Jumat, 10 Juni 2011

Memahami dan merasakan sorga

Oleh:  Harry ¨Uncommon¨ Purnama
 
Suatu siang,  si kecil semut bertanya kepada seekor gajah, "Hai Gajah, pernahkah engkau melihat sorga?  "Entah ya Mut, yang saya lihat hanya kesedihan, hutanku rumahku digusur manusia setiap hari. Saudaraku banyak yang lari ke pinggir hutan dan ditembaki manusia hingga mati" jawab Gajah dengan berlinang air mata. Dengan nada sedih, Gajah ganti bertanya, "Hu hu..kamu sendiri, bagaimana?" Semutpun menjawab dengan kejujurannya yang polos: "dipikirkan atau tidak, kami ini sebenarnya mahluk terlemah, badan kami diciptakan kecil-kecil dan imut. Setiap hari teman-temanku terinjak mati oleh kakimu yang besar. Tapi, aku bisa melihat kegembiraan dan kesenangan, karena para semut seperti saya ini, rajin membantu, saling tolong-menolong diantara sesama kami. Kami biasa hidup tenteram dan saling menyenangkan. Raja kami tak menindas kami, malahan melindungi kami...Jadi yang aku lihat setiap hari adalah sorga di sini. Beberapa diantara kami memang mati karena terinjak kakimu...tapi mereka mati di dalam sorga...1"

Jika gajah menggambarkan cara berfikir pemimpin, maka berfikir besar seperti gajah ternyata gagal merasakan adanya sorga. Jika semut merepresentasikan pola pikir, mindset pemimpin yang sederhana, nampaknya melalui jalan seperti itu, manusia lebih berhasil membuat yang tak terjangkau menjadi terjangkau, yang rumit menjadi lebih sederhana. Barangkali, dengan cara seperti itu, kita dapat memahami sorga dengan bijaksana.

Jika sorga itu tak nampak, oleh karenanya sulit dilogikakan. Ia hanya bisa dimengerti oleh yang tak nampak pula. Kita hanya mengerti sorga, setelah kita berada di dalamnya, merasakannya, melihat dan meraba, seperti sang semut. Tetap saja manusia berbeda dengan semut dan gajah, karena manusia ingin memahami sorga lebih dekat dengan logikanya.  Semakin memakai logika [berfikir konvergen dan divergen, lateral, common-sense] semakin sorga tak bisa diraba. Namun, sebaliknya semut tadi merasakan sorga itu nyata dengan mendefinisikan sorga dari imajinasinya yang paling sederhana, melalui apa yang dialaminya dan tak memakai logika besar-besar, hanya memakai perasaan positifnya. Sementara sang gajah memakai perasaan negatifnya. Semut digambarkan memiliki banyak hal positif dari pada sang gajah. Jika gajah lama kelamaan menjadi satwa langka, populasi semut terus lebih banyak dari pada gajah seolah-olah dia sedang menguasai bumi.  Ketika tak ada manusia bisa hidup, justru semut hadir disitu. Tak pernah ada pawang semut, karena semut satwa yang memang tak berbahaya, tak menyakiti dan tak bermusuhan dengan siapapun.

Sorga atau surga atau jannah diyakini oleh agamawan sebagai sesuatu setelah kematian, sebagai sesuatu yang super enak dan sangat nyaman selamanya dan sesuatu yang akan datang. Apalagi, sorga bagi beberapa ilmuwan, dianggap  dongeng, seperti oleh Stephen Hawking yang tidak percaya bumi diciptakan oleh Tuhan. Bagi beberapa sekte agama, mereka yakin tak ada neraka. Neraka adalah kematian itu sendiri, selesai, diam dan berhenti, tak ada siksaan kekal.  Dengan mindset seperti ini, manusia yang belum mati tak akan bisa memahami sorga, mirip sang gajah yang tak bisa melihat kebaikan dalam kehidupannya.

Dengan cara apa manusia bisa memahani sorga? Dengan cara membuat definisi tentang sorga ala semut. 
Agar manusia tetap dapat memahami sorga dengan logika dan iman, maka sorga didefinisikan sebagai tempat yang sangat senang yang tidak datang kemudian, tetapi berlangsung hari ini dan selama-lamanya. Sehingga, hidup kita akan mendekati sorga, jika kita menciptakan kesenangan hidup yang banyak hari ini juga.  Sebaliknya kita akan menjauhi sorga, jika selagi hidup hanya merasakan hidup yang berantakan, frustrasi  dan menyedihkan ala gajah.  Dari pemahaman ala semut, manusia lalu menciptakan slogan motivasi spiritual: "mari ciptakan sorga di pikiran, di hati dan di dalam tiap perilaku."  "Mari ciptakan sorga di rumah dan di tempat kerja..." Sorga ada dimana-mana, ia menjadi sesuatu yang dapat dirasakan langsung hari ini bukan lagi esok setelah mati. Jika hidup dipenuhi ketenteraman, kedamaian dan kebahagiaan yang banyak seperti semut, disitulah suasana sorgawi menjadi nyata. Jika kita harus menderita sakit, menjadi tua dan meninggal, semuanya itu terjadi di dalam sorga. Kita pun dikuburkan di dalam sorga. Sorga menjadi milik kita di bumi ini seperti di dalam sorgaNya.

Memahami sorga secara sederhana dan polos seperti itu, juga sesuai dengan  tutur kisah nyata seorang anak lelaki berumur 4 tahun, Colton dari Nebraska Amerika, yang sudah melihat sorga saat ia menjalani tidur panjang saat di kamar operasi. Ia berceritera dengan bahasa anak-anak yang lugu, telah melihat dokter yang sedang mengoperasinya dari atas dan melihat sang ayah, Todd Burpo,  yang sedang mendoakan dirinya. Colton menceriterakan dengan detail, telah melihat saudaranya yang telah meninggal karena keguguran, kakeknya yang telah meninggal 30 tahun lalu sebelum ia lahir, kuda yang dinaiki Tuhan, Roh Kudus yang menolongnya dan tiap detail dari keberadaan sorga. Bagi Colton, "Heaven is for real," adalah buku pertamanya yang ditulis oleh sang ayah, dan terbit tahun 2010, sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Indonesia.

 
 
Sorga juga bisa didekati dengan cara menjaga hati. Sorga memang ada, entah itu sulit dipercaya atau dengan mudah mau mempercayainya dan merasakannya sekarang. Ayat-ayat tua dan doa tua mengajarkan wisdom bahwa sorga akan hadir, jika diminta dengan sungguh-sungguh. "Datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di Sorga." Lebih tepat jika manusia berusaha menghadirkan sorga di bumi dengan a.l. menghapus pola pikir dan pola rasa seperti gajah, membuat hidupnya selaras dengan doa-doanya, menjalankan perintahNya dan menjaga isi hatinya.  Saya jadi teringat ada satu ayat emas dari begitu banyak ayat-ayat kehidupan ini, "berbahagialah orang yang suci hatinya, karena ia akan melihat Allah,"  Agar hidup mampu merasakan sorga, setiap pemimpin ada bijaknya mau menerima kenyataan jalan panggilan IlahiNya, mensyukurinya, saling berbagi dan menikmati jalan-jalannya yang unik seperti sang semut. 
 
Stay hungry, stay foolishHarry "uncommon" Purnama
Buku "Leaders with Passion"
Gramedia Pustaka Utama, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar