Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Salah  satu tantangan pelik dalam tugas kepemimpinan adalah orang-orang yang  kita sebut sebagai orang sulit. Nyaris disemua organisasi ada saja orang  yang disebut sebagai orang sulit ini. Alasan mereka disebut orang sulit  adalah karena sikapnya menimbulkan kesulitan bagi orang lain, khususnya  atasan dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerja dengannya.  Pertanyaannya adalah; Apakah mereka yang menjadi ’orang sulit bagi  kita’? Ataukah kita yang justru merupakan orang sulit bagi mereka?  Merenungkan pertanyaan itu bisa membantu kita untuk melihat lebih jernih  dan mengambil tindakan yang lebih konstruktif. 
Film  The Horse Whisperer berkisah tentang seekor kuda yang mengalami trauma  setelah tertabrak trailer di New York City. Mengingat lukanya yang  parah, dokter hewan menyarankan untuk lakukan eutanasia. Namun  pemiliknya bersikukuh untuk mempertahankannya. Kuda itu sembuh secara  fisik, tapi secara mental tetap sakit. Dia berubah menjadi sangat ganas  melebihi keganasan kuda liar dialam bebas. Kuda itu membenci manusia,  khususnya sang pemilik yang menungganginya saat kecelakaan terjadi. Di  pegunungan Montana, ada seorang koboi yang cakap mengurus kuda hingga  dijuluki sebagai Sang Pembisik Kuda. Melalui perjalanan panjang dan  melelahkan, akhirnya kuda itu berhasil disembuhkan kembali. Manusia,  bisa lebih liar dari hewan. Tetapi manusia memiliki perangkat akal dan  nurani dengan derajat yang jauh  melampaui mahluk manapun. Makanya, seliar-liarnya manusia; selalu punya  peluang untuk menjadi pribadi yang berbudi. Apalagi sekedar orang yang  kita sebut sebagai ’orang sulit’, tentu bisa menjadi orang yang mudah  bekerjasama. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memahami orang sulit, saya ajak memulainya dengan menerapkan 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini: 
1.      Jadilah orang yang ‘mudah’ bagi orang lain.  Ini adalah prinsip paling mendasar yang sering dilupakan orang. Dalam  pengamatan saya, begitu banyak orang yang menilai orang lain sebagai  orang yang sulit padahal dia tidak menyadari bahwa dirinyalah sebenarnya  orang yang sulit itu. Sebuah hubungan tidak bisa disokong oleh satu  pihak; Anda saja, atau dia saja. Harus Anda dan dia. Jika Anda dan dia  sama-sama sulit, maka hubungan itu tidak akan berjalan sebagaimana  mestinya. Jika Anda mudah dan dia sulit, maka Anda  masih punya peluang untuk tetap menjaga performa. Namun jika yang sulit  itu justru Anda bukan dia, maka Anda nyaris tidak memiliki harapan  untuk memperbaiki keadaan selama tidak menyadarinya. Jadi, langkah  paling awal yang mesti kita ambil adalah memastikan bahwa kita sendiri  bisa menjadi orang yang mudah bagi orang lain. Maka sekarang, mata kita  tidak sepenuhnya tertuju kepada orang lain; melainkan berintrospeksi  kedalam diri sendiri juga. Anda yakin Anda bukan orang sulit? Tidak ada  salahnya jika mengeceknya sekali lagi. 
2.      Fahami kebutuhan emosionalnya.  Perhatikanlah sekali lagi orang-orang yang kita beri label sebagai  orang sulit itu. Ternyata mereka bisa bekerjasama dengan sangat baik  bersama orang-orang tertentu. Apa yang menyebabkannya  tidak bisa bekerjasama dengan kita? Begitulah pertanyaan yang selayaknya  kita ajukan. Hambatan emosional sering menjadi faktor penyebab yang  paling menonjol. Akarnya bisa dari hal yang sangat sederhana, sampai  kepada hal yang rumit hingga tidak bisa  dijelaskan dengan kata-kata. Untuk memahaminya, Anda bisa mengamati  dari jauh, atau berdiskusi dengan orang-orang yang bisa bekerjasama  dengannya. Atau lebih banyak menyediakan diri untuk mengenal orang itu  lebih mendalam. Seseorang yang sulit misalnya, ternyata hanya  membutuhkan pengakuan atas senioritasnya dari atasannya yang lebih muda.  Setelah pengakuan itu didapatkan, dia menjadi respek kepada sang  atasan. Merasa lebih berpengalaman atau pernah memimpin lebih banyak  orang juga demikian. Boleh jadi, ada kebutuhan emosi lainnya yang perlu  kita kenali dan fahami. Jika dengan orang lain dia bisa bekerjasama  dengan baik, maka tentu kita pun bisa mengelola orang itu dengan lebih  baik melalui pemahaman terhadap kebutuhan emosionalnya.
3.      Fahami masalah yang melatarbelakanginya.  Setiap  orang memiliki alasan untuk suka atau tidak dalam berhubungan dengan  orang lain. Maka apakah seseorang suka atau tidak suka bergaul dan  bekerjasama dengan Anda, tentu ada latar belakangnya. Misalnya,  seseorang mengatakan kepada saya sambil marah-marah; ”saya ini juga  pernah menjabat seperti kamu selama 10 tahun, bla bla bla,” Lalu beliau  membeberkan fakta tentang betapa mengecewakannya kepemimpinan saya. Saya  menghormati penilaiannya, namun saya tegaskan bahwa  caranya berbicara dengan saya sama sekali tidak bisa memperbaiki  keadaan. ”Anda ingin semuanya berjalan lebih baik?”. Tidak ada jawaban  yang lebih pintar atas pertanyaan itu selain mengiyakan. ”Jika  demikian,” lanjut saya ”marilah kita bicarakan baik-baik.” Dalam  perbincangan selanjutnya beliau bercerita tentang masalah yang sedang  dihadapinya di rumah hingga menjadi mudah marah dan cepat emosi. Saya  hanya menunjukkan respek dan empati, tidak lebih dari itu. Di akhir  pembicaraan saya dipeluknya sambil dihujani permintaan maaf atas  sikapnya selama ini. Dan saya mengimbanginya dengan kesadaran bahwa  memang sudah menjadi kewajiban saya untuk melayani orang-orang yang saya  pimpin semaksimal mungkin. Sejak saat itu, hubungan kami menjadi sangat  baik. Ini kejadian sungguhan. Pada awalnya saya pun ikut terbawa  suasana sehingga menilai beliau sebagai orang yang sulit. Tetapi setelah  memahami latar belakangnya, terbukalah jalan untuk memperbaiki  kualitas hubungan.
4.      Seimbang antara tuntutan dan kemanfaatan.  Sulitnya seseorang untuk diajak kerjasama bisa jadi karena mereka tidak  melihat manfaat bagi dirinya sendiri. Misalnya, seorang bawahan yang  menilai atasannya tidak bisa memperjuangkan kepentingannya. Mereka tentu  akan cuek melebihi bebek. Terlebih lagi jika atasannya terlalu banyak  menuntut. Bawahan Anda, akan semakin sulit dikelola jika Anda tidak  dapat menyeimbangkan antara tuntutan dengan manfaat yang bisa Anda  berikan kepada mereka. Bahkan sahabat baik Anda pun cepat atau lambat  akan mempertanyakan; ‘mengapa gue mesti mendukung elu yang cuma bisa  membesarkan nama elu doank?’ Faktanya, masih banyak atasan yang terlalu  sibuk mempertahankan posisi atau imej pribadinya dihadapan atasan yang  lebih tinggi. Hingga mereka lupa bahwa kinerjanya justru sangat  ditentukan oleh bawahan. Sama seperti halnya Anda yang ‘mengharapkan’  sesuatu dari atasan Anda, maka bawahan Anda pun mengharapkannya dari  Anda. Seseorang yang percaya bahwa atasannya bisa melakukan sesuatu  untuk membantu pengembangan karirnya, tentu akan lebih respek dan mudah  diajak kerjasama. Maka menunjukkan kepada orang lain bahwa kehadiran  kita bisa memberi manfaat bagi mereka merupakan faktor penting untuk  melunakkan orang-orang sulit. Kelinci liar sekalipun, kalau ditawari  wortel; tentu mendekat juga, bukan?
5.      Lakukan dengan ketulusan.  Menjadi pemimpin itu memang perlu tulus. Pemimpin yang tulus, jarang  sakit hati. Meski ditentang atau dipersulit oleh orang-orang yang sulit.  Dia terus berusaha mengajaknya untuk berubah menjadi lebih baik demi  kepentingan orang itu sendiri. Dia terus mengupayakannya, meski tetap  ditentang atau diremehkan. Sampai kapan? Sampai lepas kewajibannya  selama dia memimpin. Artinya, selama jabatan itu melekat dia  berkewajiban untuk mengupayakan rekonsiliasi dengan orang-orang sulit  agar kinerjanya tetap tinggi. Tapi perlu juga diingat, bahwa ‘jabatan’  kita mempunyai konsekuensi 2  arah, yaitu; kita sebagai atasan dan/atau kita sebagai bawahan.  Faktanya, setinggi apapun jabatan Anda, tetap saja Anda adalah bawahan  bagi orang yang jabatannya lebih tinggi. Maka konteks pembicaraan kita  ini berlaku baik kita memposisikan diri sebagai atasan yang berhubungan  dengan bawahan yang kita anggap sulit. Juga berlaku pada saat kita  memposisikan diri sebagai bawahan yang mengira bahwa atasan kita adalah  orang yang sulit. Dan selama kita melakukannya dengan ketulusan, maka  kita bisa menikmatinya terlepas dari posisi apa yang kita mainkan.  Karena dengan ketulusan, Anda bisa mengelola orang-orang sulit dengan  lebih baik. Termasuk jika yang sulit itu ternyata adalah diri Anda  sendiri.
Tidak  hanya atasan yang suka menilai bawahannya sebagai orang sulit. Banyak  juga bawahan yang menilai atasannya yang justru sulit. Di banyak  organisasi atau perusahaan hal seperti itu terjadi. Walhasil kedua pihak  saling tuduh sebagai orang yang tidak bisa diajak kerjasama. Atasan  memvonis anak buahnya sebagai pembangkang, sedangkan bawahan menganggap  atasannya sebagai pemimpin yang sewenang-wenang. Mana yang benar? Yang  jelas, seorang pribadi yang baik bersedia melakukan introspeksi kedalam  dirinya sendiri sebelum mengarahkan telunjuk kepada orang lain. Lalu dia  berusaha untuk  melayani demi kebaikan orang lain. Entah dia sebagai atasan, atau bawahan.  Entah  orang lain membalasnya dengan kebaikan, atau  tetap menyulitkannya dengan beragam polah dan keburukan. Dia terus  konsisten dalam usahanya mewujudkan perbaikan. Sedangkan untuk dirinya  sendiri, dia cukupkan Tuhannya sebagai penyantun. ”Hasbunallah wani’mal  wakil,” katanya. Cukuplah Allah bagiku, dan Dialah sebaik-baiknya  pelindung. Dengan prinsip itu, dia tetap teguh untuk mengupayakan  rekonsiliasi dan perbaikan. Dan dengan cara itu, dia memastikan bahwa  dirinya sendiri bukanlah orang yang sulit itu.
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman – 27 Oktober 2011
Penulis buku ”Natural Intelligence Leadership” (Tahap editing di penerbit)
Catatan Kaki:
Orang yang kita anggap sulit belum tentu benar-benar sulit. Boleh jadi, kita belum mengetahui cara untuk bekerjasama dengannya.
Silakan  di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung  saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai  tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya. 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar