Jumat, 10 Juni 2011

Sorga dekat

Olehg: Harry ¨Uncommon¨ Purnama

Di belahan bumi mana yang orang tak berlari-lari mencari-cari 2 pusat kekuasaan dan kenikmatan, Sorga atau surga atau jannah dan uang? Sorga dirajai oleh Tuhan Yang Maha Agung, uang dirajai oleh iblis yang maha jahat. Kedua kerajaan ini akhirnya membentuk peradaban 2 etape hidup manusia. Etape pertama, hidup hanya untuk mencari sang uang. Segala hal dihalalkan demi uang, muncullah istilah UUD, ujung-ujungnya duit. Di sini orang mengorbankan kesehatan dan harga diri untuk mencari uang. Terbentuklah etape ini menjadi hunian nyaman orang-orang muda dibawah 50 tahun. Mereka digambarkan dengan glamour berlimpahnya harta benda, jabatan dan wanita. Kata mereka:"Sorga, itu mah urusan nanti kalau sudah tua.." Diskusi yang berkembang diantara mereka ujungnya adalah "Sudahlah gak usah sok suci loe, sikat aja, masih ada waktu untuk bertobat kok, entar aja kalau mau mati..!"

Di etape kedua, hidup berubah, ujung-ujungnya Sorga [UUS]. Orang mulai mengorbankan uang dan hartanya demi mencari kesehatan dan harga dirinya kembali. Etape ini kemudian terbentuk sendiri secara alami, yang penghuninya adalah orang tua diatas 50 tahun, termasuk kelompok manula. Itulah mengapa orang bijak selalu digambarksn sebagai lelaki tua berjenggot membawa tongkat. Mereka pikir, Sorga itu dekat dengan masa tua, jauh dari masa muda.  Persoalan timbul, ketika sudah tua, yang diharapkan  melakukan perbuatan Sorga, masih membawa-bawa kebiasaan lamanya, menghamba kepada sang uang. Lalu muncullah pemeo "tua-tua keladi, makin tua makin menjadi." Apakah benar, Sorga itu dekat di masa tua saja?

Siang itu, dua orang teman setengah baya, berdiskusi sangat serius dan sangat lama, 3 jam lebih. Mereka sama-sama sepakat untuk mencari Sorga dengan tetap menjadi duda yang tidak mau dan juga tidak kepingin menikah lagi. Alasan yang mereka diskusikan, pertama, tak mau terus-menerus melukai sang istri yang telah tiada. Dahulu di masa muda. mereka telah cukup menyakiti istri-istri mereka, saat masih serumah setempat tidur. Mereka takut kebagian neraka. Kapan dan ketika apa neraka dekat dengan manusia? "Ketika Tuhan terasa jauh, seperti nyanyian Ebit G Ade," kata seorang teman. Bagaimana kita tahu Tuhan itu jauh? Teman yang satu menimpali: "tandanya, doa kita rasanya hampa, hidup terasa kok mandeg, kekerasan dan kejahatan meningkat dimana-mana, pelanggaran aturan menjadi hal biasa dan dibenarkan dan terpenting, ketika uang menjadi raja baru bagi manusia."


Kedua teman lalu berfikir, sekaranglah waktunya melakukan penebusan kesalahan masa lalu dengan menjaga kelakuan dan pikiran secara ketat mirip sufi atau resi atau begawan agar mendekati Tuhan. Saking berhati-hatinya, sampai salah satu teman bergumul sendiri cukup lama, hatinya bergejolak, pikirannya tidak bisa tenang, apakah keputusannya tidak re-marriage itu benar? Ia sudah konsultasi dengan seorang Romo top yang sudah sangat teruji, telah menjalani hidup tak beristri dan tak melakukan sekecil apapun kegiatan seksual, termasuk masturbasi. Romo dengan bijak menjawabnya: "Pilihan di jalan ini sangatlah berat bagi manusia awam, saya telah melalui proses pergumulan yang sangat panjang secara pribadi untuk akhirnya berani menanggung keputusan yang tidak populer ini. Tapi, Tuhan itu Maha Agung buat saudara. Pilihan ada di tangan saudara." Teman itu kebingungan dengan arah jawaban sang Romo yang melayang seperti itu, apakah benar atau tidak untuk terus membujang paska istri tiada? Sampai hari ini, itu tetap jadi pergumulan doanya.


Hidup adalah pilihan dan perjuangan. Setelah memilihnya harus memperjuangkannya. Tak ada yang mudah, apalagi tentang hal kedagingan ini. Menikah memang karunia, tak menikah juga karunia. Tetap tak menikah, juga karunia. Sama halnya dengan kehidupan adalah mukjizat, begitu juga kematian dan sorga juga keajaiban. Beberapa teman percaya bahwa neraka itu tak ada, yang ada hanyalah manusia berdosa hanya berhenti di liang kubur, selesai titik. Yang berbudi baik, mereka terus berjalan ke kehidupan kedua, menuju Sorga.  Apakah ke dua teman tadi mendekati Sorga, saya sungguh tak tahu.


Ternyata sejauh ini keduanya berhasil untuk tidak menikah lagi. Itu memang teramat sulit bagi lelaki yang kini keduanya masih berambisi mengumpulkan uang melalui bisnis mereka masing-masing. Yang satu pebisnis dan yang satunya juga entrepreneur. Tambah sulit dan mendebarkan, karena mereka sadar betul bahwa satu hal yang sesungguhnya paling dicintai oleh manusia, jika jujur, itu adalah uang, bukan pasangan, bukan anak, bukan pula keluarga apalagi Tuhan yang tak nampak. Paradoks Sorga dan neraka siang itu hadir di benak teman-teman itu yang sedang berdiskusi tentang wisdom menduda.


Saya tak bisa merasakan apa yang mereka rasakan kehidupan sepi sebagai duda, karena belum mengalaminya. Namun, apa yang keluar dari refleksi ini adalah mereka sama-sama berkeinginan memasuki etafe hidup tahap dua, menyendiri dan menyepi, layaknya manusia pensiunan, tak punya ambisi dunia. Menyendiri dan memisahkan diri dari ikatan dunia dan hiruk pikuk bisnis, apalagi salah satu teman sudah berulangkali ditipu oleh rekan bisnisnya.


Diskusi pun terus berlanjut di ruang tengah menghadap kolam ikan dan taman. Mereka menyimpulkan satu hal dan saya sepakat adalah "kebahagiaan hanya haknya orang biasa yang paling sederhana. Bukan selebriti politisi, bukan para bos dan cukong atau bandar orang kaya, apalagi orang yang tengah hidup dalam kehidupan yang pura-pura benar atau complicated life.." Teman tadi berujar :"hidup yang paling nikmat adalah hidup yang di pinggiran, bukan ditengah-tengah." Ayat-ayat tua membisikkan suara teduhnya di telinga kami, "Lebih sulit seekor unta masuk ke lubang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Sorga." Hmm betapa jauhnya Sorga itu? Apakah benar hanya sedikit yang bisa masuk Sorga?



Kedua, mereka sama-sama takut jika ditanya oleh istrinya kelak ketika bertemu di Sorga, "Lho papa bawa istri baru? Kita bertiga ya disini? Katanya sehidup dan semati..pa..!!" Mereka tak siap dengan alasan apa lagi. Apalagi mereka berdua sukses karena peranan sang pendamping setia. Istri,  meski bagi banyak suami, kadang menyebalkan karena banyak permintaan dan keinginannya, tapi tetap saja ketiadaannya secara fisik, membuat suami stress di kala kesepian tidur malam sendiri. Kesepian dan kesendirian tetap saja sulit diatasi ketika sedang seorang diri di kamar. Foto istri dan bajunya serta sepatunya masih sulit diturunkan atau dikoperkan dari tempatnya. Kenangan itu masih membayangi sosok suami-suami yang sendiri. "Biarkan foto itu disana, wong indah, itu khan jadi obat kangen saya.." ujar satu teman yang sudah lebih 15 tahun menduda.


Berangkat dari keyakinan bahwa Sorga adalah anugerah, mereka tetap tak bisa yakin bahwa cinta mereka di Sorga kelak terbagi ke dua istri. Bagaimana mempertanggung jawabkan kelakuan itu kepada Tuhan dan MalaikatNya? Apakah Tuhan bisa menerima suami yang memboyong para istri ke SorgaNya? Apakah disana ada keluarga? Itu pertanyaan masih belum terjawab tuntas. Sama peliknya dengan pertanyaan, jika Tuhan benar Maha Adil lagi Maha Penyayang, mengapa juga ada neraka sepanjang masa? Mengapa Tuhan menyiksa manusia selama-lamanya?


Namun, siang itu diskusi menjadi ringan, karena salah satu teman melontarkan pepatah kuno: "bukan hanya Sorga ada di bawah telapak kaki ibu, tetapi Sorga juga ada di dalam doa-doa ibu dan Sorga dekat dengan kesederhanaan."  Karena di dalam pengabdian anak kepada ibunya, kasih sayang suami kepada istrinya [ibu], kuasa doa ibu untuk kesuksesan anak-anaknya dan di dalam kesederhanaan itu, Tuhan sesungguhnya yang dibesarkan, bukan sang manusia.


Teman tadi lantas ingat ayat-ayat tua nan bijak : "dimana hartamu berada, disitulah hatimu berada, dimana hatimu berada disitu Sorgamu berada." Lalu Sorga Mulia itu menjadi dekat dengan manusia yang memposisikan hatinya bukan kepada harta benda, melainkan menjauhi dunia dan segala isinya ini. Dikotomi pilihan menjadi hanya dua, mendekatkan hati kepada harta dan uang atau mendekatkan hati kepada Tuhan. Ada benarnya, mengapa di dalam kesederhanaan bahkan kemiskinan sekalipun, lalu diyakini ada banyak gambaran Sorga disitu. Sorga teramat dekat dengan kesederhanaan, pemisahan diri dari kemelekatan dunia.


Apakah jalan ke Sorga itu sempit? Tak heran, para begawan atau sufi memilih jalan sempit dan sepi dengan  mengosongkan dirinya, agar benar-benar dekat kepada sang Maha Besar. Semakin mulia seseorang, ternyata semakin merendahlah ia. Orang besar sering masih diukur dengan  kepemilikan. Beruntunglah dan berbahagialah orang yang merasa dirinya miskin dan tak punya apa-apa.  Hanya dengan keadaan kosong, hampa, zero itulah Sorga berada dekat sekali. Patahlah khayalan dan keyakinan, bahwa orang hanya melihat Sorga jauh di atas langit dan di awan-awan. Sorga ternyata,  ada di bumi ini, ia dekat dengan kesederhanaan dan kehampaan. Beberapa ayat-ayat itu mengatakan : "Sorga ada di dalam hati kita, tidak jauh-jauh. Setiap orang berhak akan Sorga."  Jika demikian, berapa banyak orang yang bisa merasakan Sorga? Apakah kita masih perlu menyombongkan diri lagi dengan kepemilikan kita yang kita kuasai hari ini? Kedua teman tadi mengakhiri diskusinya dengan nyanyian wisdom yang ujungnya, Sorga itu tak jauh, ia ada di hati dan di pikiran. Pemeo ini menjadi benar :"mari ciptakan sorga di pikiran."
Silahkan Anda teruskan sendiri-sendiri.

Harry "uncommon" Purnama - www.mature-leadership.com
============================================================
Sajak : Ibuku

Ibuku, guruku di kehidupan dunia
Ibuku, suaramu menghiasi Sorga
Ibuku, kutemukan Sorga dalam doamu
lukisanmu di pikiranku
rumahmu di jiwaku
kegembiraanmu di hatiku
impianmu di kepalaku
kebaikanmu di tanganku
keuletanmu di kakiku
kehormatanmu di rambutku
kejujuranmu di keningku
kehidupanmu di jantungku
kasih sayangmu di mataku
nafasmu di paru-paruku
meski kini telah sepi
engkau tetap meninggalkan kenanganmu di airmataku
engkau tetap memberikan lambaianmu di kesunyianku
berjalanlah terus Ibuku
beribu Bidadari Sorga sepertimu menunggumu
sampai dosa tak ada lagi di perjalananmu
meski kini hanya nisanmu disini
============================================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar