Oleh: Dadang Kadarusman
Ada berita yang mengejutkan.
Salah  seorang pegawai senior. Tiba-tiba saja mengundurkan diri. Beliau bukan  sekedar karyawan senior. Tetapi juga manager yang sudah bekerja selama  belasan tahun di perusahaan. Ada juga sih kabar yang menyebutkan kalau  beliau itu diberhentikan. Tapi. Perasaan kok nggak ada hujan, nggak ada  angin. Tiba-tiba saja kejadian seperti itu. Sepertinya ada apa-apanya.
Kalau  dipikir-pikir. Gelagatnya memang sudah kerasa sejak lama. Pada awalnya  beliau karyawan yang terkenal rajin. Namun entah kenapa. Sejak hampir  setahun ini beliau terlihat seperti tidak lagi bergairah bekerja disana.  Nggak ada yang mengetahui penyebabnya secara pasti. 
Hanya  saja memang pernah ada rumor yang cukup santer. Katanya memang belaiu  itu sedang ‘dilucuti’. Emang sih. Beberapa wewenangnya dikurangi. Bahkan  selama 6 bulan terakhir ini beliau tidak lagi memiliki anak buah.  Padahal, sebelumnya. Ada ratusan orang yang berada dibawah tampuk  kepemimpinannya. 
Meskipun  begitu, titel beliau tetap saja sebagai Manager. Mendapatkan fasilitas  yang menarik seperti mobil maupun ruang kerja sendiri. Pokoknya,  kayaknya sih nggak ada yang berkurang deh selain porsi pekerjaannya yang  semakin ringan. Buat sebagian orang, beliau itu enak banget. Ibarat  kata; “kerjaannya cuman gitu-gitu aja. Tapi dapat bayaran yang gede.”
Kadang  suka ada juga yang menggunjingkan segala. Tapi…, biasalah. Namanya juga  menggunjing. Ya pastinya dilakukan dibelakang dong. Nggak ada yang  berani ngomong didepannya. Apa lagi kepada orang yang sudah senior  begitu. Baik umurnya. Masa kerjanya. Maupun tingkat jabatannya. 
Kata  orang sih. Ya hanya kata orang. Soalnya kebanyakan orang di kubikal yang  masih relatif muda-muda tidak benar-benar mengenal latar belakang dan  masa lalu beliau. Kata orang. Beliau itu dulunya adalah pemimpin yang  sangat disegani. Bahkan sebelum menjadi manager, beliau adalah staff  yang punya dedikasi dan prestasi tinggi.
Sekarang  sih, hampir tidak kelihatan bekas-bekasnya lagi. Sepertinya beliau sudah  kehilangan semangat kerja. Dan nggak ada lagi yang bisa diteladani.  Setiap hari datang ke kantor selalu kesiangan. Masuk ke ruangannya.  Membaca koran. Pergi keluar di jam makan siang. Jam dua balik lagi. Eh,  jam empat. Sudah pulang.
Makanya, nggak heran juga kalau banyak yang iri.
Disaat  semua orang terus didorong untuk beprestasi. Eh, ada pegawai senior yang  berlaku seperti itu tapi nggak diapa-apain. Sebel kan? Awalnya sih iya.  Sebel. Tapi. Setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Atau… minimal  memperhatikan beliau. Semuanya itu malah berubah menjadi belas kasihan.
“Elo bayangin aja sendiri,” begitu kata Aiti. “Seandainya elo yang mengalami hal seperti itu. Pasti nggak enak juga, dong.”
“Nggak juga. Gue sih enak-enak aja. Kerja dikit. Dibayar gede,” ceplos Opri. Biasa. Sekenanya aja sih kalau dia ngomong.
“Iya, kalau elo cuman mikirin duitnya aja.” Balas Aiti. “Coba kalau elo punya harga diri?”
“He-emh…, kalau gue sih ogah kayak gitu,” timpal Fiancy. 
“Ya, terserah elo pade dong kalau nggak mau gitu. Gue sih asyik-asyik aja kali.” Sanggah Opri.
“Emang elo mau digaji gede tapi nggak dihargai orang?” Selidik Aiti.
“Ya kalau nggak ada pilian lain, gimana?” Kata Opri sambil mengangkat bahu. “Ya gue tutup mata aja kali.”
“Kayaknya  elo belum ngerti kondisinya Pri.” Sekris nimbrung. “Elo bisa bilang  begitu karena selain gaji elo masih kecil. Ya elo juga belon ngerasain  gimana enaknya jadi boss.”
“Iya.  Coba elo pernah ngerasain gimana dihormati orang.” Jeanice ikutan  mengeroyok. “Punya anak buah ratusan yang mau nurut sama elo. Terus  tiba-tiba aja elo kehilangan semua itu, baru tahu rasanya lo…”
“Iya, iya. Gue ngerti, ah. Bawel amat sih orang-orang ini!” hardik Opri. Begitulah kalau sudah tersudut. Seperti guguk.
“Yeeeee.., elo tuch yang bawel,” balas Aiti. “Dari tadi dikasih tahu kok malah ngeyel aja.”
“Yeeeee…,  kenape elo malah marah-marah sama guuuue!?” Opri tambah sewot.  “Emangnya salah kalau gue punya prinsip kayak gitu? Gue kan nggak  ngerugiin orang lain.”
“Uda ah… kok jadi ribut kayak gini….” Jeanice menengahi.
“Elo juga tadi ikut-ikutan mojokin gue,” sekarang Opri balik menghardik Jeanice.
“Yaaaa,  kan udah gue bilang udah…” kata Jeanice. Dia mengangkat tangan kanannya  dengan telunjuk dan jari tengah mengacung. “Peace…oke…?”
Susah  sekali untuk ngeyel dihadapan orang yang mengajak berdamai. Akhirnya  Opri menyerah juga. Nggak ada lagi alasan yang dimilikinya untuk terus  memperpanjang perdebatan nggak mutu itu. Sebenarnya mutu juga sih.  Soalnya. Dari obrolan kecil seperti itu kita bisa belajar hal-hal yang  penting juga.
Seperti  halnya karyawan senior yang akhirnya mengundurkan diri itu. Semua orang  tahu kalau beliau tidak lagi happy berada di kantor. Meskipun tidak di  PHK. Gaji dan fasilitasnya juga nggak dikurangi. Tapi. Kelihatan sekali  jika beliau tersiksa berada pada situasi yang nggak jelas seperti itu.  Seperti cinta yang menggantung. Diterima nggak. Ditolak juga nggak.  Nyesek, kan?
Selagi  merumpi seru itu. Tiba-tiba saja ada kapal-kapalan dari kertas yang  terbang. Melayang-layang kesana kemari. Meliuk-liuk. Naik. Turun. Naik  lagi. Lalu turun lagi. Terus muter beberapa kali diseantero kubikal.  Gerakannya menarik perhatian semua orang di kubikal.
“Siapa sih orang yang iseng main kapal-kapalan gini hari?” begitu protes orang-orang.
“Pemborosan kertas, tauk!” kata yang lainnya.
Seperti  sengaja memanas-manasi orang-orang. Eh, kapal-kapalan itu malah  muter-muter diatas kepala mereka. Setelah muter dua kali, barulah dia  turun. Tepat diatas meja orang-orang yang sedang pada ngerumpi itu.
Karena itu adalah kubikalnya Opri. Maka dialah yang punya hak untuk mengambil pesawat terbang dari kertas itu. 
“Keren  juga nih terbangnya,” begitu kata Opri ketika tangannya berhasil meraih  pesawat itu. “Hah!” begitu bunyi dari mulutnya saat dia meniup moncong  pesawat. Lalu dia bersiap-siap untuk melemparkannya kembali ke udara…..
“E tunggu, tunggu, tunggu.” Gerakan tangan Opri langsung terhenti oleh teriakan orang-orang itu.
“Paaa-an sih?!” katanya. “Ini kan bukan gue yang ngeborosin kertas.”
“Pri. Coba elo perhatiin dulu. Ada tulisan apaan tuch?”
Opri baru  menyadari jika pesawat itu sengaja dikirim seseorang untuk menyampaikan  suatu pesan. Jelas sekali tertulis pesannya disana. Mereka segera  menyadari siapa yang membuat dan menerbangkan pesawat itu.
KITA BERBAHAGIA KARENA BISA BERKONTRIBUSI
BUKAN KARENA GAJI YANG KITA DAPATKAN
Semua orang saling pandang begitu membaca pesan yang tertulis di kertas itu. 
“Tahu aja ya si Natin,” kata Opri.
“Iya nih. Dasar tukang nguping,” kata Fiancy.
“Tumben elo ikutan mencela Natin, Fi…” goda Opri. “Biasanya kan elo yang paling ngefans….
Fiancy  hampir aja melemparkan kotak tissue kepada Opri kalau saja teman-teman  yang lainnya nggak buru-buru megangin dia. Pipinya jelas sekali  kelihatan merah merona….
Keadaan segera mereda begitu mereka kembali fokus kepada rumpian yang sedari tadi membuat mereka mengerumun disitu.
Meskipun  nggak ada orang yang mau kerja kalau nggak digaji. Tapi. Boleh jadi  emang benar yang dikatakan oleh Natin. Kita berbahagia karena bisa  berkontribusi. Bukan karena gaji yang kita dapatkan.
Misalnya  karyawan senior itu. Dulu. Ketika tugasnya banyak sekali. Beliau dikenal  orang sebagai karyawan teladan. Dan pemimpin yang hebat. Tapi setelah  beliau digrounded. Kelihatan sekali jika beliau seolah kehilangan arah.
Bener  kok. Kita bahagia itu karena bisa berkontribusi. Bukan karena gaji yang  kita terima. Emang sih. Siapa yang ngga seneng kalau terima gaji. Kita  bahagia sekali rasanya. Setiap kali tiba tanggal 25. Langsung lari ke  ATM. Lihat saldonya. Transfer kesana sini. Tarik beberapa lembar. Habis  itu. Berakhir deh kebahagiaan kita. Paling awet juga cuman sampai  tanggal 10 aja. Setelah itu. Kita manyun lagi deh sampai tanggal 25  berikutnya datang lagi.
Sekarang.  Coba ingat-ingat lagi kalau kita sudah melakukan sesuatu untuk orang  lain. Kontribusi sekecil apapun. Dalam bentuk apapun deh. Pokoknya.  Sesuatu yang kita lakukan untuk kebahagiaan orang lain. Atau prestasi  yang kita buat di tempat kerja. Inget-inget lagi bagaimana bangga dan  bahagianya kita saat itu.
Waktu  kita bisa menolong orang lain. Waktu kita meredakan kesedihan orang  lain. Apapun deh. Orang lain pastinya ngerasa seneng dong. Tapi. Yang  paling seneng kan kita, sebenarnya. Kita bahagia. Karena sudah bisa  berkontribusi bagi orang lain. Makanya. Bisa jadi kita masih bisa  merasakan kebahagiaan dihati kita. Atas kebaikan yang kita lakukan  kepada orang lain bertahun-tahun yang lalu. Kita inget sudah menolong  seseorang. Dan kita inget. Gimana rasa bahagia itu bersemayam didalam  dada.
Begitu  juga kalau kita yang ditolong orang lain. Kita ingat terus sama  orang-orang yang sudah berbuat baik pada kita. Dan kita. Memperlakukan  mereka dengan baik. Kita ramah kepada mereka. Kita respek kepada mereka.  Karena kebaikan mereka pada kita. Makanya. Mereka juga senang bergaul  dengan kita. Sebaliknya. Orang lain pun mempunya rasa hormat dan sayang  yang sama pada kita. Jika kita bisa berkontribusi pada mereka.
Kejadian  yang menimpa karyawan senior itu memberikan palajaran berharga kepada  orang-orang di kubikal. Banyak banget pelajarannya. Misalnya. Memang  jabatan itu tidak ada yang abadi. Sekarang jadi pejabat. Belum tentu  nanti. Dulu berkuasa  sekali. Sekarang tidak berdaya sama sekali. Oh…., betapa relatifnya hidup.
Terlebih lagi soal kebahagiaan itu.
Sebelum  pesawat kertas itu mendarat di meja Opri. Semua orang mengira jika sudah  digaji tinggi. Dan dikasih fasilitas mewah, seorang karyawan bisa  otomatis berbahagia? Ternyata nggak. Malah mereka yang dibayar mahal  banyak yang setres juga kok. Ada yang asem terus mukanya kalau ke  kantor.
Ada yang  amburadul kehidupan pribadinya. Ada yang galak kepada anak buahnya, tapi  takut banget sama istrinya. Ada yang dikejar-kejar oleh tukang tagih  kartu kredit pula. Ada yang disita rumah mewahnya sama bank. Ah,  pokoknya macam-macam deh. 
Kayaknya.  Emang bener apa yang Natin katakan. Kita. Bahagia bukan karena gaji  yang kita terima. Melainkan karena kontribusi yang bisa kita berikan.
Nggak  salah sih kalau kita kerja mengejar gaji atau fasilitas dan bonus  apapun. Tapi. Jangan sampai kita hanya bisa mendapatkan semua ukuran  material yang pasti akan cepet habis itu. Gaji dan bonus yang kita  dapatkan kan pasti habis. Kenyataannya memang begitu kok. Soalnya, gaji  kita kan pas. Iya nggak? Pas tanggal 15 habis…hehe…
Tapi  pujian dari teman-teman atas prestasi-prestasi kita. Abadi. Tepukan di  bahu dari atasan yang puas dengan pekerjan kita. Lestari. Ucapan  terimakasih dari klein-klien kita. Tak pernah luntur. Ada terus didalam  hati kita. Dan semuanya itu. Membuat diri kita benar-benar merasa  bahagia.
“Ini  sudah tanggal berapa ya?” seseorang nyeletuk dari belakang. Kayaknya  nggak nyambung dengan topik pembicaraan. Mungkin orang itu sedang sibuk  sekali. Jadi perlu juga dong dikasih tahu tanggal berapa hari ini.
“Ini tanggal 14 Pak….” Jawab orang-orang di kubikal serempak.
“Lho, kok kamu yang jawab sih?” balas Pak Mergy. Beliau berhenti. Lalu membalikkan badannya kearah orang-orang.
Nah lho. Sekarang semua orang jadi pada bingung.
“Loh, bukannya tadi Bapak yang bertanya?” kata Sekris.
“Iyya, tapi saya hanya bertanya kepada diri sendiri.” Jawab Pak Mergy. “Siapa yang nanya sama kalian?”
“Yaaah,  Bapak. Kalau bertanya sama diri sendiri ya jangan sampai kedengeran sama  orang lain dong Pak….” Goda Opri. “Entar dikira…”
“Maksud kamu, saya udah gila, heh?” mata Pak Mergy melotot.
“Mmh…  b-bukan Pak, bukan…” Opri gugup. “Maksud saya… nanti Bapak dikira orang  lain sedang nungguin tanggal 25….” Katanya. Sekalian ngeles.
“Lho, kok kamu tahu sih….?” Pak Mergy berkata begitu sampai menunjukkan muka bengong.
Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…..
Tiba-tiba  saja semua orang di kubikal menyadari bahwa setiap orang membutuhkan  kebahagiaan dalam bekerja. Dan kebahagiaan itu. Ternyata tidak terletak  pada gaji dan fasilitas material yang kita terima. Karena ternyata.  Kebahagiaan yang sesungguhnya itu kita dapatkan dari apa yang bisa kita  kontribusikan. Ketika kita bisa berkontribusi tinggi. Maka perusahaan  juga menghargai kita tinggi. Mungkin perusahaan nambahin gaji kita,  karena prestasi tinggi kita itu. Mungkin juga gaji kita normal-normal  aja. Tapi apapun itu. Kita tetap saja merasa bahagia sekali. Setiap kali  kita berhasil memberikan kontribusi yang tinggi. Apakah kepada  orang-orang yang berada di kantor kita. Atau kepada perusahaan yang  mempekerjakan kita. Apa lagi jika kita meniatkan semua kontribusi itu  sebagai ibadah ya. Pastinya. Selain bahagia didunia. Kita bisa berharap  untuk juga bahagia di  akhirat. Bukankah kita selalu meminta kepada Tuhan agar bahagia didunia  dan diakhirat? Jika kita rajin berkontribusi. Insya Allah, terlaksana  deh.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DeKa – Dadang Kadarusman – 14 Mei 2012Catatan Kaki:
Bukan  pendapatan atau imbalan yang membuat kita meraih kebahagiaan hakiki.  Melainkan kontribusi yang kita berikan yang meninggikan nilai diri kita.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar