Selasa, 28 Juni 2011

Catatan Ringan dari Kota Amoy, Singkawang


CATATAN  RINGAN  DARI  KOTA AMOY, SINGKAWANG
Oleh: Ratmaya Urip
= = = = = = = = = = =

BAGIAN 1
Mendengar kata Singkawang, konotasi kita sering bermuara pada hal-hal yang lebih memanjakan lelaki. Mata menjadi lebih bersinar, telinga menjadi lebih lebar, hidung menjadi lebih bergerak, benak menjadi lebih mempunyai riak, dan hati serasa ada onak. Namun yang pasti ada rasa enak yang bergelora di dada karena ada gairah yang beranak pinak (he..he..he, kenapa, ya?)
Rasanya sudah ribuan tulisan tentang Kota Amoy, Singkawang, Kalimantan Barat, bertengger di berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Rasanya juga sudah ribuan  orang yang saling bertabik, dengan menanggapinya, bahkan sampai mulutnya berbuih-buih. Sampai dengan saat ini, tulisan, cerita, diskusi, dan perdebatan tentang Kota Amoy tersebut belum pernah ada akhirnya...selalu menarik dan menarik. Nampaknya masih dalam  kondisi memuncak, atau menuju klimaks, atau dalam istilah musik disebut crescendo, dalam istilah pariwisata sering disebut peak season, sementara dalam istilah biologi lebih dikenal dengan istilah orgasmus. Sehingga aku cukup ada nyali untuk mempersembahkannya kepada seluruh pembaca, khususnya para pemerhati Kota Singkawang. Semoga dapat menambah referensi, karena tulisan ini berdasar fakta di lapangan, yang aku peroleh dari seluruh indera yang aku kerahkan selama berada di kota tersebut. Sedangkan bagi para pembaca yang lebih paham tentang kota yang sensual tersebut mohon masukan tambahan, siapa tahu ada yang terlewatkan olehku.
Awal bulan November 2007 ini, aku sempat berada di Singkawang, setelah sebelumnya mengunjungi Pontianak, Mempawah, dan beberapa wilayah di Kalimantan Barat lainnya, untuk beberapa urusan. Ini adalah kunjunganku kedua di Kalimantan Barat. Kunjungan pertama sudah lupa tahunnya, yang pasti awal tahun delapanpuluhan, itupun kalau tidak salah. Saat itu Kalimantan Barat masih terbagi menjadi 7 kabupaten (sekarang 14 kabupaten/kota). Waktu itu kunjunganku cukup singkat, hanya 2 hari, dan hanya mengunjungi Pontianak saja, tidak sempat  ke Singkawang.
Ada pemeo yang cukup dikenal di Kalimantan Barat, yang wajib diketahui para pembaca. Yang pertama adalah, sekali minum air Kapuas pasti kan kembali ke tepiannya. Pemeo ini nampaknya sangat erat kaitannya dengan bumi seluruh Kalimantan, karena di Kalimantan Timur-pun juga tersebar pemeo ini. Di Kalimantan Timur, jika kita pernah meminum air Mahakam, pasti kan kembali ke buminya juga. Nampaknya pemeo ini sangat manjur, karena faktanya aku akhirnya beberapa kali mengunjungi Kalimantan Timur. Juga akhirnya aku sampai di Pontianak untuk yang kedua kalinya. Padahal kunjungan pertama sudah lebih dari dua puluh tahun yang lalu.
Pemeo yang kedua adalah, bahwa seseorang tidak dapat dianggap pernah ke bumi Kalimantan Barat, jika belum pernah singgah di Equator Monument (Tugu Khatulistiwa).
Pemeo ketiga, dan ini yang paling dikenal, adalah seseorang belum dianggap sampai di Kalimantan Barat jika belum pernah sampai di Singkawang, Kota Amoy.

                                                   ooOoo


Pesawat Adam Air dari Surabaya tujuan Pontianak dengan transit di Jakarta yang semula direncanakan berangkat jam 08.15 WIB akhirnya molor satu seper-empat jam.(Catatan: Waktu itu Adam Air memang masih berjaya). Aku memang sedikit kecewa, karena yang pasti aku akan terlambat sampai Pontianak. Apalagi jika waktu tunggu selama transit di Jakarta nanti juga molor. Itu berarti programku akan terhambat. Sebenarnya ada penerbangan lain yang menurut beberapa teman lebih sering tepat waktu, yaitu Surabaya – Pontianak via Yogyakarta dengan maskapai penerbangan yang lain, yang akhirnya aku rencanakan untuk kupilih. Namun entah mengapa ketika aku reserve tiket di Delta Tour, dua hari sebelum keberangkatan, tiba-tiba berubah dengan memilih flight di luar saran yang disampaikan teman-teman. Yeah, bagaimana lagi, seperti semua penumpang yang lain, aku hanya bisa pasrah dengan sejuta serapah yang menyesaki dada.
Boeing 737-400 dengan kapasitas penumpang lebih kurang 158 seats menembus awan di ketinggian 33.000 kaki dengan tenangnya. Seluruh seats terisi penuh. Nampaknya cuaca cukup mendukung perjalananku pagi ini. Cerah, tanpa cumulus-nimbus, yang biasanya merajai langit Surabaya-Jakarta. Terus terang aku agak was-was, karena di Jakarta ketika transit nanti aku pasti ganti pesawat. Padahal schedule terbangku untuk Jakarta-Pontianak  adalah jam 11.00. Kalau berangkat dari Juanda saja sudah jam 09.30, dengan perjalanan udara selama 1 jam lebih 5 menit, pasti akan sampai di Jakarta jam 10.35 WIB. Itu berarti aku harus tergopoh-gopoh menuju transit desk sebelum masuk pesawat berikutnya untuk flight Jakarta-Pontianak, karena hanya tersisa waktu 25 menit. Tiba-tiba aku tersenyum, karena menertawakan jalan pikiranku kali ini. Kenapa? Ya, untuk kali ini aku ingin agar flight Jakarta-Pontianak sedikit terlambat, supaya aku tidak perlu terburu-buru mengejar pesawat yang sudah mau berangkat. Padahal ketika di Surabaya tadi sewotku setengah mati ketika ada keterlambatan keberangkatan. Dan, kalau aku menertawakan diri sendiri atas kekonyolanku kali ini, aku kira wajar, dan sah-sah saja. Sekali-sekali konyol nggak apalah. Asal jangan dijadikan kebiasaan.
Meskipun kali ini adalah trip untuk dalam negeri, namun aku sengaja membawa paspor, karena jika seluruh program di Pontianak selesai dan masih ada sisa waktu, aku mempunyai rencana untuk ke Kuching, Serawak, Malaysia. Juga kalau tokh masih ada waktu lagi, aku akan ke Singkawang, kota yang selama ini hanya sering aku dengar via media massa. Sepanjang hidupku aku belum pernah ke kedua kota tersebut.
Menurut teman yang pernah ke Kuching, perjalanan Pontianak-Kuching dapat ditempuh dengan perjalanan darat menggunakan bus super excecutive selama 8 jam, via Entikong - Tebedu, dengan harga tiket pergi-pulang hanya Rp. 300.000,- ditambah fiskal darat sebesar Rp 250.000,- (Malah ada teman lain yang cerita kalau fiskal daratnya bebas). Jika menggunakan pesawat udara (dengan Batavia Air) harga tiketnya sekitar Rp 700.000,- sekali jalan, namun masih ditambah fiskal udara sebesar Rp 1.000.000,- untuk terbang selama setengah jam. Aku jadi ingat ketika menyeberang dari Batam ke Singapura dengan ferry yang dikenai fiskal laut sebesar Rp 500.000,- dan menyeberang dari Woodlands ke Johor Bahru yang bebas fiskal. Indonesia memang negara konyol dengan pungutan fiskal perjalanan ke luar negeri yang masih terus dipertahankan, padahal negara lain hal itu tidak ada. (Catatan: Waktu itu fiskal memang masih diberlakukan di Indonesia).
Sedang rencana ke Singkawang, hanyalah untuk memenuhi rasa ingin tahuku saja. Penasaran, karena terlalu seringnya informasi yang masuk tentang kota itu ke benakku. Kota Amoy, kota seribu kelenteng, San Kheu Jong, San Kew Jong, atau apapun nama lainnya. Kalau aku boleh jujur, nampaknya perihal amoy itulah yang menarik perhatianku. Pastilah lain jika pengalaman pribadi dibandingkan dengan cerita orang atau ulasan media. Sering kali cerita orang lebih banyak biasnya, karena banyak tambahannya. Aku tentu saja lebih mempercayai pengalaman pribadi. Maklum, kalau percaya pada media aku jadi bingung. Contohnya saja, Pak Budi Agus Sanjaya dalam masukannya, setelah membaca tulisan saya yang seri (1),  yang bersumber dari suatu situs menyampaikan, bahwa etnis Tionghoa di Singkawang adalah 70%, padahal di Kompas, Rabu, 3 September 2003 mengatakan, bahwa etnis Tionghoa di Singkawang hanya 40,96%. Juga data di situs lain mengatakan, bahwa penduduk Singkawang total adalah 190.000 jiwa, sementara di Kompas menyebut hanya 151.622. Pusing deh, kalau bicara data di Indonesia ini. Nggak ada yang akurat. Data saja tidak akurat, bagaimana bisa dijadikan acuan untuk membangun ( Aku jadi ingat data tentang hasil pertanian yang sering beda antara institusi-institusi pemerintah,khususnya stakeholder sektor pertanian).
Terus terang saja kepergianku ke Pontianak kali ini adalah dalam rangka menjajagi salah satu proyek konstruksi yang ada di Pontianak, proyek yang aku harapkan dapat ikut berpartisipasi seperti proyek-proyek sejenis sebelumnya. Aku harus mendalami berbagai aspek yang harus disiapkan sebelum pelaksanaan proyek konstruksi, khususnya konstruksi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dalam rangka pembangunan jaringan PLTU 10.000 MW yang tersebar di seluruh Indonesia. PLTU Cilacap sudah selesai. PLTU Rembang sedang mulai, disusul PLTU-PLTU lainnya, seperti PLTU Sukabumi, Pacitan, Tanjung Awar-awar, Paiton, dan lain-lain.
 Sebelum berangkat aku sempat kontak Bapak Jadi Rajagukguk, Ketua AMA Batam, yang kebetulan juga fungsionaris KADIN Batam, menanyakan tentang kemungkinan adanya pasokan pasir dan batu pecah (yang dalam dunia konstruksi disebut aggregates) untuk raw material yang dibutuhkan bagi ready-mixed concrete. Siapa tahu ada teman Pak Jadi yang dapat memasok aggregates dari Bintan. Karena setahuku, bahan baku tersebut untuk wilayah Kalimantan Barat selalu kesulitan, sehingga harus didatangkan dari Jawa, atau Sulawesi. Siapa tahu dari Bintan, yang nota bene lebih dekat ke Kalimantan Barat dapat memasoknya. Selama ini aku tahu, bahwa di Pulai Bintan dan Kepulauan Karimun, serta Bangka dan Belitung, adalah gudang untuk aggregates, karena wilayah-wilayah tersebut adalah salah satu padang perburuanku (menyitir serial Winnetou & Old Shatterhand dari Dr. Karl May). Singapura selalu mengambil bahan baku aggregates dari Bintan, sementara Malaysia Barat, khususnya Johor Bahru, Melaka, dan sekitarnya mengambilnya dari Karimun. Aku sering berpikir dan prihatin melihat Kijang (satu wilayah di Bintan Timur yang kaya pasir dan batu pecah untuk konstruksi), yang wilayahnya jadi acak-acakan, penuh lubang-lubang raksasa, karena exploitasi besar-besaran untuk diambil pasir dan batunya, yang kemudian ditinggalkan begitu saja. Malang benar nasibmu, ya Kijang, Bintan.
Pengalaman selama ini, untuk proyek konstruksi di Indonesia Timur, dari Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, untuk aggregates selalu dipasok dari Palu, Sulawesi Tengah, atau dari Jawa. Apalagi untuk baja (steel), hampir 100% dipasok dari Jawa, atau malah impor. Sebenarnya ada potensi yang bagus untuk pasokan aggregates, sebagai alternatif lain untuk Palu, Sulawesi Tengah, yaitu Sumbawa, Nusatenggara Barat. Aku pernah survey ke sana, namun sampai saat ini tidak ada satu investorpun yang meliriknya. Lebih baik mengelola yang sudah ada, daripada susah-susah membuka yang baru yang kemungkinan berhasilnya belum diketahui. Mungkin itulah yang ada di benak meraka.
            Pernah ketika aku menangani pembangunan Landasan Udara di Merauke, Papua, untuk konstruksi landas pacu runway, taxi-way dan apron yang konstruksinya biasanya adalah konstruksi beton dengan flexure strength 45, seluruh aggregates harus didatangkan dari negara tetangga, yaitu New Guinea. Pasokannya sangat tersendat, dengan kualitas material yang sangat jauh dari standar. Padahal persyaratan AASHTO, maupun ASTM selalu menghadang dengan garangnya.  Seluruh skill & knowledge dari Engineering & Construction-ku serta kemampuan Manajemen Konstruksi dan Manajemen Proyek sudah kujajal di proyek tersebut, namun semuanya tidak cukup untuk diaplikasikan di lapangan. Untung aku memiliki cukup experiences, sehingga meskipun dengan susah payah semua hambatan dan kendala dapat diatasi.
            Untuk pelaksanaan proyek konstruksi berskala besar di Indonesia Timur memang memerlukan kiat-kiat tersendiri, khususnya dalam Manajemen Logistik-nya. Tentu saja tanpa mengabaikan aspek Engineering & Construction, Manajemen Konstruksi, maupun Manajemen Proyek. Kita harus tahu cuaca, supaya barges atau kapal pengangkut material-material atau pengangkut mesin-mesin selamat dari amukan badai yang sering mengganas di laut, atau supaya jadwal pelaksanaan proyek tidak terlambat, yang akan mengganggu time schedule proyek. Kita harus paham tentang ketinggian pasang-surut, serta kapan terjadinya, khususnya yang berkaitan dengan dermaga sungai, dalam hal ini supaya barges yang ditarik tugboat dapat merapat ke dermaga. Sehingga raw material untuk konstruksi tidak terhambat.
            Tiba-tiba suara pramugari yang lembut, yang menyapaku dengan santun menyadarkanku dari mimpi. Dia menyodori aku segelas air mineral, yang kuterima dan langsung kuletakkan ke kantong kursi di depan seat-ku. Suaranya memiliki rentang nada mezzo sopran, mendekati alto. Mirip suara siapa, ya? Kalau penyanyi, padanannya sulit kutemukan, karena kebanyakan penyanyi wanita dari mancanegara dan penyanyi Indonesia bersuara sopran, atau paling rendah mezzo sopran, jarang yang bersuara alto. Coba- kuingat-ingat....Oh, ya,...mirip suara January Christie, atau Iga Mawarni. Sedang untuk penyanyi manca negara aku belum menemukan kemiripannya dengan suatu sosok. Sementara wajah tirusnya yang cantik, dengan kulit putih yang di wajahnya terlumuri dengan tipis oleh make up yang aku yakin adalah dari suatu merk yang berkelas. Sanggulnya cukup indah untuk menjadi isi bola mataku, sementara posturnya yang tinggi untuk ukuran wanita, yang aku taksir mempunyai ketinggian lebih dari 168 cm, memberikan kesan sportip namun sexy, meski terbalut seragam crew yang biasanya berkesan kaku, namun kali ini kesan femininnya amat menonjol. Wajahnya mempunyai tipikal Arya, dalam hal ini timur tengah, atau tepatnya Iran, dan mungkin juga dapat disebut berwajah India Utara, seperti wajah yang sering menghiasi film-film India. Wajah Hema Malini ketika masih muda, mungkin itu yang lebih tepat.  Untuk sosok dan wajahnya aku dapat memberinya angka 7 (tujuh), namun untuk isi benaknya aku belum dapat memberinya nilai, karena tidak mengenalnya lebih jauh. Yang jelas seluruh kinerja fisiknya membuatku semakin menyadari bahwa aku memang benar-benar laki-laki. Truly man!
            Aku jadi ingat dengan pengalamanku ketika sempat akrab dengan seorang pramugari beberapa tahun yang lalu, yang kukenal dalam penerbangan Denpasar-Perth (Western Australia). Pengalaman mengesankan yang singkat, akrab, notable, dan memorable.

ooOoo


 Jam 10.45 kakiku menginjak aspal dari apron Bandara Internasional Soekarno-Hatta, setelah pesawat melewati taxi-way, menuju bus yang sudah menunggu di dekat pesawat. Entah mengapa, pesawat harus landing di Terminal 2, atau tepatnya di sub-terminal E, padahal itu adalah terminal untuk kedatangan luar negeri. Entah mengapa pula, seluruh penumpang tidak lewat rampway (belalai). Lebih jengkel lagi, akhirnya bus harus berjalan dari terminal 2 tepatnya sub-terminal E, ke terminal 1 atau tepatnya sub-terminal C, yang lumayan jauhnya, terminal yang seharusnya menjadi tujuan akhir pesawat tersebut di Jakarta.
            Beruntung, meskipun matahari merangkak naik, namun cukup sejuk karena mendung tipis yang menggantung, sebagai sisa-sisa  hujan yang baru selesai turun. Sangat  menyegarkan buat tubuh yang lagi capek dan suntuk. Sangat meredam emosi.
 Meskipun telah sering kali berada di Bandara termegah di Indonesia itu, aku selalu sejenak menikmati aroma dan fisik bandara yang selesai dibangun tahun 1985 oleh Main Contractor Dumez dari Perancis dengan partner lokal PT Waskita Karya (Persero) itu. Aku ingat persis, karena pada waktu pembangunannya aku sering main ke proyek di sebelahnya, yaitu Proyek Jalan Access Bandara Cengkareng atau sekarang lebih sering disebut sebagai Jalan Tol Prof Dr. Sediyatmo, yang dibangun oleh Main Contractor Yala Perkasa Internasional. Waktu itu proyek Bandara bernama Jakarta International Airport Cengkareng (JIAC), belum diberi nama Bandara Soekarno Hatta.
            Saat itu Jalan akses masuk ke Bandara, sedang dibangun fondasi jalannya. Karena harus melewati rawa-rawa yang berat kondisinya, di daerah mendekati Bandara dibangun dengan sistem Konstruksi Cakar Ayam, buah karya Prof Dr. Sediyatmo. Sedang bagian sebelah timurnya yang melintas di sekitar Kali Angke, fondasi jalan dibangun dengan geotextiles 3 lapis, dengan menggunakan bahan urug pasir laut yang di ambil dari kedalaman laut sekitar Kepulauan Seribu. Ketika pasir laut datang melalui Kali Angke, barges yang membawa pasir putih menumpahkannya di atas hamparan geotextiles. Hal yang menakjubkan adalah ketika bersama pasir ternyata terbawa sejumlah besar fosil dari cangkang-cangkang kerang raksasa, yang diameternya hampir 2 (dua) meter. Bayangkan, kulit kerang (cangkang) kerang yang diameternya 2 (dua) meter. Aku bisa menghitung, di zaman sekarang jika makan seafood khususnya kerang, setiap orang harus pesan sekitar lima puluh biji kerang berdiameter 2 sampai 3 cm supaya puas. Jika diameter kerangnya sampai dua meter pastilah dengan hanya satu kerang saja, tidak akan habis dimakan oleh dua puluh orang.  Pernah aku mencoba membawa pulang satu fosil cangkang kerang yang beratnya hampir satu ton, dan ketika mengangkatnya ke atas mobil pengangkut yang harus diangkat oleh sekitar 12 orang ternyata telah membuat mobilnya rusak.
            Kembali ke jalan cerita semula. Jam 11.00 menurut schedule aku sudah harus terbang lagi ke Pontianak. Untuk itu tinggal tersisa waktu 15 menit. Jangan-jangan pesawat sudah berangkat, sehingga aku harus menunggu pesawat berikutnya. Maka dengan kondisi yang sarat dengan gegas aku menyusuri koridor sub-terminal C setelah turun dari bus. Untunglah ketika sampai di transit desk, petugas transit menyampaikan bahwa pesawat ke Pontianak delay satu jam. Atau memang sengaja menunggu perbangan lain yg connected? Itulah salah satu biang mengapa pesawat udara selalu terlambat. Terlepas dari semuanya itu, rasa lega-pun terbit dengan saratnya.
            Sambil berjalan menuju ruang tunggu C5, aku mencoba menghubungi Pak Aswin, salah seorang mantan Ketua AMA Pusat, pada masa kepengurusan Pak Handi Irawan (pencetus Indonesia Customer Satisfaction Award-ICSA, Top Brand, Indonesia’s Most Admired Companies-IMAC, Marketing Award, Hari Pelanggan Nasional dll) dulu. Pak Aswin dengan postur tubuh yang tinggi besar seperti Bima, yang selalu mengingatkanku pada bintang film favourite-ku John Wayne dalam salah satu film-nya Hatari. Flamboyant namun sangat perkasa, dengan kesantunan yang selalu menjadi ciri khas penampilan beliau. Kalau di Jakarta aku pasti ingat beliau, karena selalu ingat pesan beliau untuk menghubungi beliau jika aku di Jakarta. Siapa tahu ada waktu bagiku untuk memberikan ‘workshop’ atau ‘development program’ bagi para senior manajer beliau. Kebetulan ada materi baru yang mungkin beliau tertarik. Beberapa waktu yang lalu aku baru mengaplikasikan suatu Sistem Manajemen Kinerja, menyusul penelitian yang aku lakukan sebelumnya.
            Selama ini untuk aplikasi Sistem Manajemen Kinerja (Performance Management System), para pengambil keputusan selalu memelototi dan jungkir balik dengan Malcolm Baldride National Quality Award (MBNQA), European Quality Award (EQA), Total Performance Scorecard (TPS), The Balanced Scorecard, Deming Prize, SMART, Performance Measurement Questionnaire, Performance for World Class Manufacturing, Quantum Performance Measurement Model, Prism, dan lain-lain. Bahkan Six-Sigma yang semula hanya diaplikasikan di lantai pabrik (shop floor) sebagai metode pengendalian kualitas produk dengan statistik sebagai tools-nya, saat ini sudah bermetamorfosa, memasuki area perbaikan kinerja di level stratejik dan organisasi, dengan kata lain sudah menjadi Sistem Manajemen Kinerja.
            Kalau dicermati, untuk aplikasi dan adopsinya di Indonesia sebenarnya belum begitu meluas. Perusahaan-perusahaan yang  benar-benar sadar akan arti pentingnya Sistem Manajemen Kinerja untuk tercapainya predikat excellence-lah yang dengan serius dan tekun mau berjibaku dengan Sistem Manajemen Kinerja di atas. Dan memang kinerjanya kemudian menjadi excellence. Sayang masih banyak perusahaan di Indonesia yang belum mengadopsinya, dengan alasan masing-masing. Kebanyakan memang karena alasan cost, atau belum diperlukan, atau manajemen gini aja sudah untung ngapain susah-susah, dan lain-lain alasan.
            Melihat masih belum luasnya adopsi untuk sistem manajemen kinerja di atas, maka aku mencoba meneliti suatu sistem manajemen lain, yang sebenarnya diadopsi sangat luas di Indonesia, namun belum ada yang meliriknya menjadi suatu sistem manajemen kinerja. Kita masih terlalu enggan untuk berpikir out of the box.
            Kita semua tahu, bahwa ISO 9001 sudah lebih dari 15 tahun di adopsi di Indonesia, sejak versi sebelum 1994 sampai versi 2000, dan yang sudah saatnya akan berubah menjadi versi 2008. Adopsinya sangat luas, bahkan banyak perusahaan yang sudah jenuh mengaplikasikannya, sehingga asal dapat sertifikat saja. Apalagi tingkat persaingan yang tinggi di antara certification bodies, telah membuat ISO 9001:2000 dijual murah (benarkah ???! Semoga aku salah!).
            ISO 9001:2000 adalah Sistem Manajemen Mutu, yang sampai saat ini tetap seperti itu, dengan aplikasi lapangan yang seringkali hanya tempelan saja (baca : mengejar sertifikat saja!!). Itu semua orang tahu. Kenapa tidak ada yang berani melakukan transformasi untuk menjadikannya Sistem Manajemen Kinerja. Dengan kata lain, Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 ditransformasikan menjadi Sistem Manajemen Kinerja ISO 9001:2000. (Waktu itu memang belum berlaku Serie Tahun 2008)
            Berbasis benih pikiran seperti itu, kemudiaan aku menelitinya, dan setelah bersusah payah akhirnya aku temukan suatu formula untuk mentransformasi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 menjadi Sistem Manajemen Kinerja ISO 9001:2000. Bahkan aku akan mencoba mengirim usul dengan mengirim email ke ISO Committee di Wina, agar dalam Seri ISO terbaru (ISO 9001 versi 2008), jangan lagi menjadi Sistem Manajemen Mutu lagi, namun harus ditingkatkan menjadi Sistem Manajemen Kinerja, seperti halnya MBNQA, dan lain-lain. Supaya lebih ada apresiasi. Aku jadi ingat evolusi Quality Management, yang dimulai dari check, inspection, quality control, Total Quality Control (TQC), kemudian menjadi Total Quality Management (TQM). Kenapa berhenti sampai di situ saja? Tidak ada upaya meningkatkannya menjadi  Performance Management System (PMS) ?
            Transformasi sudah aku lakukan, dengan suatu metode yang melibatkan Analytical Hierarchy Process (AHP), dengan software Expert Choice atau Analytical Network Process (ANP), dengan software Super Decision, yang semuanya dari Saaty. Di samping itu ditambah metode OMAX dalam hal ini scoring system dan traffic light system. Transformasi yang sangat mudah dan murah, karena tinggal meneruskan yang sudah ada, tidak perlu keluar cost yang besar lagi, untuk tercapainya suatu excellence.
            Yang aku sedih, sampai saat ini belum banyak perguruan tinggi bisnis di Indonesia yang kurikulumnya memberikan mata kuliah dan aplikasi untuk Sistem Manajemen Kinerja secara holistik dan komprehensip. Padahal Sistem Manajemen Kinerja adalah induknya manajemen, sementara Manajemen Stratejik, Manajemen Sumber Daya Manusia, Manajemen Keuangan, Manajemen Teknologi, Manajemen Pemasaran, Manajemen Operasi, Manajemen Logistik, SHE Management, dan lain-lain, adalah bagian dari Sistem Manajemen Kinerja, karena objective dari masing-masing sistem manajemen tersebut muaranya adalah Kinerja. Sehingga rangkumannya adalah Sistem Manajemen Kinerja. Salut buat Bapak Dermawan Wibisono, Ph.D, dari School of Business and Management ITB, yang telah merintisnya. Sementara Sekolah Bisnis yang lain aku belum mendengarnya. Atau mungkin ada anggota milis yang bisa membantu? Atau ada anggota milis yang alumnus dari Sekolah Bisnis yang lain yang ternyata sudah lebih dulu melakukan apa yang aku kupas di atas??! Hanya kekurangtahuankulah penyebabnya. Maklum aku sampai saat ini masih seperti katak dalam tempurung. Maafkan jika aku salah. Itu semata-mata karena kebodohanku saja.
            Setelah aku telepon, ternyata Pak Aswin sangat tertarik dengan materiku tersebut, sehingga beliau akan mengundangku. Terima kasih Pak Aswin.
            Sesaat kemudian, aku sudah ada dalam pesawat untuk membawaku selama 1 jam 15 menit ke Pontianak, Ibu kota Propinsi Kalimantan Barat, yang oleh temen-temen etnis Tionghoa di Pontianak yang kebetulan berbahasa Hakka atau Khek, bukan berbahasa Mandarin atau Cantonese lebih mengenal nama Pontianak dengan nama Khuntien ( 坤甸 ).

(BERSAMBUNG)
Ratmaya Urip
ooOoo


CATATAN  RINGAN  DARI  KOTA AMOY, SINGKAWANG
Oleh: Ratmaya Urip
= = = = = = = = = = =

BAGIAN 2


Hujan deras menyambutku ketika pesawat landing di Bandara Internasional Supadio, Pontianak. Aku agak terkesima dengan kata Internasional yang terpampang mengiringi nama Bandara. Untuk beberapa kejap dahiku berkerenyit. Benarkah Bandara Supadio berpredikat Internasional ? Waktu itu aku memang belum mengerti. (Beberapa hari kemudian baru aku tahu, ternyata memang ada internasional flight yang berangkat dari Bandara Supadio, yaitu ke Kuching, Serawak, Malaysia, dan mungkin juga ke Brunei Darussalam)
Sampai di terminal kedatangan, tentu saja pakaianku basah, meskipun tidak kuyup. Seperti biasa, jika aku baru tiba di Bandara suatu kota, aku selalu mencari counter dari agen pemasaran suatu hotel, untuk memesan hotel. Terlebih-lebih jika perusahaan belum menjadi member suatu hotel di kota tersebut, sehingga belum mempunyai company rate. Biasanya rate untuk hotel di counter Bandara di manapun  lebih murah, apalagi biasanya bisa ditawar.
Ketika kupelototi deretan counter pemasaran hotel yang ada, ternyata hanya ada satu hotel yang aku kenal reputasinya, yaitu Santika Hotel, hotel berbintang tiga. Kalau aku ke Semarang aku sering menginap di Hotel Santika, Jalan Pandanaran., dekat Simpang Lima, yang bersebelahan dengan Toko Buku Gramedia. Sarapan paginya sangat enak, dengan pelayanan yang sangat prima. Aku jadi ingat Icha, atau nama lengkapnya Marisa Deparina, sales exevutive yang selalu aktif berada di Restaurant menemani para tamu dalam breakfast untuk mencari umpan balik tentang kualitas pelayanan hotel, mungkin untuk mewujudkan secara riel atas slogan Hospitality from The Hearth yang disandang oleh Hotel Santika. Yang juga sering dilakukannya adalah mengontrol kecukupan dari hidangan santap pagi yang tersedia untuk breakfast.
Dalam jaringan Santika Hotel, nampaknya Grand Santika (Graha Santika) di Semarang-lah yang paling unggul. Sementara Santika Hotel di Surabaya, aku belum mengenal kualitas pelayanannya, karena belum pernah menginap di sana, karena aku tinggal di Surabaya.  (Di kemudian hari baru aku tahu, bahwa hotel-hotel di Pontianak, yang tertinggi adalah berbintang tiga,belum ada yang berbintang empat apalagi lima).
Aku sempat melihat ada counter pemasaran Gajahmada Hotel, Mahkota Hotel dan Kapuas Hotel, serta hotel-hotel yang lain di dalam ruang kedatangan, namun aku belum mengenal reputasinya, maka aku putuskan untuk mengambil Santika Hotel saja. (Di kemudian hari baru aku tahu bahwa jaringan Hotel Mahkota adalah milik Pak Oesman Sapta, senator eh, anggota DPD dari Kalimantan Barat, yang juga pengusaha sukses dari Kalimantan Barat, yang namanya berkibar di Ibukota. Saat cerita ini ditulis Pak Oesman sedang menantang Gubernur lama (incumbent) , Bapak Usman Jafar dalam Pemilihan Gubernur yang dihelat tanggal 15 November 2007).
Biasanya, jika aku belum mengenal secara dalam reputasi hotel di suatu kota yang belum pernah atau jarang aku kunjungi, aku pasti akan mencoba seluruh hotel yang ada di kota tersebut, sekalian survey, untuk mengetahui tingkat kualitas pelayanannya. Sehingga tiap malam pasti pindah hotel. Apalagi rencanaku di Pontianak adalah untuk beberapa hari. Ya memang repot, karena harus selalu pindah hotel dengan beban koper yang sangat berat.  Namun itulah cara yang lebih dalam untuk mengenal suatu kota dan fasilitasnya.
            Akhirnya untuk Hotel Santika aku peroleh voucher dengan harga nett Rp 350.000,-per malam untuk superior room, included breakfast. Agak aneh memang, karena untuk price list-nya saja terpajang angka Rp 630.000,-. Perlu diketahui Hotel Santika Pontianak memasang tarif mulai dengan Rp 630.000,- untuk Superior Room sampai dengan Rp 1.400.000,- untuk Premier Suite Room. Pada awalnya Budi, petugas counter, menawarkan tarif Rp 475.000,-, namun karena ada sedikit bekal experiences, maka akhirnya kudapat harga tersebut di atas. (Setelah itu aku mendapat masukan, bahwa tarif tersebut benar-benar murah. Informasi tersebut aku dapatkan dari Manajer Pemasaran PT Petrokimia Gresik (Persero) untuk Wilayah Kalimantan Barat yang kukenal beberapa hari kemudian, dan juga Branch Manager Coca Cola untuk Wilayah Kalimantan Barat, yang secara tak sengaja berkenalan ketika breakfast. Menurut mereka, mereka belum pernah dapat rate semurah itu selama menginap di Hotel Santika. Biasanya yang paling murah Rp 475.000,-). Apalagi Hotel Santika mempunyai reputasi pelayanan yang sangat bagus, dengan banyaknya para pelaku bisnis dan pejabat pemerintahan yang menginap di situ, di samping Hotel Mahkota dan Hotel Kapuas.
            Jam 15.15 WIB taksi yang membawaku dari bandara dengan tarif Rp 60.000,- telah memasuki hotel yang terletak di tengah Central Business District di jantung kota Pontianak, atau tepatnya di Jln. Diponegoro 46, setelah menempuh jarak sekitar 17 kilometer.
            Ada sesuatu yang menurutku aneh setelah memasuki lantai dasar hotel yang memiliki 129 kamar tersebut. Lobby hotel berada di lantai 3 (tiga),  sementara lantai dasar (yang di hotel tersebut diberi nomor lantai 1), hampir tidak ada apa-apanya, kosong sama sekali, dalam arti tidak ada sentuhan dari suatu aplikasi design interior apapun, kecuali satu petugas Satuan Pengamanan. Selain itu ruangannya sangat sempit, dan tidak layak jika harus dipaksakan sebagai lobby hotel.
            Di front office, aku disambut oleh seorang gadis yang di kemudian nanti aku kenal dengan nama Lina. Sengaja aku tidak menunjukkan voucher yang kudapat di Bandara tadi. Aku bermaksud mengadakan sedikit test.
“Maaf, Pak... saya Lina...ada yang dapat kami bantu?” ucapnya penuh keakraban, dengan logat Melayu yang tidak seberapa kental seperti yang sering kudengar di Semenanjung Malaysia, baik di Pattani-Thailand Selatan, maupun di Malaysia, Riau Daratan, maupun Riau Kepulauan. Logat yang kaya dengan huruf ‘e’.  Kalimantan Barat memang kawasan dengan etnis Melayu, di samping Dayak maupun Tionghoa, tiga etnis yang lebih dominan daripada etnis-etnis lainnya. Meskipun ada juga etnis Bugis, Jawa, dan Madura.
            Nampaknya Lina memang dari etnis Melayu. Wajahnya sangat manis, mengingatkanku pada Setyowati, salah satu tokoh wayang, isteri Prabu Salya, yang kesetiannya menjadi buah bibir di dunia pewayangan dan pedalangan. Apalagi sanggulnya dengan segumpal tipis rambut yang menggelayut ringan, yang sengaja dibiarkan terlepas dari kesatuan sanggul, yang kadang menyusuri daun telinganya atau kadang hampir menutupi mata kanannya, sehingga dia sering harus menyibakkannya dengan kekuatan berupa gerak-kejut yang ringan dari kepalanya. Yang lebih asyik lagi, senyum manisnya rasanya enggan beringsut dari wajahnya. Tubuhnya cukup tinggi untuk ukuran wanita, langsing meski ada kesan sintal alami. Wajah oval seperti  telur burung maleo. Semua itulah yang mungkin daya tariknya. He...he...he...ngelantur dikit, nih. Jika anggota milis tidak percaya, silakan hubungi Hotel Santika Pontianak. Nomor teleponnya silakan dicari dari Yellow Pages atau via Telkom 108.
“Oh, ya...masih ada kamar?” sahutku dengan tergagap, sambil mencoba mengimbangi keramahtamahan yang tertebar pekat darinya.
            Lina mengamati catatannya sebentar kemudian :
“Masih, ada satu kamar pak...Deluxe Suite Room saja, lainnya sudah penuh.”
“Berapa tarifnya?” tukasku
“Untuk berapa malam, Pak?”
“Satu malam saja,” sahutku, karena memang aku merencanakan untuk selalu ganti hotel selama di Pontianak. Aku coba melirik ke price list yang tadi aku dapatkan di counter hotel di Bandara. Oh,..untuk Deluxe Suite Room .harganya Rp 720.000,-
“Lima ratus lima puluh ribu rupiah nett, included breakfast...” jelas Lina.
“Oh, ya...mahal amat?!”  sergahku. “Untuk Superior berapa?” lanjutku.
“Sudah penuh dipesan, Pak. Kalau tokh ada, tarifnya empat ratus tujuh puluh lima ribu.”
“Tidak boleh kurang?”
Lina hanya tersenyum menyambut pertanyaan terakhirku tadi.
Beberapa saat aku berpikir. Kemudian kuambil voucher yang tadi kuperoleh dari Budi, petugas counter di Bandara.
“Mbak Lina, bagaimana dengan voucher ini?”
            Lina menyambut voucher, memeriksa sebentar, kemudian berbisik ke teman di sebelahnya,yang beberapa saat kemudian aku kenal dengan nama Yanti. Cukup lama mereka berbincang. Aku tahu pasti ada sedikit masalah, karena voucherku untuk kelas Superior, sementara kamar yang tersisa tinggal satu kamar untuk kelas Deluxe Suite Room, atau kelas di atas voucher yang kumiliki. Lama juga aku menunggu, rasanya ada sepuluh menit.
            Tiba-tiba Yanti menyodorkan welcome drink ke padaku. Entah minuman apa, aku tidak tahu.
“Apa ini?”
“Aloe Vera, Pak...tepatnya sirup aloe vera.”
Aloe vera? Lidah buaya?” tukasku kemudian. Bayanganku pastilah serasa minum shampo lidah buaya.
Nampaknya Yanti menyadari, bahwa aku baru pertama kali ditawari minuman lidah buaya tersebut. Itu terbukti kemudian dia berkata :
“Dicoba saja, Pak...Enak kok. Jangan khawatir... tidak akan meracuni, Bapak,” katanya kemudian dengan setengah bercanda, dengan senyum yang lepas menghiasai wajahnya.
            Yanti memang berbeda dengan Lina yang berkulit sawo matang. Yanti sangat putih kulitnya. Wajahnya seperti wajah dengan etnis Tionghoa. Wajah yang stereotipe-nya aku sangat mengenalnya. Di kemudian hari aku baru tahu, bahwa Yanti beretnis Dayak Kanayatn, dan berasal dari pedalaman Kapuas Hulu. Sebenarnya aku cukup banyak bergaul dengan gadis-gadis Dayak ketika muda dulu, namun suku Dayak yang kukenal adalah suku Dayak yang ada di pedalaman Kalimantan Timur, yaitu Dayak Kenyah, Dayak Putuq, Dayak Benuaq, dan Dayak Tunjung. Mungkin karena namanya Yanti, nama yang sering disandang oleh gadis Jawa, aku jadi bingung. Ternyata ada juga gadis Dayak yang bernama Yanti. Setahuku nama Dayak itu sering menggunakan nama Baptis (Itu yang sering kujumpai di pedalaman Kalimantan Timur). Maka wajar kalau aku pada awal tadi agak terkecoh. Suku Dayak memang cukup banyak sub-sukunya. Dari dialek bahasanya saja ada sekitar 170-an dialek, atau bahkan mungkin lebih.
            Aku coba cicipi minuman yang disediakan...dan ternyata manis sekali dan tentu saja enak. Gumpalan lidah buaya yang ada dalam minuman mirip dengan nata de coco yang selama ini banyak aku minum. Hanya kekenyalannya kurang jika dibandingkan dengan nata de coco. Kemudian ketika Yanti menawariku untuk tambah lagi, tanpa malu-malu aku menyambutnya. Secara total aku akhirnya minum 3 gelas sirup lidah buaya. Dasar rakus!
            Propinsi Kalimantan Barat memang disebut juga Propinsi Lidah Buaya, karena gerakan serentak untuk mempopulerkan lidah buaya sebagai kebanggaan warga propinsi. Di kemudian hari akhirnya seluruh makanan dan minuman yang berbasis lidah buaya aku membelinya sebagai oleh-oleh, yang kudapatkan semuanya di Jalan Sisingamangaraja, yang bersimpangan dengan Jalan Pattimura, dekat Supermarket Kaisar. Di antaranya adalah dodol lidah buaya, sirup lidah buaya, manisan lidah buaya, teh lidah buaya yang katanya dapat mengobati berbagai macam penyakit, dan lain-lain. Tentu saja tidak ketinggalan lempok durian, makanan favoritku.
            Sore itu, setelah petugas hotel berunding cukup lama, akhirnya aku mendapatkan satu-satunya kamar yang tersisa tanpa tambahan biaya. Beruntunglah aku.
            Sebelum aku meninggalkan lobby untuk naik ke lantai lima atau tepatnya room 574, aku sempat menikmati sekali lagi keindahan ragawi yang terpancar di diri Lina dan Yanti. Gadis yang cantik, ramah dan indah, gumamku. Rasanya seperti menikmati keindahan lukisan surrealisme dari Salvador Dali, jika sebagai pengamat lukisan atau menikmati lukisan Basuki Abdullah yang beraliran naturalisme, jika awam tentang lukisan.
Aku beruntung, karena masih sempat menunaikan sholat fardlu, yaitu dhuhur dan ‘ashar, sebelum maghrib tiba. Sebenarnya ingin pula menunaikan sholat sunnah qobliyah dan sunnah ba’diyah. Namun maghrib sudah menjelang. Aku tunaikan sholat fardlu dengan di-jamak dan di-qasar sebagai musafir. Sementara setelah sholat aku lihat lewat jendela kaca, hujan sedang deras-derasnya. Padahal sesampai di hotel aku merencanakan untuk mulai langsung bekerja, dengan mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan maksud kedatanganku ke Pontianak kali ini. Aku harus ke toko buku mencari beberapa buku yang berkaitan dengan tugasku, sekaligus juga mencari beberapa peta yang kuperlukan, seperti peta Propinsi Kalimantan Barat, serta beberapa peta Kabupaten/Kota sekitar Kota Pontianak, seperti peta-peta Kabupaten Pontianak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Kubu Raya, Kota Singkawang dan Kabupaten Sambas, khususnya yang skalanya lebih besar.
            Sambil menunggu maghrib tiba sekaligus hujan reda, aku menuju ke Business Center yang ternyata masih buka. Letaknya di lantai tiga, di depan lobby, di samping Open Air Restaurant. Aku coba buka email, siapa tahu ada yang penting, sekaligus kalau sempat aku akan browsing untuk mencari beberapa informasi yang kuperlukan. Sudah hampir dua minggu aku tidak sempat membukanya.
Wah, penuh sekali email box-ku dengan banyaknya email yang masuk. Yang paling heboh ternyata masih didominir milis INDOKARLMAY, disusul milis AMA DKI, sementara milis AMA BISNIS, AMA Surabaya, dan Quality Network adem ayem saja. Milis-milis yang lain seperti World Tourism Organization, dan Voice of America biasa-biasa saja, demikian juga milis-milis tentang Engineering & Construction. Karena banyaknya email, aku mencoba untuk memulai dari yang paling penting. (Catatan: Waktu itu milis The Managers, belum lahir).
Ada 2 email yang sangat menarik perhatianku. Yang pertama dari Ibu Ani, atau lengkapnya Ibu Ir. Sri Prabandiyani, M.Sc, Ph.D, yang tengah mempersiapkan pidato pengukuhan untuk memperoleh gelar Professor di bidang Geoteknik dari Universitas Diponegoro. Beliau yang kebetulan tertarik dengan hasil penelitianku tentang Geokimia Teknik Sipil yang sempat aku paparkan sebagai pembicara dalam Seminar Nasional Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI) awal tahun ini (2007) di Semarang memang kebetulan mempunyai minat yang sama denganku. Sehingga sering terjadi diskusi yang menarik dengan beliau. Beliau sering menyampaikan kajian teoritisnya, sementara aku lebih sering memaparkan aspek aplikasi lapangannya, sehingga cocok sekali. Meskipun sering juga terjadi debat seru.
Dalam email-nya beliau menanyakan tentang Solidifikasi Tanah Berbasis Calsium, yang telah diterapkan dengan berhasil pada pemadatan tanah rawa di Proyek Perluasan Bandara Juanda, untuk konstruksi taxi-way dan apron-nya. Perlu diketahui, selama ini untuk pemadatan rawa, civil engineer selalu memberi solusi dengan pendekatan mekanik dan fisik, yaitu dengan memakai geotextiles, geogrid, sand-drain, vertical drain, batas-batas atterberg, index plastisitas, Terzaghi, dan sebagainya. Tidak ada yang berpikir out of the box dengan melakukan pendekatan kimia. Ketika Proyek Perluasan Bandara Juanda (sekarang sudah selesai dan dinikmati oleh para stakeholders), aku sering diskusi dengan memberikan masukan kepada Pak Pamudji, Team Leader Konsultan LAPI-ITB, yang nampaknya masukanku diterima baik. Tiap sore beliau sering ke kantor untuk mendiskusikan hal-hal yang menjadi tanggung jawab beliau (Masukanku yang teknis detail dapat disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan yang membutuhkan, khususnya para konsultan teknis).
Untuk email pertama, akhirnya aku memberi response beberapa point yang diharapkan oleh Ibu Ani dalam emailnya. Tentang aplikasi Cement-based treatment versus Calcium-based treatment dalam Soil Solidification.
Email yang kedua datang dari seorang mahasiswa, yang kebetulan dari Undip juga, yang isinya adalah konsultasi masalah geoteknik. Kebetulan pula dalam emailnya dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ada kaitannya dengan keberadaanku di Pontianak kali ini. Kebetulan ada pertanyaan kritis yang membuka jalan bagi tugasku kali ini. Dia mengenalku setelah hadir dalam paparanku tentang Geokimia Teknik Sipil pertengahan tahun ini dalam suatu Seminar Nasional di Universitas Diponegoro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar