Selasa, 02 Agustus 2011

Membatalkan Puasa Untuk Hubungan Suami - Istri (Jima')

Disebarluaskan oleh:  Rudi Zamroni
(Sumber: Fiqih Ramadhan, by  Ahmad Sarwat, Lc)

Salah satu tindakan yang sangat tidak disukai adalah merusak kehormatan bulan Ramadhan dengan cara membatalkan puasa dengan sengaja. Dimana pembatalan itu dilakukan tanpa latar belakang udzur yang dibenarkan secara syar'i dan seseorang secara sadar dan sengaja membatalkan puasanya.
Tindakan itu termasuk dosa besar di sisi Allah SWT dan karena itu dikenakan sanksi, selain mengqadha juga membayar fidyah menurut sebagian ulama. Bahkan dikatakan bahwa menyengaja berbuka puasa di siang hari tanpa udzur syar'i, tidak akan terbayar dosanya meski dengan berpuasa sepanjang masa.
Siapa yang membatalkan puasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa rukhshah (keringanan) atau sakit, tidak akan tergantikan walaupun dengan puasa selamanya, meski dia berpuasa. (HR Tirmizy, Abu Daud, Ibnu Majah, An-Nasai)
Dan akan lebih parah lagi apabila pembatalan puasa itu dilakukan dengan cara berjima'. Dan kaffaratnya adalah dengan membebaskan budak, atau berpuasa 2 bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 miskin.

Sebelum Jima' (Hubungan Suami-Istri) Membatalkan Puasa Terlebih Dahulu

Permasalah ini memang didekati dengan 2 pendekatan yang berbeda oleh para ulama. Boleh kita bilang, setidaknya ada 2 versi pendapat.

I. Pendapat Jumhur

Jumhur ulama, dalam hal ini mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah, selain Asy-Syafi'iyah sepakat mengatakan bahwa membatalkan puasa terlebih dahulu untuk tujuan berjima' di siang hari bulan Ramadhan tetap terkena kaffarah ghalizhah.
Kaffarah Ghalizhah adalah kaffarah yang kita kenal, yaitu memerdekakan budak, atau puasa 2 bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 fakir miskin.
Bagi mereka, pokoknya berjima' di bulan Ramadhan itu haram dan mendatangkan kaffarah, baik dilakukan dalam keadaan berpuasa atau pun tidak. Keduanya sama saja. Tidak ada perbedaan.
Selain itu, membatalkan puasa tanpa udzur syar'i juga merupakan dosa yang teramat besar, sebagaimana hadits di atas.

II. Pendapat Asy-Syafi'iyah

Yang sedikit berbeda dalam hal ini adalah mazhab Asy-Syafi'iyah. Dalam mazhab ini, agar seseorang terkena kaffrat ghalizhah, diperlukan 14 syarat:

1. Sudah sejak malam berniat puasa.

Maka bila sejak malam tidak berniat puasa, lalu siangnya melakukan jima', tidak ada kewajiban kaffarah ghalizhah.

2. Sengaja melakukan jima'.

Seandainya dilakukan karena lupa, dan itu bisa saja terjadi, walaupun terasuk kasus yang langka. Tapi kalau memang sampai terjadi juga, dalam pandangan mazhab Asy-Syafi'i, tidak ada kewajiban kaffrah ghalizhah.

3. Tidak terpaksa atau dipaksa.

Seorang yang dipaksa untuk melakukannya tidak diwajibkan kaffarah ghalizhah. Hal ini bisa terjadi pada seorang istri yang dipaksa oleh suaminya untuk melayaninya. Maka tidak ada kewajiban bagi istri untuk membayar kaffarah ghalizhah, karena keadaannya terpaksa.
Termasuk dalam hal ini adalah wanita yang diperkosa dengan paksa.

4. Tahu keharaman jima' di siang hari Ramadhan

Seorang yang baru masuk Islam dan belum tahu apa-apa ketentuan ini lalu melakukan jima' di siang hari Ramadhan, terlapas dari kaffarah ghalizhah.
Ini adalah salah satu bentuk keringanan yang diberikan agama Islam kepada para pemeluknya yang baru saja masuk Islam.

5. Jima' dilakukan pada saat puasa di bulan Ramadhan.

Seadainya dilakukan pada saat puasa selain Ramadhan, maka tidak ada kaffarah ghalizhah. Walau pun puasa itu adalah puasa wajib yang diniatkan untuk mengqadha' puasa Ramadhan.
Tapi karena dilakukan bukan pada bulan Ramadhan, maka seandainya puasa qadha' itu dibatalkan lewat berjima', tidak mewajibkan kaffarah ghalizhah.

6. Puasanya dirusak secara langsung oleh jima'

Apabila ada pasangan suami istri berjima' di siang hari bulan Ramadhan, namun sebelum berjima', mereka sama-sama makan dan minum untuk membatalkan puasa, maka dalam mazhab ini keduanya tidak diwajibkan membayar kaffarah ghalizhah.
Walaupun membatalkan puasa secara sengaja tanpa udzur tetap berdosa besar.

7. Keadaannya berdosa dengan jima' tersebut

Maka anak kecil yang berpuasa lalu berjima', dia disebut tidak berdosa karena belum baligh, maka tidak ada kaffarah ghalizhah atas dirinya.
Demikian juga tidak berlaku untuk orang yang musafir dan tidak ada kewajiban atas dirinya untuk berpuasa, lalu dia melakukan jima'.
Maka pengantin baru yang banyak akal dan sedikit punya pemahaman dalam masalah fiqih, melakukan trik dengan cara bepergian di bulan Ramadhan, lalu setelah mendapat keringanan untuk tidak puasa, mereka pun melakukan jima'.
Dalam pandangan mazhab Asy-Syafi'i, hal ini tidak mewajibkan kaffarah ghalizhah.

8. Dirinya yakin bahwa puasanya itu sah sebelum berjima'

Orang yang ragu-ragu apakah puasanya sah atau tidak, llau dia melakukan jima' dengan istrinya, maka jima'nya itu tidak mewajibkan kaffarah ghalizhah.

9. Tidak dalam keadaan salah

Misalnya berjima' dengan menyangka masih malam, ternyata sudah masuk waktu shubuh. Dalam kasus itu, jima' yang dilakukan tidak mewajibkan kaffarah.
Sebaliknya, bila ada pasangan suami istri berjima' dengan menyangka bahwa waktu berbuka sudah tiba, tapi ternyata belum tiba, maka wajiblah mereka membayar kaffarah ghalizhah.

10. Tidak menjadi gila atau meninggal setelah jima'

Ketika seseorang mengalami kegilaan setelah dia berjima', maka tidak ada kewajiban kaffarah ghalizhah. Demikian juga bila setelah itu dia meninggal dunia.

11. Jima' yang dilakukannya datang dari dirinya sendiri.

Seandainya ada wanita memaksa berjima' tanpa keinginan apapun dari dirinya, maka tidak termasuk diwajibkan membayar kaffarah.

12. Jima' itu terjadi dengan masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan

Bila tidak sampai masuk, maka tidak termasuk jima' yang mewajibkan kaffarah ghalizhah.

13. Jima' itu dilakukan pada faraj wanita

Bila bukan pada faraj wanita dan dubur, seperti tangan dan anggota tubuh lainnya, tidak termasuk jima'. Termasuk jima' meski yang disetuuhui mayat wanita atau hewan. Dan termasuk jima' adalah liwath, yaitu seks ala para homoseksual dan lesbian.

14. Yang diwajibkan membayar kaffrah hanya yang laki-laki

Ini khas pendapat mazhab Asy-Syafi'i, yaitu mereka mengatakan bahwa perempun apabila melakukan jima' dengan suaminya, maka yang wajib membayar kafarah ghalizhah hanya suaminya saja. Sedangkan istrinya tidak diwajibkan untuk melaksanakan kaffarah.
Alasannya, karena di dalam hadits tentang kaffarah yang dilakukan oleh shahabat itu, sama sekali tidak disebut-sebut bahwa istrinya harus mengerjakannya.

Demikian sedikit penjelasan tentang perbedaan ulama dalam masalah ini. Yang pasti, semua sepakat bahwa membatalkan puasa secara sengaja tanpa alasan udzur syar'i adalah perbuatan dosa besar.
Semua sepakat hal itu. Mereka hanya berbeda pendapat, apakah ada kewajiban kaffarah atau tidak dalam kasus ini.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

~RZ~
sumber: Fiqih Ramadhan, by  Ahmad Sarwat, Lc
Catatan: Artikel ini khusus untuk menyambut tibanya bulan Ramadha.  Marhaban ya Ramadhan
Senin, 1 Agustus, 2011 23:54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar