(Memperingati Haul Agung Sunan Ampel ke 562 tanggal 22-24 Juli 2011)
PRABU  Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau  memikirkan pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal Prabu  Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal cerita  pahit.
Perang saudara berkecamuk di mana-mana.  Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi ''kesibukan''  harian kaum bangsawan --pun rakyat kebanyakan. Melihat beban berat  suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk. ''Saya punya keponakan  yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti,'' kata permaisuri yang  juga putri Raja Campa itu.
''Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,'' Darawati menambahkan.
Tanpa  berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali  Rahmatullah ke Campa --kini wilayah Kamboja. Ali Rahmatullah inilah yang  kelak lebih dikenal sebagai Sunan Ampel.
Cucu Raja Campa itu adalah putra kedua pasangan Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Dewi Candrawulan.
Ayahnya,  Syekh Ibrahim, adalah seorang ulama asal Samarkand, Asia Tengah.  Kawasan ini melahirkan beberapa ulama besar, antara lain perawi hadis  Imam Bukhari.
Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Campa. Ia  kemudian diangkat sebagai menantu. Sejumlah sumber sejarah mencatat  silsilah Ibrahim dan Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad lewat  jalur Imam Husein bin Ali.
Tarikh Auliya karya KH  Bisri Mustofa mencantumkan nama Rahmatullah sebagai keturunan Nabi  ke-23. Ia diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika berada di  Palembang, pada 1440, sebuah sumber sejarah menyebutnya berusia 20  tahun. Soalnya, para sejarawan lebih banyak mendiskusikan tahun  kedatangan Rahmatullah di Pulau Jawa.
Petualang  Portugis, Tome Pires, menduga kedatangan itu pada 1443. Hikayat  Hasanuddin memperkirakannya pada sebelum 1446 --tahun kejatuhan Campa ke  tangan Vietnam.
De Hollander menulis, sebelum ke Jawa,  Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada Raja Palembang, Arya Damar, pada  1440. Perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat.
Dalam  lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayid Ali  Murtadho), dan sahabatnya (Abu Hurairah). Rombongan mendarat di kota  bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai Syekh  Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih terpelihara di Desa Gesikharjo,  Palang, Tuban.
Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke  Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap Kertawijaya. Di sana,  Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para  bangsawan dan kawula Majapahit.
Sebagai hadiah, ia diberi  tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan untuk  dididik dan mendirikan permukiman di Ampel. Meski raja menolak masuk  Islam, Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga  Majapahit, asal tanpa paksaan.
Selama tinggal di  Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri  Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban. Sejak itu, gelar pangeran dan raden  melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan sebagai keluarga  keraton Majapahit. Ia pun makin disegani masyarakat.
Pada hari  yang ditentukan, berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari  Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang  Kuning.
Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus melakukan  dakwah. Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada  penduduk. Mereka cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat.
Pengikutnya  pun bertambah banyak. Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun  langgar (musala) sederhana di Kembang Kuning, delapan kilometer dari  Ampel. Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai  sekarang --dan diberi nama Masjid Rahmat.
Setibanya  di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid sebagai  pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti  model Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep  biara yang sudah dikenal masyarakat Jawa.
Raden  Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan  akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata  ''salat'' diganti dengan ''sembahyang'' (asalnya: sembah dan hyang).  Tempat ibadah tidak dinamai musala, tapi ''langgar'', mirip kata  sanggar.
Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari shastri  --orang yang tahu buku suci agama Hindu. Siapa pun, bangsawan atau  rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat.
Meski  menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut  mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa saja. Dengan cara  pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan luas.
Dari  sinilah sebutan ''Sunan Ampel'' mulai populer. Ajarannya yang terkenal  adalah falsafah ''Moh Limo''. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela.
Yakni  moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling  (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau mengisap candu), dan moh madon  (tidak mau berzina).
Falsafah ini sejalan dengan  problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya. Sunan  Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan  santrinya, ada yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka.
Dari  perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, menurut satu versi, Sunan Ampel  dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu Sunan  Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim).
Seorang  putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak  menjadi sultan pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai  Karimah, ia nikahkan dengan dua muridnya yang juga wali. Yakni Dewi  Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang dinikahkan  dengan Sunan Kalijaga.
Sunan Ampel biasa berbeda  pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang juga para wali. Dalam hal  menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga.
Sunan  Kalijaga pernah menawarkan untuk mengislamkan adat sesaji, selamatan,  wayang, dan gamelan. Sunan Ampel menolak halus. ''Apakah tidak khawatir  kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?'' kata Sunan Ampel.  ''Nanti bisa bid'ah, dan Islam tak murni lagi.''
Pandangan  Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus  dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. Sunan Kudus membuat dua  kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama sekali tidak.
Ini  mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa dijadikan  sumber hukum Islam atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu tidak  mengganggu silaturahmi antarpara wali.
Sunan Ampel  memang dikenal bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena itu,  sepeninggal Maulana Malik Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali  Songo dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa.
Menurut  satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan Wali  Songo, sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut  politik Majapahit.
Namun, mengenai tanggal  wafatnya, tak ada bukti sejarah yang pasti. Sumber-sumber tradisional  memberi titimangsa yang berbeda. Babad Gresik menyebutkan tahun 1481,  dengan candrasengkala ''Ngulama Ampel Seda Masjid''. Cerita tutur  menyebutkan, beliau wafat saat sujud di masjid.
Serat Kanda  edisi Brandes menyatakan tahun 1406. Sumber lain menunjuk tahun 1478,  setahun setelah berdirinya Masjid Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat  Masjid Ampel, di areal seluas 1.000 meter persegi, bersama ratusan  santrinya.
Kompleks makam tersebut dikelilingi tembok besar  setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel bersama istri dan lima kerabatnya  dipagari baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64 meter  persegi.
Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi  pasir putih. Setiap hari, penziarah ke makam Sunan Ampel rata-rata  diatas 1.000 orang, dari berbagai pelosok Tanah Air.
~Zach~
*dari berbagai sumber.
Rabu, 20 Juli, 2011 22:16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar