Senin, 30 Mei 2011

Pandhita Drona ~ Pandihita Durna

Oleh:  Rudi Zamroni

Dalam kitab Mahabharata dikisahkan bahwa Pandita Drona atau Pandhita Durna adalah Pandhita di Sokalima, guru dari Putra - Putra Raja Astina, baik dari fihak Kurawa maupun fihak Pandawa, kesaktiannya dapat disejajarkan dengan Resi Bhisma.
Ada sedikit perbedaan karakter dalam versi Mahabharata India dengan Jawa mengenai Durna, versi India Pandhita Durna digambarkan sebagai tokoh yang dihormati, dalam versi Jawa, Pandhita Durna digambarkan sebagai tokoh yang tidak baik, tinggi hati, banyak bicara namun memiliki kecerdikan, kepandaian serta kesaktian yang luar biasa.
Namun baik versi India maupun Jawa karakter Pandhita Durna tidak merubah alur cerita yang diperankannya.

Sebagai seorang Pandhita atau Guru, adalah seseorang yang sudah seharusnya menjadi panutan.

Seorang guru harusnya menjadi penuntun anak didiknya, dan bahkan menjadi panutan masyarakat untuk bisa menjadi lebih baik.

Contoh penyimpangan Pandhita Durna adalah saat dia mengutus Bima dari Pandawa untuk mencari sumber air kehidupan Perwita Sari ~yang merupakan akal-akalan Durna, dengan tujuan mencelakakan Bima, sebab sumber air tersebut sebenarnya tidak ada~. Dan sebagai seorang murid, Bima melaksanakan tugas yang diberikan oleh gurunya tersebut.
Keserakahan Pandhita Durna menyebabkannya tidak dapat melihat mana yang benar dan mana yang salah, Kurawa lebih banyak memberikan kehormatan jabatan kepadanya sehingga mendapatkan kehidupan yang makmur, antara lahir dan bathinnya tidak terjadi keselarasan menyebabkan harusnya dia tahu bahwa yang pantas dia bela dalam Perang Baratayudha adalah Pandawa, namun karena lebih memilih kebahagiaan dunia yang fana maka akhirnya dia lebih memihak kepada Kurawa.

Dan akhirnya saat perang Baratayudha, Pandhita Durna harus menemui ajal ditangan Drestajumna, senapati dari fihak Pandawa.
----
Dalam kehidupan saat ini, banyak sekali bermunculan generasi baru dari Durna, dimana mereka banyak bermanis muka, bermanis kata, dan bahkan mengumbar kalimat-kalimat dalam kitab suci agar mendapatkan jabatan, harta dan kemulyaan, namun tidak sesuai dengan hati nurani mereka, antara ucapan dan tindakan berbeda, berlaku manis diluar namun busuk didalam.

Apakah kita salah satu diantaranya? kita mulai dari dalam diri kita masing-masing untuk memperbaiki.
RZ.

Selasa, 31 Mei, 2011 22:10 

= = = = = = = = = = =


Diskusi & Opini:


1. Ade Irfan

aya tambah pak Rudi, Pandita Durna dari sejak awal memang terlihat "hanya mengambil untung", terbukti saat dia akan berkelana ke Hastinapura dan menemui sungai yang tidak bisa diseberangi, maka dia mengucapkan sumpah "barangsiapa bisa menyeberangkan saya, maka apapun dia akan saya nikahi", saat itulah ada seekor kuda terbang yang bisa menyeberangkan dia, dan ternyata setelah sampai dia menolak untuk menikahi, setelah kuda terbang tersebut berubah wujud menjadi bidadari barulah si Durna mau menikahi dan akhirnya lahir Aswatama.

Bagaimanapun Guru tetap harus dijadikan panutan, itulah filsafah yang digunakan oleh Pandawa untuk melawan Durna, jadi apapun panah atau senjata yang digunakan oleh Durna itulah yang sama digunakan oleh Arjuna untuk melawan dia, tanpa harus melukai raga atau fisik dari Durna, sehingga Durna tidak akan pernah bisa mati, pasukan Pandawa-pun dilarang menyentuh Durna apabila bertemu di medan laga. Filsafah ini menginspirasi bahwa Guru yang telah memberikan ilmu ke murid harus dihormati, karena dengan ilmu dari guru tersebutlah murid-murid bisa berkembang.

Meninggalnya Durna-pun sebagai akibat sebuah muslihat yang direncanakan oleh Kresna dan dieksekusi oleh Bima, konon Durna sebenarnya bisa memilih sendiri kematiannya, pun sama dengan resi Bhisma Dewabrata. Durna sangat mencintai anaknya yaitu Aswatama, saking cintanya ke Aswatama konon Durna mempunyai ilmu Pisah Raga khusus untuk melindungi anaknya dari bahaya. Filosofi ini mengajarkan bahwa anak adalah penerus keturunan, maka cintai anak merupakan kewajiban dari orang tuanya.

Tipu muslihat tersebut adalah dengan mengabarkan kematian Aswatama, yang sebenarnya Aswatama adalah nama gajah pasukan utama Kurawa, dan akhirnya Durna-pun berserah diri ke Pandawa, dan dipersilahkan ke Pandawa untuk mencabut nyawa Durna, namun Pandawa menolak dan akhirnya yang melakukan eksekusi adalah Senopati Drestajumena. Filosofi ini mengajarkan bahwa menghormati guru adalah keharusan sampai meninggal-pun kenangan kebaikan dan ilmu senantiasa dijalankan.

Konon dalam cerita yang mengangkat jazad dari Durna adalah Arjuna sebagai murid kinasih, dan bukan dari pihak Kurawa.

salam
Ade Irfan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar