Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Kita  tidak pernah berhenti mencari kebahagiaan. Meskipun sangat sulit untuk  mendefinisikannya. Kebahagiaan itu apa dan seperti apa. Tidak mudah  untuk memahaminya. Maka kebahagiaan sering menjadi terlampau abstrak  untuk bisa kita rengkuh ke alam realitas. Orang miskin mengira orang  kaya lebih bahagia karena segalanya serba ada. Orang kaya, banyak yang  menilai betapa bahagianya orang-orang miskin yang terbebas dari belenggu  hutang hingga ratusan juta bahkan milyaran. Jadi sebenarnya kebahagiaan  itu apa?  Dalam pencarian atas kebahagiaan itu, saya  sering merasakan kenikmatan. Ketika uang saya sedikit – misalnya – saya  merasa nikmat. Ketika uang saya sedang banyak, juga terasa nikmat.  Ketika sakit, terasa nikmat. Saat sehat juga nikmat. Saat sendiri  nikmat, ramai-ramai juga nikmat. Jika  kenikmatan-kenikmatan kecil itu kita kumpulkan, lalu dirangkai dalam  rentang waktu yang panjang, maka perasaan batin kita menjadi sedemikian  nyaman. Pada saat-saat seperti itulah kita merasakan kebahagiaan. Apakah  Anda merasakan hal yang sama?
Laksana  sebatang pohon; Kebahagiaan itu adalah buahnya. Kenikmatan adalah  batangnya. Sedangkan akarnya adalah; rasa syukur. Mau tumbuh dimana buah  jika tidak ada batang yang menyangganya? Bagaimana batang bisa tegak  jika tidak memiliki akarnya? Maka begitu pula kebahagiaan yang kita  cari-cari itu. Tidak mungkin kita bisa meraih kebahagiaan tanpa  kemampuan untuk merasakan kenikmatan. Dan kita tidak mungkin bisa  menikmati apapun jika tidak memiliki rasa syukur. Maka, untuk bisa  meraih kebagiaan itu, kita membutuhkan rasa syukur atas semua nikmat  yang kita dapatkan. Karena dari rasa syukur itu akan tumbuh pohon  kenikmatan yang kokoh. Barulah pohon kenikmatan itu bisa berbuah  kebahagiaan. Jadi, untuk menemukan kebahagiaan; kita perlu terlebih  dahulu memiliki rasa syukur itu. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memiliki akar rasa syukur, saya ajak memulainya dengan memahami 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:    
1.      Titik awal menuju kebahagiaan.  Untuk menuju kebahagiaan, ada rute sederhana yang lurus tidak berkelok.  Datar tidak terjal. Halus tidak kasar. Dan aman tidak berbahaya. Dalam  rute itu ada titik pemberangkatan bernama ‘rasa syukur’ – jalur untuk  dilalui bernama ‘kenikmatan’, dan – tempat tujuan bernama kebahagiaan.  Bahagia itu titik terjauh dalam rute perjalanan kita. Sedangkan  kenikmatan itu adalah apa yang sepatutnya kita rasakan selama  menempuhnya. Rasa syukur ada dimana? Ada didalam daftar opsi atau  pilihan hidup kita. Kita boleh memilih untuk memulai perjalanan ini  dengan bersyukur sehingga bisa masuk kedalam jalur kenikmatan. Kita juga  boleh memilih untuk tidak bersyukur sehingga apapun yang kita dapatkan  akan menghasilkan keluh kesah. Konsekuensinya, jika kita memulai dari  pos rasa syukur, maka apapun yang kita alami disepanjang perjalanan itu  akan penuh dengan kenikmatan sehingga diakhir perjalanan; semua  kenikmatan itu diakumulasikan menjadi kebahagiaan. Sebaliknya, jika  memulainya dari titik ‘bukan rasa syukur’ maka bahkan semua kemewahan  pun tidak akan menghasilkan kenikmatan sehingga tidak mungkin kita bisa  meraih bahagia itu. Jadi, mari kita berfokus kepada titik awal  pemberangkatan yang bernama ‘rasa syukur’. 
2.      Rasa syukur atas hidup.  Jika ada orang yang ‘menyesali hidup’, maka itu menunjukkan kalau orang  itu tidak memiliki rasa syukur atas hidup yang sudah dia dapatkan.  Bukan hidupnya yang membuat kita menyesal, melainkan kualitas hidup itu  sendiri. Tidak relevan jika kita menyesali hidup karena kualitasnya.  Karena  hidup itu dihadiahkan oleh Tuhan. Sedangkan  kualitasnya, ditentukan oleh ikhtiar yang kita lakukan. Baik atau  buruknya kualitas hidup kita sedikit  banyak ditentukan oleh kemauan, usaha, kerja keras, dan kegigihan kita  untuk memperjuangkannya. Jika kita tersisih dari arena perjuangan itu,  mengapa lantas kita salahkan hidup? Kita tentu tidak termasuk orang yang  menyesali hidup. Namun, seringkali kita menyesali hal-hal yang ‘tidak  kita lakukan’ dimasa lalu. “Oh, seandainya dulu saya begini-begitu,  tentu sekarang saya blablabla..” bukankah begitu sesal yang sering kita  dengarkan dari dalam? Maka wajar jika Sang Pemberi Hidup menyeru kita  untuk mensyukuri hidup. Dia sanggup merenggutnya sejak kemarin. Tapi  sampai sekarang kita masih juga hidup. Juga wajar jika kita bersyukur  atas anugerah itu dengan menjadikan kehidupan kita baik didalam  pandanganNya. Karena tidak ada cara yang lebih baik untuk mensyukuri  hidup, selain mengisi hari-hari dalam hidup kita dengan tindakan dan  perbuatan yang disukai Sang Pemberi Kehidupan.
3.      Rasa syukur atas kemudahan.  Sudah berapa banyak kemudahan yang Anda dapatkan? Tubuh Anda sempurna  sehingga segala urusan bisa Anda lakukan tanpa hambatan. Ban motor atau  mobil Anda terhindar dari paku dijalan sehingga perjalanan Anda tidak  mengalami hambatan. Kompor gas Anda menyala normal sehingga masakan Anda  bisa matang. Anak-anak Anda sehat sehingga Anda bisa pergi ke kantor  dengan tenteram. Gigi Anda afiat sehingga semua aktivitas harian bisa  dijalani dengan nyaman. Ada lagi kemudahan lainnya? Banyak. Bahkan guru  kehidupan saya mengingatkan; “Jika engkau menghitung-hitung kemudahan  yang sudah  Tuhan berikan, takkan mungkin engkau sanggup menghitungnya.” Sekarang,  apa yang kita lakukan dengan sekujur tubuh kita? Kebaikankah? Atau  keburukan? Jika jabatan yang kita sandang itu bagian dari kemudahan yang  diberikan Tuhan, maka bagaimana cara kita menunaikan amanah itu pun  merupakan gambaran dari rasa syukur yang kita miliki. Semua kemudahan  yang kita peroleh, apakah digunakan untuk menimbulkan kesulitan orang  lain? Ataukah kita mensyukurinya dengan menjadikan kemudahan yang kita  miliki untuk memudahkan urusan orang lain? Faktanya, ketika kita  berhasil memudahkan urusan orang lain, hati kita merasa nyaman. Kita  menikmati perasaan itu sehingga terdorong untuk melakukan hal yang sama  lebih sering lagi. Dan karena aktivitas itu berlangsung terus, maka  kenikmatannya pun kita rasakan terus sehingga kebahagiaan pun datang.  
4.      Rasa syukur atas kesulitan.  Mudah  untuk berucap ‘Alhamdulillah’ saat keadaan kita sedang serba indah.  Bagaimana jika kita sedang berada dalam keadaan yang serba susah?  Kayaknya rasa syukur atas kesulitan itu rada ngawur. Sekurang-kurangnya  ada 2 alasan mengapa justru kita memerlukan rasa syukur atas kesulitan.  Pertama, justru ketika berada dalam kesulitan itu setiap kemudahan yang  selama ini kita dapatkan menjadi semakin terasa ‘nilainya’. Mungkin  dimasa lalu, belum kita syukuri kemudahan-kemudahan itu. Maka inilah  saat yang tepat untuk  melakukannya. Sekaligus membuat komitmen pribadi; jika nanti  mendapatkannya kembali, saya akan senantiasa mensyukurinya. Alasan  kedua, mensyukuri kesulitan yang sedang kita hadapi itu boleh dibilang  tingkatan rasa syukur yang paling tinggi. Bayangkan, saat Tuhan menguji  kita dengan kesulitan yang sangat berat. Bukannya mengeluh. Kita malah  bersyukur karena kesulitan itu justru semakin mendekatkan diri kita  kepadaNya. Bukankah kita menjadi semakin kyusuk dalam berdoa ketika  sedang serba susah? Maka pantaslah juga jika Tuhan berfirman bahwa;  dalam kesulitan itu, terdapat kemudahan. Dan kemudahan itu akan  didapatkan oleh orang yang menjaga rasa syukur; meski sedang berada di  tengah deraan kesulitan.  
5.      Rasa syukur atas rasa syukur.  Ketika kecil, saya pernah merasakan nikmatnya makan nasi hanya dengan  jelantah, atau secuil garam bersama para buruh tani sambil selonjoran di  pematang sawah. Ketika dewasa, saya sering berkesempatan bermalam di  hotel berbintang. Seperti teman-teman lain ternyata kami hanya bisa  menikmati berbagai hidangan mewah itu pada 1 atau 2 hari pertama saja.  Selebihnya, kami lebih sering menyantap hidangan dipinggir jalan. Makan  di emperan itu, jauh lebih terasa nikmatnya. Beberapa teman  mengatakan tidak bisa tidur semalam. Banyak pikiran katanya. Padahal,  kasurnya berharga belasan juta. Sedangkan satpam di komplek saya tidur  nyenyak sambil duduk di kursi pos ronda yang sudah bulukan. Jadi dimana  sesungguhnya nikmat itu adanya? Dalam kemewahan ada kenikmatan. Dalam  kesederhanaan pun ada kenikmatan. Jadi bukan kondisi fisiknya yang  menentukan. Melainkan dalam rasa syukur. Faktanya, tanpa rasa syukur;  keberlimpahan yang kita miliki terasa kurang saja dan tak kunjung  memberikan kebahagiaan. Dengan rasa syukur, dalam keterbatasanpun kita  merasakan kecukupan. Maka rasa syukur itu pun adalah anugerah  tersendiri. Mungkin hanya sedikit orang yang dianugerahi rasa syukur.  Banyak yang tidak, sehingga apapun yang mereka miliki tidak bisa  dikonversi menjadi kenikmatan, apalagi kebahagiaan. Maka bersyukurlah  atas rasa syukur yang telah Tuhan tanamkan dalam hati kita. Karena dengan rasa syukur itu, kita punya peluang untuk  meraih kenikmatan dalam hidup, dan berhasil menempuh rute yang tepat menuju kebahagiaan didunia dan diakhirat.
Buah  kebahagiaan dipetik dari pohon kenikmatan-kenikmatan kecil yang berhasil  kita rangkai dalam setiap detak detik kehidupan yang kita jalani.  Sedangkan pohon kenikmatan itu tumbuh kokoh karena disangga oleh rasa  syukur yang mengakar. Persis seperti nasihat guru kehidupan saya tentang  firman Tuhan, bahwa Dia akan menambah kenikmatan bagi orang-orang yang  memiliki rasa syukur. Maka jika Anda ingin melakukan proses atau  perjalanan meraih kebahagiaan, mari kita memulai perjalanan itu dari  titik awal bernama rasa syukur. Insya Allah, apapun yang kita alami  selama perjalanan itu akan terasa nikmat. Sehingga kita bisa menjadi  pribadi yang bahagia, hingga diakhir perjalanan ini.
Mari Berbagi Semangat!
Trainer Bidang Kepemimpian dan Pembedayaan Diri
Penulis buku ”Natural Intelligence Leadership” (Tahap editing di penerbit)
Catatan Kaki:
Kebahagiaan adalah buah dari pohon kenikmatan yang berakar dari rasa syukur.
Silakan  di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung  saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai  tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya. 
Selasa, 8 November, 2011 22:06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar