Jumat, 03 Juni 2011

Novel: PRASASTI

PRASASTI  
(1)
Oleh: Ratmaya Urip
(A Special  Story written for someone who’s coming to make my life be meaningful and colorful
=========================
 
BAB 1
London Court
Sengaja aku kali ini mengambil hotel di kota pelabuhan Fremantle, di tepian muara Swan River, tepat di tengah-tengah antara abutment dua jembatan utama yang melintang dengan kokoh dan gagahnya di atas Swan River. Jembatan yang sangat anggun, dan megah, karena strukturnya menggunakan sistem free cantilever berupa beton prategang segmental yang dirangkai dengan sistem post-tensioned, dengan konstruksi long span bridge atau sering disebut sebagai jembatan dengan bentang sangat panjang. Aku duga masing-masing bentang kedua jembatan tersebut lebih dari dua ratus lima puluh meter. Yang pasti kedua jembatan dengan bentang yang sangat panjang itu memang secara artistik sangat indah, meski kesannya sangat langsing dan memberi kesan minimalis. Ibarat gadis desa nan lugu, tapi menawan karena meski konvensional namun mandiri, anggun dan good looking meski tanpa sentuhan make up secuilpun.

Hotelnya sendiri cantik, mungil, murah, dan berlantai empat. Hotel yang sangat feminin, menurutku!  Interiornya sarat dengan budaya Aborigin. Dekorasinya dipenuhi dengan lukisan beraliran surrealisme, seperti gaya lukisan Salvador Dali, hanya di sini lebih mengedepankan alam Australia, seperti Kangguru, Koala, dan lain-lain.

Swan River memang pantas untuk menjadi ikon kota Perth, Western Australia. Sungainya yang jernih, bersih dan berwarna biru, mengalir dengan sangat tenangnya, mengundang minat siapapun untuk menyentuh airnya. Begitu jernih dan bersihnya, sehingga tak nampak secuil sampahpun yang ada di permukaannya. Begitu biru, sehingga mengundang rasa damai dan tenteram bagi siapapun yang menatapnya. Sungai yang melegenda, yang eposnya sangat fantastis, dan akan aku tulis nanti, tentu saja jika sempat.

Sementara itu Perth, induk dari Fremantle adalah kota yang sangat indah, sensual, dengan iklim yang hampir sempurna. Sering dinamai sebagai Kota Cahaya, nama yang mencuat setelah penerbangan kapal ruang angkasa yang sangat legendaris dari seorang astronot Amerika Serikat John Glenn pada tahun 1962. Ketika itu seperti telah diatur, seluruh penduduk Perth mengelu-elukan sang astronot dengan cara menyorotkan lampu-lampu ke langit gelap gulita, ketika sang astronot melintas di atas Perth pada ketinggian 241 km dalam  pesawat Friendship.

Saat itu musim panas sedang berlangsung. Summer Festival baru saja usai. Yang amat sangat berat bagiku, adalah saat itu bulan Ramadhan. Bayangkan, pada jam setengah empat pagi fajar sudah merekah, sementara jam 9 malam, matahari baru saja tenggelam, sehingga puasaku jauh lebih panjang daripada puasa di negeri sendiri, maklum antara Sahur dengan Buka Puasa sangat panjang waktunya. Namun ibadah adalah ibadah dan itu wajib ditunaikan.

Pagi itu kebetulan aku tidak ada acara khusus. Hampir seluruh urusanku yang membuatku berada kembali di Perth sudah selesai. Urusan bisnis yang melelahkan. Maka ketika Bagas, seorang teman yang kebetulan sedang mengambil Ph.D di University of Western Australia mengajakku jalan-jalan ke Perth, dengan tanpa basa-basi aku menyetujuinya. Dari Fremantle ke Perth memakan waktu tidak sampai empat puluh lima menit, jika lewat freeway.

Sepanjang jalan kulihat banyak sekali pohon eucalyptus, pohon jarrah, dan pohon karri raksasa, yang tumbuh di pasir putih kekuning-kuningan, yang mengawal freeway sejauh mata memandang. Pasir kuarsa yang banyak mengandung silika oksida. Sesekali kulihat ada sejenis burung sebesar burung perkutut namun memiliki penampilan seperti burung beo, dengan warna-warni yang indah terbang dari satu pohon ke pohon yang lain. Luar biasa...entah burung apa namanya, aku belum pernah melihat sebelumnya.

Sayang sekali, musim semi telah lewat, sehingga sepanjang jalan jarang lagi ditemui   bunga acre yang sedang bermekaran. Bunga dengan warna kuning atau merah kekuning-kuningan, bunga yang hanya dapat ditemukan di Australia, bunga liar yang menyebabkan Western Australia disebut sebagai Negara Bagian Bunga Liar.

Pagi itu sebenarnya Bagas ingin mengajakku ke Swan Valley, atau tepatnya ke Houghton Winery, suatu perkebunan anggur yang menurut hikayat adalah perkebunan anggur terbesar di Western Australia, dan salah satu perkebunan anggur yang terbaik di dunia. Karena aku tahu beberapa perkebunan anggur di dunia, menurutku sih setiap perkebunan anggur selalu membanggakan diri sebagai perkebunan terbesar dan terbaik di dunia. Perkebunan anggur di Australia sendiri, seperti perkebunan yang terhampar luas sepanjang sisi rel kereta api antara Brisbane dan Cairns, di negara bagian Queensland, yang nama perkebunannya aku lupa, serta perkebunan di perbukitan di luar kota Hobart, Tasmania, nampaknya juga tidak mau kalah dengan kebanggaan tersebut. Namun bagiku, aku lebih menikmati perkebunan anggur di Cataluna, Spanyol, atau Verona, Italia serta sejumlah perkebunan anggur di Provence, Anjou, Rhone, Loire, Alsace, Champagne, Cognac, Armagnac, yang semuanya sangat indah di Perancis, atau kawasan anggur yang sangat luas di daerah pertanian di California. Maka ketika Bagas mengajakku ke Houghton Winery, aku tidak begitu berminat. (Catatan : Di kemudian hari aku lebih terkesan lagi pada keindahan kebun anggur yang indah yang hanya dapat aku lihat di film Walking in the Clouds yang dibintangi Keanu Reaves).

Kemudian Bagas juga menawarkan kepadaku untuk mengunjungi Coversham, suatu tempat wisata konservasi koala dan kangguru, namun aku pikir itu pastilah semacam dan sejenis dengan tempat konservasi orang utan di Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. (Di kemudian hari baru aku kecewa kenapa aku tidak mengunjungi kedua tempat yang ditawarkan Bagas tersebut).

Memang meskipun aku sering ke Perth, dan bahkan sempat tinggal cukup lama, namun aku belum sempat mengunjungi tempat yang ditawarkan Bagas. Yang pasti, akhirnya aku memilih ke tempat favoritku, yang ibaratnya sudah seribu kali aku kunjungi, yaitu London Court, kawasan wisata belanja yang cukup legendaris di tengah kota Perth. Yang aku sering menyebutnya sambil berseloroh sebagai "Pasar Beringharjo-Malioboro-nya Perth". Tempat aku pernah menghabiskan waktu, di samping King's Park bersama Kumiko Hasegawa, gadis dari Fukuoka yang sempat akrab denganku di Perth.

Sepanjang perjalanan melewati freeway dari kota pelabuhan Fremantle sampai Perth, nampak lengang. Sebab Perth memang kota yang sangat konservatif di Australia. Kegiatan penduduk biasanya berhenti setelah jam 4 sore. Keramaian hanya sering dijumpai jika ada Festival, seperti Summer Festival, atau pertandingan bola Australia, semacam rugby di Amerika Serikat, cricket, konser-konser musik, Race Air, atau event semacam itu. Katanya sih, pernah ada Festival Mardi Grass, namun aku kurang yakin, sebab biasanya Mardi Grass hanya diadakan jika etnis Perancis-nya cukup banyak di suatu wilayah, seperti New Orleans, Loussiana, USA, atau Montreal, Quebec, Canada.  Di Australia Barat, nampaknya penduduk keturunan Perancis tidak begitu banyak. Memang cukup heterogen, namun masih didominasi oleh Anglo Saxon, seperti Irish, English, Welsh, dan Scottish, ditambah Balkanese (khususnya Serbia dan Croatia), Arab-Mesir yang biasanya beragama Kristen Koptik, serta beberapa etnis Asia, di samping suku asli Aborigin.

Sesekali kami berpapasan dengan berbagai jenis kendaraan, yang dirajai oleh anake varian dari Ford Motors maupun General Motors dari berbagai type dan kelas. Sangat jarang aku jumpai mobil-mobil dari Jepang. Sementara Bagas sendiri menjemputku dengan Baby Benz, yang biasa dimiliki oleh warga Indonesia di Western Australia. Mungkin terbiasa dengan kehidupan di Indonesia yang menempatkan Baby Benz dalam posisi terhormat. Malah ada pemeo, jika di jalanan di Western Australia di jumpai Baby Benz atau BMW, pastilah itu milik orang Indonesia, sebab hampir delapan puluh persen warga Australia Barat mengendarai berbagai seri dari Ford Motors  maupun General Motors. Sangat mudah memang untuk memiliki Baby Benz atau BMW  yang di tanah air termasuk jenis kendaraan yang berkelas tersebut, karena di Australia harganya hanya sepertiga atau seperempat harga di tanah air, jika di-kurs-kan dalam rupiah.  Hal itu dimungkinkan karena sangat rendahnya bea masuk di Australia.

Mendekati London Court, atau tepatnya di kelokan Swan River yang sangat lebar, luas, indah membiru dan bersih, aku sempat melihat sekelompok Aborigin yang
berkulit gelap dengan rambut keriting, duduk-duduk santai di bawah sederetan pohon sejenis palm tua. Sementara anak-anak mereka bermain di lapangan yang menghampar luas dengan rumputnya yang hijau dan subur, meskipun saat-saat itu sedang berada di puncak musim panas.

Sekejap aku luangkan pandanganku ke kiri jauh, ke arah birunya bukit di jauh sana, tempat King's Park berada. Tempat yang selalu menghuni salah satu sudut hatiku, tempat aku selalu menikmati canda, tawa, tangis dan sendu seseorang di masa lampau. Seringkali aku ingat saat-saat aku berfoto bersama di samping meriam tua, atau menatap kerlap-kerlip lampu kota Perth yang dilingkari Swan River, di waktu malam yang sepi. Itu memang sudah lama, namun sangat sulit menjadi lampau!

Kawasan wisata belanja London Court yang dibangun pada tahun 1937, berbentuk  semacam cluster dengan sedikit gerbang masuk, dan dirancang  khusus untuk pedestrian, atau lebih dikenal dengan retail walkway, yang terletak antara Hay Street dan St George's Terrace.  Tidak ada high rise building di area ini, semuanya terbagi dalam blok-blok yang indah, bersih, dan tertata rapi dengan  exterior design kelas dunia yang mempesona. Dengan aksitektur gaya Elizabethan yang sangat unik dan spesifik, yang merupakan kombinasi dari peruntukan bagi area residensial sekaligus komersial. London Court ingin mengangkat kembali simbol kesejahteraan para penambang emas di masa jayanya. 
 
(BERSAMBUNG)


Ratmaya Urip

= = = = = = = = = = = = =


PRASASTI 
(2)
Oleh: Ratmaya Urip
(A Special  Story written  for someone who’s coming to make my life be meaningful and colorful)
===================
 
(SAMBUNGAN)
 
            Di luar London Court dikelilingi banyak jalan satu arah, yang  relatif sempit,  dengan beberapa high rise building yang mengingatkanku pada Ginza di Tokyo atau Orchard Road, Singapura, khususnya yang dekat dengan Takashimaya atau Lucky Plaza, Singapore. Hanya bedanya di Perth lebih sepi, mengingat seluruh penduduk Western Australia hanya berjumlah satu juta jiwa lebih sedikit.  Padahal luasnya sama dengan luas beberapa negara Eropa dijadikan satu sekaligus, yaitu luas dari Perancis, Spanyol, Jerman, Italia, Norwegia, dan Swedia. Dari satu juta jiwa penduduk Western Australia, sekitar sembilan puluh persen mendiami Perth dan sekitarnya.

Selepas memarkirkan  mobil di parking area, dan setelah berjalan melewati gerbang London Court aku sempat mampir ke post office kecil  yang ada di sisi kiri koridor utama, yang tidak jauh dari gerbang. Aku  membeli sejumlah postcard bergambar keindahan alam, fauna dan flora Western Australia, untuk dikirim ke beberapa kerabat dekat, sekaligus sebagai kartu lebaran, mengingat Idul Fitri tinggal sepuluh hari lagi. Dengan air-mail aku harapkan dapat sampai di Indonesia sebelum Lebaran tiba. Sebenarnya lebih tepat kalau aku kirim Kartu Lebaran seperti yang ada di Indonesia, yang ada gambar ketupatnya, dengan ucapan minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin yang sudah tercetak langsung di kartunya, namun tentu saja tidak mungkin aku mendapatkannya di Perth. Maka aku memilih beberapa postcard bergambar dingo, emu, dan lyrebird, sebab kalau yang bergambar koala dan kanguru sudah terlalu umum, kelihatan generik atau klise, meskipun itu merupakan ikon Australia. Aku hanya ingin sesuatu yang lain, namun tetap dalam koridor Australia.

            Dingo adalah sejenis binatang yang gagah dan kuat, yang biasanya berkulit cokelat dengan ekor bagaikan semak. Binatang yang mirip serigala namun bukan serigala. Emu adalah burung Australia yang terbesar, yang seperti halnya kasuari yang lebih kecil, tidak bisa terbang, tetapi kalau sudah berlari, kata orang kencangnya melebihi angin. Sementara lyrebird adalah burung beo yang terbesar di dunia, yang dikenal dapat bernyanyi dalam 40 jenis nyanyian yang berbeda dalam satu pergelaran.  Sebenarnya aku menginginkan juga gambar semacam angsa hitam, yang aku tidak tahu nama binatang tersebut, namun stock-nya tinggal satu, yang tidak boleh dibeli karena untuk contoh atau iklan. Di samping itu aku juga membeli postcard bergambar anak-anak Aborigin yang sedang berburu kepiting, atau sedang melempar boomerang, senjata kebanggaan mereka. Juga ada yang bergambar grazier, peternak biri-biri, yang sedang menggembalakan biri-biri di prairie.

(Catatan : Waktu itu telepon seluler dan email belum populer. Salah satu sarana komunikasi yang tercepat adalah air-mail, tentu saja di samping telepon internasional)

 Agak lama aku di post-office, karena sekitar dua puluh lima postcard yang aku kirim. Sebenarnya, lamanya waktu yang kuperlukan lebih banyak karena aku harus mengingat-ingat siapa saja yang harus kukirimi kartu lebaran, sampai-sampai Bagas meninggalkanku sendirian karena tidak sabar menungguku, meski sebelum berpisah sempat mengatakan padaku untuk bertemu lagi di Muzz Buzz langgananku dulu, tepat waktu lunch nanti, atau jam 12.00 siang waktu Western Australia (yang sama dengan Waktu Indonesia Tengah, seperti halnya waktu Singapore). Aku memang kangen pada the freshest premium espresso coffee, atau finest hot chocolate, mocca frappes, ice coffe granita, chocolate milano, hazelnut, Irish cream, English toffee dan raspberry, namun ibadah Ramadhan wajib ditunaikan...karena aku tidak ingin puasaku bolong-bolong. Kalau akau dan Bagas sepakat untuk ketemu di Muzz Buzz itu semata-mata karena hanya ingin say hello kepada Mary Jones, pemiliknya, gadis rambut pirang keturunan Wales, yang konon katanya,  moyangnya berasal dari tempat mungil di Wale dengan nama terpanjang di dunia, yaitu -Llanfairpwllgwyngyllgogerychwyrndrobwllllandysiliogogogoch-.
 
"Are you Indonesian?" tiba-tiba seseorang mengagetkanku dari samping kiri, ketika aku masih asyik menulis.

Seorang gadis bule berambut pirang sebahu, berwajah oval,  menatapku dengan senyum penuh binar. Tingginya sekitar seratus tujuh puluh centimeter, cukup langsing meski ada kesan padat berisi. Mungkin karena ketatnya celana jeans dan baju casual merah muda yang membelit tubuhnya, meskipun cukup untuk memberikan kesan  cukup sportif padanya. Sepatu sport Puma warna coklat tua membalut kakinya dengan ketat, sementara senyum di wajahnya enggan beranjak untuk pergi. Kutaksir usianya sekitar dua puluh tiga tahun.

            "There's something light in her eyes...!" gumamku dalam hati, setelah menatapnya sepintas.

"She's reminding me to someone who's coming to make my life so meaningful and colorful," lanjutku dalam hati.

            "Kenalkan aku...Hillary,...  Hillary O'Connell," sergapnya tiba-tiba yang sangat  mengagetkanku, karena memperkenalkan diri, menawarkan tangannya untuk kujabat,  dengan mempergunakan Bahasa Indonesia,  dengan lafal yang fasih, meskipun logat Barat-nya masih cukup kenyal dan kental melumuri sapanya. Apakah hanya sepotong kalimat itu yang dikuasainya? Atau dari mana dia belajar, aku belum tahu jawabnya.
Marganya adalah O'Connell, itu fam Irish, fam yang sama dengan tokoh atau patriot Irlandia yang sangat dihormati, sehingga diabadikan sebagai nama jalan utama yang membelah kota Dublin, ibukota Irlandia. Meskipun aku tidak yakin dia pernah pergi ke tempat leluhurnya di Irlandia, aku mencoba untuk membalas keramahannya dengan keramahtamahan gaya Irlandia yang aku kenal :

"Cead mile failte" tukasku tiba-tiba,  secara pelan dan sopan, sepotong ungkapan keramahtamahan Irlandia yang cukup terkenal itu. Aku mengatakannya tanpa beban, lepas, dengan senyum yang wajar tanpa dibuat-buat karena tokh dia memang  sudah memulainya.

Dia nampak terkejut, mendengar ungkapan keakraban dari moyangnya tersebut. Ada apresiasi yang menyeruak, nampak dari sikapnya yang langsung lebih cair, sementara lelehan keceriaan memendarkan binar wajahnya yang memang sangat cantik tersebut.

Biasanya setelah ungkapan tersebut disampaikan, sebagai tata krama dan sesuai adat kebiasaan Irish yang berlaku, aku sebagai orang yang mengatakan ungkapan itu harus mengajaknya untuk menjamu makan dan minum, dan aku memang siap untuk mengajaknya, meskipun aku tidak ikut makan karena puasa Ramadhan. Rupanya dia tahu apa yang kupikirkan, dan itu berarti memang dia sangat menghargai ungkapan dari moyangnya itu, dan itu adalah bukti utama bahwa dia memang seorang gadis Irish tulen.

”Thank you...!” ucapnya kemudian, sambil memberi isyarat bahwa dia belum siap untuk memenuhi ajakanku untuk menjamunya. Padahal aku memang saat itu tidak mungkin mengajaknya makan siang, karena sedang puasa, meski sempat secara kilat, aku rencanakan untuk mengajaknya ke Muzz Buzz.

Aku memang cukup banyak mempelajari antropologi, baik antropologi dunia maupun Nusantara, antropologi politik maupun ekonomi, antropologi sosial maupun ragawi, termasuk tentang Irish. Etnis Irish memang dikenal dengan keramahtamahannya, beda dengan etnis lain yang ada di Britania Raya, seperti etnis English yang terkesan agak kaku, sehingga nampak sombong, angkuh, atau orang Jerman bilang uber alles, juga beda dengan Scottish yang dikenal sangat pendiam, selalu nampak serius, namun ulet dan gigih. Hanya etnis Cornwalish yang dikenal periang, yang agak menyamai sifat-sifat etnis  Irish.

Aku tahu banyak hal tentang Irish. Tentang asal kata pub, kedai minum yang semula adalah tempat para petani kalangan bawah di pedesaan Irlandia melepaskan kepenatan dengan cara berkumpul sesamanya, yang kemudian ditiru golongan menengah ke atas dan kemudian mendunia, dan kini juga merambah Indonesia.

Oh, ya...jika aku ingat tentang pub ketika masih dalam nuansa aslinya di Ireland, aku ingat pada nuansa yang nyaris senada dengan fenomena yang ada di Tuban, Jawa Timur.  Di Tuban, ada semacam kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang sejumlah tujuh sampai lima belas orang untuk menghabiskan waktu bersama, dengan duduk melingkar langsung di atas tanah, sambil menikmati tuak, yang terbuat dari legen atau nira yang dideres dari pohon siwalan, yang kemudian dicampur dengan sesuatu, yang aku tidak tahu namanya dan apa maksudnya.

Ireland juga tempat asal derby, balap kuda tahunan sepanjang masa, serta tentang Gulliver, cerita fiksi yang melegenda yang banyak disukai anak-anak sedunia, padahal itu adalah dongeng kuno Irlandia. Tentang pemeo keberuntungan Irlandia, yang mirip dengan hoki China.

Juga aku tahu, bahwa lebih dari lima puluh persen Presiden Amerika Serikat berasal dari etnis Irish, di samping Scottish. Lihat saja nama-nama Irish, seperti George W. Bush, Bill Clinton, Ronald Reagan, Richard Nixon, John F. Kennedy, dan lain-lain.

Bahkan sentimen tentang Irish sering dipakai calon Presiden Amerika dalam berkampanye, untuk memenangkan pemilihan, mengingat tiga puluh persen lebih warga Amerika Serikat adalah keturunan Irish.

Etnis Irish memang menggenggam dunia seperti halnya Scottish, Jews, Chinese, Spanish, Bavarian, Sicilian, Indian dan segelintir etnis lainnya

Kembali ke gadis cantik di sebelahku, sebenarnya aku sedang berpikir keras, angin apa yang membawanya secara tiba-tiba  ke sisiku saat itu, menyapa ramah, dengan senyum yang lembut manis, sementara bola mata birunya menjulat perhatianku sepenuhnya, dengan binarnya yang suntuk dan lembut. Rasanya aku seperti mendapat durian runtuh, atau kejatuhan bulan. Pastilah ada maunya atau ada sebabnya.

Kemudian untuk sesaat aku memanjakan mataku dengan menatap keindahan yang sayang kalau kulewatkan begitu saja. Laki-laki mana yang kuat untuk melewatkan lukisan empat dimensi yang terpajang indah di gallery alami saat itu.

Jujur saja...aku bukanlah termasuk laki-laki womanizer, dan sebenarnya aku lebih mengagumi keindahan ragawi gadis-gadis Balkan atau Mediterranean. Namun gadis di sampingku ini telah mengubah pandanganku, atau sekurang-kurangnya menambah khasanah referensiku tentang gadis cantik. Ya...ternyata gadis Anglo Saxon, atau lebih dikenal dengan gadis Keltik (Celtic), dalam hal ini etnis Irish, tidak kalah dengan yang lainnya. Sangat pantas untuk dikagumi.

Hillary O'Connell, nama klasik Irish...seklasik Scarlett O'Hara, bintang film favoritku.
 
(BERSAMBUNG)

Ratmaya Urip


= = = = = = = = = = = = = = = = =

PRASASTI 
(3)
Oleh: Ratmaya Urip
(A Special  Story written for someone who’s coming to make my life be meaningful and colorful)
====================
 
(SAMBUNGAN)
 
Ada rasa akrab yang tiba-tiba menggelayut kental di sikapnya padaku. Akupun merasa bahwa aku pernah lama mengenalnya dulu, entah kapan dan dimana...seolah dia bukan orang asing bagiku...dan tentu saja aku menikmati perasaanku itu. Tidak ada ruginya berteman dengan gadis secantik dia, pikirku. Maka sambil menyelesaikan sisa postcard yang akan segera kukirimkan, aku berbincang akrab dengannya. Ternyata dia juga mengirim sejumlah postcard, namun kemana tujuannya, aku enggan menanyakannya. Maklum takut dianggap ingin tahu urusan orang lain, atau mengganggu privasinya...sesuatu yang tabu dilakukan  kepada orang asing dengan budaya Barat.
 
”Aku sering ke Indonesia, ke Jogja dan Wonosobo...!” kembali dia menebar keakraban.
”Oh, ya...? Seberapa sering?”  sergapku penasaran.
”Aku cukup akrab dengan Dieng Plateau, juga dengan  candi-candi kecil di dataran agak luas dengan rumput hijau di sekelilingnya,  Telaga Warna yang mempesona, juga Kledung Pass yang indah yang membentang di antara dua punggung Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing,” jelasnya, meyakinkanku dengan logat Western yang terasa kental dan khas. Serentetan kalimat yang tidak menjawab pertanyaanku secara langsung, namun cukup bagiku untuk mengindikasikan betapa dalam pengetahuan dia tentang lokasi tersebut. Yang itu menyiratkan adanya informasi, bahwa dia tidak hanya sekali atau dua kali berkunjung ke sana. Apalagi intonasi dan artikulasinya dalam berbahasa Indonesia cukup meyakinkan. Hanya phrasering-nya sajalah yang sering agak kedodoran. Pastilah dia sudah sangat sering menggunakan Bahasa Indonesia dalam setiap kesempatan, khususnya di kawasan di Indonesia yang sering dia kunjungi, seperti yang dikatakannya beberapa detik yang lalu.
 
Aku cukup paham dengan lokasi yang dia sampaikan, akh mungkin dari sinilah mata air keakraban dapat bermula, pikirku... menuju muara keindahan yang mulai bertabik hangat padaku.  Jogja, Magelang, Wonosobo, bukanlah daerah yang asing bagiku. Hampir dua tahun semasa awal kuliah dulu aku sempat memiliki cinta seseorang di Parakan, yang kebetulan sama-sama kuliah di Jogja...sama-sama satu Universitas, namun beda Fakultas. Aku di Fakultas Teknik, dia di Fakultas Pertanian. Hanya sayang hubunganku dengan dia tidak berlanjut, karena setelah berjalan sekian lama, banyak ketidakcocokan di antara kami berdua, sehingga kami sepakat untuk berpisah secara baik-baik.
 
Namanya Wulan, dan dari dialah aku tahu hampir seluruh sudut kawasan tersebut. Ketika itu aku sangat menikmati bagaimana dan kapan harus menanam tembakau, mengingat ayahnya adalah juragan tembakau yang cukup ternama di kawasan yang memang merupakan daerah perkebunan tembakau rakyat dengan kapasitas dan kualitas yang prima. Di kawasan tersebut sejauh mata memandang hanya ada lautan tanaman tembakau di musim kemarau, terutama pada bulan Mei sampai dengan September, sementara di musin hujan dipenuhi tanaman jagung dan tumpang sari tanaman kol, kentang atau tanaman sayuran lainnya. Karena kualitas tembakau sangat dipengaruhi oleh cuaca. Hampir seluruh industri rokok besar di  Indonesia mempunyai gudang tembakau yang besar di sana.
Di sela-sela tanaman tembakau terdapat enclave atau “oase”  berupa  dua lokasi perkebunan teh, yaitu di Kledung Pass dan di Tambi, yang tentu saja selalu hadir sepanjang musim.
 
Kadang sehabis ujian akhir semester berhari-hari aku menunggu atau membantu para petani tembakau yang sedang memetik daun tembakau, atau sedang ngrawis, atau menyimpan kembali daun tembakau yang sebelumnya dijemur, karena kabut sudah mulai turun menyapu dataran maupun jurang di sela-sela perbukitan. Butiran-butiran halus uap air dari kabut yang sekejap selepas tengah hari pasti turun itu sangat mengganggu dan merugikan kualitas tembakau. Kabut tebal selalu hadir selepas tengah hari sampai dini hari berikutnya, di musim kemarau, dan dapat menutup seluruh kawasan sepanjang hari jika musim hujan tiba. Bahkan di Wonosobo, seperti halnya Bogor,  hujan terasa selalu hadir sepanjang tahun. Wonosobo, selalu menyediakan air bagi Kali Serayu, karena dari tempat  itulah mata airnya bermula.
 
Aku sangat menikmati saat-saat panen kol atau kentang kleci atau jagung tiba, juga panen pete dan jengkol atau panen nangka dan durian yang sangat melimpah,  atau saat panen madu yang sering sangat wangi semerbak karena aroma bunga klengkeng. Aku juga tidak pernah melewatkan ikut ramai-ramai memanen ikan mas, nila, atau gurami ketika saatnya tiba,  dari kolam maupun keramba yang banyak terdapat di daerah tersebut, baik yang dipanen dari kolam konvensional, maupun kolam air deras.
 
Saat-saat yang sulit kulupakan adalah saat ketika aku bersama beberapa teman dan tentu saja bersama Wulan berburu rusa atau babi hutan di perbukitan atau malah lebih tepat disebut pegunungan dengan hutan yang cukup lebat yang merupakan perpanjangan pegunungan Menoreh, salah satu kawasan pegunungan tempat dimana Borobudur berada, dan sekaligus titik pertemuan atau perbatasan antara empat kabupaten, yaitu Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Banjarnegara, tepatnya kawasan Kaliwiro dan Wadaslintang. Di hutan tersebut konon merupakan salah satu habitat harimau Jawa yang sudah langka sehingga masuk dalam daftar binatang yang sangat dilindungi, meskipun aku belum pernah berjumpa sama sekali dengan raja hutan tersebut. Keindahan alam yang tiada tara, seindah panorama Danau Sentarum di hulu Kalimantan Barat, atau keindahan alam yang megah dan romantis di sela-sela bukit karst di Tana Toraja dan Bukit Nona di Enrekang, Sulawesi Selatan atau sepanjang Bukit Barisan di Rejang Lebong maupun di kota Padang jika menatap ke arah perbukitan Siti Nurbaya.
 
”Aku sering menikmati jahe panas dengan gula aren di gubug mungil indah di tengah perkebunan teh di Tambi, sambil menikmati gebleg. Juga aku suka mi ongklok di pemandian air panas Mangli. Juga buah-buahan yang sampai sekarang menjadi  favoritku adalah carica,” tiba-tiba Hillary memulai kembali pembicaraan yang menyadarkanku dari mimpi indah di siang bolong.
 
Ouw...dia tahu tentang jahe dengan gula aren, gebleg dan mi ongklok, minuman dan makanan khas Wonosobo...pastilah dia bagian dari kawasan tersebut atau sekurang-kurangnya pernah menjadi bagian dari kawasan tersebut. Apalagi dia mengenal carica, semacam buah pepaya kecil, namun cita rasanya sangat jauh berbeda dengan pepaya, karena lebih nikmat dan lebih harum baunya. Buah yang menurutku hanya tumbuh di Wonosobo saja, di lereng Pegunungan Dieng. Meskipun aslinya berasal dari Amerika Latin. Aku semakin penasaran dibuatnya.
 
”Ada urusan apa, di sana?” pikirku
Seolah dia dapat membaca isi benakku. Ini terbukti ketika  dia kemudian menukas dengan senyum yang mengentalkan hasratku untuk lebih dekat dengannya :
         ”Suatu saat kau akan tahu...mungkin kita akan sering melakukan korespondensi, nanti.”
         ”Oh, ya? Kenapa?” tanyaku menegas
Dia tidak menyahut hanya tersenyum kecil, dan tetap menebar pesona yang prima.
 
Tiba-tiba dia mencari-cari sesuatu dari tas kecil berbahan kulit dan bermotif batik warna-warni yang dari tadi menyilang dan melingkari tubuhnya yang cukup padat itu, namun luput dari pandanganku. Oh,...tas itu mengingatkanku pada tas-tas yang banyak dijajakan oleh pedagang kaki  lima di emperan toko sepanjang Malioboro, Jogjakarta.
 
”Maaf, aku segera harus pergi...ada yang harus aku selesaikan. Ini business card-ku. Kontak aku jika sempat, selama ada di Perth.”
 
Setelah itu dia pergi begitu saja secara tiba-tiba, persis dengan ketika awal baru bertemu. Aku sempat memberinya business card juga sebelum dia pergi. Aneh memang, datang begitu mendadak dan pergi dengan tiba-tiba...dan tentu saja membuatku kecewa, karena belum ada yang layak untuk dapat kuketahui  tentang dia. Blank! Untung ada business card-nya sehingga masih ada harapan untuk lebih dekat mengenalnya. Namun kapan aku ada waktu untuk bertemu lagi? Karena lusa aku akan kembali ke Indonesia. Tapi...kalau Allah Swt mengijinkan pasti aku dapat berjumpa dengannya lagi. Memang tidak masuk akal, seseorang dengan budaya barat yang biasanya acuh tak acuh dan terkesan angkuh, selalu menjaga privasi, ...secara tiba-tiba bersikap seperti orang dari budaya timur...sangat ramah dan friendly. Malah mengajakku berbincang dalam bahasa yang bukan bahasa ibu-nya, yang nampaknya dia sangat menguasainya.
 
(Catatan : Teka-teki tentang Hillary O’Connell baru kuketahui beberapa bulan kemudian. Itupun  karena secara kebetulan aku berjumpa dengan dia di suatu hotel bernuansa klasik  di Semarang, tempat yang kebetulan sama-sama kami menginap, yang nanti jika sempat akan aku ceritakan di luar judul tulisan ini).
 
Ketika aku tengok jam di pergelangan tangan baru menunjukkan jam 11.00. Jadi masih ada waktu satu jam untuk menuju lunch saat aku harus menemui Bagas kembali. Terus terang, bukan lunch dalam arti harfiah yang aku maksudkan, namun lunch dalam arti yang sering aku sebut sebagai transcendental lunch, karena lebih ke “emotional lunch”  atau  apapun namanya...yang kalau aku boleh jujur, sebenarnya tujuan utamanya adalah ingin bertemu Mary. Mary tahu aku seorang Muslim, sehingga jika aku bertandang ke Muzz Buzz tanpa aku memesan sesuatu karena sedang puasa, pasti dia mau mengerti. Ya, aku hanya ingin tahu perkembangan terakhir tentang kota Perth, atau Australia pada umumnya, dari dia. Apalagi sebentar lagi ada konser dari Cliff Richard, penyanyi gaek yang masih memiliki penggemar di Australia Barat, yang aku tahu dari promo yang ada di hotel. Juga tentang Kompetisi sepakbola Australia yang akan digelar di Perth
 
Perlahan kususuri beranda dari deretan gerai tempat perbelanjaan yang berderet memajang berbagai barang dagangan, melalui lorong lampu hias yang sedang tidak menyala karena saat itu siang hari, yang tergantung di bawah lengkungan baja stainless steel, menuju ruang terbuka berupa  taman kecil dengan  beberapa deret bangku yang terbuat dari semacam kayu oak yang indah di beberapa lokasi.
 
Kutemukan bangku kosong kapasitas delapan orang, masing-masing untuk empat orang dengan beradu punggung. Karena kebetulan kosong, aku langsung saja meletakkan pantatku di atasnya, ke salah satu bangku yang menghadap ke arah matahari terbenam. Menunggu waktu untuk bertemu Bagas.
 
            Beruntung hari ini aku memilih pergi ke London Court, bukannya ke Houghton Winery atau ke Coversham seperti ajakan Bagas, karena aku kemudian dipertemukan dengan Hillary O’Connel. Meskipun aku tidak tahu lagi kapan akan berjumpa lagi dengannya. Aku akui, bahwa masih tersisa harap yang pekat untuk bertemu dengannya dalam sisa waktu yang sangat pendek di Perth kali ini. Harapan itu masih ada, kalau tidak, mengapa dia memberiku business card?
 
ooOoo
 
(BERSAMBUNG)
 
Catatan sebagai referensi:
Untuk keperluan bisnis, maupun untuk pembaca yang berminat ingin mempelajari antropologi, khususnya tentang nama-nama Fam maupun nama-nama depan (First Name) dari etnis Irish yang cukup populer di bawah ini, dapat dijadikan acuan untuk mengakrabkan korespondensi. Khususnya dalam membedakan nama dengan nama-nama English, Scottish, Welsh, Cornwalish di United Kingdom (Britania Raya) maupun di Amerika Serikat, dan Australia. Khususnya bagi mereka yang sedang berada di United Kingdom maupun Amerika Serikat dan Australia untuk keperluan bisnis, belajar, maupun keperluan2 yang lain. Meskipun nama-nama tersebut sering juga dipakai oleh etnis Scotish, namun pada umumnya Irish yang dominan. Karena antara Scotlandia dan Irlandia memang ada pertalian historis seperti antara Jawa dengan Sunda, atau antara Melayu dan Betawi, sehingga kadang-kadang ada nama yang mirip.
 
Siapa tahu ada manfaatnya bagi keperluan bisnis. Karena dari pengalaman berinteraksi selama ini, jika kita kenal mereka secara dalam dengan mengetahui tentang asal usul mereka akan melancarkan bisnis kita. Meskipun kadang budaya barat sering menutup rapat tentang hal-hal yang bersifat personal. Etnis yang dikenal kaku, seperti Jepang, Jerman, Scottish dll, jika kemudian dalam pendekatan bisnisnya dilakukan dengan pendekatan antropologis, ternyata dalam pengalaman saya sering banyak membantu.  Di Jepang, marga atau Fam dengan awal “Mat...” seperti Matsuba, Matsui, Matsushita, dsb, bisa dipastikan berasal dari sub etnis tertentu dengan perilaku stereotype atau prototype  antropologis tertentu pula. Seperti halnya dengan stereotype atau prototype temen2 kita yang bermarga Sinurat, Sinulingga, Simangunsong, Sianipar, Sirajagukguk, Sinambela, Simanjuntak, Sibutarbutar, Sinaga, Sidabutar, Situmorang, Situmeang, dsb. Atau Hutagalung, Hutauruk, Hutapea, Hutabarat, Hutagaol, Hutasoit, dsb.  Atau teman-teman kita yang memiliki nama Gde, Wayan, Putu, Ngurah, I Gusti, Ida Ayu, Ida Bagus dst, atau Mokoginta, Mokodompit, Lalu, Laode, Aji, Awang, dan lain-lain. Pendekatan antropologi dalam bisnis jarang dilakukan, khususnya dalam bidang pemasaran dan produksi.
 
Family Names untuk Irish Names
 
Nama fam yang diawali dengan O’ artinya   “cucu dari...”,  sehingga O’Connel berarti cucu dari Connell. Nama Fam yang diawali dengan “Mc” berarti “anak dari...”. Contoh McNamara adalah anak dari Namara. Seperti di Indonesia ada yang memberi nama Soekarno Putro, meskipun di Indonesia bukanlah nama Fam.
 
Nama depan (First Names) untuk Irish Names.
 
Maka jika seseorang memiliki nama Adam Smith (pelopor ekonomi modern yang sangat populer dengan bukunya The Wealth of Nations), dapat diduga bahwa itu adalah seorang Irish meskipun dapat juga disebut sebagai Scotish, karena faktanya beliau lahir di  Kirkcaldy, Scotlandia, 5 Juni 1723, dan meninggal di Edinburgh, Scotlandia, 17 Juli 1790. Karena seperti saya sampaikan di atas, antara Irish dan Scotish memang beda tipis mengingat historisnya. Sehingga kadang kedua etnis tersebut ada yang menggabungkannya menjadi Scot-Irish. Yang membedakan sesorang itu Irish atau Scotish adalah dari dialek bahasanya. Karena jika mereka tidak sedang bicara dalam Bahasa Inggris, namun dalam bahasa sub-etnis masing-masing akan lebih jelas mengidentifikasinya, seperti halnya kawan-kawan dari etnis China, jika bicara dalam bahasa sub etnis masing-masing, bukan berbahasa Mandarin, baru nampak sub-etnisnya, seperti Khek-Tiochu, Hokkian, Cantonese maupun Han (Mandarin). Irish dan Scotish dapat dibedakan pula dari padanan antara Betawi dan Melayu, atau antara Jawa dan Sunda.
 
Salam hormat,
 
Ratmaya Urip


= = = = = = = = = = = = =
PRASASTI 
(4)
Oleh: Ratmaya Urip
(A Special  Story written for someone who’s coming to make my life be meaningful and colorful)
===============
 
(SAMBUNGAN)
 
Aku duduk di atas bangku atau lebih tepatnya kursi, semacam kursi panjang dengan kapasitas sekitar empat orang. Tersusun dari semacam reng kayu yang disusun dan dipaku secara horizontal pada rangka kayu sebesar kaso, dengan jarak antar reng sekitar 5 centimeter. Kayunya sendiri semacam kayu oak berwarna putih, namun memiliki serat yang lembut. Juga gurat-gurat kayunya membentuk relief yang nampak menonjol seperti halnya kayu jati yang ada di Jawa. Semacam kayu yang sering dipakai untuk furniture yang dirangkai secara knock-down di Indonesia.  Ukuran kursinya tentu saja adalah untuk ukuran western, sehingga bagiku nampak terlalu besar. Paku untuk sambungan kayunya sendiri bukanlah paku baja seperti yang sering ada di Indonesia, namun paku kayu atau semacam pasak dari kayu, sehingga terkesan lebih artistik dan natural.
 
Kursinya sendiri di susun secara rapi di ruang terbuka yang menyerupai taman kecil, dengan dikelilingi batu-batuan dengan berbagai ukuran, semacam batu hias yang belum digosok, dengan warna-warni natural, mirip dengan batu-batu hias yang ada di hulu Sungai Mahakam atau Sungai Barito di Kalimantan, yang jika sudah digosok banyak dijual di salah satu pasar khusus batu hias yang aku lupa namanya di Balikpapan, Kalimantan Timur, atau di Pusat Perbelanjaan “Cahaya Bumi Selamat” di Martapura, Kalimantan Selatan.  Aku duga karena di Australia adalah surga bagi batu “opal”, mungkin saja batuan tersebut adalah batu “opal” yang belum diasah, atau batuan secara natural. Batu “opal” yang sudah diasah dan banyak dijadikan batu hias untuk souvenir banyak dijajakan di sejumlah counter di London Court tersebut. Beda batu hias yang ada di Kalimantan dengan batu hias “opal” yang ada di Australia adalah jika batu hias dari Kalimantan meskipun sama-sama merupakan batuan yang mengandung unsur dominan silika, namun merupakan batuan crystalline sementara batu “opal” yang ada di Australia adalah batuan amorphous, jika kajiannya adalah geokimia, petrologi, dan kristalografi,  cabang dari Ilmu Geologi.
 
Kursinya terdiri dari sepasang kursi yang sengaja disusun dengan beradu punggung dengan jarak sekitar satu meter. Di antara sepasang kursi yang beradu punggung tersebut terdapat sebatang pohon dengan ketinggian yang cukup atau sedang namun rimbun, yang memberi keteduhan pada siapapun yanmg duduk di kursi tersebut. Entah pohon apa namanya, aku tidak tahu sama sekali.
 
Terus terang, meskipun aku lagi membaca koran pagi sambil menunggu waktu untuk ketemu Bagas lagi, aku sangat gelisah atau lebih tepatnya terusik. Setelah lima belas menit aku duduk sendirian, aku kemudian merasa terganggu oleh obrolan atau lebih tepatnya celoteh tiga gadis yang kemudian datang, yang duduk di kursi belakangku yang merupakan pasangan kursi yang aku duduki meski beradu punggung.  Maklum jika gadis-gadis lagi berkumpul, pastilah suaranya gaduh sekali, tanpa memperhatikan lingkungan sekitarnya.
 
Ketika aku tengok ke belakang, ternyata ada satu gadis bule dan dua gadis yang berwajah Melayu, yang lagi asyik bergunjing. Dua gadis Melayu tersebut nampaknya berasal dari Indonesia, karena jika antar-mereka berbicara sering diselingi dengan Bahasa Indonesia. Sementara jika berbicara kepada si gadis bule menggunakan Bahasa Inggris.  Jika antar kedua gadis berwajah Melayu tersebut tidak bicara Bahasa Indonesia, pastilah aku menduga mereka berasal dari Filipina, atau Vietnam, karena mereka sering saya jumpai di Perth. Gadis-gadis dari Filipina merupakan pekerja migran, sementara gadis-gadis Vietnam adalah turunan atau para pengungsi Vietnam pasca Perang Vietnam berakhir pada Serangan Tet di tahun 1975 yang kemudian banyak mengungsi ke Australia, Amerika Serikat, maupun Kanada..  Aku duga mereka adalah mahasiswi Indonesia yang sedang belajar di salah satu perguruan tinggi di Perth, atau mungkin juga pelancong dari Indonesia yang sedang berada di Perth.
 
Aku lebih memperhatikan dua gadis dari Indonesia tersebut, karena biasanya jika kita berada di luar negeri kemudian bertemu dengan seseorang yang berasal dari satu negara, ada rasa yang aneh yang muncul. Semacam rasa rindu pada tanah air. Rasa sepi karena jauh dari tanah kelahiran akan sedikit terobati.
 
Gadis Melayu yang satu berambut sedikit berombak, berkulit sedikit hitam atau kecoklat-coklatan namun sangat manis, dengan postur yang relatif tinggi untuk ukuran Indonesia, namun tidak cukup tinggi jika dibandingkan dengan si gadis bule yang ada di sebelahnya. Cukup manis, yang mengingatkanku pada Grace Simon di masa mudanya (Catatan: Kalau di jaman ini mirip dengan J-Lo atau Jennifer Lopez. Ingat J-Lo adalah keturunan Spanish atau Spaniard, yang kebetulan mirip dengan wajah Melayu). Rambutnya dipotong pendek yang menimbulkan kesan maskulin, atau lebih tepatnya tomboy, apalagi celana jeans ketat membungkus kakinya dengan sepatu sport yang dipakainya. Dia sebenarnya sangat menarik, sayang bukan “type”ku, sehingga aku tidak begitu memperhatikannya. Aku tahu perawakannya karena mereka kadang berdiri kadang duduk  secara bergantian, tergantung dari apa yang mereka bicarakan. Nampaknya mereka terlalu asyik dengan materi pembicaraannya, sehingga tidak sadar kalau mengganggu aku. Eh.. atau lebih tepatnya kalau aku memperhatikan ulah mereka...karena aku mulai tertarik mengikuti alur pembicaraan mereka. Entah karena mereka cantik atau karena alasan yang lain. Atau karena aku jejaka tua yang tak jua berumah tangga, sehingga selalu mendambakan kehadiran seorang wanita untuk berbagi. Maklum, sudah hunting beberapa tahun tak jua bersua dengan pujaan hati. Kalau aku kemudian mencoba “nguping” itu karena sebagai ekses ketertarikanku pada salah satu di antara mereka.
 
( Catatan: Untuk Pak Harry “uncommon” Purnama, mohon maaf dan mohon  dimaklumi, meskipun ini menyerempet ke “real story” namun tulisan ini adalah semacam “novel” – “sombong dikit gak apa ya Pak” -- sehingga akan lebih menarik jika dibumbui roman. Meskipun cerita ini bertutur dengan gaya bahasa  aku” atau yang menurut catatan Pak Harry adalah “self explanatory”, dan “descriptive”, namun sebagian besar cerita ini adalah fiktif belaka. Beberapa adegan memang merupakan “real story” namun itu adalah sekedar trigger atau pendorong atau inspirator saja, supaya alur cerita dapat mengalir deras tanpa sumbat sedikitpun. Jadi jangan dianggap ini adalah full biography atau auto-biography. Gaya penuturan dengan “aku” hanyalah untuk memudahkan bercerita. Setting dan blocking cerita dengan mengambil lokasi di Perth memang mengambil situasi yang pernah saya alami, namun alur cerita atau sentences running in this story sebagian besar adalah fiktif. Cz  this story just a novel. Juga mohon dipahami, bahwa ini masih awal, belum ada konflik atau friksi tajam yang biasanya sebagai daya tarik utama suatu novel. Saya menulis dengan narasi penuh hanya dengan sedikit dialog atau kurang verbal ini sebenarnya sebagai jedah, karena sedang mencari inspirasi, untuk alur konflik yang akan menjadi bumbu  bagi tulisan ini. Karena kalau konflik yang dikembangkan tidak mengena atau tidak masuk akal, pasti akan membosankan, begitu Pak Harry. Atau Pak Harry dapat memberi masukan untuk saya via japri? Mumpung cerita ini lagi ditulis saat ini. Saya sudah tua Pak Harry, namun jika saya menulis novel kan boleh saja kalau saya menceritakan tentang seseorang yang masih muda yang belum menikah yang sedang “hunting” seorang wanita untuk dijadikan pasangannya? Meskipun dengan gaya bahasa “aku”. Serealistis apapun yang ditulis dalam novel, biasanya lebih banyak imajinasinya ketimbang riilnya. He.he.he...! ). Ok...marilah kita lanjutkan!
 
 Gadis Melayu yang lain memiliki kulit putih bersih. Penampilan atau kinerja ragawi-nya seperti  layaknya gadis-gadis yang pernah aku lihat sebelumnya, yaitu seperti  gadis Sunda, atau gadis Menado, atau gadis Rejang Lebong, atau gadis dari Menggala-Lampung Utara, atau gadis keturunan Portugis di Jepara-Jateng dan di Alas-Rhee, Sumbawa, atau gadis Dayak-Kadazan dari kaki Gunung Kinabalu, Sabah, Malaysia, yang banyak aku lihat di Mahad Al Zaitun, Subang-Jawa Barat, sebagai santri-mualaf atau yang di tempat aslinya di Kota Kinabalu dan Sandakan, Sabah, Malaysia Timur...namun aku yakin, bahwa dia berdarah Jawa. Itu aku ketahui dari logat Bahasa Indonesianya yang “medhok” dengan selalu memberikan tekanan pada konsonan “d” maupun “t” setiap dia bicara. Dia nampak anggun  dengan apa yang dikenakannya. Jauh lebih feminin daripada si wajah Melayu yang satunya. Sebenarnya aku malu untuk menulis ini, namun aku mesti terus terang, bahwa aku memang sedang mencari seseorang yang dapat dijadikan belahan jiwaku, sehingga sah-sah saja jika mulai mengumpulkan data untuk dievaluasi.
 
Si anggun jarang sekali tertawa “ngakak” seperti si tomboy. Dia lebih sering tersenyum dan senyumnya sangat manis (gula ‘kali?). Kalau aku boleh jujur, ada daya elektromagnetik yang bergetar di hatiku. Beda dengan ketika aku bertemu Hillary tadi, yang aku harus mengakui bahwa memang dia sangat menarik, namun ketertarikanku lebih kepada mengagumi sebuah lukisan yang sedang dipajang di suatu pameran lukisan atau di gallery atau di musium atau di ruang tamu seorang teman yang berselera tinggi sehingga cukup memiliki kemampuan untuk memberikan apresiasi pada sebuah lukisan.
 
(BERSAMBUNG)
 
 
Salam hormat
 
Ratmaya Urip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar