Minggu, 27 November 2011

Dunia yang Tunggang-langgang

Oleh: Andre Vincent Wenas


“Dunia bergerak dengan cepat dan tengah mendekati titik nadirnya” (Uskup Agung Wulfstan, dalam khotbahnya di York, tahun 1014).

***

  Ya betul, hal di atas sudah dikatakan sejak tahun 1014. Hampir seribu tahun
lalu! Nampaknya di setiap jaman para cendekiawannya merasakan hal yang sama. Dunia sepertinya berlari tunggang-langgang, lepas kendali  (istilah yang dipopulerkan Anthony Giddens, Runaway World, 1999). Pertanyaannya,
apakah dunia bergerak (dengan tunggang-langgang) ke arah yang lebih baik? Sudah seribu tahun kita berlarian di sirkuit balap tikus (rat-race), mengejar ilusikah kita selama ini? Sehingga satu millennium dihabiskan tergesa-gesa, namun belum juga diperoleh apa yang dikejar.

  Setelah komunisme-Indonesia ditumpas, komunisme-Soviet runtuh dengan
sendirinya, dan komunisme-China tidak peduli lagi dengan warna (tidak soal
kucingnya hitam atau putih, yang penting bisa tangkap tikus), maka
kapitalisme sepertinya keluar sebagai juara kompetisi resep pembangunan dunia.

Lalu apakah betul kapitalisme dengan semangat liberalis (yang sekarang pakai
kerudung istilah globalisasi) mampu jadi preskripsi  tunggal yang cespleng? Dan, demi rejuvenasi ala konsep pemasaran modern,  bertaburanlah istilah baru berimbuhan post. Ini tentu demi menunjukkan kebaruannya dibanding konsep jaman perang dingin. Walau pada esensinya sama saja, banalitas ide yang mencerminkan kedangkalan.

  Sindhunata (2004) mengkritisi gejala ini, “Sekarang kita hidup di zaman yang
serba post. Apa saja diembel-embeli dengan post. Hanya yang berembel-embelkan  post, itulah yang relevan dan laku... Mestinya, segala yang berkonotasi dengan post ini mengandung dan membawa apa yang lebih baik, lebih bernilai, dan lebih mulia daripada yang terjadi sebelumnya.” Apakah benar begitu? Sayangnya tidak.
Yang dimaknai dengan imbuhan post tadi lebih mengungkap kekritisan dan
kekhawatiran pada kemajuan yang terjadi. Hal itu lantaran harapan serta janji
yang diumbar oleh pemikiran dan prestasi jaman sebelum era post ini ternyata
gagal  dicicip. Sehingga, “…dengan demikian, post-modernisme adalah kritik
terhadap pencerahan akal budi di era modernisme; post-industri adalah kegalauan terhadap gemerlap industri; post-materi adalah ketidakpercayaan terhadap pengagung-agungan materi, dan post-histori adalah pesimisme yang sinis terhadap optimisme perjalanan sejarah.” Bahkan pakar psikologi politik Peter Bruckner menyebut post histoire tak lain adalah pemantapan struktur kekerasan secara definitif. Nah…

***

  Lalu bagaimana dunia korporasi mesti mengambil sikap? Sekedar mengingatkan saja, pernah ditulis Patricia Aburdence (Megatrends 2010, Bangkitnya Kesadaran Kapitalisme, TransMedia, 2006), ada 7 trend yang bakal mengubah strategi kerja, investasi dan gaya hidup. Ketujuh kecenderungan global ini patut kita renungkan lagi:
1) Kekuatan spiritualitas. Di masa-masa penuh ketidakpastian, kita pasti melihat ke dalam diri sendiri.
2) Terbitnya conscious capitalism. Korporasi tidak cuma peduli dengan share-holders, namun diperluas jadi stake-holders. Saat ini konsep triple-bottom line (profit, people, planet) sedang ramai diwacanakan.

3) Memimpin dari tengah. Nilai, pengaruh (inspirasi) dan otoritas moral menjadi imperatif.
4) Spiritualisme di dalam bisnis. Dunia bisnis kapitalis sedang
limbung, spiritualitas masuk menawarkan orientasi.
5) Konsumen mengambil
keputusan berdasarkan tata nilainya.
6) Gelombang solusi conscious.
7) Ledakan
investasi yang memiliki tanggung jawab sosial.

  Pada akhirnya kita mesti sadar (mindful) dengan dimensi keterbatasan
(imanensi) manusia di hadapan Sang Khalik, sehingga selayaknyalah kita tahu diri dan rendah hati. Namun sekaligus juga kita ditantang untuk terus
optimis tanpa menjadi arogan, didorong oleh kenyataan transendensi kemanusiaan yang terbuka pada kemungkinan tak terbatas.

***

  Etos profesional sejati adalah terus mengeksplorasi wilayah baru (secara
praktis maupun strategis konseptual), bahkan yang belum terjamah siapa pun,
terra incognita. Friedrich Nietzsche (dalam buku A. Setyo Wibowo, Gaya  Filsafat Nietzsche, 2004) menantang kita menuju ketakterbatasan potensi manusia dengan berseru, “Menuju lautan-lautan baru. Ke sana – pergi
menuju ke sana itulah yang kukehendaki. Pada diriku sendirilah aku percaya, pada tanganku sendiri. Terbuka, lautan membuka diri, dalam biru. Meluncur, kapalkudari Genoa menginginkan dirinya meluncur. Bagiku, segalanya berpendar dengan kilatan baru. Sang Tengah Hari berjaga-jaga dalam ruang dan waktu - : Hanya mata-mu – secara mengerikan. Menghujam diriku, oh ketakterbatasan!”

  Yang penting buat kita, mengarungi ruang ketakterbatasan itu dengan gerak
ascendant (menaik, menguat, mengutuh dan tampak bermutu) bukan decadent
(menurun, melemah, menyerak dan menjauh dari mutu). Jadilah profesional yang otentik, sehingga tidak perlu tunggang-langgang tanpa orientasi. November adalah saat kita merefleksikan heroisme para pahlawan pemberani yang rela menyerahkan hidupnya supaya generasi kitabisa terus bergerak naik (ascendant), semakin bermutu. Sehingga dekadensi (moral), apalagi di kalangan pemimpin adalah jelas-jelas pengkhianatan terhadap pengorbanan mereka.

(artikel sudah dikirim ke  Majalah MARKETING oleh Kontributor Milis ini)


STRATEGIC MANAGEMENT SERVICES
Selasa, 1 November, 2011 04:01

Tidak ada komentar:

Posting Komentar