Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Semua  orang ingin sekali menjadi pemimpin, betul? Tidak juga. Yang kita  inginkan sebenarnya adalah menjadi ‘pejabat tinggi’, bukan menjadi  ‘pemimpin’. Di organsiasi bisnis misalnya, kita ingin menjadi Manager  atau Direktur. Dalam pemerintahan, kita ingin menjadi Bupati atau  Gubernur. Saat menginginkan jabatan itu, kita tidak benar-benar ingin  menjadi pemimpin bagi umat atau orang-orang yang kita pimpin. Kita,  lebih menginginkan kebanggaannya, prestisenya, dan fasilitas  menggiurkannya. “Nggak juga tuch!” Saya senang jika Anda menyangkal  seperti itu. Hal itu menunjukkan bahwa Anda memang berniat mengabdikan  diri, bukan sekedar berambisi untuk meraih suatu posisi. Apakah itu  penting? Bukan sekedar penting. Tapi juga menentukan apa yang kita  lakukan selama memegang jabatan itu dan nasib kita sesudah selesai  menjabatnya. 
Ketika  berkata “mengejar jabatan itu baik adanya,” saya mendapatkan respon  beragam. Tanggapan paling menarik datang dari para sahabat yang tidak  sependapat. Meskipun saya dapat ‘menjawabnya’ dengan argument canggih,  tetapi saya tidak berhenti memikirkannya. Mengapa kita sampai  diwanti-wanti oleh Sang Nabi soal tidak mengejar jabatan, padahal  dikesempatan lain beliau mengingatkan bahwa kita mesti berani tampil  untuk menjadi pemimpin? “Setiap pribadi adalah pemimpin,” katanya.  Alhamdulillah, dari proses itu saya mendapatkan pemahaman tambahan.  Terminologi kepemimpinan kita memang sudah dirancukan oleh nafsu untuk  menguasai suatu kedudukan. Saya tidak tahu persis, apakah itu disebabkan  karena sudah terjadi pergeseran peyoratif dari makna kepemimpinan. Atau  memang dari dulu kita belum juga berhasil menerapkan konsepsi  kepemimpinan itu secara utuh. Makanya, memimpin itu sama sekali berbeda  makna dari menjabat. Proses pembelajaran saya masih belum berakhir.  Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memahami makna kepemimpinan yang sebenarnya, saya ajak memulainya dengan memahami 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:   
1.      Setiap pribadi adalah pemimpin.  Kalimat ini adalah penegasan paling kuat bahwa meskipun saya atau Anda  tidak memiliki jabatan apapun; kita adalah seorang pemimpin. Dasar  argumennya adalah firman Tuhan dalam kitab suci, dan kodrat ini sudah  dimulai sejak Tuhan menciptakan manusia pertama – yaitu Adam. Seseorang  memiliki pilihan untuk berambisi atau tidak berambisi meraih suatu  jabatan. Tapi untuk menjadi seorang pemimpin, sama sekali bukan pilihan.  Itu kehendak dari Sang Pencipta. Masalahnya, mata kita masih  dikaburkan oleh ‘jabatan’ sehingga kita sering merasa kecil atau  menilai diri bukan siapa-siapa hanya karena kita tidak menduduki jabatan  apa-apa. Padahal, justru sejak dilahirkan pun kita ini memang sudah  menjadi pemimpin kok. Mengapa kualitas kepemimpinan itu tidak menonjol  dalam perilaku kita? Itu karena kita lebih suka menunggu untuk  mendayagunakannya ‘nanti’ kalau kita sudah mendapatkan jabatan.  Sekarang? “Mengapa saya harus berlagak bak seorang pemimpin?” Keliru.  Karena kepemimpinan tidak berkaitan langsung dengan jabatan. Mari kita  sadari bahwa di pundak kita ada amanah kepemimpinan yang dititipkan  Tuhan. Jadi, mulai sekarang act like a leader suppose to be, meskipun  kita tidak memegang jabatan apapun. 
2.      Berguru kepada pemimpin pilihan.  Siapa pemimpin panutan yang paling Anda kagumi? Anda boleh menyebut  nama mereka. Bahkan, pelatihan-pelatihan kepemimpinan sering mengacu  kepada gaya kepemimpinan mereka. Pertanyaan saya; adakah terselip dalam  daftar pemimpin panutan Anda itu nama para Nabi? Dalam pandangan saya,  tidak ada pemimpin yang lebih patut untuk diteladani selain para Nabi.  Tidak perlu mempermasalahkan Nabi saya atau Nabi Anda siapa. Faktanya,  merekalah pemimpin sejati bagi segala umat. Saya pribadi, meyakini  semua Nabi yang pernah diutus Tuhan untuk memimpin umatnya. Sebutkanlah  nama Nabi suci Anda; maka saya akan mengimaninya. Para Nabi berbeda  dari para raja. Sehingga semua Nabi adalah pemimpin, sedangkan para raja  banyak yang menjadi symbol monopoli kekuasaan. Sampai hari ini, kita  bisa melihat betapa jauh berbedanya karakter orang-orang yang meniru  para raja dengan mereka yang mencontoh para Nabi. Para pengagum  raja-raja memiliki semangat yang sangat tinggi untuk merebut jabatan  yang diincarnya, dengan cara apapun jika perlu. Dan setelah menjabat?  Hmmh, kita melihat banyak fenomena tentang tingkah polah mereka. Di  kantor-kantor pemerintahan. Maupun di ruang-ruang bergengsi perusahaan.  Sebaliknya, para pencontoh Nabi. Mereka mengabdikan dirinya untuk  kemaslahatan orang-orang yang dipimpinnya. Karena mereka sadar, bahwa  kepemimpinan yang diembannya adalah amanah suci yang mesti dijaga  kemurniannya. Kita bisa berguru nilai-nilai itu kepada pemimpin pilihan  Tuhan, yang bergelar Nabi.
3.      Memprioritaskan orang-orang yang kita pimpin.  Setiap umat memiliki kisah indahnya masing-masing tentang Nabi-Nabi  mereka. Dari kisah-kisah para Nabi itu, saya menemukan bahwa ternyata  mereka selalu berada di garis paling depan dalam setiap urusan kebaikan.  Ketika dizaman modern ini kita mengenal pemimpin-pemimpin sederhana  yang terbebas dari belengggu hedonisme; kita bersimpati kepada mereka.  Ketika menyaksikan para pejabat bergelimang kemewahan, kita hanya bisa  mengurut dada.  Begitu banyak pejabat yang ada di  lingkungan kita. Tetapi, mungkin hanya sedikit  sekali kita memiliki pemimpin yang bersedia berdiri dibarisan paling  depan dalam memperjuangkan kesejahteraan dan kebaikan orang-orang yang  dipimpinnya. Jika saat ini Anda tengah memegang suatu jabatan – mungkin  supervisor, manager, atau direktur – mari mulai bertanya; sudahkah Anda  meniru para Nabi dalam cara Anda memimpin anak buah Anda. Ataukan Anda  masih meniru perilaku para raja yang haus akan kekuasaan? Mudah saja  untuk membedakannya. Para Nabi rela mengorbankan kepentingan dirinya  demi mendahulukan kepentingan orang yang dipimpinnya. Sedangkan para  raja yang memonopoli kekuasaannya, dicirikan oleh nafsunya untuk  mengeruk keuntungan dari kedudukan yang dipegangnya. Mengutamakan  kolega-kolega terdekatnya. Sekaligus mengamankan posisi itu untuk hanya  diteruskan oleh orang-orang yang dikehendakinya. Mari meniru para Nabi  yang memimpin dengan cara menempatkan kepentingan orang-orang yang  dipimpinnya di pada prioritas yang paling tinggi.
4.      Melakukan apa yang dikatakan.  Salah satu masalah terbesar yang mengusik mental kita adalah  jomplangnya antara perkataan dan perbuatan orang-orang yang menduduki  jabatan tinggi. “Disiplin!” katanya. Tapi dia sendiri tidak disiplin.  Ketika para CEO perusahaan raksasa di Amerika menyerukan “penghematan!”  pada pos-pos pengeluaran perusahaan, kongres dan rakyat merasa senang.  “Sudah insyaf, mereka…”. Namun, ketika diketahui bahwa para CEO itu  menolak untuk menghentikan fasilitas jet dan kapal pesiar sambil  menghambur-haburkan dana talangan untuk bonus mereka sendiri; seluruh  rakyat Amerika  menjadi murka. Sungguh bertolak belakang perkataan dan perbuatan  mereka. Anda tidak perlu meminta saya untuk bercerita tentang kondisi di  Indonesia. Cukuplah kiranya jika kita saja  yang memulai  melakukan apa yang kita sendiri katakan. Mengharapkan orang lain begitu,  belum tentu mau. Tapi jika kita sendiri yang melakukannya, semoga itu  bisa menjadi inspirasi bagi anak buah kita. Bahwa dalam memimpin mereka,  kita tidak sekedar berbicara. Kita bersedia untuk melakukannya bersama  mereka.
5.      Mempertanggungjawabkan amanah kepemimpinan.  Setiap pemimpin pasti dimintai tanggungjawab atas kepemimpinannya.  Jangan tanya saya, apakah setiap pejabat juga akan dimintai  pertanggungjawaban atas jabatan yang dipegangnya? Mari kita fokus saja  kepada pemahaman bahwa jauh lebih baik melakukan amanah kepemimpinan  kita sesuai dengan yang Tuhan inginkan daripada menantang resiko kelak  kita dikenai pasal-pasal pelanggaran atas tuntunan-Nya. Anak buah kita,  mungkin tidak tahu apa yang kita lakukan. Kalaupun ada anak buah yang  mengetahuinya, belum tentu mereka berani mengingatkan kita untuk tidak  mengulanginya. Kalau pun mereka berani mengingatkan, belum tentu kita  mau mendengar seruannya. Tapi selama kita yakin ada Tuhan yang  menyaksikan, masak sih kita masih PEDE untuk melakukan sesuatu yang  tidak semestinya? Tentu Anda masih ingat ketika Presiden membacakan  laporan pertanggungjawabannya dihadapan MPR. Tidak sulit lho untuk  mendapatkan persetujuan atau penerimaan majlis atas kinerja presiden.  Menangnya kalau MPR tidak setuju terus mantan Presiden itu harus  diapain? CEO juga tidak rumit untuk membuat laporan pertanggungjawaban  dihadapan share holder. Setidaknya, saya pernah ambil bagian dalam  penyiapan dokumen pertanggungjawaban BOD dalam rapat pemegang saham.  Ternyata tidak sulit-sulit amat. Jika kinerja sedang bagus, share holder  sumeringah. Jika kinerja sedang buruk, selalu ada penjelasan mengapa  bisa demikian. Diterima juga. Tapi sampai sekarang, saya belum tahu  bagaimana caranya mengakali laporan pertanggungjawaban dihadapan Tuhan.  Atas  tampuk kepemimpinan yang saya emban.
Tampillah  untuk menjadi seorang pemimpin. Karena boleh jadi, melalui Anda; Tuhan  memberikan jalan terbaik untuk orang-orang yang Anda pimpin. Jika saat  ini Anda sudah memegang jabatan atau posisi penting di perusahaan, maka  pastikanlah untuk menjadi pemimpin bagi anak buah Anda. Jika saat ini  Anda belum mendapatkan giliran untuk memegang jabatan tertentu, maka  ingatlah; bahwa akar kepempinan itu sudah ada didalam diri Anda. Tidak  perlu menunggu nanti untuk mengamalkannya. Karena Anda, bisa  mendayagunakannya. Saat ini juga. 
Mari Berbagi Semangat!
Penulis buku ”Natural Intelligence Leadership” (Tahap editing di penerbit)
Catatan Kaki:
Ada banyak cara untuk menjadi pejabat hebat. Namun untuk menjadi pemimpin, hanya ada cara yang disukai Tuhan.
Silakan  di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung  saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai  tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya. 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar