Kamis, 23 Juni 2011

Sorga yang dijalani: renungan pemimpin

Oleh:  Harry "Uncommon" Purnama

Sorga yang dijalani: renungan pemimpin

"Oh...Allah, mengapa Engkau diam.. tak pernah menjawab doaku...Sorga terasa jauh. Aku bagai hidup tapi mati di neraka setiap hari..! Datanglah dan tengoklah aku, hambamu yang berjuang demi anak-anakku tapi suami hamba malah memukuli hamba setiap hari..Aku tak tahan..Aku bagai masuk di lembah kematian..Tolong..tolonglah hambaMu..." salah satu seruan doa Dewi dalam sembahyang sepinya di tengah malam sambil berlinang air mata, ketika suami dan 2 anaknya tidur pulas. Dewi, "woman in black," ibu rumah tangga 30th yang tak pernah bahagia. Menikah dengan suami sakit jiwa.  Suami tak bahagia. Ingin saja ia enyahkan, tapi tak sanggup. Batinnya tak cukup berani berontak kepada imam keluarga. Tapi, apa dikata, pemimpin keluargnya sakit, tak waras.

Dewi, bekerja jujur dan banting tulang di sebuah bank di Jakarta, dengan posisi staf administrasi kredit. Sosoknya adalah perempuan biasa khas Indonesia dengan kerudung ibadah warna hitam di kepalanya. Rambutnya lebat disemir coklat, bola matanya coklat karena ada turunan India-Arab, kulit sawo matang, wajahnya khas seorang ibu muda, yang senang membalut tubuhnya dengan pakaian berciri khas warna hitam karena duka batinnya. Ia penakut dan penurut. Ia tak sama sekali mirip Frida Kahlo, pelukis legenda dari Mexico yang  bisex, binal, pemberani dan cerdas, pernah keguguran beberapa kali, namun akhirnya mati karena virus polio tahun 1954. Frida adalah sosok seniman berkarakter yang berani berkata "tidak" kepada lingkungannya.

Di kantor, ia dihargai oleh atasannya sebagai pekerja terbaik di departemennya. Dibanjiri motivasi yang baik dari atasannya itulah, ia sering bekerja larut malam di kantor dan tak merasa itu sebagai beban maupun dosa wanita. Ia telah menemukan passionnya.  Dewi, sudah 5 tahun ini memang tak pernah dimutasi atau dipromosikan, tetapi ia tetap senang bekerja. Teman-temannyalah yang menjadi satu-satunya penghibur hatinya di kala duka. Mata sembab dan tangan bengkak selalu ia tutupi dengan kaca mata dan baju gelapnya. Ia tak pernah mengalami "surprise" kebahagiaan sepanjang hidupnya. Sayangnya pula, Dewi tak mengalami nasib serupa dengan barista Starbucks bernama Bernadette, single mom dengan 9 anak di Amerika yang beruntung mendapat pembelaan dan kepedulian luar biasa dari rekan-rekan kerjanya. Berkat perjuangan teman-temannya, sampai-sampai Oprah Wenfrey datang menjenguknya karena nasibnya yang menyedihkan. Oprah nelangsa melihatnya lalu menganugerahi Bernadette, satu rumah besar full perabot untuk menghidupi ke 9 anaknya. Kisah Bernadette dituliskan di "Starbucks Experience," prinsip ke 3 "surprise and delight," yang ditulis Joseph A. Mitchelli, tahun 2006.


Di rumah, ia menjalani hidupnya bagai neraka hitam, setiap saat Dewi tertekan berat oleh suaminya yang "super" posesif dan pencemburu berat. Pilihannya menikah dengan suaminya ia jalani secara sadar karena telah berpacaran selama 3 tahun. Tak ada benih KDRT sebelumnya atau makian kasar dari mulut suaminya dahulu ketika berpacaran mesra. Segala yang buruk muncul setelah pernikahan dimulai. Situasi semakin memburuk, karena Dewi semakin sibuk dalam pekerjaannya dan pulang hingga jam 20.00 malam dari kantornya. Ia menangis sendirian di teras rumahnya, ketika beberapa kali, ia dikunci di luar, tak boleh masuk rumah oleh sang suami hingga subuh. Kalau hanya ditampar, dijambak dan dihajar badannya, ditendang, sudah makanannya harian, apalagi kata-kata kotor dosis 3x sehari: "dasar pelacur, selalu pulang malam cari om-om..diluar..!!"

Beberapa kali ia keguguran karena perutnya ditendang suaminya. Ia diam, tapi memendam kepahitan, menderita dan terluka di sisi dalam. Nasi sudah menjadi bubur. Dewi belum mau cerai. Ratusan kali ia curhat ke Ugi sahabat perempuannya di kantor, pergi ke psikolog dan menghadap sang mertua, tapi hasilnya tetap saja nol. Suaminya tetap jahat dan tak mau mengerti. Karena tak tahan, ia sudah 2 tahun pisah kamar dengan suaminya, Heru. Tetangga kiri-kanan sudah kasak-kusuk ingin melaprokan kasus yang menimpanya ke pak RT/RW, agar Dewi dapat hidup normal.

Jika depresi meledak, langit-langit kamar terasa gelap-pengap, darahnya naik ke kepala, matanya mengabur, nafasnya tertahan, lalu Dewi berteriak-teriak di kamarnya dan anak-anaknya menangis ketakutan dan ikut histeris bersamanya. Akhir deritanya, ia terduduk di lantai sambil memeluk bantal sampai tertidur di lantai kamarnya begitu saja bersama anaknya. Heru kemudian mengangkat tubuh Dewi ke ranjang Dewi dan menutup kamarnya. Anak-anak Dewi ia angkat lalu dibawanya ke kamar Heru dan dibiarkan tertidur hingga pagi, Keesokan paginya, Dewi dan anak-anaknya bangun setengah pusing kepala dan harus segera memulai aktifitas rutinnya dengan mata setengah sembab. Sang anak yang paling gede, Gita 5 tahun pergi ke TK dekat rumah diantar Heru dan adiknya 3 tahun, tinggal di rumah bersama pembantu. Dewi bergegas bekerja mengejar kereta express AC menuju stasiun kota. Rutinitas derita macam ini sudah dijalaninya sejak ia menikah 6 tahun lalu dengan Heru yang kejam. Tetap saja, mertua Dewi tak bisa berbuat apa-apa. Heru, 32 tahun, bekerja sebagai staf penjualan pabrik sparepart otomotif di kota pinggiran Jakarta. Teman-temannya di kantornya tak ada yang tahu perangai buruk Heru di rumah. Di kantor ia memakai topengnya rapat-rapat agar tak diketahui atasannya dan rekannya.

Karena tak tahan lagi, suatu hari, Dewi diantar oleh Ugi pergi melaporkan kelakuan Heru ke kantor polisi,  dengan laporan KDRT.  Ugi juga mengalami hal serupa di rumah oleh kebengisan suaminya. Mereka senasib. Ugi jugalah yang telah mendorong Dewi mengadukan ini ke polisi seperti yang Ugi telah lakukan terhadap suaminya. Kasus Ugi membaik, suaminya tak lagi melakukan KDRT setelah suaminya dipanggil ke kantor polisi beberapa kali dan kasusnya masuk koran lokal. Benar saja, kasus Dewi merebak di koran lokal di kotanya. Heru dipermalukan karena dipanggil paksa di kantornya oleh polisi dan menjadi tontonan massal. Heru memendam marah yang tak tertahankan bercampur dengan ambruknya harga diri sebagai pemimpin rumah tangga. Sejak itu, Heru tak lagi KDRT  meski masih suka memaki Dewi dengan kata-kata jahanamnya yang menjijikkan.

Dua bulan kemudian, Heru terdengar, meledak emosinya dan menyekik Dewi hingga mati lemas di dapur. Kini, Dewi telah tiada. Dewi hanya melihat satu warna, hitam, dalam seluruh hidupnya, sebelum ajal ia sempat ingat nasehat dari penasehat spiritualnya, "berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.."

Bulan berganti tahun, selepas dari penjara, Heru tua, 67 tahun, tak mau kawin lagi. Ia hidup menduda hingga menua, sakit berat, lalu mati karena kanker hati dalam kesendirian. Kisah pilu rumah tangganya adalah gambaran tentang hampanya tanggung jawab [responsibility, Al Wakiil] dari seorang pemimpin di level yang paling rendah, keluarga. Suami biadab, sorga nestapa yang memilukan perjalanan Dewi di dunia.


Masih banyak perempuan-perempuan di kota besar yang terpaksa menjalani hidup duka seperti Dewi dan Ugi. Hidup mereka bagai di kuali panas dan sulit bernafas ketika di bumi. Untunglah, masih ada sorga yang menanti Dewi.  Ugi suatu malam bermimpi melihat fantasi dan imajinasi Dewi berjalan digendong seorang Malaikat dan tak ada air mata di pipinya. "Dewi, Allah sangat menyayangimu dan mangasihimu selama-lamanya," ungkapan doa Ugi di suatu senja untuk Dewi. Ugi juga berdoa dan sungguh yakin, Heru mendapat balasan yang setimpal atas derita tiada tara sampai meninggalnya Dewi. Bagi Dewi, pada mulanya adalah derita, ditengahnya derita dan akhirnya bahagia. Sorga yang dijalani Dewi terkenang hingga hari ini. Kedua anaknya kini sudah berumah tangga dan menarik pelajaran besar dari peristiwa itu. Legenda hitam mamanya, "woman in black," ibu Dewi, wanita sorga, yang tak sempat melihat kedua anaknya menikah dan punya cucu. 

===================================================================

http://thespiritualleadership.blogspot.com/2011/06/sorga-yang-dijalani.html

Stay hungry, stay foolish
Harry "uncommon" Purnama
Buku "Leaders with Passion"
Gramedia Pustaka Utama, 2010

Rabu, 15 Juni, 2011 21:51

Tidak ada komentar:

Posting Komentar