Oleh:  Michael Hardi Hadinoto
Handry Satriago: Kanker Tak Bisa Membendungnya Jadi Doktor dan President GE Indonesia
Spirit  hidup dan dukungan lingkungan yang kuat mampu mengalahkan banyak  persoalan yang dihadapinya akibat kanker getah bening yang dideritanya  sejak remaja. Bagaimana perjuangan lelaki nyentrik ini membangun percaya  diri dan mencapai prestasi luar biasa?
Suaranya yang lantang dan  berat membahana di auditorium Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia  Depok ketika Handry Satriago, Direktur Power Generation GE Energy  (wilayah Indonesia, Vietnam, Filipina, Kamboja), memaparkan disertasinya  dalam sidang terbuka, 23 Juli 2010 pukul 14.00 WIB. Sekali-kali dua  pria berbadan besar membantu dirinya berpindah posisi karena kursi roda  yang digunakan tak memungkinkannya mendekati para penguji yang berada di  lantai yang lebih tinggi. Sekitar satu jam kemudian, pengunjung yang  memenuhi auditorium bertepuk tangan ketika ia dinyatakan berhasil  mempertahankan disertasinya yang berjudul Examining the Followers  Influence on Leader’s Performance: A Reverse Pygmallion Effect.  Keberhasilan peraih gelar doktor yang ke-117 dari UI dalam Ilmu  Manajemen Strategis ini disambut haru keluarga dan rekan-rekannya –  terutama sesama alumni Institut Pertanian Bogor dan SMA Lab School  Rawamangun.
Co-Promotor disertasi Handry, Budi W. Soetjipto, DBA,  menilai Handry sosok tergolong gigih dalam menyelesaikan disertasinya di  tengah kesibukannya sebagai eksekutif GE Energy Asia Tenggara. Budi  mengaku kerap melakukan bimbingan disertasi pada malam hari, di kafe  ataupun lobi lounge hotel. Bahkan, ia pernah melakukan bimbingan atas  permintaan Handry di Bangkok, karena kebetulan sama-sama sedang berada  di sana. “Ia mandiri dan organized. Ketika ketemu, dia tidak datang  dengan masalah. Pokoknya, cepat beres,” ujarnya.
Salah seorang  anggota penguji disertasi, DR. Sari Wahyuni menyebut penelitian Handry  tentang followership dan peranan pentingnya dalam proses kepemimpinan,  merupakan hal yang inovatif dan tidak biasa. “Umumnya orang membahas  tentang leadership, bukan followership,” ujarnya. Dan yang membuat Sari  salut dengan Handry adalah nilai IPK Handry yang nyaris sempurna alias 4  – cuma satu mata kuliah yang mendapat nilai B, lainnya A. “Itulah  sebabnya saya ingin co-promotor saya Pak Budy, karena dia satu-satunya  yang memberi nilai B. Dia pasti benar,” ujar Handry penuh kelakar.
September  2010 ini, pria berdarah Minang berusia 41 tahun ini secara resmi akan  naik pangkat sebagai President GE Indonesia. Jelas, pencapaian akademis  dan juga kariernya sebagai eksekutif merupakan hal luar biasa di Tanah  Air, mengingat keterbatasan fisik yang dideritanya. Ceritanya cukup  panjang, dan untunglah Handry mau berbagi kisahnya.
Belasan tahun  lalu, tepatnya beberapa hari setelah ulang tahun yang ke-18 pada Juni  1987, Handry didiagnosis mengidap kanker kelenjar getah bening di tulang  belakangnya. Saat itu ia tidak menyangka bahwa akibatnya ia akan duduk  di kursi roda hingga bertahun-tahun lamanya. “Awalnya saya sakit  punggung. Lalu, dibawa ke dokter, katanya rematik dan sebagainya. Tetapi  makin lama kok makin lemas. Akhirnya melalui berbagai potret, diketahui  ada kanker dan kemudian kankernya dibuang,” ceritanya.
Namun,  dampaknya sungguh memberikan pukulan berat buat anak SMA periang ini: ia  tidak bisa jalan. Itu terjadi sejak September 1987. “The world is  black,” ungkap pria kelahiran Pekanbaru 13 Juni 1969, yang mengaku kala  itu sangat syok, tidak tahu lagi apa yang ingin dilakukan. Padahal  sebelumnya ia sempat bercita-cita kuliah di Stanford University, Amerika  Serikat. “Saya (waktu itu) marah pada Tuhan. Saya merasa mimpi saya  dipotong. Saya ingin sekolah di luar negeri, tapi tidak bisa,” tuturnya  dengan nada yang masih mendalam.
Untunglah, putra tunggal dari  pasangan Djahar Indra dan Yurnalis ini memiliki keluarga dan teman-teman  yang amat suportif. “Ada dua hal yang tidak bisa saya abaikan,” ujar  pria yang memiliki keluarga cenderung beranak tunggal ini. Hal pertama  yang membuatnya memiliki spirit untuk melanjutkan hidup dengan  sebaik-baiknya adalah dorongan orang tuanya yang mengatakan masih banyak  yang bisa dinikmati walaupun dengan kondisi terbatas. Orang tuanya  berujar, hidup tidak bisa dinikmati kalau dia tidak mau ngapa-ngapain.  Maka, ia disarankan melakukan upaya ekstra. “Kalau kamu senang dengan  suasana sekolah, ya pergi dong ke sekolah itu,” ujarnya menirukan ucapan  orang tuanya. Ia melihat orang tuanya tidak menunjukkan kecemasan yang  berlebihan. Tak pernah Handry melihat ibunya sampai datang ke sekolah.  Alhasil, ia merasa orang tuanya yakin bahwasanya ia bisa terus menjalani  kehidupannya.
Hal kedua adalah dorongan teman-temannya, terutama di  SMA Labschool Rawamangun. Ia merasa keakraban dengan teman-teman sangat  kuat karena mereka memiliki kelas-kelas kecil, yakni hanya 120 murid per  angkatan.
“Saya tidak akan berhasil kembali ke sekolah kalau  teman-teman saya tidak yakin saya bisa sekolah,” ujar Handry. “Guru dan  teman-teman saya di sekolah sangat helpful and treat me as a normal,”  katanya lagi mensyukuri. “Mereka bilang, ‘Lu nyusahin aja, kagak jalan.  Capek nih ngedorong lu,” ujarnya mengutip banyolan teman-temannya saat  itu. Handry sendiri mengaku sosok humoris. Ia tak segan-segan  melontarkan kelakar yang menggelitik dan membuat tiap orang di dekatnya  tertawa terbahak-bahak. Dan, ia merasakan justru hal itu yang membuatnya  merasa berada di lingkungan normal.
Toh, ia mengakui sejumlah  persoalan kerap merepotkan aktivitasnya. Dengan terbuka, Handry  mengungkap salah satu contohnya: buang air kecil. Sepengetahuannya,  secara umum penderita penyakit tulang belakang tidak tahu kapan akan  buang air kecil. Maka, banyak dari mereka yang dipasangi kateter. Namun  risiko infeksinya besar sekali. “Kebetulan saya termasuk yang tidak  parah. Saya masih bisa merasa mau pipis, walaupun tidak bisa menahan  lama. Jadi, saya iketin plastik saja,” ujarnya gamblang. Beberapa waktu  kemudian, ia mengenal urine bag yang bisa dilem atau diikatkan ke kaki.  “Jadi lebih praktis.”
Itu baru satu hal, belum termasuk yang lebih  sulit semisal buang air besar. A pula yang tak kalah merepotkan, yakni  ketika ia ingin nongkrong dengan teman-temannya dan mengobrol. “Saya  kembali melakukan ‘pembangkangan’. Bahwa saya ingin menikmati itu,” ujar  mantan Ketua Science Club di SMA Labschool Rawamangun ini. Untuk ini  upayanya jauh lebih susah karena harus ada mobil plus sopir buat  mengantar dan mengangkatnya.
Masa yang juga mengesankan bagi proses  pengembangan kepribadian Handry adalah ketika memasuki IPB. Rupanya  Handry sempat mengambil cuti kuliah dulu selama satu tahun ketika masuk  IPB. Alasannya, “Saya sempat tidak yakin saya bisa. Karena saya  kehilangan teman-teman Labschool saya,” ujarnya. Respons ayahnya sangat  mendukung karena mantan pegawai logistik Total Indonesia itu ingin  anaknya berobat dulu. “Memang lebih membaik, tapi masih pakai tongkat.  Artinya belum normal penuh,” ujarnya.
Menurut Handry, orang tuanya  memiliki gaya sendiri dalam mendidik dirinya. “Kami bukan keluarga  akademisi. Ayah saya bukan orang berpendidikan tinggi. Ibu saya juga,”  ujarnya. Namun tempat untuk berekspresi selalu tersedia. Apalagi, di  lingkungan tempat tinggalnya di Kompleks Wartawan Cipinang, ia punya  tetangga dengan nama besar seperti Gunawan Mohamad dan Atmakusumah. “Itu  semua yang membuat saya punya cara berpikir bebas, bisa melihat dari  berbagai angle. Ini juga mendorong saya untuk memiliki mimpi yang bisa  dilihat dari berbagai macam angle,” katanya seraya mengakui dalam  perjalanannya mimpi tersebut beberapa kali mengalami pembelokan karena  situasional. “Saya selalu bermimpi untuk menjadi seseorang yang  berguna,” ujarnya mengenai prinsipnya. Satu hal yang selalu diajarkan  ibunya dan diingat Handry adalah bahwa to love is to give (mencintai  berarti memberi).
Hal-hal seperti itu yang ikut menguatkan Handri  masuk kuliah di IPB tahun berikutnya. Ia mengakui, suasana di kampus  sangat berbeda dari lingkungannya selama ini: banyak mahasiswa asal  daerah dan mereka tampak sangat agamis. Handry merasa hal ini sangat  kontras dengan dirinya yang lebih suka tampil nyentrik: dengan rambut  gondrong dan kerap memakai celana jins sobek. “Metal deh,” katanya  mengistilahkan tampilannya. Menurutnya, hal itu ia lakukan hanya buat  menyenangkan hati. “Barangkali saya ingin berusaha menunjukkan bahwa  saya tidak lemah. Tapi, terus terang saya juga tidak tahu persis mengapa  dulu melakukan itu.” Meskipun penampilannya nyentrik, ia mengaku amat  senang bergaul. Tak heran temannya banyak dari berbagai golongan, agama,  politik dan level ekonomi yang berbeda.
Di IPB ia mengaku beruntung  menemukan teman-teman baru yang sangat mendukungnya. Pengalaman yang  paling mengesankan setiap kali memasuki laboratorium yang berada di  lantai empat – yang untuk naik ke lantai yang lebih tinggi hanya bisa  lewat tangga. “Saya dibopong ke atas. Tapi, teman-teman punya keyakinan  bahwa saya tetap bisa menjadi insinyur dengan cara kayak gitu,” ujar  mantan pendiri Himpunan Mahasiswa Pecinta Bioteknologi dan peraih  penghargaan dari Presiden Soeharto tahun 1993 sebagai mahasiswa  berprestasi tingkat nasional ini.
Waktu terus berjalan. Di ujung  penyelesaian kuliahnya, cobaan baru datang lagi: kanker baru tumbuh.  Kali ini di pinggang. Ia sempat mengalami pendarahan ketika sedang  mengikuti sidang ujian skripsi. Selepas sidang, setelah pulang ke  Jakarta dari Bogor pada malam hari, esok paginya ia masuk rumah sakit  untuk menjalani kemoterapi. Meski dengan kendala fisik seperti itu, ia  bisa menyelesaikan kuliah S-1 di IPB dengan IPK amat mengesankan.
Setamat  dari IPB, tahun 1994 ia sempat bekerja di GMT Group (perusahaan  konstruksi). Posisinya sebagai Asisten BOD Analisis Bisnis dan  Technology Assessment GMT Group (1992-1994). “Sebenarnya sih hanya  tukang ketik dan menganalisis sesuatu,” ujarnya setengah berkelakar.  Khawatir tak bisa berkembang lebih jauh, ia memutuskan keluar dan  sekolah MM double degree di Institut Pengembangan Manajemen Indonesia  (IPMI) – yang bekerja sama dengan Monash University – pada 1996.
Seperti  halnya di IPB, Handry berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan prestasi  yang membanggakan. Ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dalam setahun  dengan predikat cum laude. Prestasinya di tengah kendala fisik ini  rupanya menarik minat pencari bakat terbaik dari GE. Pada 1997, ia pun  ditawari GE Indonesia untuk bergabung. “Awalnya jawaban saya tidak mau  karena saat itu saya sudah memiliki perusahaan sendiri dan punya duit,”  ujar pria yang sempat menekuni bisnis desain grafis ini. Toh, begitu ia  diberi tahu posisi yang ditawarkan adalah manajer pengembangan bisnis  dan sejumlah keuntungan yang akan diperolehnya, Handry yang saat itu  berusia 28 tahun akhirnya menerima. Menurutnya, posisi yang ditawarkan  saat itu menggantikan Hotasi Nababan – mantan eksekutif GE Indonesia  yang pernah menjadi CEO PT Merpati Nusantara Airlines.
Tahun 1998  Indonesia mengalami krisis. Saat itu GE meluncurkan program rotasi, di  mana dalam dua tahun karyawannya harus dirotasi. Kala itu ia minta  dipindahkan dari divisi korporat ke unit bisnis yaitu GE Lighting. Hal  ini sempat mengagetkan atasannya. “Sebab, ini bisnis ritel. Dan, dari  sisi size, bisnis GE Lighting amat kecil dibanding energi,” ujarnya. GE  secara umum lebih suka menangani bisnis yang besar seperti menjual  turbin. Alasannya, deal bisnis tersebut bersama orang level atas.  Sementara jika menangani lighting, mereka harus berhubungan dengan  peritel, distributor, dan agen. “Bahkan, akhirnya kantor saya pun  dipindah dari yang tadinya ruangan ke cubical,” ujarnya.
Itulah  Handry, yang merasa menyukai tantangan. “Saya merasa ini bisnis menarik  karena banyak sekali tantangannya: sebagai pemain baru, lampu impor,  kurs juga berubah sampai Rp 15 ribu/US$,” ujarnya. Ia sendiri menyadari  apa yang akan ia lakukan adalah hampir tidak mungkin direalisasi.  Maklum, penguasa bisnis ini saat itu adalah Philips. Tak heran,  sebelumnya di GE tak ada yang melirik bidang ini.
Toh Handry tak  gentar. Konsekuensinya, ia harus mengembangkan tim sendiri. “Tim saya  anak-anak muda. Dan, kami berhasil grow dari zero hingga (beromset) US$ 3  juta dalam waktu dua tahun (1998-2000),” kata pria yang saat itu  menduduki posisi General Manager GE Lighting (wilayah Indonesia dan  Brunei Darussalam). Di antara hasil yang mengesankan, yakni tuntasnya  proyek tata cahaya di Bandara Ngurah Rai dan Candi Prambanan. “I’m very  proud of that team. Saya merasa melakukan banyak hal yang tadinya  mission impossible,” ujarnya. Dan, bagi Handry saat di GE Lighting ini  merupakan salah satu momen terbaiknya sebagai orang GE.
Pada 2000 ia  pindah ke Divisi Power System GE. Dengan kata lain ia berpindah dari  produk konsumer ke bisnis proyek. Di sini ia menangani aktivitas Six  Sigma GE yang merupakan program quality improvement GE. Bahkan ia sempat  menjadi Direktur Six Sigma Quality Asia, ACFC Program, GE Energy  (2003–2005).
Yang juga cukup mengesankan bagi Handry ketika ia  dipercaya mengurus penjualan pada 2005. “Saat itu penjualan pembangkit  listrik (power generator) GE Indonesia masih zero, alias tidak ada  penjualan,” ujarnya. Tantangan terbesar baginya adalah mengembalikan  Indonesia ke peta power generation GE worldwide. “Kami pun akhirnya  berhasil menjual 160 MW dari sebelumnya 0 MW,” katanya bangga. “Tapi,  itu bukan karena hebatnya saya. Lebih dikarenakan adanya tim,” tambah  Direktur Penjualan Power Generation Indonesia GE Energy (2005–2009) ini.  Diungkapkan pula, sejak ia bergabung di bisnis proyek, dalam waktu  sebulan ia mampu mencatatkan satu proyek.
Keberhasilannya ternyata  terus berlanjut. Diklaimnya, saat ini dari total 25 ribu MW kapasitas  terpasang listrik di Tanah Air, 500 MW di antaranya merupakan hasil  penjualan tim Handry. “Bisa dibilang ini yang bikin saya senang. Jualan  saya ada gunanya. Dan ini membuat saya menjadi penjual tenaga listrik  terbesar di ASEAN,” ujar Direktur Penjualan Power Generation GE Energy  untuk Indonesia, Vietnam, Filipina, Kamboja (2009–2010) ini sambil  tersenyum lebar.
Jika dicermati perjalanan karier Handry di GE  terbilang panjang. Tepatnya sudah mencapai 13 tahun lamanya. Nah, awal  September tahun ini ia dipromosikan resmi menduduki posisi nomor satu di  GE Indonesia, yang berarti membawahkan bidang Energi dan Infrastruktur  Teknologi. Posisi ini menempatkan dirinya sebagai pemimpin termuda dalam  jajaran top eksekutif GE global, sekaligus jebolan perguruan tinggi  lokal pertama yang didaulat sebagai komandan GE di Tanah Air. Ia  menggantikan David Utama yang kabarnya dipercaya memimpin GE Healthcare  Asia Tenggara.
Boleh jadi, penunjukan Handry sebagai komandan GE di  Indonesia ada kaitannya dengan dialognya dengan CEO GE, Jeff Immelt,  ketika bertandang ke Indonesia beberapa waktu lalu. Ceritanya, pada  2009, CEO GE datang ke Indonesia dan berbicara di hadapan karyawan GE di  Indonesia tentang potensi negara ini sebagai future market. Mendengar  hal itu Handry pun sempat bertanya kepadanya, “Kita sudah capek  mendengar Indonesia selalu menjadi future market bagi GE. We make it now  market,” katanya menceritakan pendapatnya saat itu. Dalam pandangan  Handry jika Indonesia hanya menjadi future market terus, maka upaya  (effort) yang dilakukan pun masih bersifat future. Untuk itu ia  berpendapat, “Let’s do something different. Jangan cuma jadi equipment  supplier. Bisa nggak kita jadi partner,” ujarnya. Ia kemudian  membandingkan perusahaan-perusahaan Korea di Indonesia yang bisa  bergerak lebih cepat. Mereka berinvestasi dan melakukan banyak hal di  Indonesia. Mereka mengalami banyak kesusahan yang sama tetapi mereka  menancapkan kukunya lebih dalam. “Nah, mereka panen sekarang,”  ungkapnya. Ternyata bos Handry menanggapi serius. “Okay let’s do  something different,” katanya. Nah, setahun sesudah itu, “I got this  assignment. Apakah ini related? I don’t know,” ujar suami Dinar  Sambodja, mantan karyawan GE di Yogyakarta yang kini menekuni profesi  notaris.
Handry mengaku saat ini ia masih susah menyebutkan rencana  dan strateginya dalam membesarkan GE Indonesia ke depan. Alasannya, ia  baru diangkat per 1 September. Toh, secara garis besar ia punya satu  target. “Saya ingin membuat GE lebih besar. Very big,” ujarnya. Caranya,  saat ini ia sedang memperkuat kemampuan GE Indonesia menjadi partner  and total solution provider to customer. “Sebab, jika hanya menjadi good  equipment supplier saja, barangkali tidak cukup. Harus jadi partner!”  katanya
Catatan:
Artikel di atas dikontribusikan ke Blog The Managers  Indonesia via milis The Managers Indonesia. Keaslian artikel menjadi  tanggung jawab kontributor, termasuk jika terjadi sengketa atas Hak  Kekayaan Intelektual
Sabtu, 29 Oktober, 2011 05:40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar