Hore, Hari Baru! Teman-teman.
I  love you just the way you are, itulah yang kita katakan kepada  seseorang  yang kita cintai dengan sepenuh hati. Ciri jika kita menerima  kekasih  hati apa adanya antara lain adalah; tidak mempermasalahkan  kekurangan  yang dimilikinya, dan mensyukuri kelebihannya. Meski  mempunyai  kelemahan, namun perasaan sayang kita tidak berkurang  kepadanya. Saat  mengkritik pun kita usahakan agar tetap halus agar  perasaannya  senantiasa terpelihara. Dengan begitu, kita berharap dia  membalasnya  dengan cinta yang setara kepada kita. Lantas, kepada diri  sendiri;  apakah kita bersedia mengatakan kalimat indah itu? Artinya,  bersediakah  kita untuk menerima diri kita sendiri apa adanya?
Mencintai  diri sendiri sama pentingnya dengan mencintai pujaan  hati kita.  Sedangkan hal terindah dalam mencinta adalah ketika kedua  belah pihak  saling berbalas cinta sejatinya. Bayangkan jika kita telah  berhasil  mencintai diri kita sendiri, maka ‘diri kita’ pun akan  membalas cinta  kita dengan seutuhnya. Cinta kepada diri sendiri  bukanlah roman picisan.  Bukan pula kisah nascistis. Melainkan sebuah  penerimaan kepada ada  adanya kita. Yaitu penerimaan secara sadar bahwa  fitrah kita adalah  untuk menjadi mahluk yang disukai oleh Tuhan. Bagi  Anda yang tertarik  menemani saya belajar menerima diri kita apa adanya;  saya ajak untuk  memulainya dengan mempraktekkan 5 pemahaman Natural  Intelligence berikut  ini:
1.      Kita adalah sesempurna-sempurnanya penciptaan.
Dengan tubuh yang kurus dan kerempeng, masa kecil saya diwarnai  oleh  cemoohan. ‘Siga aki-aki’ – ‘seperti kakek-kakek’ – adalah sebutan  paling  tepat bagi teman-teman untuk menggambarkan bentuk fisik saya.  Karena  selain kerempeng, saya juga dianugerahi dengan tulang punggung  ‘bungkuk  udang’. Melihat orang lain yang memiliki bentuk fisik yang  jauh lebih  baik, kadang saya merasa iri. Untungnya kita semua pernah  mengakui bahwa  sempurnanya kita sebagai manusia  tidak diukur dari  bentuk fisiknya, karena jika demikian; kita kalah  sempurna dibanding  binatang. Ada aqal yang menyertai penciptaan kita.  Lebih dari itu, ada  qalbu untuk mengimbangi fungsi aqal itu. Sekarang  saya lebih memahami  bahwa dengan menggunakan aqal dan qalbu itulah  seorang manusia bisa  mencapai kesempurnaan penciptaan yang telah  diperolehnya. Sebab, memang  kita ini adalah sesempurna-sempurnanya  penciptaan.
2.      Hasil karya kita adalah bukti kesempurnaan diri kita.
‘Karya apa yang sudah engkau  hasilkan?’ Inilah pertanyaan yang sering  mendatangi saya setiap kali  menjelang tidur. Pertanyaan inilah juga yang  sering membangunkan saya  dari tidur dimalam senyap ketika sebagian  besar orang nyenyak terlelap.  Jika setiap manusia berhasil memenuhi  misinya saat dikirim Tuhan,  dunia pasti menjadi tempat yang lebih baik.  Mereka yang dianugerahi  kelapangan rezeki berkarya dengan rezekinya  untuk memudahkan  orang-orang yang  membutuhkan. Mereka yang berilmu membuat karya-karya  berkualitas dengan  ilmunya bagi mereka yang haus pencerahan. Mereka  yang kuat, mereka yang  ramah, mereka yang tinggi, dan mereka yang  rendah. Semuanya pasti bisa  menghasilkan sebuah karya karena tak  seorang pun lahir tanpa kemampuan  untuk berbuat. Bahkan, saya melihat  seseorang yang dilahirkan tanpa  tangan dan kaki sanggup menghasilkan  sebuah karya inspiratif yang  menyadarkan jutaan umat manusia, bahwa;  anugerah Tuhan sungguh tiada  terhingga.
3.      Ada sisi baik didalam diri kita.
Guru kehidupan saya mengajarkan bahwa  kedalam diri seseorang Tuhan  telah mengilhamkan kecenderungan untuk  berbuat kebaikan. Tapi mengapa  ada orang yang seolah hidupnya diisi  oleh hal-hal negatif saja? Mungkin  karena kita tidak pernah melihat  orang itu saat dia sedang melakukan  kebaikan. Atau, boleh jadi karena  kita tidak berhasil membantunya  menemukan sisi baik didalam dirinya.  Atau, boleh jadi juga karena kita  yang tinggal bersamanya tidak memberi  cukup ruang kepadanya untuk  memperlihatkan sisi baiknya. Bagaimana  jika orang itu adalah diri kita  sendiri? Bersediakah kita melihat saat  diri kita berbuat baik?  Bersediakah kita membantu diri kita sendiri  untuk menjadi baik? Dan  bersediakah kita untuk memberi ruang yang cukup  agar diri kita sendiri  bisa leluasa; untuk belajar menjadi pribadi  yang lebih baik? Sungguh,  siapapun kita; ada sisi baik didalam diri  kita.
4.      Mengijinkan orang lain berbuat baik kepada kita.
Apa jadinya jika didunia ini tidak  ada lagi orang yang mengijinkan  orang lain untuk berbuat kebaikan?  Bayangkan, jika senyum itu baik; maka  kita dilarang untuk tersenyum.  Jika saling menasihati itu baik, kita  dilarang saling menasihati. Jika  menghormati pendapat orang lain itu  baik, maka kita dilarang untuk  menghormati pendapat orang lain.  Bagaimana jadinya ya? Saya menemukan  bahwa manusia, memiliki sifat dasar  untuk mengijinkan orang lain  berbuat baik kepada mereka.  Makanya, kita senang saat seseorang  tersenyum kepada kita. Kita juga  senang saat seseorang mengingatkan  tentang sesuatu yang tidak patut pada  perilaku kita. Dan kita juga  senang ketika orang lain menghormati  pendapat kita. Kita senang saat  orang lain berbuat baik kepada kita.  Dengan rasa senang itu, kemudian  kita membalas kebaikan mereka sama  seperti perlakuan baik mereka kepada  kita. Bukankah indah dunia jadinya?
5.      Memberi ruang kepada diri sendiri untuk melakukan perbaikan. 
Manusia  adalah tempatnya salah dan  alpa. Maka wajar jika manusia melakukan  kesalahan atau kesilapan. Yang  tidak wajar adalah ketika menyadari sudah  melakukan kesalahan masih  terus berendam dalam kubangan nista itu.  Padahal, Tuhan pun berjanji  untuk selalu memberi ruang kepada  orang-orang yang ingin kembali.  Masalahnya, maukah kita mengambil  putaran untuk berbalik arah menuju  kepada jalan yang disukai Tuhan? Jika  kita tidak mau, maka tidak  seorang pun bisa  memaksa kita. Nasihat dan seruan tidak mungkin akan  kita indahkan.  Karena jika pintu hati kita tertutup rapat, maka kita  tidak akan pernah  mampu memberi ruang kepada diri sendiri untuk  melakukan perbaikan.
Kita apa  adanya adalah diri kita, yang memiliki segala hal yang  dibutuhkan untuk  menjalani hidup dengan baik. Menerima diri kita apa  adanya adalah  merenungkan betapa Tuhan telah menganugerahi kita dengan  kesempurnaan  penciptaan; sehingga kita sadar bahwa tidak ada sedikitpun  celah untuk  mengeluh. Jika masih ada keluh itu, mungkin karena kita  terlalu berfokus  kepada wujud fisik dan jasad kasar. Padahal, ketika  menyebut diri  sebagai mahluk sempurna; manusia tidak merujuk kepada  kekuatan fisiknya,  melainkan ‘isi’ didalam dirinya. Sebagai manusia,  kita bisa salah –  bisa benar. Dan sebagai manusia, kita memiliki sisi  baik, dan sisi  buruk. Sebagai manusia, kita juga mempunyai sisi lemah  dan sisi kuat.  Tak seorang pun bisa mencapai kesempurnaan sendirian.  Karena  kesempurnaan manusia terletak kepada kemauan untuk saling  menyokong. Dan  saling mengingatkan  satu sama lain, bahwa; ada sesuatu  yang bisa kita perbaiki dari hari ke  hari.
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman  - 13 Juli 2011
Master Trainer & Natural Intelligence Inventor
Catatan Kaki:
Menemukan  sisi baik dalam diri sendiri adalah wujud rasa syukur  kepada  penciptanya. Sedangkan menggunakan kebaikan didalam diri itu  untuk  kebaikan sesama adalah pesta perayaannya.
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain.
Selasa, 12 Juli, 2011 18:24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar