Rabu, 30 November 2011

Ekspansi, Kepercayaan & Inspirasi

Oleh: Andre Vincent Wenas

“Capacity expansion is one of the most significant strategic decisions faced by
firms, measured both in terms of the amount of capital involved and the
complexity of the decision-making problem… Capacity decisions require the firm
to commit resources based on expectations about conditions far into the future.”
(Michael E. Porter, Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries
and Competitors, 1980)
***
Ironis, ketika banyak negara mengecam AS dengan mengklaim diri sebagai
anti-imperialis, anti-hegemoni, anti-monopoli, Christianto Wibisono (The Global
Nexus, 2007) melaporkan, orang yang berteriak anti AS ternyata duitnya malah
ditaruh di Wall Street. Malah, negara-negara yang secara politik mengecam AS,
mendukung dan membenarkan “teror”, dalam hati kecil juga masih merasa aman
menaruh duit di AS. Mereka masih percaya bahwa gubernur bank sentral AS tidak
akan korupsi atau KKN. Terlebih dari itu, percaya bahwa lembaga hukum di AS
berfungsi imparsial dan independen. Sehingga biarpun bank sentral AS cuma
memasang tarif suku bunga yang kecil (2-4%, bahkan 1% di tahun 2003) ada sekitar
US$ 4 trilyunan harta milik dunia disimpan di AS.
Sehingga mengacu pada teori Capacity Expansion-nya Michael Porter, salah satu
syarat untuk berkembang telah terpenuhi, yaitu akumulasi amount of capital.
Dilengkapi dengan kompetensi bangsa dalam metodologi pemecahan masalah
(problem-solving methodology) yang dilandasi sikap rasional, asas keadilan dan
kematangan berdemokrasi, bakal menumbuhkembangkan saling percaya ke tingkat yang
lebih tinggi lagi. Akibatnya dinamika wacana intelektual dan praksis sosialnya
terus berputar ke atas (spiral-up movement).
***
Di tataran makro maupun mikro pada galibnya esensi pembangunannya tak jauh
berbeda. Manakala pertumbuhan bisnis dilandasi pembangunan kultur yang pada
ujungnya membuat perusahaan jadi layak dipercaya (trustworthy), dan bisa jadi
model serta inspirasi yang membuat banyak pihak ingin mengemulasinya, maka
organisasi itu sesungguhnya sudah menjadi asset bangsa. Pada gilirannya bangsa
yang bisa menginspirasi bangsa lain adalah asset internasional.
“…that a nation’s well being, as well as its ability to compete, is
conditioned by a single, pervasive cultural characteristic: the level of trust
inherent in society.” (Francis Fukuyama, Trust: The Social Virtues and The
Creation of Prosperity, 1995)
Bangsa yang tingkat saling-percayanya tinggi akan sangat efisien. Untuk hal
yang sepele saja, berapa penghematan yang bisa dilakukan perusahaan operator
jalan tol jika di tiap pintu masuk tol tidak perlu ada petugas yang membagi-bagi
kartu tol, setiap pengendara bisa dipercaya hanya mengambil satu kartu saja
(yang diletakkan di pintu masuk tol tanpa petugas jaga). Contoh yang lebih
besar, negara tidak perlu menghamburkan dana demi membentuk komisi-komisi khusus
yang mengawasi dan menangani kasus-kasus korupsi, pelanggaran HAM, dll. Pastilah
biaya yang bisa dihemat sangat signifikan.
***
Kita boleh bermimpi, seperti Martin Luther King Jr. bermimpi. Asalkan mimpi
(dream) itu merupakan gambaran (pictorial) yang jernih tentang masa depan yang
indah dan mulia. “…I have a dream that one day this nation will raise up and
live out the true meaning of its creed: We hold these truth to be self-evident
that all men are created equal… I have a dream that my four little children will
one day live in a nation where they will not be judged by the color of their
skin but by the content of their character. I have a dream today!...” (at
Lincoln Memorial, Washington DC, 28 August 1963).
Nampaknya kita krisis dengan pemimpin visioner yang bisa menginspirasi dengan
gambaran jernih masa depan organisasi. Alih-alih visioner dan inspirasional,
mereka malah sibuk memperbaiki citra-diri serta menebar pesona kian kemari tanpa
pernah menjadikan dirinya sendiri sebagai role-model yang bisa meniupkan
roh-kehidupan (to inspire) kepada orang lain. Inspirasi sendiri awalnya adalah
sebuah kata yang sakral. Kata inspirasi dalam bahasa Yunani disebut
“Theopneustos” yang arti harafiahnya adalah “tiupan nafas Tuhan” (God-breathed).
Jadi, orang yang inspirasional adalah orang yang sebetulnya “meniupkan nafas/
semangat/spirit kehidupan” kepada orang lain.
***
Terhadap sistem yang sewenang-wenang, kita merenung lewat teguran Vaclav Havel
(Presidential Speech, 1989), “When I talk about contaminated moral atmosphere, I
am not talking just about the gentlemen who eat organic vegetables and do not
look out of the plane windows. I am talking about all of us. We had all become
used to the totalitarian system and accepted it as an unchangeable fact and thus
helped to perpetuate it. In other words, we are all – though naturally to
differing extents – responsible for the operation of the totalitarian machinery;
none of us is just its victim: we are all also its co-creators.”
Kalau dunia sekarang jatuh secara moral-spiritual, kita sebagai profesional
juga ikut bertanggung-jawab di dalamnya. Kita mau terus ignorance, atau bangkit
membangun kapasitas lewat kepercayaan sehingga bisa ikut meniupkan kembali roh
kehidupan.
-------------------------------------------------
(artikel oleh Kontributor telah dikontribusikan ke  Majalah MARKETING). Jika terdapat sengketa atas Hak Kekayaan Intelektual,menjadi tanggung jawab Kontributor)
Selasa, 8 November, 2011 21:48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar