Minggu, 24 Juli 2011

Pagar-pagar

 Oleh:  Ietje  Sri Umiyati Guntur

Dear Allz….

Lagi ngapain ? Sedang apa..sedang apa…sedang apa sekarang ? Sekarang sedang apa…sedang apa sekarang…? * sambil nyanyi-nyanyi…hehehe…*…Iseng bangett, yaaa….

Iya nih…saya sedang agak iseng…sedang mengisi waktu luang di antara waktu-waktu yang bergulir cepat dengan segala pernak-perniknya…Semoga teman dan sahabatku semua juga sedang mengisi waktu, menyeimbangkan antara target dan relaksasi…menciptakan keisengan di tengah keseriusan…agar hidup kita agak berbunga sedikit…

Eeehh…tapi kalau iseng-iseng juga mesti ingat, ya…ada koridor…ada pagar yang tidak boleh dilompati. Kalau sekedar intip-intip…bergelantungan…bolehlah…tapi jangan iseng melompat pagar, kalau tidak mau kena resikonya.

Naaaah….mumpung niiih…mumpung lagi iseng cerita tentang pagar, saya jadi mau meneruskan sedikit pengalaman dengan pagar. Barangkali dari cerita ini ada juga teman dan sahabat yang punya pengalaman mirip atau sama. Bisa bakalan seru jadinya…

Jadiiii…mau ya, kita ngobrol sebentar. Mengisi waktu di siang hari yang cerah ceria ini….Selamat menikmati…semoga berkenan….

Jakarta, 13 Juli 2011

Salam hangaaatt…..


Ietje S. Guntur

-      Dari gedung agak tinggi di seputar Senayan, Jakarta Selatan…

♥♥♥






Art-Living Sos 2011 (A-7
Wednesday, July 13, 2011
Start : 7/13/2011 10:30:06 AM
Finish : 7/13/2011 11:23:48 AM


PAGAR-PAGAR

Hari Sabtu. Hari libur. Hmmh…pas banget sedang tidak ada kegiatan. Biasanya…seperti kata seorang sahabat, saya ini selalu berputar-putar seperti gasing atau kitiran…hihihi…Bisa aja !

Naaah, mumpung sedang di rumah, mumpung sedang tidak ada rencana mau ngapain, ya…biasa juga…jadi iseng celamitan memeriksa segala macam. Asisten rumah saya  tahu persis, kalau si Ibu ini sudah duduk manis di rumah sambil baca-baca Koran dan minum teh manis panas yang mengepul-ngepul…hmmh…alamat sebentar lagi akan keluar tiga atau tujuh perintah ini itu…hehe…

Maka mulailah mata yang minus tiga ini melihat berkeliling. Sweeping halaman. Pohon ? Hmhh…sudah mulai gondrong daunnya. Pohon mangga yang dulu betah di dalam pot-nya, sekarang sudah menjulurkan akar dan daunnya kemana-mana. Pot dari tong bekas aspal yang dulu mengitarinya, sekarang seperti pembatas basa-basi saja. Akarnya sudah menerobos dengan gembira, dan menancap kuat di tanah untuk mencari nafkah bagi perkembangan pohonnya…Hasilnya…buah mangga apel yang rasanya unik itu pun selalu berbuah sepanjang tahun…ahaaa…

Sekarang pindah lagi. Ke pagar !

Hooo…ini dia niiih yang perlu perhatian. Pagar besi di rumah saya sudah mulai kusam warna catnya, dan di sana sini sudah banyak yang mengelupas. Memperlihatkan warna karat besi aslinya. Sedangkan tanaman rambat yang saya biarkan tumbuh di antaranya, sudah merajarela dengan riang, menjulur kesana kemari dengan bebasnya. Ada tanaman melati, yang bunganya harum mewangi. Ada juga tanaman rambat sejenis sirih yang nyaris menutupi bagian pagar yang lain. Bercampur dengan tanaman teh-tehan dan semak  liar mirip lantana yang berbunga kecil-kecil. Halaaah…lengkaplah sudah belukar memenuhi pagar rumah saya…Sungguh tidak sedap dipandang mata !

Lalu…hmmh…karena tidak tega melihat asisten yang sedang sibuk di belakang, saya pun turun tangan sendiri.  Dengan gunting tanaman , saya mulai memotong beberapa sulur yang merambat di luar kendali. Potong sana…gunting sini…cress…cresss…saya seperti seorang ahli yang sedang menata rambut…eeeh…pagar tanaman. Setelah beberapa saat, lumayan juga hasilnya…hehe…memuji diri sendiri dululah…Sekarang tanaman liar sudah lebih teratur. Dan bunga melati yang tadi sempat tersembunyi, sekarang sudah bisa menunjukkan kecantikannya di antara daun-daun yang telah terpangkas rapi.

Duduk di depan rumah dengan pagar yang lumayan rapi, membuat hati saya ikut berbunga. Sekarang dari tampak luar, rumah saya tidak lagi mirip rumah di film kartun yang telah ditinggalkan penghuninya selama 300 tahun. Cukup rimbun dan adem, tapi sudah ada bentuknya. Sedangkan dari dalam rumah, saya sudah bisa melihat orang yang mondar-mandir di depan rumah dengan lebih jelas. Termasuk melihat tukang sayur langganan dan tukang roti yang hilir mudik menjajakan dagangannya..

Tinggal satu lagi. Saya akan mengecat ulang pagar rumah saya. Mumpung masih semangat empat lima. Eeeeeh, tapiii…maaf…untuk urusan mengecat pagar ini terpaksa minta tolong tukang dari kantor. Bukan saya tidak bisa, tapi dia hobby banget mengecat. Jadi kita harus berbagi kesenanganlah… hahaha…

Cerita tentang pagar, saya memang selalu suka melihat berbagai bentuk dan gaya pagar rumah-rumah tetangga.

Dulu di kompleks perumahan kami, bentuk dan model pagar rumah sama semua. Termasuk warnanya. Pokoknya corporate image kompleks perumahan kami bisa ditandai dari pagar rumah-rumahnya. Tapi sejalan dengan perkembangan jaman , maka setiap rumah pun semakin bebas memilih model dan warna pagar-pagar rumah mereka. Jadi ada yang modelnya masih seperti dulu, hanya pagar biasa dengan lekuk-lekuk hiasan sederhana. Tapi ada juga yang sudah menggantinya dengan model pagar besi yang nge-trend beberapa waktu lalu. Pagar tinggi mirip istana raja, dengan warna tembaga keemasan, yang berkilau mewah menghiasi rumahnya.

Ada lagi model lainnya. Pagar minimalis. Benar-benar mini. Pagar rendah dari besi, yang bahkan dengan mudah dilompati oleh seekor kucing iseng atau anjing galak. Pagar ini sebetulnya lebih berfungsi sebagai pemanis atau hiasan. Kurang memanfaatkan fungsi pagar sebagai pengaman. Tapi ya, biar sajalah…itu adalah pilihannya khan ? Saya malah suka dengan pagar model itu. Asalkan para maling juga menyadari, bahwa pagar rendah tidak berarti bahwa mereka boleh masuk dan keluar sesuka hati…hehe…

Belakangan, seiring dengan meningkatnya tindak pencurian dan kejahatan, maka muncul pula model pagar tinggi dari tembok beton. Kadang, begitu tingginya pagar itu, sehingga kita tidak bisa lagi melihat ke dalam rumahnya. Rumah yang sudah dibangun dan dirancang dengan indah, tertutup oleh kekokohan pagar yang melingkupinya. Rupanya pemilik rumah begitu enggan berbagi pemandangan dengan orang yang lalu lalang di depan rumahnya. Atau, dia sendiri ogah melihat dunia luar. Lebih suka berkurung di dalam kungkungan tembok yang berlapis…dan sering kali pula dilengkapi dengan perangkat pemantau gerak ….waadoooww…Luar biasa ketat, ya ?

Naaah…tidak lengkap dong cerita pagar, kalau tidak urun cerita tentang pengalaman saya dengan pagar-pagar…

Satu. Pengalaman bermain di pagar semasa masih SD. Ssttt…ini pengalaman bersama sahabat-sahabat saya yang memang suka banget jalan-jalan ( dalam arti sesungguhnya) jalan kaki. Sambil jalan, kadang dari rumah ke sekolah atau sebaliknya, biasanya kami juga suka memperhatikan pagar-pagar rumah yang kami lewati. Tidak sekedar suka memandangnya, kami juga sukaaaaa banget memegang, bergantung, dan kalau perlu memanjatnya…hihiiii…Pagar-pagar dari besi dan kawat anyaman adalah favorit untuk digelantungi. Sambil berjalan di sisi selokan, sebelah tangan memegang besi pagar atau kawat pagar, dan sebelah tangan lagi memegang daun-daun yang menjulur dari balik pagar. Seru banget khaaan ? Lebih seru lagi kalau rumah berpagar itu memiliki halaman luas, maka pemandangan dari balik pagar selalu menarik dan membuat kami berangan-angan…suatu hari memiliki pagar sebagus rumah itu…eheeem…

Pengalaman yang lain, dan tak terlupakan adalah semasa SMA. Sssstttt…kalau yang ini sebetulnya agak memalukan…hmh…tapi karena sudah lama berlalu, ya sudahlah…saya buka saja di sini ya…hehe…
Ceritanya tentang pagar kawat di belakang sekolah kami. Kebetulan saat itu sekolah kami berbatasan dengan sebuah kompleks perumahan, yang kemudian bersambung dengan jalan besar di belakangnya. Jalan besar yang merupakan jalan protokol di kota Medan merupakan daya tarik tersendiri, untuk sekedar melarikan diri dari kejenuhan atau menonton acara pawai yang acap digelar ketika itu.

Naaah…suatu ketika, menjelang tujuhbelas Agustus, ada pawai yang digelar di jalan itu. Teman-teman sekelas dan kelas-kelas lainnya sebagian sudah melarikan diri sejak satu jam sebelum jam sepuluh. Saya dan beberapa teman lain tertinggal, karena ada beberapa tugas yang masih harus diselesaikan. Dan guru yang mengajar, memang terkenal disiplin, sehingga kami tidak berani minta ijin keluar kelas…( biasanya sih alasan ke kamar mandi…hehe…). Jadi saya menunggu pertukaran jam pelajaran, barulah dengan mengendap-endap mencoba menerobos pagar untuk bisa lari ke jalan raya.

Seperti prosedur cara melarikan diri, satu persatu teman saya sudah lolos melewati pagar kawat. Caranya, satu orang menekan kawat dan menarik dari atas, yang satunya meloloskan diri. Ketika tiba giliran saya, tiba-tiba teman saya meninggalkan saya sendirian, dan saya tersangkut dipagar dalam keadaan rok terkait kawat pagar. “ Ayooo…cepaaaatt !” seru seorang teman, lalu lari dan menghilang ke balik pagar tanaman di dalam kompleks.

Saya tidak bisa bergerak. Kalau saya tarik badan ke bawah, pasti baju rok seragam  saya akan sobek. Masa sih saya harus meninggalkan baju rok itu di sini ? Waduuuuh…bagaimana ini ???

Tiba-tiba…sebuah suara terdengar. Cukup berwibawa.
“ Sini saya bantu. Kamu mau kemana ?”

Belum sempat saya menjawab, dengan ekor mata saya melihat ujung sepatu guru saya di dekat kepala saya yang menjulur di antara kawat pagar…Duuuh…pantesan saja yang lain melarikan diri semua. Mati deeeh…!!! Pikir saya sambil dengan malu-malu menggeser badan kembali ke arah halaman sekolah.

“…nngg…anu Pak…mau anu…mau ngetes pagar !” akhirnya saya hanya bisa asal menjawab terbata-bata sambil  tersipu malu, dengan wajah merah seperti terbakar….( ampppooouunn…bisa juga saya malu berat, soalnya ni guru kesayanganku…hiiks…).  Sementara itu kakak-kakak kelas yang menonton dari atas gedung bersorak-sorak kegirangan...betul-betul niiih…seperti kiasan pagar makan tanaman…. Atau seperti jargon, tangisku adalah tawamu…hiiiks…

Melihat pagar di depan rumah saya, dan di banyak rumah lainnya membuat saya merenung.

Pagar…secara fisik dalam tampilan adalah pembatas dunia kita dengan dunia luar. Pagar tidak hanya sekedar membatasi dan memberi perlindungan untuk keamanan, tetapi juga dapat menjadi status sosial. Orang yang mampu akan membuat pagar pelindung dan penghias rumah dengan model dan bahan yang kuat dan mewah. Sedangkan rumah sederhana atau orang yang tidak mau repot dengan urusan pagar, cukup hanya membuat pagar sekedarnya. Bahkan kadang dibuat dari tanaman yang dibentuk dengan bagus sehingga tambah hijau asri menghiasi rumah dan jalanan.

Pagar…pun tidak sekedar pembatas ruang antara kita dengan dunia lain. Pagar hati dan pagar moral ikut menjaga kita agar tidak melebihi nilai-nilai yang sudah ditetapkan dan disepakati. Peraturan, budaya, tata krama adalah pagar sosial dan pagar perilaku agar kita dapat tetap berada di dalam koridor yang terjaga. Hanya kita yang tahu apakah kita mau diam di dalamnya, atau melompat keluar pagar.

Pagar memang tidak sekedar gaya hidup dan penjaga keamanan…pagar juga melindungi kita secara fisik , sosial dan psikologis…Kita bisa saja hidup tanpa pagar, tetapi dengan pagar di sekitar kita, maka ada batas yang membuat kita dapat memilih…

Seandainya saja kita dapat membuat pagar di sekitar kita…atau menjadi pagar yang menjaga agar orang yang berada di dalamnya merasa aman dan nyaman… Dan…alangkah indahnya…ketika dari balik pagar kita pun bisa tetap melihat ke luar dan ke dalam…

Jakarta, 13 Juli 2011

Salam hangat,


Ietje S. Guntur

Special note :

Terima kasih untuk tetangga-tetanggaku…yang memiliki pagar-pagar inspiratif…terutama pagar mirip istana yang selalu aku kagumi…Terima kasih juga untuk sahabat-sahabat perjalananku semasa SD…Erna, Dahlia, Tuti yang tak pernah bosan menerobos dan bergelantungan dipagar…Kalau orang lain menggantungkan cita-cita di langit, kita menggantungkan cita-cita dipagar…hehe…dan di sinilah kita sekarang…tetap bersama walau pagar mengantarai kita…dan tidak lupa Bapak SD Sipayung yang dengan sabar melepaskan jeratan kawat pagar dari baju rok aku…ampun dech Pak…sakitna tak seberapa…tapi maluna ini…hiks hiks…

Rabu, 13 Juli, 2011 01:04

Tidak ada komentar:

Posting Komentar