Sabtu, 20 Agustus 2011

Nebular Hypothesis

Oleh: Andre Vincent Wenas

“Indonesia as a developing country and ASEAN member is very close to China and I
do know the aspirations of Indonesian business-people. The [Indonesian]
government and its entrepreneurs have to work hard to reform its regulations and
restructure its industries to produce competitive products.” – SUN Yuanyiang,
China’s Commerce Ministry Deputy Director General for Free Trade Affairs, April
2011.

***

Yuanyiang menyatakan itu dalam rangka menjawab komplain dari pelbagai
elemen, karena dalam review skema ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) –
sejak implementasinya Januari 2010 – telah lebih menguntungkan China dengan
semakin cepatnya akselerasi banjir barang masuk dari China ketimbang sebaliknya.
Perdagangan (ekspor plus impor) China-Indonesia saat ini berukuran total US$42,7
Milyar dengan defisit di pihak Indonesia sekitar US$2 Milyar.

Pejabat resmi China berargumentasi bahwa pola perdagangan bebas sebetulnya
menguntungkan kedua belah pihak lantaran keduanya bisa memperoleh barang
berkualitas dengan harga terjangkau. Maka dengan demikian, “…all barriers to
free trade had to be phased out,” imbuhnya. Wakil Dirjen Yuanyiang mengatakan
lagi, “China also experienced the same problem when the World Trade Organization
(WTO) was implemented 10 years ago, but we have no choice but to take an active
role in the WTO by restructuring our companies and creating a friendly
investment climate.” Selanjutnya ditegaskan, “China’s enterprises have stopped
complaint and we now have to compete with developed countries. In entering the
WTO and ACFTA, we must build our competitiveness. All companies have to make
adjustments and the government has to improve their products.”

***

Dalam teori kabut pilin (nebular hypothesis) bumi dan sistem tata surya
(solar system) yang diduga mulai terbentuk sekitar 4,6 milyar tahun lampau,
proses pembentukannya terbagi tiga tahap: pertama, gumpalan kabut dan gas pekat
berbentuk cakram. Lalu – tahap kedua – gumpalan kabut dan gas tersebut berpilin
dan berputar kuat, makin lama makin cepat dan proses pemadatan terjadi di pusat
lingkaran yang kemudian membentuk matahari. Pada saat bersamaan materi lain pun
terbentuk menjadi massa yang lebih kecil dari matahari yang disebut planet,
bergerak mengelilingi matahari. Pada tahap ketiga, materi-materi tersebut tumbuh
membesar dan terus melakukan gerakan secara teratur mengelilingi matahari dalam
satu orbit tetap dan membentuk tatanan tata surya yang dinamakan ‘keluarga
matahari’ (solar system).

Dalam buku informasi “Sejarah Kehidupan di Muka Bumi”, tulisan A.
Hendarsyah Lambri (ahli geologi) yang saya beli ketika berkunjung ke museum
geologi di Bandung, dikatakan bahwa, “Saat pertama kali terbentuk (4,6 milyar
tahun yang lalu), bumi masih dalam keadaan cair pijar bagaikan lautan api,
atmosfer belum terbentuk, hujan meteorit berjatuhan ke permukaan bumi tanpa ada
apa pun yang menghalangi lajunya. Dalam kondisi seperti ini merupakan hal yang
sangat mustahil untuk adanya satu kehidupan di permukaan bumi. Hal ini
berlangsung hingga 3,5 milyar tahun lalu, di mana saat itu mulai muncul
kehidupan yang dicirikan dengan adanya ganggang dan bakteri.” Lalu, “Jejak
kehidupan yang ditinggalkan oleh kedua organisme tersebut terawetkan dalam satu
contoh yang ditemukan di Cina dan berumur 1 milyar tahun ialah Collenia
sylindrica…”

***

Kita memang mesti belajar sampai ke negeri Cina! Sejarah geologi pun
mengindikasikan bahwa awal kehidupan kita yang dari ganggang dan bakteri
Collenia sylindrica itu berawal di daratan Cina. Walau dengan tetap kritis
terhadap kenyataan ketidakadilan struktur perdagangan dunia yang nyata ada.

Mengacu pada studi Ha-Joon Chang (Bad Samaritans: The Myth of Free Trade
and the Secret History of Capitalism, 2008) terpapar di situ bagaimana sikap
dualisme dan inconsistency negara-negara yang telah lebih dulu mentas dari aras
kemiskinan. Ada tercium bau pemalsuan sejarah (atau yang lebih halus:
penyesuaian sejarah) yang menceritakan bagaimana mereka bisa sampai ke posisi
depan di bidang ekonomi.

Realitas perdagangan kita mungkin saat ini masih laksana gumpalan kabut dan
gas pekat berbentuk cakram. Situasi perindustrian kita masih dalam keadaan cair
pijar bagaikan lautan api, atmosfer (kebijakan-kebijakan yang kondusif dan
efektif) belum terbentuk, maka hujan meteorit (banjir barang impor murah
berkualitas) berjatuhan ke permukaan bumi (pasar lokal) tanpa ada apa pun yang
menghalangi lajunya. Dalam kondisi seperti ini merupakan hal yang sangat
mustahil untuk adanya satu daya tahan kehidupan di permukaan pasar domestik.

Beberapa titik penting menjadi hambatan dalam program business-development
di Indonesia. Proses pembebasan lahan untuk pembangunan pabrik baru yang
super-susah (peraturan yang bertabrakan satu sama lain sampai berdampak
melumpuhkan), dan berbiaya tinggi. Sekali lagi: tingkat korupsi yang sudah
struktural (atas-bawah-kanan-kiri: vertikal-horisontal) telah merasuk ke alam
bawah sadar bangsa ini sehingga telah menjadi super-ego atau semacam paradigma
dalam melihat dunia. Bahwa kalau kita memberi sesuatu (sogokan) itu adalah
memang sudah dianggap wajar bahkan patut (artinya telah membudaya).

Kita berharap, setelah mengalami gempuran meteorit (baca: serbuan barang
murah berkualitas dari Cina) kita segera bertindak menguatkan struktur industri
kita. Kita mesti sadar betul bahwa suatu struktur industri yang efisien dan kuat
hanya bisa dibangun di atas suatu paradigma yang sehat. Bukan budaya koruptif
(artinya: busuk!). Semoga kita bisa keluar dari situasi kabut pilin (nebular)
ini dengan selamat dan berujung pada pembentukan tatanan sosial-ekonomi yang
etis.

------------------------------------------------------------------
(Artikel Majalah MARKETING edisi Mei 2011)

STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Business Advisory & Management Consulting

Catatan:

Artikel ini dikontribusikan oleh Kontributor ke milis The Managers Indonesia pada hari:
Rabu, 27 Juli, 2011 05:07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar