Oleh: Dadang Kadarusman
Akhirnya…
Semua  persiapan sudah selesai. Pengeras suara. LCD projector. Sofa. Meja  dengan vas bunga yang cantik. Dan backdrop. Semuanya sudah siap.  Sekarang semua panitia bisa bernafas lega. Sekalipun didalam dada masih  ada deg-degan yang tak bisa hilang.
Para  peserta sudah duduk rapi di kursinya masing-masing. Sepuluh menit lagi,  tamu istimewa itu datang. Pemilik utama perusahaan. Beliau adalah sang  pendiri yang membangun perusahaan ini dari nol. Hingga menjadi group  sebesar seperti saat ini.
Diusianya  yang sudah tidak muda lagi. Beliau senantiasa menyempatkan diri untuk  mengunjungi kantor-kantor. Lalu berdialog dengan para karyawan secara  langsung. Di forum ini siapapun boleh bertanya. Hebatnya lagi. Tidak ada  pertanyaan yang diatur. Disensor. Atau pun dihalang-halangi.
Makanya,  pertanyaan boleh dilontarkan apa adanya. Dan founding father, selalu  dengan senang menjelaskannya. Tubuh beliau sudah tidak sekokoh dulu  lagi. Namun semangat beliau tidak berkurang sama sekali. Itulah yang  dirasakan oleh semua orang yang hadir di town hall meeting itu.
Membayangkan  betapa beratnya ketika beliau memulai bisnis itu 40 tahun yang lalu.  Bukan uang yang menjadi modal utama beliau. Melainkan kegigihan dalam  bekerja. Komitmen dan kerja keras khususnya ketika melewati beberapa  kali krisis ekonomi.
Setiap  kali bertemu dengan beliau. Setiap orang selalu bertanya-tanya didalam  hatinya; “Bisakah saya menjadi orang sukses seperti beliau…..”
Sekarang.  Perusahaan sudah tidak lagi hanya dimiliki oleh keluarga. Karena  sebagian sahamnya sudah diperdagangkan di bursa efek sehingga siapapun  bisa memilikinya. Namun kehadiran founding father selalu memberikan  energy dan motivasi yang tidak ternilai harganya. Meskipun hanya 1 jam  saja. Namun dampaknya membekas sangat dalam. 
Setelah  acara dialog itu selesai, beliau meninggalkan ruangan townhall meeting.  Maklum. Orang penting memiliki agenda-agenda penting. 
Semua orang pun kembali ke kubikalnya masing-masing. Dan ketika mereka tiba di kubikal….. Ternyata di setiap meja sudah disediakan sebuah hadiah istimewa.
Bungkusan  plastik transparan berisi kue coklat berbentuk hati. Dan dibagian atas  kue itu ada dua baris kalimat seperti di ukir. Kalimat di bagian atas  dibuat dari adonan gula berwarna merah berbunyi begini: Bekerjalah dengan sepenuh hati
Sedangkan kalimat yang bawahnya dibuat dengan adonan gula berwarna putih: Karena engkau adalah calon pemimpin masa depan.
Kalau digabungkan. Kedua kalimat itu menjadi begini: 
BEKERJALAH DENGAN SEPENUH HATI
KARENA ENGKAU ADALAH PEMIMPIN MASA DEPAN
Tetapi. Apa iya Natin  punya uang untuk membeli kue coklat mahal sebanyak itu? Bagaimana  mungkin seorang office boy bisa membelikan kue seperti itu untuk semua  orang di kubikal?
Kalau sekedar menulis di whiteboard kan nggak perlu keluar uang. Tapi membeli kue? Nggak mungkin Natin. Ini pasti hadiah dari founding father. 
“Saya  memulai pekerjaan seperti saudara-saudara,” demikian kata beliau di  ruang meeting tadi. “Masih sangat muda sekali.” Lanjutnya. Orang-orang kubikal yang masih muda-muda mendengarkan dengan seksama.
“Saya  berharap, orang-orang muda seperti saudara-saudara ini bisa menjadi  penerus pengelolaan bisnis ini.” Suara beliau terdengar berwibawa.  Sambil sesekali dihentikan oleh jeda yang membuat suasana semakin  hikmad.
“Saya  ingin agar kelak saudara-saudaralah yang menjadi direktur di berbagai  perusahaan kita,” lanjutnya. Serta merta saja ruangan itu dipenuhi oleh  tepuk tangan. Beberapa orang terlihat menarik nafas panjang. Mungkin  mereka mencoba memasukkan semangat itu kedalam dirinya. Beberapa orang  lagi terlihat mengusap air mata.
“Dua puluh  tahun lagi. Mungkin saya sudah tidak bisa hadir bersama saudara.”  Suasana langsung berubah menjadi hening. Beliau jeda sejenak. “Tetapi,  saya berharap, saudara-saudaralah yang kelak akan meneruskan tampuk  kepemimpinan ini.”
Sepertinya  setiap orang sedang menahan nafas. Dengan bisik hati. Dan kata-kata  didalam dirinya masing-masing. Entah apa isi kepala mereka. Tapi satu  hal saja yang pasti: Mereka ingin memenuhi harapan beliau.
“Saya  sudah tidak lagi tertarik untuk memikirkan uang bagi diri saya sendiri.”  Suara berwibawa itu terdengar lagi. Mudah untuk mengatakan kalimat itu  jika sudah memiliki uang bernilai triliunan. “Uang itu mudah untuk di  cari.” Lanjutnya. “Tapi karyawan-karyawan yang hebat tidak selalu mudah  untuk didapat.”
Kali ini.  Semua orang rada tertunduk. Ragu. Apakah kalimat terakhir beliau itu  berupa sindiran. Atau… ada maksud lainnya. Maklum. Bahasa orang kelas  atas tidak selalu langsung bisa dicerna apa maknanya.
“Sebenarnya  mereka itu bukan tidak mampu,” katanya lagi. “ Tapi mereka kurang gigih  dalam bekerja. Sehingga, mereka bisa dikalahkan oleh orang lain yang  lebih rajin. Lebih berdisiplin. Dan lebih bersemangat dalam bekerja.”
 “Saya  senang ketika mendengar Pak Presiden Direktur mengatakan kalau  suadara-saudara semua yang ada di ruangan ini adalah orang-orang  pilihan.” Tambahnya. “Orang-orang yang diseleksi secara ketat. Best of  the best.”
Kalimat  itu langsung mengubah segalanya. Dada semua orang mengembang. Dan.  Tampaknya. Tidak ada seorang pun yang sanggup menyembunyikan fakta jika  hidung mereka sedikit lebih panjang. Bangga disebut sebagai best of the  best oleh boss besar.
“Oleh  karenanya. Meskipun kelak saya tidak sanggup lagi untuk hadir  ditengah-tengah saudara. Saya yakin. Bahwa perusahaan ini. Berada.  Ditangan orang-orang yang tepat.” Mata beliau menatap ke seluruh  ruangan.
“Ini sudah  bukan lagi perusahaan keluarga. Melainkan perusahaan public. Perusahaan  saudara. Perusahaan kita semua. Jadi persiapkanlah diri saudara. Untuk  menjadi pemimpin bagi masa depan perusahaan kita ini.”
Entah  siapa yang memulai. Tiba-tiba saja semua orang bertepuk tangan sambil  berdiri. Bersamaan dengan itu pula. Pak pendiri perusahaan menyampaikan  pesan terakhirnya: “Saya yakin saudara bisa. Jika saudara bekerja dengan  sepenuh hati.” Lalu beliau meninggalkan ruangan pertemuan yang dipenuhi  tepuk tangan riuh rendah itu.
Sekarang semua orang kubikal  terpaku dihadapan kue cokelat berbentuk hati itu. Ada begitu banyak  pesan yang disampaikan oleh Pak Pendiri tadi. Namun kalimat terakhirnya  jelas sekali. “Saya yakin saudara bisa. Jika saudara bekerja dengan  sepenuh hati.” Persis seperti kalimat yang tertulis di kue cokelat  berbentuk hati itu.
Jangan-jangan….
Natin sudah tahu apa yang akan disampaikan oleh beliau….
Semua  orang digoda oleh perasaan yang sama. Membuat mereka penasaran untuk  menanyakan langsung kepadanya. Namun. Sebelum mereka kesampaian  menemukan Natin. Ada sebuah kejadian yang mengejutkan.
Glubrak! Prang! Preng! Prong!
Dari  ruangan Pak Mergy. Orang-orang yang tadinya mau menyerbu Natin ke pantry  langsung berhenti. Lalu berlari kearah lain. Mereka khawatir jika  terjadi sesuatu dengan Pak Mergy.
“Ada apa Pak?” tanya mereka begitu tiba di depan pintu ruang kerjanya. Tampak Pak Mergy sedang termangu disitu.
“Enggh.. anu…” katanya. “Kue hati saya jatuh….” Benar saja. Kue hati jatah Pak Mergy jatuh. Hingga berserakan tidak lagi utuh. 
Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…..
Tiba-tiba saja semua orang di kubikal  menyadari bahwa setiap orang yang hari ini bekerja di posisi yang  biasa-biasa saja. Mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin  masa depan. Sayaratnya. Mereka harus bekerja dengan sepenuh hati. Sebab  jika tidak. Mereka hanya akan menyia-nyiakan potensi dirinya saja.  Sedangkan mereka yang bekerja sepenuh hati. Pasti akan berusaha agar  seluruh kemampuan dirinya didayagunakan. Sehingga tanpa disadari. Mereka  tampil menjadi pribadi yang unggul. Lalu keunggulan itu. Membawa mereka  kepada pencapaian dan posisi-posisi yang lebih tinggi.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman – 2 Mei 2012Catatan Kaki:
Hanya jika bersedia bekerja sepenuh hati. Seseorang bisa mendayagunakan seluruh potensi dirinya. Hingga meraih puncak tertinggi.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar