Minggu, 27 November 2011

Noblesse Oblige

Oleh: Andre Vincent Wenas


“Government that limit corruption and put their windfalls to good use rarely
face unrest.  Unfortunately, oil production is now rising precisely in those
countries  where leadership is often in short supply.” (Prof. Michael R. Ross, 
2008).

***

  Adalah William Wilberforce – anggota  parlemen/politikus/negarawan, pewaris  usaha besar dari kakek dan ayahnya  – hidupnya didedikasikan bagi perjuangan abolisi perbudakan di Inggris,  hidup di tahun 1759 – 1833, yang bahkan oleh lawan politiknya (seperti  diceriterakan dalam film Amazing Grace) dikomentari dengan  noblesse-oblige. Pertanyaannya, masih adakah 
sifat/panggilan/tanggungjawab agung (noblesse-oblige) di antara para  petinggi
dan professional kita?

  Tatkala teori Thomas Malthus  (An Essay on the Principle of Population, 1798)
menjadi paradigma  ekonomi, di mana keyakinannya adalah: populasi manusia secara alamiah  akan bertumbuh mengalahkan kapasitas tanah yang terbatas untuk  menghasilkan makanan (baca laporan The Economist, May 17th, 2008,  Malthus, the false prophet), maka perilaku yang muncul bisa jadi homo  homini lupus gaya Leviathan-nya Thomas Hobbes. Manusia adalah serigala  bagi manusia lainnya, noblesse-oblige adalah cuma lamunan di siang  bolong. Walaupun memang perlu diakui juga bahwa tulisan The Economist  itu sangat first-world centric (kurang seimbang dalam perspektif  dunia-ketiga, negara terbelakang).  Mentalitas melimpahruah adalah  prasyarat noblesse-oblige (sayangnya sering menjadi ‘the road less  travelled),  sedangkan scarcity-mentality adalah jalan tol menuju homo homini lupus.

***

  Adalah kebutuhan dasar manusia untuk  meninggalkan legacy yang agung selama hidupnya di dunia. Pepatah kita  mengajarkan, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan  belang, dan manusia mati meninggalkan nama (baca: legacy).  Bahkan  sesungguhnya perilaku pengaturan rumah-tangganya (oikos nomos) manusia  terletak dalam konteks relasi sosialnya. Penemuan yang mengagumkan dari penelitian sejarah dan antropologis menyebutkan, “... that man’s  economy, as a rule, is submerged in his social relationship. He does not  act so as to safeguard his individual interest in the possession of  material goods; he acts so as to safeguard his social standing, his  social claims, his social assets.
He values material goods only in so  far as they serve this end.” (Karl Polanyi,
The Great Transformation,  1944). Sehingga masyarakat yang kehilangan
perbendaharaan kata-kata  seperti legacy (reputasi, nama baik), noblesse-oblige
(tanggungjawab  moral/agung), adalah cerminan masyarakat koruptif
par-excellence.

***

  Bersama kita (bisa) bingung, mengapa sebagai pemilik tambang sumberdaya  alam dan produsen minyak tatkala harga BBM dunia naik, rakyatnya malah  (tambah) sengsara untuk menanggung beban (dari loss opportunity)  pemerintah? Baru-baru ini Michael L. Ross, mahaguru dari University of  California menulis analisanya di jurnal Foreign Affairs (Blood Barrels,  Why Oil Wealth Fuels Conflicts, May/June 2008), bahwa sebagian besar  dunia  sudah lebih damai dibanding 15 tahun yang lalu, kecuali di  negara-negara kaya minyak. Rejeki minyak kerap malah ikut membocorkan  kekuatan dan potensi perekonomian negara, menjadi sumber keresahan  sosial dan kerusuhan etnis-suku terutama di daerah tambang minyak itu berada. Sepertinya ada kutuk (the oil curse),  semakin kaya dengan  sumber minyak, malah semakin tidak kreatif dan melemahkan daya juang.  Prof.Ross mengingatkan, “…problem with the current standards is that  even though exporting governments are pressured to disclose the revenue they collect, they are not expected to reveal how they spend the  money. Oil revenues often vanish into the nooks of state-owned oil  companies or into governments’ off-budget accounts.” Contoh yang  diberikan adalah Angola, seperti yang dilaporkan IMF bahwa penerimaan  minyak antara tahun 1997-2002 paling tidak sebesar US$4.2 Milyard tidak  tercatat (dan tidak bisa dipertanggunjawabkan). Ironisnya, Angola adalah  negara yang tingkat kematian bayi (infant mortality rate) terbesar  kelima di dunia.
   
***

  Para pelaku pasar (pengusaha  dan profesional) serta para pengatur perilaku
pasar (regulator) bukanlah  aksidentalia yang lewat begitu saja dalam momen
sejarah Indonesia  kontemporer. Masing-masing harus ambil bagian dalam perannya  masing-masing. Ataukah hidup para petinggi dan kita sebagai professional  tinggal seperti yang digambarkan George Orwell dalam bagian akhir novel  Animal Farm, “…their life, so far as they knew, was as it had always  been. They were generally hungry, they slept on straw, they drank from  the pool…” Tragis dan membosankan.

-------------------------------------------------
(artikel ini sebelumnya telah dikontribusikan ke Majalah MARKETING sebelum dikirim ke milis ini oleh Kontributornya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar