Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Ketika  seseorang tengah berjuang untuk mendapatkan nafkahnya, kita  biasa  menyebutnya ‘sedang mencari penghidupan’. Sedangkan ketika  seseorang  memberi nilai kepada dunia dengan apa yang bisa dilakukannya,  maka kita  menyebutnya; ‘berkontribusi kepada kehidupan’. Hal ini  menunjukkan bahwa  meskipun mirip, namun antara ‘penghidupan’ dan  ‘kehidupan’ itu terdapat  perbedaan yang signifikan. Albert Schweitzer  menggambarkannya dalam  sebuah kalimat yang indah; “We make a living by  what we get, but we make  a life by what we give”. Kita memperoleh  penghidupan dengan apa yang  kita dapatkan, namun kita membangun  kehidupan dengan apa yang kita  berikan. Dalam nasihat itu ada sebuah  isyarat untuk terus gigih berusaha  agar mendapatkan nafkah yang layak.  Namun pada saat yang sama, kita  diingatkan  untuk berkontribusi kepada  orang lain. Mengapa? Karena nilai hidup kita  tidak semata-mata  ditentukan oleh pendapatan kita, melainkan oleh  kontribusi kita.
Mana  yang harus didahulukan; penghidupan ataukah kehidupan?  Idealnya,  keduanya bisa berjalan saling beriringan. Namun, hal itu  bukan soal yang  mudah. Kebutuhan nafkah sering menempatkan saya pada  situasi dimana  ‘mendapatkan’ sesuatu harus menjadi prioritas sehingga  ‘memberikan’  sesuatu sering terabaikan. Awalnya saya percaya bahwa  ‘nanti kalau saya  sudah sukses’ maka saya akan bisa ‘memberi atau  melakukan sesuatu’ untuk  orang lain. Namun, kenyataannya saya tidak  pernah sampai kepada titik  yang bernama ‘nanti’ itu. Hal itu  berlangsung terus sampai saya  menemukan bahwa kita bisa berkontribusi  melalui hal-hal yang paling  sederhana. Bagi Anda yang tertarik menemani  saya belajar berkontribusi  melalui hal-hal sederhana seperti yang saya  maksud; saya ajak untuk  memulainya dengan  mempraktekkan 5 pemahaman  Natural Intelligence berikut ini:
1.      Berkontribusi tidak selalu berupa materi. 
Selama masih mengira bahwa berkontribusi harus selalu dengan materi   maka seseorang akan selalu dihadapkan kepada perbenturan antara   kebutuhan keluarganya dengan ‘panggilan hati’. Oleh sebab itu, wacana   kontribusi sering menjadi seperti hak istimewa orang-orang yang memiliki   kelapangan harta. Jika untuk memenuhi keperluan biaya sekolah anak  saya  saja masih harus pusing tujuh keliling, bagaimana saya bisa  melakukan  sesuatu bagi orang lain? Untungnya, guru kehidupan saya   mengingatkan bahwa memberi tidak harus selalu berupa materi. “Jika   Engkau punya tenaga, maka tenagamu adalah sumberdaya utama dalam   berkontribusi,” begitu nasihatnya. Mungkin dengan waktu, atau ilmu yang   Engkau miliki. Mungkin dengan sekedar sebuah kalimat penyemangat. Atau,   bahkan sekedar dengan senyum yang menyenangkan hati orang-orang yang   melihatmu. Ada banyak cara untuk berkontribusi. Dan semuanya itu, tidak   harus berupa materi.
2.      Menemukan misi hidup. 
Kita sering melihat orang-orang yang tanpa lelah terus  berkontribusi  kepada kehidupan orang lain. Sekalipun untuk itu mereka  harus berbagi  energy dan usaha. Bahkan disaat hidupnya sendiri sedang  ‘tidak terlampau  indah’, mereka terus gigih untuk membuat hidupnya  berarti. Mengapa  begitu? Seseorang mengajarkan sebuah jawaban yang  membuat hati saya  terpana. “Misi hidup,” katanya. Yakinlah bahwa  kehadiran kita di muka  bumi bukanlah tanpa misi. Sayangnya, kita sering  lupa atas misi yang  kita  emban itu sehingga kita terlena dalam jibaku  perjuangan mempertahankan  hidup. Akhirnya kita tenggelam dalam  kesibukan mencari penghidupan.  Suatu hari, seseorang bertanya kepada  saya “Apa misi hidupmu Nak?” Saya  tidak dapat menjawabnya. “Temukan itu  didalam hatimu,” katanya. “Tanpa  itu, Engkau tidak akan pernah menjadi  rahmatan lil’alamin”
3.      Hidup bukan sekedar soal duniawi. 
Kita sudah sejak lama percaya akan adanya kehidupan setelah  kematian.  Jika hal itu benar, maka setiap tindakan kita selama hidup di  dunia  menjadi patokan seberapa baiknya kualitas kehidupan kita dialam  setelah  kematian. Semakin banyak kontribusi yang kita berikan semasa  hidup,  semakin baik pula apa yang bisa kita dapatkan di dunia baru yang  kelak  akan kita huni. Jika kontribusi kita hanya sedikit, barangkali  hanya  sedikit juga apa yang akan kita dapat. Lantas, bagaimana jadinya   kehidupan kita nanti jika kita tidak berkontribusi sama sekali?   Pantaslah jika guru kehidupan saya selalu mengingatkan   bahwa;”sebaik-baiknya manusia adalah dia yang paling banyak memberi   manfaat bagi orang lain.” Beliau mengingatkan agar tidak terlalu sering   terjebak untuk mengurusi kepentingan-kepentingan pribadi semata.  Apalagi  sampai terjebak dalam ego yang menutupi hati sehingga sangat  sulit  untuk dimasuki panggilan-panggilan suci. Padalah, hidup bukan  sekedar  soal duniawi.
4.      Bertemanlah dengan orang-orang yang positif. 
Hidup adalah pertanda masih adanya energy didalam diri kita.  Sedangkan  energy didalam setiap individu merupakan perpaduan antara  energy positif  dan energy negatif. Maka wajar jika bentuk aliran energy  didalam diri  kita sangat dipengaruhi oleh bentuk energy yang ada di  sekitar kita.  Sangat sulit untuk menjadi positif jika kita dikelilingi  oleh  orang-orang yang bersikap negatif, misalnya. Atau sebaliknya, saat   berinteraksi dengan orang-orang yang bersikap dan bertindak  secara  positif, kita jadi lebih mudah untuk melakukan hal-hal yang  positif.  Hal itu pasti terjadi baik secara terpaksa maupun sukarela. Di   lingkungan orang-orang positif kita akan ikut ‘terbawa arus’ positif.   Jadi jika ingin ‘merasa ringan hati’ saat melakukan hal-hal yang   positif, maka sebaiknya kita memperbanyak teman yang bersikap positif.
5.      Memberi ruang kepada orang-orang yang berkontribusi. 
Meskipun  kita percaya bahwa cara untuk berkontribusi itu begitu  banyaknya,  tetapi tidak berarti kita bisa ikut berkontribusi. Boleh  jadi karena  kondisi tidak memungkinkan. Atau mungkin karena kita tidak  ingin  berkontribusi saja. Bagaimana pun juga kita adalah tuan bagi  kehidupan  kita sendiri sehingga kita berhak untuk menentukan apapun  yang ‘kita  lakukan’ atau ‘tidak kita lakukan’. Namun, kebebasan itu  juga berarti  bahwa kita tidak memiliki hak untuk  menghalangi orang  lain yang hendak berkontribusi untuk kehidupan dunia  yang lebih baik.  Artinya, bersamaan dengan kewenangan kita untuk  menentukan pilihan  hidup kita sendiri terselip sebuah kewajiban untuk  menghargai aspirasi  orang lain untuk berkontribusi. Maka sudah  sepatutnya kita memberi  ruang kepada orang-orang yang berkontribusi,  bukan? Sebentar dulu. Jika  Anda memberi ruang kepada orang-orang yang  hendak berkontribusi; maka  sesungguhnya Anda pun sudah berkontribusi  lho.
Jika kita  masih percaya akan keberadaan sisi baik dan sisi buruk  dalam diri kita,  maka kita pasti percaya bahwa kita bisa berkontribusi  untuk menebarkan  nilai-nilai kebaikan yang kita miliki. Untuk  memulainya, kita bisa  bertanya kepada diri sendiri; nilai-nilai  kebaikan apa yang bisa saya  kontribusikan hari ini?
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman  - 12 Juli 2011
Master Trainer & Natural Intelligence Inventor
Catatan Kaki:
Banyak  orang bersedekah karena percaya bahwa harta mereka akan  bertambah banyak  seiring dengan semakin banyaknya sedekah yang mereka  berikan. Agar  semakin bersemangat untuk berbagi kebaikan dengan orang  lain, mungkin  kita juga harus belajar percaya bahwa kebaikan didalam  diri kita akan  bertambah seiring dengan bertambahnya kebaikan yang kita  tebarkan.
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar