa” atau “penonton”. “Pirsawan” berasal dari kosakata dasar “pirsa” ditambah akhiran “wan”. Sistem yang ada untuk akhiran “wan”, “man” dan “wati”, di samping sistem yang diuraikan di atas adalah tidak dapat ditambahkan pada kata kerja. Oleh karena “pirsa” adalah kata kerja, maka jika ditambah “wan”,”man” atau “wati” tidak ada sistemnya dalam Bahasa Indonesia. Dengan kata lain, “pirsawan” bukan merupakan bentukan kosakata yang bersistem.
Contoh lain tentang bentukan kosakata yang tidak bersistem adalah sederetan kata yang melengkapi waktu, yaitu “Bagian Barat Waktu Indonesia (BBWI)”, yang sampai saat ini masih sering ditulis dan ditutur sebagai varian atas penulisan “Waktu Indonesia Barat (WIB)”. Contoh yang sering terjadi, adalah seringnya ditulis dalam undangan, yang menyampaikan bahwa rapat atau acara dimulai pada jam 09:00 BBWI.
Bahasa Indonesia menganut hukum DM (Diterangkan-Menerangkan). Istilah yang awalnya diperkenalkan oleh Prof. Dr. St. Takdir Alisjahbana dalam bukunya “Tatabahasa Baru Melayu Indonesia”. Dalam konteks penulisan “Bagian Barat Waktu Indonesia (BBWI)”, jelas, bahwa kata-kata tersebut telah ingkar dari Hukum DM. Karena “Waktu” yang seharusnya diterangkan, malah berada di bagian belakang dari sederetan kata majemuk tersebut. Penjelasannya adalah, dari kata majemuk tersebut dapat diurai menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu “Bagian Barat”, “Waktu” dan “Indonesia”. Dari ketiga kosakata tersebut, urutan penulisan atau penuturan dimulai dari yang paling diterangkan, dalam hal ini “Waktu”, kemudian “Indonesia”, baru kemudian “Bagian Barat”. Karena harus merujuk pada Hukum DM, maka penulisan atau penuturan yang baku wajib dimulai dari yang paling diterangkan terlebih dahulu, baru kemudian diikuti sampai yang paling menerangkan. Maka penulisan yang sesuai dengan kaidah-kaidah bentukan kata yang bersistem adalah “Waktu Indonesia Bagian Barat”. Supaya lugas, dan tidak ada pemborosan dalam berbahasa, dan karena sudah dapat dicerna secara tepat, maka kata “Bagian” dihilangkan, atau lebih tepat kalau ditulis dengan “Waktu Indonesia Barat (WIB)”. Dalam hal ini “Waktu” adalah yang diterangkan, sementara yang menerangkan adalah “Indonesia”, sementara kosakata “Barat” menerangkan kosakata “Indonesia”, jika Indonesia berfungsi sebagai “yang diterangkan”. Maka letaknya ada dibelakangnya. Penulisan ini sudah baku, karena sudah memenuhi kaidah-kaidah Hukum DM, mengapa ada saja yang mencoba untuk “kreatif” dengan mengubahnya dalam bentuk lain, yang justru malah bukan bentukan kosakata yang bersistem?
Apakah akan kita biarkan ketitakbakuan ini selalu terjadi? Jawabannya ada pada diri setiap manusia Indonesia. Karena yang dapat “nguri-uri” bahasa Indonesia adalah kita sendiri. Jika kita ingin agar Bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa modern yang dapat dipakai sebagai bahasa lisan maupun bahasa tutur yang terhormat, yang tentu saja termasuk di dalamnya dapat menjadi sarana untuk penulisan ilmiah dan sastra, dan dapat diakui eksistensinya oleh masyarakat internasional, maka satu-satunya cara adalah dengan selalu memberikan atensi, koreksi dan apresiasi, untuk tercapainya akurasi dan presisi dalam berbahasa Indonesia. Bagaimana pendapat para ahli Bahasa Indonesia?

ooOoo

*) Ratmaya Urip, pemerhati Bahasa Indonesia. Saat ini fungsionaris Asosiasi
Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia)

2 komentar:

  1. Kalau kita mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, terdapat beberapa pengecualian dalam penyerapan unsur bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, contohnya penyerapan akhiran -ty dalam bahasa Inggris menjadi -tas dalam bahasa Indonesia. Dalam kasus tersebut, KBBI mencatat ada dua pengecualian, yaitu selebriti dan sekuriti, bukan selebritas dan sekuritas. Merujuk pada hal tersebut, Pusat Bahasa selaku penyusun KBBI pasti memiliki alasan yang kuat mengapa akhiran -tas tidak dipakai dalam kata selebriti dan sekuriti.

    BalasHapus
  2. Tentang "selebritas" sejumlah media di Indonesia dengan editing yg ketat, karena tingginya concern terhadap aplikasi Bahasa Indonesia,selalu menulis "selebritas" bukan "selebriti". Seperti KOMPAS, TEMPO, dan lain-lain.

    Kosakata "selebritas" dan "sekuritas" adalah kosakata yg relatif baru, sehingga seharusnya penggunaannya selalu diluruskan sesuai dengan kaidah-kaidah bentukan kosakata yang bersistem. Bukan malah diberikan pengecualian. Jangan biarkan lagi terjadi "salah kaprah" tanpa sistem. Inkonsistensi akan mendegradasi dan mendistorsi sistem yang ada.

    Tugas ahli bahasa untuk selalu konsinten.

    Salam

    BalasHapus