Oleh:  Dadang Kadarusman
Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Manusia  sering dilanda kekhawatiran jika hasil jerih payahnya diklaim oleh  orang lain. Wajar. Apa lagi dizaman serba serobot seperti saat ini. Oleh  karenanya, saya mengajak Anda untuk membubuhkan sidik jari pada setiap  pekerjaan Anda. Mungkin yang dimaksud adalah ’membubuhkan tanda tangan’  barangkali ya? Tidak. Saya memang dengan sengaja mengajak Anda untuk  membubuhkan ’sidik jari’ pada setiap hasil karya Anda. Mungkin kurang  lazim, tetapi itulah yang sedang saya serukan. Tanda tangan Anda, bisa  dengan mudah ditiru oleh orang lain. Tetapi, sidik jari Anda tidak bisa  tergantikan. Jika Anda berhasil membubuhkan sidik jari itu, maka  percayalah; tak satupun tindakan Anda yang bisa berpindah tangan kepada  orang lain. Dan seluruh tindakan Anda berikut hasilnya akan menjadi  milik Anda  sepenuhnya. Apakah itu berhubungan dengan urusan kantor, maupun hal  lainnya dalam kehidupan Anda.
Steve  Jobbs adalah salah satu contoh pribadi yang berhasil membubuhkan sidik  jarinya melalui kreasi jenis-jenis huruf yang begitu kaya dan nyaman  untuk dibaca. Kita menyebutnya sebagai font kaligrafi. Dengan kaligrafi  itu Anda bisa memilih beragam jenis huruf, dengan gaya, ukuran dan model  yang beragam. Meski sang maestro itu sudah tiada, tapi ’sidik jarinya’  tetap melekat pada setiap komputer dan gadget dengan merk maupun sistim  operasi apapun. Steve Jobbs dan para penemu serta pemikir lainnya adalah  contoh orang-orang yang berhasil membubuhkan ’sidik jarinya’ pada hasil  karyanya. Yaitu mereka yang berhasil meninggalkan sesuatu yang bermakna  bagi kehidupan umat  manusia. Setiap orang, bisa seperti mereka; jika bersedia mengerahkan daya  dirinya. Karena setiap pribadi telah dibekali dengan potensi diri yang memadai, untuk menjadikan dirinya berharga. Bagi  Anda yang tertarik menemani saya belajar membubuhkan sidik jari pada  pekerjaan kita, saya ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini: 
1.      Menunjukkan keunikan pribadi.  Sekarang kita sudah tahu bahwa sidik jari setiap orang berbeda. Bukan  saja secara fisik, melainkan juga secara simbolik. Misalnya, Anda bisa  merasakan mengapa masakan dengan resep yang sama memiliki cita rasa yang  berbeda jika dibuat oleh koki yang berbeda. Pekerjaan yang sama  memiliki kualitas yang berbeda jika dikerjakan oleh karyawan yang  berbeda. Kalimat yang sama terdengar berbeda ketika diucapkan oleh orang  yang berbeda. Jadi secara kodrati, kita ini benar-benar berbeda lho.  Tapi,  mengapa kita sering sekali meniru orang-orang disekitar kita? Mereka  hijau, kita hijau. Biru, ya  ikut biru. Mereka malas ikut  malas. Mereka rajin? Nah, barulah kita berbeda. Kita cenderung untuk  mengikuti saja yang orang lain lakukan. Padahal kita tahu, dengan cara  yang sama; kita akan mendapatkan hasil yang kurang lebih sama.  Makanya  kita tahu siapa si peramah, dan siapa si pemarah. Siapa si rajin, dan  siapa si malas. Itulah identitas diri. Jika kemudian kita hanya  menyamakan diri dengan orang lain, maka itu artinya kita membunuh  karakter pribadi yang tertuang dalam keunikan diri kita sendiri.  Perhatikanlah. Bahkan jika kita sama ramahnya dengan orang lain. Garis  senyum di bibir kita berbeda dengan mereka. Karena sidik jari kita,  menempel dalam keunikan pribadi kita. 
2.      Menghargai diri sendiri.  Misalkan Anda memiliki seekor sapi seberat satu ton, lalu memotongnya.  Jika Anda mendapatkan 200 kg daging yang bisa dijual seharga Rp. 50,000  per kilo. Kulitnya laku 250 ribu, sedangkan kepala, tulang dan ekornya  diborong seharga 750 ribu. Maka harga sapi itu adalah  Rp.  11,000,000.-. Nilai seekor sapi, ditentukan oleh harga jual organ  tubuhnya. Tidak lebih dari itu. Lantas, bagaimana menentukan harga  seorang manusia? Seberat-beratnya Anda, tentu bobotnya tidak seberat  sapi. Jadi mungkin tidak setinggi itu. Makanya, harga manusia  tidak ditentukan oleh daging tulang dan kulitnya, melainkan oleh apa  yang bisa dikontribusikannya kepada dunia. Oleh sebab itu, orang-orang  yang menghargai dirinya sendiri bisa dicirikan dari perilakunya sehingga  hidupnya memiliki makna. Jika Anda melakukan sesuatu yang besar  manfaatnya, maka nilai atau harga diri Anda tinggi. Tetapi, jika Anda  tidak melakukan sesuatu yang bermakna maka nilai diri Anda juga tidak  seberapa. Banyak orang yang merasa dirinya tidak dihargai. Namun  faktanya, semua orang yang bisa berkontribusi pada lingkungannya sangat  dihargai. Orang yang banyak beramal, juga dihargai. Orang yang rajin  berbagi ilmu dihormati. Orang yang gemar menolong dicintai. Jelas sekali  jika harga diri kita dibandrol oleh sumbangsih kita kepada lingkungan.  Dan setiap tindakan kita – baik atau buruk – adalah jejak sidik jari  yang menentukan harga diri kita sendiri.
3.      Membuat hasil karya yang autentik.  Anda pernah membeli suatu produk branded yang tidak asli? Misalnya,  celana jeans. Tas. Jam tangan. Atau pulpen. Branded, tapi tidak asli.  Ketika menggunakan benda-benda branded itu, apakah Anda merasakan  bedanya dengan yang asli? Meskipun ‘tampak luarnya’ mirip, namun  benda-benda yang asli memiliki ‘taste’ dan ‘touch’ yang benar-benar  berbeda. Anda yang mengetahui hal itu, pasti dapat dengan mudah  membedakan mana yang asli dan mana yang aspal. Anda tahu, bahwa kualitas  tidak bisa dimanipulasi oleh label. Itulah makna kata dari autentik.  Sesuatu yang  autentik hanya bisa ditiru secara fisik, tetapi tidak bisa dijiplak  secara intrinsik. Makanya, seseorang hanya bisa meniru hasil karya orang  lain, tapi tidak akan bisa memberikan ‘jiwa’ yang sama kedalam hasil  karya jiplakannya. Kenapa sih harus begitu? Iya, karena setiap pribadi  itu autentik. Kenapa setiap pribadi harus autentik? Supaya bisa  menghasilkan karya yang juga autentik.  Keautentikan suatu  hasil karya melekat erat dengan kepribadian sang pembuatnya. Dan karena  jiwa kita autentik, maka kita bisa meletakkan sidik jari kita dengan  cara mengerjakan setiap tugas sepenuh jiwa kita. Itulah yang kita sebut  sebagai ‘penjiwaan’. Jika kita bisa ‘menjiwai’ setiap proses atau  tindakan atau pekerjaan yang kita lakukan, maka bisa dipastikan jika  kita akan mampu membubuhkan sidik jari kita pada karya yang  dihasilkannya. Dan untuk itu, Anda tidak perlu menjiplak hasil karya  orang lain. Cukuplah dengan  menjadi pribadi yang autentik melalui penjiwaan terhadap setiap  pekerjaan.
4.      Mendapat tempat dimanapun.  Pergilah ke belahan bumi manapun. Sidik jari Anda tetaplah sama. Jika  sidik jari itu ditemukan dibelantara Papua, maka profilnya akan sama  dengan jejak yang ditemukan di hutan Amazon dari sidik jari yang sama.  Yang namanya berkarya, tidak hanya mengenal satu lokasi tertentu, atau  saat kita sedang berurusan dengan orang-orang tertentu. Artinya, nilai  kebaikan yang bisa kita bangun sama universalnya dengan rahasia yang  tersimpan dalam sidik jari kita. Saat melakukan kebaikan, Anda tidak  membeda-bedakan agama, atau kebangsaan. Karena kebaikan diperuntukkan  bagi semua umat  manusia. Anda juga tidak perlu terhalang oleh tempat. Misalnya, kita  sering mengira jika kantor tidak lebih dari sebuah tempat untuk mencari  nafkah. Padahal, justru dikantorlah kita punya kesempatan yang banyak  untuk berlatih dan menampilkan diri menjadi pribadi yang baik. Kadang,  kita baik dengan orang yang baru dikenal. Tapi tidak baik kepada orang  yang setiap hari bekerja disamping kita. Begitu juga di rumah. Kita  ramah kepada orang lain. Tapi ada ganjalan di hati saat harus berbuat  sama ramahnya terhadap pasangan hidup kita. Sidik jari kita secara  konsisten berlaku dimana saja. Maka sewajarnya nilai-nilai kebaikan kita  juga sama konsistennya dimana saja.
5.      Memberi tanda secara netral.  Sidik jari kita adalah bukti bahwa kita pernah ‘bersentuhan’ dengan  sesuatu. Dalam soal hasil karya, itu adalah bukti kepemilikan. Dalam  soal perbuatan, itu adalah tanggungjawab atas konsekuensi yang  ditimbulkannya. Bukan hanya pekerjaan baik yang meninggalkan jejak sidik  jari kita. Pekerjaan yang buruk pun demikian. Sayangnya, kita masih  sering mengira bahwa perbuatan buruk kita bisa ditutup-tutupi hingga  tidak ketahuan. Istilahnya, bisa cuci tangan untuk menghapuskan jejak  sidik jari yang menempel disana. Keliru jika kita mengira bisa  menghapuskan jejak keburukan  itu. Karena dalam kitab suci, Tuhan telah berfirman;” ”Apakah  manusia mengira Kami tidak akan mengupulkan kembali  tulang-belulangnya?” Ayat ini ditujukan kepada mereka yang mengira bahwa  keburukan perilakunya bisa disembunyikan. Lalu Tuhan meneruskan:”Bahkan  Kami mampu menyusun kembali jari jemarinya dengan sempurna.” Ayat yang  turun hampir 1,500 tahun lalu itu menegaskan bahwa sidik jari kita,  tidak pernah bisa dihapus. Apakah dalam perbuatan baik kita. Ataupun  dalam perbuatan buruk kita. Maka ayat ini juga mengingatkan kita agar  ’tidak sembarangan’ menggunakan tangan kita untuk melakukan sesuatu yang  buruk. Karena jejaknya, akan dikumpulkan kembali pada hari pembalasan.
Sidik  jari kita bisa menandai setiap hal yang kita lakukan. Dengan sidik jari  itu, setiap orang yang baik memiliki jaminan bahwa segala kebaikan yang  pernah dilakukannya tidak akan pernah bisa diklaim oleh orang lain. Itu  akan tetap menjadi miliknya selama-lamanya. Maka orang-orang baik tidak  perlu risau jika seseorang menjiplak, atau menyerobot hasil karyanya.  Dia bisa bertenteram hati untuk terus berbuat baik tanpa harus khawatir  tidak kebagian buahnya. Sebaliknya, setiap orang yang berperilaku buruk  dijamin bakal mendapatkan balasan dari setiap keburukan yang  dilakukannya. Maka orang-orang yang pernah berbuat keburukan perlu  sadar, bahwa semuanya akan dimintai pertanggungjawaban. Karena dalam  setiap perbuatan kita, menempel jejak sidik jari kita. 
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman – 25 Oktober 2011
Penulis buku ”Natural Intelligence Leadership” (Tahap editing di penerbit)
Catatan Kaki:
Sidik jari kita tercetak dalam setiap perbuatan sehingga kita terikat kepada baik atau buruk konsekuensinya.    
Silakan  di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung  saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai  tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya. 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar