Senin, 30 Mei 2011

Cara hidup seniman

 Oleh: Harry "Uncommon" Purnama

Tak bisa kita mengerti cara hidup seniman, jika kita bukan seniman, termasuk saya.
Mulanya adalah kunjungan saya bersama teman ke makam WS Rendra, sastrawan besar dan mbah Surip, penyanyi jalanan kondang mendadak, di pemakaman keluarga WS Rendra, Cipayung Depok, 24 Mei 2011 lalu.

Pertama,
WS Rendra dkk termasuk Iwan Fals, punya nama besar ketika mulai melawan Rezim Soeharto. Kita semua tahu itu, bukan? Kini ia telah tiada. .Menuju rumah WS Rendra,  ternyata susah payah, jalanan kecil, banyak lubang dan macet karena banyak angkot warna biru khas kota Depok. Pilihan meminggirkan diri ini [ke pinggiran kota Depok] saja sudah menunjukkan cara hidup yang berbeda dari rata-rata manusia perkotaan pada umumnya.  Ternyata, rumah WS Rendra memang jauh di kampung daerah pinggiran Depok seluas kurang lebih 4 ha yang sudah nampak tak terawat dan sepi angin.
Tak ada kegiatan yang besar dan riuh, hanya sepi, meski suasana pedesaannya terasa teduh sekali. Memang nikmat berada di tengah tanaman hutan dan kebun besarnya. Bagaimana mungkin nama besar itu tak menunjukkan kelayakan hidup sewajarnya di kompleks ini. Pondok padepokan nampak tak beraturan tak terawat, halaman kotor, rumput tinggi, bangunan menua dan sudah kusam, Teman saya nyeletuk, "kok tidak ada bekas ada mobil disini!!! Mereka naik apa ke kota?" Benar saja, tak lama setelah itu, ada istri "Bapak" [ini panggilan murid kepada WS Rendra], yang datang naik ojek dengan 2 lelaki seniman lainnya. Dari penuturan salah satu murid yang tinggal di kompleks padepokan ini, kenyataan bahwa padepokan ini tak memiliki dana tetap, tak memiliki cukup dana, tak memiliki sponsor tetap, semua harus dicari sendiri. Karena semuanya serba tak pasti itulah, akhirnya mereka tak memiliki dana untuk merawat aset yang besar itu. Mereka sedang berjuang mendapatkan dukungan dana dan tenaga, agar bisa merawat aset-aset besar itu. Pada bulan Agustus mendatang, mereka merencanakan pementasan di TIM dan sekaligus menggalang dana operasional padepokan. Semoga mereka mendapatkan response positif dari penggemar "Bapak."

Kedua,
Memandangi makam WS Renda saja saya sudah terkejut lagi, Hanya seonggok pemakaman sederhana 2x1 meter, dipinggirnya dikelilingi batu bata telanjang, diatasnya hanya rumput dan dibagian kaki ada 1 batu bulat kecil dan nisannya hanya sepenggal kayu tua dengan tulisan cat [bukan ukir] WS Rendra begitu juga makam mbah Surip. Sama saja. Sangat sederhana. "Kematian memang sederhana, setelah kematian itu sendiri yang tidak sederhana.." batin saya. Sang muridpun bilang: "nanti jika ada dana, kayu nisan itu akan diganti..!" Kesimpulan spontan ketika itu, hmmm...mereka sedang butuh dana untuk merawat batu nisan WS Rendra. Benar, di dekat makam utama itu, ada beberapa makam murid Rendra yang tak terawat lagi, rumputnya tinggi-tinggi dan  tak bersih rapi [yang saya ingat ada nisan Arie Mogot dan Inisisri eks drummer top Kantata Takwa]. Mereka tak punya cukup tenaga dan dana untuk merawat makam, apalagi kompleks padepokan yang seluas itu, 4 ha.

Lesson learnt
Pada akhirnya, saya merenung dan harus berterima kasih kepada WS Rendra dan mbah Surip yang telah membagikan pelajaran hidup "berbeda" sebagai seniman.

1. Seniman memang seniman. Cara hidupnya berbeda dari kebanyakan. Itu pilihan.
2. Seniman besar ini mati, meninggalkan hanya nama besar, kontribusi besar, bukan dana besar.
3. Kematian itu sama dengan selesai, sama dengan sederhana adanya. Tak ada lagi hidup yang complicated dan kepura-puraan. Hitam dan putih saja.


Stay hungry, stay foolish

Harry "uncommon" Purnama

Kamis, 26 Mei, 2011 21:29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar