Oleh: Harry "Uncommon" Purnama
"Apakah kebaikan berbanding lurus dengan keburukan? Saya rasa, tidak. Jika, mereka berbanding lurus,
manusia  dan Tuhan tak usah bersusah-payah mengangkat-ngangkat kebaikan [Sorga]  dengan menunjuk NabiNya, beramal setengah mati, berjuang susah-payah  melawan kejahatan dan dosa,  menumpuk amal, dst. Tetap saja yang  dilakukan manusia, pada umumnya buruk adanya, termasuk negeri tetangga  kita, terhadap 3 TKI NTB yang ditembak mati oleh 3 polisi Malaysia  secara brutal, di kepala dan dadanya.
Pengalaman  membuktikan kepada kita semua, kejadian-kejadian yang merugikan  Indonesia, karena ulah Malaysia ini, terus berulang-ulang, tak  putus-putusnya, setiap  tahun, ada saja, seperti secara sistematis. Tetangga yang tak  kooperatif dan tak tahu diri.  
Pelajaran  bagi Indonesia sendiri, rupanya belumlah cukup. Indonesia, masih  dipandang sebagai negara lemah, mudah disepelekan, dan diperlakukan  tidak adil. 
Sejarah  membuktikan, Indonesia tak pernah "galak" seperti Soekarno, sejak  peristiwa "konfrontasi" Indonesia melawan Malay tahun 1962-1966, dengan  kasus dekolonisasi Brunei, Sarawak dan Sabah. Tepatnya setelah Soeharto,  berkuasa di akhir 1965 setelah G30S/PKI. Ketika itu, 3 Mei 1964,  Soekarno memberi perintah "Dwikora" [dwi komando rakyat] dan diikuti  oleh "ganyang Malay" tgl 27 Juli 1964 dan peperangan fisik yang  mengorbankan, paling tidak 2000 nyawa rakyat/tentara Indonesia. Malay,  dibantu Inggris dan temannya, Australia, melalui gurkha dan special air  service.  
Konferensi Bangkok, 28 Mei 1966, mengakhiri  kekerasan fisik Indonesia-Malay. Sejak itu, Malay jadi "berani" ke  Indonesia, sebaliknya Indonesia jadi "takut" ke Malay. Kebijakan "stel  kalemnya" Soehartolah yang membentuk kultur lemah dan penurutnya  Indonesia terhadap Malay.
Tetapi,  pengalaman membuktikan, perang fisik tsb., adalah "emosi-nasionalisme"  yang meledak-ledak yang dibakar oleh "kemarahan harga diri" pemimpinnya.  Perang fisik, tetap bukanlah solusi terbaik dan bukan tindakan yang  bijak.  
Lawanlah Malay dengan 3 kecerdasan
Jika  ingin "membalas keburukan" Malay atas Indonesia yang terus-menerus itu,  kita harus meninggalkan konsep "jahat balas jahat", "mata balas mata",  "nyawa balas nyawa", atau cara-cara fisik 3 kekerasan DOT "dengkul,  otot, dan  tombak."  Lawanlah Malay dengan IQ, EQ dan SQ. Bagaimanakah itu?  Lawanlah Malay dengan damai, janganlah dendam, janganlah sakit hati,  tetapi dengan 3 kecerdasan.
Kecerdasan  intelektual, lawanlah Malay dengan kepandaian. Berjuanglah sangat  keras, agar TKI yang dikirimkan ke Malay "berkualitas" atau jangan  mengirimkan TKI yang bodoh, lalu bisa "diakali" majikannya, diperkosa  atau dibunuh. Janganlah pakai produk Malay yang masuk ke Indonesia,  seperti CIMB Niaga, BII Maybank, XL, Air asia, Petronas, mobil Proton,  Sime Darby [perkebunan besar di Sumatera]. Jadilah bangsa yang cerdas,  agar jangan sampai Malay bisa membeli saham perusahaan di Indonesia dan  berkuasa [meski saat ini ke 7 usaha besar itu memberi lapangan kerja  bagi rakyat Indonesia]. Jadilah seperti Abu Dhabi yang menciptakan alat  penurun hujan di gurun pasir sendiri. Jadilah bangsa mandiri dan kuat.  Atau, perbesarlah brand quality &  image bangsa sendiri, lalu loyallah pada produk dalam negeri sendiri,  bukan ke produk Malay. Misalnya, jika pilih operator, pilihlah telkomsel  atau telkom, jika pakai bank, pilihlah Mandiri, BRI, BNI atau BCA, jika  pakai mobil, pilihlah non-Malay, jika beli bensin pergilah ke  Pertamina, dst. Itu melawan Malay dengan cerdas, bukan membakari  Petronas atau memusnahkan tower XL, misalnya.
  Kecerdasan emosional, lawanlah Malay dengan senjata pertemanan dan  persahabatan sebagai tetangga. Kemarahan emosional yang disalurkan lewat  teguran dan peringatan as teman, lebih masuk, ketimbang mengutuki  mereka sebagai musuh bebuyutan. Sebagai tetangga dekat, kita tentu tidak  mau kedutaan KBRI kita [yang meski payah kinerjanya dalam kaitan dengan  perlindungan 3 TKI NTB yang mati baru-baru ini], dibakar warga Malay,  dan sebaliknya, kita juga tidak mau menjarah dan membakar kedutaan Malay  di Jakarta, seperti zaman  "ganyang Malay." 
Melalui jendela kerjasama  bisnis to bisnislah, Indonesia harus bisa masuk ke wilayah Malay,  membeli saham dan menguasai XL di Malay, Pertamina membeli saham  Petronas, Bank Mandiri atau Astra membeli saham CIMB Niaga, dst. Harus  lebih banyak mahasiswa Malay yang belajar di tanah air, seperti tahun  1970-1980an, jangan sebaliknya.  
Depnakertrans  dan BNP2TKI, harus lebih tegas kalau perlu marah konstruktif dan punya  "taring perkawanan" melawan keangkuhan kerajaan Malay, termasuk  mendorong Malay meratifikasi komitmen perlindungan tenaga kerja via  konvensi PBB tahun 1990 tentang hak buruh, dst dst. Itu bisa dilakukan  jika tetangga mau berteman, bukan bermusuhan.      
Kecerdasan  spiritual, lawanlah Malay dengan senjata keimanan dan kedamaian.  Kebetulan 2 tetangga ini, agamanya dan suku bangsanya  serumpun mirip sama, khas melayu, bercorak mayoritas Islam. Dengan  pendekatan ke-Islam-an, melalui kerjasama MUI dan Majelis Ulama Malay  [mufti di 13 negeri dan 1 wilayah persekutuan], tentu sinergi kerohanian  akan lebih "dingin." Kesejukan hubungan tetangga yang sama  kepercayaannya ini, akan menjamin hubungan bilateral ke 2 negara, lebih  indah, tidak saling menyakiti dan merugikan satu sama lain, justru  menjaga harmonisasi dan rasa keadilan di 2 negeri agamis ini. Itulah  manfaat beragama.    
Salam work & life balance [WLB]
Harry "uncommon" PurnamaMature Leadership Center [MLC]Salam work & life balance [WLB]
Pesona Khayangan DS 4, Depok 16411, Jabar

Tidak ada komentar:
Posting Komentar