Senin, 23 Mei 2011

Institutional Leadership & Followership

Oleh: Ratmaya Urip*)


Prolog:

Dalam beberapa pekan kemarin di milis ini (milis: The Manager) banyak dikupas dan dibahas masalah leadership, namun lebih menekankan pada issue personal  leadership atau individual leadership. Ada 2 (dua) issues leadership lain yang kebetulan luput dari diskusi, yaitu tentang institutional leadership dan role  leadership atau functional leadership.  Meskipun dalam era business running unusual (bukan lagi business running as usual) ini semuanya, baik personal leadership maupun institutional leadership memerlukan kepiawaian melakukan transformational leadership dan visionary leadership, jika strong & effective leadership ingin digenggam. Tidak boleh lagi ada sontoloyo leadership. Penguatan kelembagaan perlu didukung oleh personal leadership maupun institutional leadership (di samping role leadership). Supaya balance.

Berangkat dari definisi secara generik, bahwa leadership adalah: “kemampuan (baik personal maupun institutional) dalam memanfaatkan seluruh sumberdaya (termasuk ruang dan waktu) untuk tercapainya visi, misi, strategi, serta goal & objective” dari pribadi maupun institusi, maka kita wajib lebih jeli dalam melakukan cascading atau deployment. Hal ini karena kemampuan di sini adalah mencakup kemampuan dalam 3 dimensi, yaitu: ability atau hard skill (skill & knowledge), moral (attitude & behavior), serta arts atau lebih dikenal sebagai soft skill (creativity, adabtability, acceptability,  flexibility, consistency, durability/endurance). Dengan kata lain strong leadership akan lebih dapat diperoleh jika memiliki ketiga kemampuan tersebut. Baik itu “personal  leadership” maupun “institutional leadership”.

Ketika kita dahulu masih bicara tentang Human Resource Management atau mungkin masih ada yang dalam era sebelumnya yaitu Personnel Management, kita sering dicekoki dengan 2 (dua) dimensi, yaitu ability (skill & knowledge) dan moral (attitude & behavior), sementara di era business running unusual ini, itu saja tidak cukup, sehingga soft skill atau arts to manage people/organization, juga diperlukan. Maka kemudian berevolusi menjadi Human Capital Management, setelah ditambahkan tacit management, knowledge management dan talent management serta followership (kepengikutan). Yang terakhir ini, yaitu followership mengapa juga diikutsertakan? Ya, karena orang selalu hanya membahas leadership saja! Padahal di dunia ini seharusnya balance, yang saling melengkapi/komplementer. Seperti halnya ada siang ada malam, ada pria, ada wanita, ada baik ada buruk dan sebagainya. Juga dalam organisasi, jumlah pemimpin (leader) itu jauh lebih sedikit daripada jumlah pengikut (follower). Dari seorang leader, tidak hanya dituntut strong & effective  leadership namun ada sisi-sisi strong & effective followership meskipun kadarnya tidak perlu besar. Middle manager wajib memiliki kedua-duanya, sedangkan front-liner lebih banyak followership daripada leadership-nya. Karena esensi followership adalah kemampuan untuk menerjemahkan atau mengoperasionalkan atau membumikan kebijakan yang datang dari level yang ada di atasnya. Di Indonesia followership merupakan barang langka, sehingga beginilah jadinya, tidak pernah beranjak dari keterpurukan, karena semuanya ingin jadi leader, tidak ada yang mau jadi follower, maka yang muncul adalah sontoloyo leadership. Padahal hakekat institutional leadership mencakup followership juga. Calon Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota dalam kampanyenya boleh saja menyampaikan visi-misinya, atau memiliki strong & effective leadership, namun harus jeli, bisakah aparat birokrasi nantinya dapat membumikan visi dan misi tersebut, atau apakah aparat birokrasi memiliki followership yang kuat dan efektif, supaya jika terpilih nanti tidak terjadi distorsi atau deviasi karena ketidakmampuan aparat birokrasi menyusun action plans (termasuk resources dan time frame) dalam pencapaian goal & objective-nya? Jika followership dari aparat birokrasi kuat dan effective maka akan menghemat sumber daya,  ruang dan waktu, serta goal & objective-nya lebih mudah atau dapat dicapai tanpa distorsi atau deviasi yang berarti. Buktinya, penyerapan APBN atau APBD sebagai stimulus pembangunan sangat mengecewakan. Baru setelah masa APBN dan APBD akan berakhir dilakukan berbagai cara agar “seolah” semuanya dapat dicapai, atau “dicapai-capaikan”. Tengok pula, betapa banyaknya Gubernur dan Bupati/Walikota yang tersandung masalah hukum, yang kemungkinan karena followership dari bawahannya lemah. Kalau follower-nya kuat dan efektif pastilah aparat di bawahnya dapat mengingatkan sebelumnya supaya tidak tersandung masalah hukum, mengingat Gubernur atau Bupati/Walikota itu sebelumnya mungkin tidak dibekali dengan kemampuan manajerial yang cukup. Kemampuan manajerial yang dimaksud di sini tentu saja kemapuan yang meliputi 3 dimensi yang disebutkan di awal tulisan ini. Ingat, bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota biasanya hanya berbekal Visi,Misi dan kharisma saja (atau bermodal uang?). Sementara yang mengoperasionalkan atau membumikan adalah aparat di bawahnya.

Kebetulan dalam minggu ini ada event yang sangat menarik di Surabaya, yaitu masalah rekomendasi impeachment atau pemakzulan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, oleh DPRD Surabaya. Kenapa ini saya angkat? Ya, karena ada fenomena strong & effective leadership dalam perspektf institutional, bukan lagi sekedar perspektif personal leadership, dalam pencapaian visi, misi, strategi, serta goal & objective.

Institutional Leadership
Dalam diskusi di milis ini sepanjang tiga pekan terakhir ini kita dihadapkan pada persoalan leaderhip, namun semuanya dalam dimensi leadership pribadi atau perorangan.
Seperti dalam ilmu manajemen lain kita juga mengenal Performance Management, yang konotasinya lebih ke arah personal, yang bermuara pada performance appraisal secara individual, jika itu dikaitkan dengan Human Resource Management. Namun Performance Management, akan memiliki pengertian institutional, jika ditinjau dari Strategic Management, karena Performance Management di sini adalah Institutional Performance, atau kinerja institusi. Kinerja dimaksud, dapat saja hanya berupa kinerja dengan perspektif keuangan semata (ROI, ROA, Profit, Revenue, dll), atau kinerja  yang standarnya dapat menggunakan Balanced Scorecard, ISO Series, MBNQA, Six Sigma, dll.

Dalam sidang paripurna DPRD Surabaya direkomendasikan tentang pemakzulan Walikota oleh 6 dari 7 fraksi yang ada, hanya karena masalah Perwali Reklame. Hanya 1 fraksi yang menolak pemakzulan. Anehnya fraksi yang dulu menjadi lokomotif pemenangan walikota malah yang paling getol menurunkan walikota. Padahal 6 bulan sebelumnya masih bahu membahu memenangkan pemilihan. Sementara fraksi yang dalam pemilihan walikota dulu menjadi lawan malah menolak impeachment. Itulah politik. (Maaf, saya mengambil contoh ini karena lebih mudah dan gamblang untuk memahaminya, di samping itu juga karena geli dan merasa lucu melihat dagelan politik tersebut, meskipun contoh lain yang dapat diambil dari business or other public entity juga banyak).

Tapi impeachment yang sempat memanaskan Surabaya dan membuat kebakaran jenggot sejumlah pengurus tingkat pusat dari partai-partai yang terlibat, yang mungkin merupakan satu-satunya impeachment yang ada di Indonesia untuk tingkat Kabupaten/Kota ini, akhirnya kandas karena adanya strong/effective institutional leadership. Mengapa demikian?

Fraksi-fraksi di DPRD Surabaya yang merupakan perpanjangan tangan partai-partai politik di Surabaya tersebut  (setingkat Dewan Pimpinan Cabang/DPC), tidak berkutik,  ketika pimpinan di tingkat yang lebih tinggi dari masing-masing partai, yaitu DPD (tingkat Provinsi) dan DPP (tingkat Nasional) akhirnya turun tangan, setelah sempat kebakaran jenggot, kenapa garis partai tidak dapat di-follow oleh follower-nya di tingkat cabang. (Note: saya lebih suka mengatakan followership-nya lemah). Peran kepemimpinan DPD dan DPP yang dapat memanfaatkan resources berupa institusi di tingkat Cabang untuk memaksimalkan pencapaian visi, misi, strategi, serta  goal & objective mereka, amat sangat menonjol dan kuat. Sehingga akhirnya rekomendasi impeachment atau pemakzulan banyak yang mencabutnya.. Drama politik yang tidak ada manfaatnya sama sekali untuk kepentingan rakyat yang lebih luas berakhir secara dramatis dan memalukan.

Bagaimana jika institusi di tingkat yang lebih tinggi tidak memiliki kemampuan kepemimpinan secara institusional yang kuat? Pengalaman di masa lalu, sering terjadi pembelotan, sehingga akhirnya muncul pengurus-pengurus tandingan, yang melahirkan partai-partai baru. Karena semua orang maunya jadi pemimpin, tidak mau jadi pengikut Contohnya sangat banyak di Indonesia.

Followership (Kepengikutan)
Dari kaca mata followership atau lebih tepatnya institutional followership, apa yang telah terjadi di Surabaya tersebut, seharusnya tidak perlu terjadi jika di tingkat cabang atau DPC memiliki strong & effective  followership, artinya memiliki kemampuan melakukan cascading atau deployment atau mengoperasionalkan atau membumikan garis-garis kebijakan yang telah dirumuskan oleh pimpinan yang ada di atasnya. Ingat followership bukan hanya menyangkut aspek how far the follower could follow, respect, trust, like, and support  the ideas and objective of the leader. But also ability in deep of follower to cascade, deploy, plan, operate, control, report, and evaluate the results of achievement of the vision, mission, strategy, goal & objective of the organization.

Menurut saya, makna followership yang masih berkutat hanya pada teori-teori Five reasons to follow, yaitu tentang relasi antara leader-follower yang berkaitan dengan follow, respect, trust, liking, support, dan ideas, tidaklah cukup. Meskipun ditambah dengan teori-teori tentang exemplary, alienation, conformist, pragmatist, passive (Kelly’s Model, 1992). Karena dalam prakteknya di Indonesia sering terjadi distorsi atau deviasi yang sangat lebar, seperti dicontohkan di atas. Teori dan praktek harus balance. Karena teori tanpa praktek itu omong kosong, sementara praktek tanpa teori itu ngawur.
Bagaimana itu jika diterapkan di ranah bisnis atau ranah publik lainnya? Marilah kita diskusikan!

Salam Manajemen
Ratmaya Urip
Minggu, 6 Februari, 2011 04:01
= = = = = = = = = = = = = = = = =
Note: *) penulis adalah fungsionaris Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia) dan Quality Network Club – Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar