Oleh: Andre Vincent Wenas
“Dunia bergerak dengan cepat dan tengah mendekati titik nadirnya” (Uskup Agung Wulfstan, dalam khotbahnya di York, tahun 1014).
***
  Ya betul, hal di atas sudah dikatakan sejak tahun 1014. Hampir seribu tahun 
lalu!  Nampaknya di setiap jaman para cendekiawannya merasakan hal yang sama.  Dunia sepertinya berlari tunggang-langgang, lepas kendali  (istilah yang  dipopulerkan Anthony Giddens, Runaway World, 1999). Pertanyaannya, 
apakah  dunia bergerak (dengan tunggang-langgang) ke arah yang lebih baik?  Sudah seribu tahun kita berlarian di sirkuit balap tikus (rat-race),  mengejar ilusikah kita selama ini? Sehingga satu millennium dihabiskan  tergesa-gesa, namun belum juga diperoleh apa yang dikejar.
  Setelah komunisme-Indonesia ditumpas, komunisme-Soviet runtuh dengan 
sendirinya, dan komunisme-China tidak peduli lagi dengan warna (tidak soal 
kucingnya hitam atau putih, yang penting bisa tangkap tikus), maka 
kapitalisme sepertinya keluar sebagai juara kompetisi resep pembangunan dunia. 
Lalu apakah betul kapitalisme dengan semangat liberalis (yang sekarang pakai 
kerudung  istilah globalisasi) mampu jadi preskripsi  tunggal yang cespleng? Dan,  demi rejuvenasi ala konsep pemasaran modern,  bertaburanlah istilah  baru berimbuhan post. Ini tentu demi menunjukkan kebaruannya dibanding  konsep jaman perang dingin. Walau pada esensinya sama saja, banalitas  ide yang mencerminkan kedangkalan.
  Sindhunata (2004) mengkritisi gejala ini, “Sekarang kita hidup di zaman yang 
serba  post. Apa saja diembel-embeli dengan post. Hanya yang  berembel-embelkan  post, itulah yang relevan dan laku... Mestinya,  segala yang berkonotasi dengan post ini mengandung dan membawa apa yang  lebih baik, lebih bernilai, dan lebih mulia daripada yang terjadi  sebelumnya.” Apakah benar begitu? Sayangnya tidak. 
Yang dimaknai dengan imbuhan post tadi lebih mengungkap kekritisan dan 
kekhawatiran pada kemajuan yang terjadi. Hal itu lantaran harapan serta janji 
yang diumbar oleh pemikiran dan prestasi jaman sebelum era post ini ternyata 
gagal  dicicip. Sehingga, “…dengan demikian, post-modernisme adalah kritik 
terhadap  pencerahan akal budi di era modernisme; post-industri adalah kegalauan  terhadap gemerlap industri; post-materi adalah ketidakpercayaan terhadap  pengagung-agungan materi, dan post-histori adalah pesimisme yang sinis  terhadap optimisme perjalanan sejarah.” Bahkan pakar psikologi politik  Peter Bruckner menyebut post histoire tak lain adalah pemantapan  struktur kekerasan secara definitif. Nah…
***
  Lalu  bagaimana dunia korporasi mesti mengambil sikap? Sekedar mengingatkan  saja, pernah ditulis Patricia Aburdence (Megatrends 2010, Bangkitnya  Kesadaran Kapitalisme, TransMedia, 2006), ada 7 trend yang bakal  mengubah strategi kerja, investasi dan gaya hidup. Ketujuh kecenderungan  global ini patut kita renungkan lagi: 
1) Kekuatan spiritualitas. Di masa-masa penuh ketidakpastian, kita pasti melihat ke dalam diri sendiri. 
2)  Terbitnya conscious capitalism. Korporasi tidak cuma peduli dengan  share-holders, namun diperluas jadi stake-holders. Saat ini konsep  triple-bottom line (profit, people, planet) sedang ramai diwacanakan. 
3) Memimpin dari tengah. Nilai, pengaruh (inspirasi) dan otoritas moral menjadi imperatif. 
4) Spiritualisme di dalam bisnis. Dunia bisnis kapitalis sedang 
limbung, spiritualitas masuk menawarkan orientasi. 
5) Konsumen mengambil 
keputusan berdasarkan tata nilainya. 
6) Gelombang solusi conscious. 
7) Ledakan 
investasi yang memiliki tanggung jawab sosial.
  Pada akhirnya kita mesti sadar (mindful) dengan dimensi keterbatasan 
(imanensi)  manusia di hadapan Sang Khalik, sehingga selayaknyalah kita tahu diri  dan rendah hati. Namun sekaligus juga kita ditantang untuk terus
optimis tanpa menjadi arogan, didorong oleh kenyataan transendensi kemanusiaan yang terbuka pada kemungkinan tak terbatas.
***
  Etos profesional sejati adalah terus mengeksplorasi wilayah baru (secara 
praktis maupun strategis konseptual), bahkan yang belum terjamah siapa pun, 
terra  incognita. Friedrich Nietzsche (dalam buku A. Setyo Wibowo, Gaya   Filsafat Nietzsche, 2004) menantang kita menuju ketakterbatasan potensi  manusia dengan berseru, “Menuju lautan-lautan baru. Ke sana – pergi 
menuju  ke sana itulah yang kukehendaki. Pada diriku sendirilah aku percaya,  pada tanganku sendiri. Terbuka, lautan membuka diri, dalam biru.  Meluncur, kapalkudari Genoa menginginkan dirinya meluncur. Bagiku,  segalanya berpendar dengan kilatan baru. Sang Tengah Hari berjaga-jaga  dalam ruang dan waktu - : Hanya mata-mu – secara mengerikan. Menghujam  diriku, oh ketakterbatasan!” 
  Yang penting buat kita, mengarungi ruang ketakterbatasan itu dengan gerak 
ascendant (menaik, menguat, mengutuh dan tampak bermutu) bukan decadent 
(menurun,  melemah, menyerak dan menjauh dari mutu). Jadilah profesional yang  otentik, sehingga tidak perlu tunggang-langgang tanpa orientasi.  November adalah saat kita merefleksikan heroisme para pahlawan pemberani  yang rela menyerahkan hidupnya supaya generasi kitabisa terus bergerak  naik (ascendant), semakin bermutu. Sehingga dekadensi (moral), apalagi  di kalangan pemimpin adalah jelas-jelas pengkhianatan terhadap  pengorbanan mereka.
(artikel sudah dikirim ke  Majalah MARKETING oleh Kontributor Milis ini)
STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Selasa, 1 November, 2011 04:01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar