Kamis, 21 April 2011

COKLAT...tak selalu COKLAT...

Oleh: IETJE SRI UMIYATI GUNTUR <ietje_guntur@bca.co.id

Jumat, 1 Oktober, 2010 04:11
 
Dear Allz…


Hallloooooowwwww…..yeelllloooowww….apakabaaarrr ??? Aaaaahhh…senangnya, mendengar kabar teman dan sahabatku dalam keadaan sehat semua… Eheemmh…menjelang akhir pekan...hari libur…pasti dong segar dan semangat…hehe…

Sudah ada rencana untuk berlibur atau menikmati hari akhir pekan ? Syukurlah, bila sudah ada jadwal…Tetapi bila belum ada rencana apa-apa, juga tidak mengapa…Kita bisa kok menikmati keseharian kita di rumah. Menikmati segala sudut di rumah kita. Menikmati kicauan burung yang beterbangan di pohon-pohon di sekitar rumah kita. Bahkan menikmati sarang laba-laba dengan laba-labanya sekalian…karena pojok gelap itu sudah agak lama tidak tersentuh pasukan pembersih…hhhggh…


Saat seperti ini memang saat yang ditunggu. Sendirian atau bersama dengan keluarga. Atau bersama dengan sahabat-sahabat. Semua akan menyenangkan, kalau hati kita sedang senang atau mood kita sedang baik. Rasanya dunia akan kinclong dan bersinar cemerlang…seperti cawan perak yang digosok hingga mengkilap…


Suasana hati…keadaan emosi…memang sangat berpengaruh terhadap hidup kita sehari-hari. Emosi yang tenang dan stabil, emosi yang bergairah penuh semangat akan membuat kita lebih mudah menerima kondisi apa pun yang kita alami. Sebaliknya, emosi yang goncang atau tidak stabil, emosi yang layu dan tak bergairah….membuat kita malas melihat dunia…atau bawaannya jadi pengen marah-marah melulu…

Konon katanya, untuk mengatasi emosi atau mood yang tidak menentu itu banyak caranya. Selain berolahraga, meditasi, berjalan santai di tempat yang nyaman dengan udara yang bersih, kita juga dapat mengatasinya dengan menyantap makanan-makanan tertentu. Di antaranya adalah coklat…hehe..iya,…coklat atau yang kita kenal sebagai chocolate…


Saya doyan makan coklat…dan saya harap teman dan sahabatku juga menyukainya…hehe… Jadi boleh dong kali ini kita ngobrol tentang coklat dulu, ya ?


Mumpung hati lagi senang…mumpung semangat sedang elok dan penuh gairah…saya hidangkan coklat ini untuk teman dan sahabatku semua…Semoga berkenan…


Jakarta, 1 Oktober 2010

Salam hangat,




♥♥♥






COKLAT...tak selalu COKLAT...




Jam makan siang. Saya baru selesai bersantap dengan sahabat-sahabat di kantor. Siang itu kami menikmati makan siang di pusat jajan di sekitar kantor. Jam makan siang yang pendek selain untuk mengisi energi fisik, juga untuk mengisi energi batin. Ngobrol dan curhat termasuk untuk mengisi baterai emosi...hehehe...


Sambil berjalan kembali ke ruang kerja, saya celingak-celinguk ke toko-toko yang berjajar di kompleks pertokoan seputar kantor. Inilah salah satu keuntungan bekerja di lingkungan yang dekat dengan pusat perbelanjaan. Lebih mudah memenuhi kebutuhan logistik. Tentu saja harganya lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan harga di warung dekat rumah. Tapi demi alasan kepraktisan, ya mau tidak mau sesekali belanja di pusat perbelanjaan itu harus dilakoni juga. 

Sekalian cuci mata ala ibu-ibu...hahahaha...bisa saja....

“ Aku pengen makan coklat deh !” tiba-tiba saya nyeletuk.
“ Haaah...baru saja makan nasi, kok sudah mau makan coklat ,” sahut seorang sahabat.
“ Hmmh...pengen ada yang manis-manis sedikit, untuk mengimbangi rasa yang asin pedas tadi .” Kilah saya. Sahabat saya Cuma mengangguk-angguk. Entah setuju, atau tidak. Tapi akhirnya dia pun mengikuti saya mampir di toko yang menjual berbagai keperluan rumahtangga, termasuk coklat batangan kegemaran saya.


Jadi deh...sebatang coklat dengan rasa pahit dan sedikit rasa kacang di dalamnya menjadi penutup makan siang tadi. Dan sambil mengemut potongan coklat  yang meleleh di lidah, dengan hati senang saya melangkah kembali ke ruangan kerja...hmmhh...





Tak hanya sekali itu saya mendadak kepengen coklat.

Walaupun bukan tergolong penggemar berat alias Chocolate-Mania, tetapi sesekali saya suka juga mengemut si Coklat dengan aneka rasa. Coklat dengan butiran kacang atau mete, coklat dengan isi kismis, coklat dengan isi strawberry...bahkan coklat yang sekedar beraroma jeruk atau mint saya juga doyan.


Sebetulnya kalau ditanya, kenapa saya suka coklat, ya saya sendiri kurang tahu. Rasanya tradisi memamah...eeeh, memakan dan mengemut coklat ini sebenarnya ‘warisan’ dari ibu saya. Sejak kecil saya sudah diiming-imingi ibu saya dengan aneka coklat. Bila ibu saya sedang punya uang belanja lebih...( ini sih rahasia kaum ibu...), beliau sering membelikan kami coklat yang enak dan cukup mahal harganya untuk jaman itu. Coklat batangan itu biasanya dibagi beberapa kepingan, dan dibagi untuk saya dan adik-adik. Biasanya sih...saya mendapat potongan paling besar...hihi... 

Jadi kebiasaan mengemut terbawa hingga saat ini. Kata ibu saya, coklat tak hanya untuk cemilan selingan, tapi juga bisa membuat perasaan jadi tenang dan santai...hehe...


Duluuuuuu....ketika saya masih kanak-kanak, saya pernah jadi coklat-mania yang tergolong rakus...hahahaha...ngakuuuuuu.....ngakuuuu....!!! Di masa itu, saya mendingan nggak makan nasi dari pada nggak makan coklat batangan...terutama yang ada tulisannya ‘voolmelk’...halaaaah...!! Tapi karena rada-rada malas sikat gigi, akibatnya gigi saya menjadi geripis, dan sisa coklat menimbulkan caries dan infeksi pada gusi saya. Jadi deh...saya sering menderita sakit gigi gara-gara memamah coklat tidak berhenti...hiks hiks...


Ada satu pengalaman saya yang sangat menyedihkan dan tidak terlupakan dengan coklat. Yaitu, ketika lebaran saya tidak bisa keluar rumah. Pipi saya tembam seperti bapao, dan seluruh mulut berdenyut-denyut,  nyeri tidak karuan. Saya hanya bisa menangis, dan melihat teman-teman bergembira di hari raya yang meriah itu. Sementara itu, demi alasan keamanan dan kenyamanan, ibu saya tidak mengijinkan saya keluar dari rumah...huaaaa... huaaaaa....Pokoknya hari itu jelek banget deh. Baju baru, sepatu baru, tapi pipi tembam kemerahan dan wajah seperti kue bapao yang salah kukus...Suatu kombinasi yang tak enak dilihat di depan kaca !


Sejak saat itu, saya – dengan kesadaran sendiri – mulai membatasi mengemut coklat. Saya pun tidak berebutan lagi dengan adik-adik saya bila ibu atau ayah saya membelikan coklat. Ini memang agak mengherankan bagi ibu saya, tapi beliau bersyukur juga. Sejak saya mengalami kisah sedih di hari lebaran itu tidak ada lagi tawuran massal di rumah gara-gara coklat...hihihi...





Ngomong-ngomong soal coklat, terutama coklat makanan. Dulu, kebanyakan coklat makanan ini hanya berbentuk batangan yang dibungkus satu persatu. Ada juga coklat  berbentuk pensil yang berisi wafer di dalamnya, atau coklat bundar-bundar tipis mirip uang logam. Belakangan, dengan aneka kreasi, maka banyak coklat-coklat makan yang rasanya manis berbentuk aneka rupa.

Coklat, yang berasal dari biji buah cacao, kemudian diolah menjadi cocoa butter. Kita biasa menyebut pohon cacao , atau nama latinnya Theobroma cacao ini sebagai pohon coklat saja. Cocoa butter yang berasal dari pohon cacao inilah kemudian yang diolah menjadi - sebagian besar - untuk bahan makanan dan farmasi. Iya, lho...coklat yang cocoa butter itu tidak hanya enak diemut-emut, tapi juga bermanfaat untuk bahan baku obat-obatan ataupun kosmetika. Ingat saja ada lulur  dan masker wajah dari coklat...hehe...


Berdasarkan beberapa penelitian, coklat ini tak hanya enak disantap. Tetapi kandungan coklat juga berpengaruh terhadap mood atau kondisi emosi seseorang. Itu sebabnya, orang yang sedang tidak stabil emosinya dianjurkan untuk menyantap coklat atau meminum sajian coklat yang hangat. Sayangnya, banyak orang yang kebablasan...Setiap kali mood-nya tidak enak, mereka tidak sekedar icip-icip coklat. Mereka malah melampiaskan nafsu makannya kepada coklat ini...hmmh...nyaaam...


Coklat untuk lulur dan masker juga memiliki khasiat yang kurang lebih sama. Selain membersihkan kulit, kandungan coklat di dalam lulur atau bahan masker itu diyakini akan menenangkan dan menyehatkan kulit. Luar biasa, ya...


Sekarang coklat yang kita kenal pun beragam merek dan rasanya. Dulu kita hanya mengenal coklat-coklat buatan luar negeri yang notabene justru tidak memiliki pohon dan kebun coklat di negaranya. Swiss , Jerman, Italia, Perancis, Belgia termasuk negara-negara penghasil makanan coklat yang terkenal di seluruh dunia. Sedangkan sekarang sudah mulai banyak coklat lokal yang beredar di pasaran, antara lain coklat dengan isi kacang mete, coklat susu, coklat isi buah dan kismis, dan lain-lain.


Tidak hanya itu. Coklat pun sekarang banyak ragam warnanya. Walaupun namanya coklat, tetapi coklat tidak selalu berwarna coklat...Sekarang ada ‘coklat’ yang warnanya putih, ada coklat yang warnanya pink dan orange, ada juga coklat yang warnanya hijau dan agak ungu...wwooowww...

Itu tentu berbeda dengan coklat jaman saya SD dulu. Dulu itu ada coklat kegemaran anak-anak dengan gambar ayam yang rasanya agak pahit. Coklat cap ayam ini cukup populer, karena harganya murah meriah dan rasa coklatnya manis menggigit. Buat sekedar kemut-kemutan rasa, si coklat cap ayam ini lumayan banget untuk bekal ke sekolah dan jajan iseng di saat santai.





Cerita tentang coklat, sebetulnya kita boleh miris dan prihatin.  Bagaimana tidak ?

Coklat Indonesia, terkenal sangat baik mutunya. Kondisi alam dan iklim di Indonesia sangat baik bagi pertumbuhan tanaman coklat. Semasa masih kecil dan tinggal di Sumatra, saya sering  diajak oleh ayah saya ke perkebunan coklat yang ada di sekitar kota Medan. Dulu saya pernah berpikir, bahwa makanan coklat batangan itu akan menjuntai dari ujung-ujung tangkai pohon coklat. Tapi ternyata tidak . Ketika melihat buah coklat yang mirip buah belimbing dalam ukuran lebih besar, saya sempat kecewa....ohh lala...betapa naifnya saya...hehe...


Berdasarkan sejarahnya, coklat atau cacao yang berasal dari Amerika Selatan banyak ditanam dalam skala besar dan perkebunan di daerah-daerah Indonesia Timur seperti Sulawesi dan beberapa daerah di pulau Jawa. Belakangan tidak hanya di wilayah Timur Indonesia dan sekitar Medan saja banyak pohon coklat yang ditanam untuk industri. Saya pernah melihat kebun-kebun coklat yang menghampar luas di kiri kanan jalan, di daerah Nias, pulau yang pernah dilanda gempa besar dan tsunami. Konon kualitas cocoa dari daerah Nias ini termasuk yang terbaik di Indonesia. Dan sekarang menjadi salah satu komoditi ekspor yang diperhitungkan dari daerah Sumatra Utara.


Melihat buah coklat yang bergelantungan di pohonnya, dan melihat bungkusan coklat di dalam kotak-kotak kemasan bermerek luar negeri, hati saya seperti diiris-iris.

Kita, Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa. Tetapi kenapa, kita tidak tergerak untuk meningkatkan produksi coklat atau tepatnya cocoa butter untuk keperluan industri dalam negeri. Kita merasa sudah cukup puas hanya dengan menyantap coklat cap ayam, yang hanya berupa aroma coklat, bukan dari cocoa butter yang berkualitas. Sementara negara pengimpor coklat dari Indonesia dapat menikmati devisa dengan memproduksi dan menjajakan coklat papan atas dengan cita rasa lezat yang harganya berpuluhkali lipat. 


Bila di satu sisi coklat dapat menunjukkan kelas sosial dan tingkat ekonomi seseorang, apakah kita cukup puas hanya dengan menjadi kelas sosial ekonomi cap ayam saja. Tidak tergerakkah kita untuk meningkatkan diri setara dengan coklat kualitas ekspor ? Tidak inginkah kita mewarnai dan memperkaya hidup kita seperti coklat yang memperkaya kehidupan orang lain ?

Kita bisa belajar dari proses pengayaan dan peningkatan kualitas coklat...dari cacao menjadi cocoa butter. Dan dari cocoa butter menjadi coklat hidangan istimewa yang memperkaya hidup kita.

Semoga...apa pun warna coklatnya, suatu saat akan menjadikan kita lebih percaya diri dan menjadi primadona di negara sendiri.


Mau menjadi penikmat coklat ? Mariiiiiiiii......


♥♥


Jakarta, 28 September 2010


Salam hangat,



Ietje S. Guntur


Special note :
Terima kasih buat Melia , si Coklat-Mania...yang sering mengiming-imingi coklat...hhmh...thanks buat inspirasi coklatnya...Juga buat sahabat-sahabat kecilku penggemar coklat cap ayam...hehe...serta adikku penggemar coklat satu batang bagi enam...;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar