Senin, 30 Mei 2011

Dibutuhkan Sejuta Azrul Ananda Baru


Refleksi Hari Olah Raga Nasional (9 September 2010):

Oleh: Ratmaya Urip*)

Azrul Ananda, anak muda ganteng dengan tinggi badan 176 cm dan berat badan 74 kg yang lahir pada 4 Juli 1977, alumnus Ellinwood High School,  Kansas, USA dan  California State University Sacramento, 1999 itu benar-benar telah mengalihkan perhatian saya. Betapa tidak, dalam usianya yang masih sangat muda (33 tahun), telah mengukir prestasi di bidang pembinaan olah raga yang tidak ada duanya, khususnya di cabang olah raga bola basket. Tidak banyak anak muda seusianya yang dapat menyamai prestasinya.

Setiap anak muda, khususnya para pelajar di seluruh Indonesia, pasti tidak asing lagi dengan kiprahnya dalam membina olah raga basket.  Development Basketball League (DBL) Youth Events telah bermetamorfosa menjadi Indonesia’s Biggest Student Basketball Competition, secara cepat dan mencengangkan, di tengah dahaganya talenting atau pembinaan atlit muda di Indonesia. Bayangkan, kompetisi yang dimulai dari tahun 2004, atau tahun yang sama dengan tahun ketika Mark Zuckerberg  memperkenalkan Facebook pertama kali, kompetisi bola basket anak muda itu kini telah menjadi events olah raga yang paling ditunggu-tunggu oleh anak muda Indonesia.

Seperti halnya Facebook, DBL Youth Events dibidani dan diorganisir oleh anak-anak muda, dimulai dari waktu yang bersamaan, dan sama-sama meraih prestasi di bidangnya masing-masing dalam waktu yang singkat dan spektakuler. Hanya kalau Facebook merajai dunia informasi dan komunikasi global, DBL Youth Events merajai dunia olah raga basket tanah air. Keduanya memperoleh apresiasi dan penghargaan, meskipun berbeda level. Facebook di tingkat dunia, sementara DBL di tingkat nasional. Meskipun DBL kini juga mulai berani merambah dunia dengan kerja sama yang dijalin dengan NBA. Saya tidak tahu, apakah kesuksesan DBL diilhami oleh keberhasilan Facebook. Semoga saja tidak. Dengan cakupan penyelenggaraan DBL yang menjangkau 21 kota di 18 provinsi, yang melibatkan lebih dari 1000 tim dan 25.000 partisipan adalah buktinya. Apalagi setelah keberhasilan-keberhasilannya tersebut kemudian mulai tahun 2010 DBL dipercaya untuk melakukan take over atas pelaksanaan kompetisi bola basket profesional Indonesia, Indonesian Basketball League (IBL).

Terlepas dari tangan dingin yang dilakukan oleh  Azrul Ananda, nampaknya peran publikasi atau media adalah kontributor utama kesuksesan acara ini. Tentu saja tanpa mengabaikan profesionalisme individu maupun profesionalisme institusi penyelenggara, serta peran sponsor maupun para partisipan. Gegap gempita pemberitaan media, dalam hal ini Jawa Pos Group yang tersebar di seluruh Indonesia membuat kompetisi ini menjadi semarak, menggairahkan, membanggakan, menjulat keinginan untuk berprestasi dan sexy. Benar-benar exciting and fascinating competition.

Besarnya peran media inilah yang mengusik perhatian saya, mengapa ya, sampai saat ini tidak ada lagi anak-anak muda seperti Azrul Ananda yang kebetulan memiliki modal media Jawa Pos Group untuk mengikuti jejaknya? Seandainya ada sepuluh orang saja anak muda yang memiliki visi yang sama dan yang kebetulan memiliki media yang berpengaruh, apakah itu media cetak atau elektronik mengikuti jejaknya, pastilah ada sepuluh cabang olah raga yang dapat dikembangkan. Apalagi kalau ada sejuta Azrul Ananda baru. Mungkin saja prestasi olah raga kita tidak seburuk saat ini.  Mengapa media nasional lebih disibukkan dengan berita-berita konsumtif di bidang olah raga, sementara yang produktif diabaikan. Banyaknya media yang hanya memberitakan atau melakukan publikasi berita atau tayangan olah raga asing, tanpa diimbangi dengan upaya-upaya yang lebih produktif seperti memfasilitasi bergulirnya kompetisi olah raga nasional, itulah salah satu biang keterpurukan olah raga Indonesia. Jawa Pos Group sudah on the right track, dengan memberikan porsi yang seimbang antara pembinaan olah raga yang bersifat konsumtif dengan yang bersifat produktif, meskipun baru sebatas olah raga bola basket.

Ketika di suatu kesempatan coba saya tanyakan kepada Azrul Ananda, mengapa tidak memperluas cakupan pembinaan ke cabang olah raga lain? Selalu dijawab, hanya ingin membina bola basket saja, supaya fokus. Tokh, cabang olah raga lain sudah ada pembinanya masing-masing. Namun menurut saya, pola pembinaan seperti yang dilakukan Azrul Ananda, akan sangat tepat jika juga diaplikasikan ke cabang olah raga lain. Menurut saya, paling tidak ada 1 (satu) lagi cabang olah raga individual, bukan olah raga beregu yang masih dapat dibinanya tanpa kehilangan fokus. Apakah itu cabang olah raga renang, atletik, tinju atau lainnya. Cabang olah raga yang disebut terakhir ini memiliki kemungkinan berprestasi yang lebih baik di level regional maupun global. Alasan supaya fokus menurut saya kurang relevan jika dikaitkan dengan rendahnya prestasi olah raga kita saat ini. Tambahan satu cabang olah raga untuk dibina oleh Azrul Ananda, khususnya cabang olah raga yang lebih berpotensi untuk mendulang medali emas di tingkat regional dan global, saya kira masih dapat dilakukan oleh seorang Azrul Ananda. Apalagi jika lebih dari satu cabang olah raga. Karena sampai saat ini saya belum melihat adanya Azrul Ananda baru. Padahal untuk mendongkrak prestasi olah raga nasional masih diperlukan sejuta Azrul Ananda baru. Ini adalah langkah terobosan (bukan jalan pintas) bagi Azrul Ananda untuk mendunia seperti Mark Zuckerberg dengan Facebook-nya.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa selama ini pembinaan olah raga nasional selalu melibatkan pemerintah secara langsung maupun tidak langsung, dengan berjubelnya para birokrat, baik yang masih aktif apalagi yang sudah pensiun dalam pembinaan olah raga nasional. Peran birokrat yang berlebihan akan kontra produktif, karena mereka sulit untuk fokus, ditengah upayanya untuk melayani dan menyejahterakan masyarakat di bidang lainnya. Karena tugas dan kewajiban mereka sudah sangat banyak. Namun di sisi yang lain, penguasaan dana yang masih bersumber dari anggaran belanja negara dan anggaran belanja daerah tentu saja tidak dapat mengabaikan peran birokrat, khususnya dalam kelancaran pendanaan.

Maka saya menjadi lebih terkagum-kagum lagi, setelah mengamati bahwa DBL diorganisir secara profesional oleh pihak swasta, dengan meminimumkan peran birokrat (baca: pemerintah) dalam pelaksanaannya. Apalagi pola pembinaan yang selama ini melibatkan sponsor dari produsen rokok atau minuman beralkohol amat sangat ditentang oleh Azrul Ananda. Menurutnya, ke depan peran sponsor dari industri rokok atau minuman beralkohol pasti akan berkurang karena ketatnya regulasi dan isu lingkungan. Hal tersebut sudah dirasakan di tingkat global, sementara di level nasional belum banyak yang menyadarinya. Apalagi olah raga seharusnya tidak boleh dikonotasikan dengan produk-produk yang bertentangan dengan kesehatan, karena kesehatan adalah modal dalam pencapaian prestasi tinggi di bidang olah raga.

Saya punya mimpi, seorang Azrul Ananda suatu saat nanti akan dinobatkan sebagai pembina olah raga terbaik tingkat nasional atau bahkan tingkat global, asal berani melakukan gebrakan-gebrakan pembinaan olah raga tidak hanya bola basket, dan berani meninggalkan alasan “supaya fokus”. Infrastruktur dan modal untuk itu sudah ada, tinggal keberaniannya saja.

Mengurai benang kusut keterpurukan prestasi olah raga nasional memang tidak mudah. Memerlukan waktu, dana, profesionalisme, dan tingkat fokus yang lebih tinggi, yang lebih besar daripada yang ada sekarang. Namun satu contoh pola pembinaan sudah nyata diaplikasikan dalam DBL dan cukup berhasil. Salah satu benih prestasi sedang ditebar, marilah kita tunggu panennya.

ooOoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar