Sepotong Catatan Ringan yang ditulis  saat makan siang yang terlambat di Rumah Makan Pak nDut, di salah satu  sudut pusat  kota Buntok,Barito Selatan, Kalimantan Tengah:
Belajar Manajemen  dari “Indonesian Idol"
Suatu Telaah dalam Perspektif  “Human Capital Management”
(Manajemen Modal Insani)
Oleh: Ratmaya Urip*)
Ada suatu materi yang mendekati 
absurd  yang tiba-tiba melintas di benak ketika sepotong program acara televisi  yang termasuk dalam variety show sempat singgah di indra saya.Saya  katakan "indra" karena memang seluruh indra saya terpesona oleh proses  yang terjadi di event tersebut  Tidak hanya "mata" saya yang terhibur  dan terkesima, yang  biasanya sering dikerahkan jika melihat suatu tontonan visual yang kali  ini adalah tontonan variety show musikal, melalui media televisi. Namun  juga membuat terhenyak telinga, hidung, perasaan, dan selera saya. 
More than just watch, it’s called beyond sense! Ujung-ujungnya  membuat tangan dan benak saya gatal untuk membuat catatan-catatan  kecil, semacam sinopsis, yang mungkin dapat saya kembangkan menjadi  suatu artikel, yang semoga saja bermanfaat bagi yang membutuhkannya.
Saya  tiba-tiba mendapatkan inspirasi yang terekam dengan pekat di benak,  yang tiba-tiba pula bekerja secara cepat untuk menyeruak mencari   linking dengan dunia manajemen, khususnya 
Human Capital Management  (Manajemen Modal Insani). Musik dengan nilai musikalitas yang tinggi  jika dianalisis dalam perspektif  manajemen, adalah bahasan yang  menarik. Dengan 
linking yang pas, pastilah dapat diangkat menjadi kajian yang menarik. Berpikir  dan  berbuat sekaligus menghibur, semacam 
edutainment, begitulah misinya. Konon suatu materi yang dibahas dengan sajian hiburan, lebih mudah dicerna dan dinikmati. Maka 
infotainment, edutainment, sportainment, dan sebagainya, lebih mudah diterima dan merasuk, meski terkesan instant, kurang serius dan tidak dalam.
Sebetulnya 
event  tersebut tidak hanya dapat dikaji dari perspektif Manajemen Modal  Insani saja, karena dapat pula ditelaah dari perspektif Manajemen  Pemasaran, Manajemen Kualitas, Manajemen Operasi & Pemeliharaan,  Manajemen SHE, Manajemen Keamanan, Manajemen Proyek, Manajemen Kinerja  dan lain-lain. Namun untuk kali ini, sengaja saya hanya akan membahasnya  dari perspektif Manajemen Modal Insani. Karena dari  perspektif ini saja cakupannya sudah sangat luas.  Semoga di kesempatan  lain saya dapat mengkajinya dari perspektif manajerial yang lain. Atau  sahabat-sahabat saya di milis ini dapat membahasnya dari perpektif yang  berbeda? Tentulah akan menarik jadinya. Karena akan terjadi  divergenitas, suatu hal penting  di samping konvergenitas, yang  merupakan salah satu kontributor bagi proses kreatif dan inovatif yang  merupakan cikal-bakal budaya produktif, di tengah rimba budaya konsumtif  yang saat ini sedang menjamur di negara dan bangsa ini. Perlu  diketahui, dan mau diakui atau tidak, faktanya budaya konsumtif telah  mendarah daging dalam diri bangsa ini. Jauh lebih besar dari budaya  produktifnya.
Banyak dari 
event "Indonesian Idol" ini yang dapat dibuat linking-nya dengan 
Human Capital Framework  dengan penyajian yang lebih menarik dan gampang  dicerna.   
Linking dengan 
Human Capital Framework, mulai dari 
Corporate Strategic Business Plan yang kemudian di-
cascade atau di-
deploy  menjadi 
Human Capital Strategy, yang meliputi 
Planning, Acquiring, Developing, Maintaining, dan 
Retaining. Atau juga dapat dtempuh dengan menggunakan 
Human Capital Framework yang lain, mulai dari 
Human CapitalPlanning, Recruitment, Remuneration, Performance Management, Competency Development, Discipline Management. Dari 
framework  tersebut  kemudian juga  dapat ditumbuhkembangkan menjadi lebih divergen lagi, namun terlalu  teknis untuk disampaikan  di sini.  Karena mulut harus berbuih-buih  untuk menyampaikan 
Learning & DevelopmentProcess, Knowledge Management, Tacit Management, Leadership-Followership, dansebagainya. 
Di  sisi yang lain, dalam hal ini bicara tentang musik, kebetulan saya ada  sedikit bekal.  Di masa muda dulu karena sering nongkrong di  warung-warung kopi di depan nDalem Puro Pakualaman, Yogyakarta, sehabis  nonton film di bioskop Permata (sekarang bioskopnya  sudah almarhum?),  saya sempat berinteraksi dan mendapatkan bekal teori dan praktek musik  klasik dari sahabat-sahabat saya dari Akademi Musik Indonesia (sekarang  sudah merger dengan perguruan-perguruan tinggi seni lain menjadi  Institut Seni Indonesia-ISI Yogyakarta). Meskipun waktu itu saya masih  sangat muda dan sedang belajar 
Engineering Science.  Sementara bekal ilmu manajemen diperoleh dari teori dan praktek-praktek  manajerial di lapangan,. Semoga saja dua kutub ini dapat bertemu di  satu titik dengan pendekatan matriks, atau pendekatan  analisis vektor  atau analisis numerik yang melahirkan 
resultante yang positip.  Musik versus Manajemen atau M vs M, begitulah formulanya.
Saya  masih ingat beberapa teman Akademi Musik Indonesia mengajarkan untuk  yang pertama kali kepada saya cara menggesek biola, atau memetik dawai  gitar, atau memberikan interpretasi atas ketukan atau tepukan dari musik  perkusi, atau memperkenalkan teori musik diatonis dan pentatonis, atau  bagaimana melakukan tone attack dengan pitch yang terkontrol, sehingga  tingkat akurasi dan presisi atas 
tone-nya  benar-benar terjaga, baik untuk vocal maupun instrument musik, sambil  menyantap “randa  royal” ( “janda royal”- adalah tape yang berlumur tepung  beras kental  yang dibakar), dan juga “randa goreh” (demikian kami biasanya suka  menyebut yang artinya “janda galau”, ketan putih  yang berlumur gula dan  sedikit susu olahan dalam kaleng yang kemudian dibakar), juga jagung  bakar, tempe kara bacem maupun tahu bacem, sambil “menyeruput” kopi  luwak yang legam, atau wedang  bajigur atau wedang ronde yang hangat,  yang cara menikmatinya dengan posisi “leyeh-leyeh”  (setengah berbaring  setengah duduk) di atas “lincak” (kursi bambu panjang yang ada  sandarannya dengan kapasitas 4 sampai 5 pantat, yang dianyam dengan  menggunakan rotan). Saya banyak belajar tentang intonasi, artikulasi,  dinamika, interpretasi, 
uni-sono, phrasering, first tone attack, interlude, coda,crescendo-decrescendo, falsetto,  harmoni, 
a-capella dan lebih  banyak lagi materi. Belum lagi jika harus mencoba berolah vokal dengan  prakteknya langsung dengan berbekal suara tenor saya yang waktu itu  masih pas-pasan, tanpa vibrasi apalagi tremolo. Harus susah payah  mengapai nada-nada secara 
pianissimo, piano, mezzo piano, forte dan 
fortissimo,  sambil terengah-engah Wah di awal susahnya bukan main. (Uf, saya  terlalu lama bernostalgia, sehingga hampir lupa untuk menyampaikan  substansi bahasan artikel ini. OK, kita kembali ke pokok analisis).
Kembali  ke pokok bahasan. Ketika teman-teman yang lain yang berjumlah 5 (lima)  orang (tidak termasuk saya) mulai menyantap pesanan masing-masing karena  hidangan sudah siap di meja, saya masih berkutat untuk mencoba cloning  atau mapping atau capturing apapun yang sedang  terjadi dalam proses  yang ada di televisi yang  sedang menghidangkan proses Seleksi atau tepatnya Eliminasi bagi  calon-calon peserta Babak 
Spectaculer Show dari   kontes Indonesian Idol. Semuanya saya tulis dan rekam di BlackBerry,  karena hanya itulah yang ada di tangan saya. Mau mengambil laptop atau  kertas dan alat tulis yang semuanya ada dalam tas di mobil yang parkir  di halaman rumah makan tersebut tentu saja saya enggan, karena takut  kehilangan momentum. Karena saya tidak mau melewatkan setiap detikpun  blocking dan setting serta materi dari acara tersebut. Sampai  teman-teman mengingatkan saya untuk segera makan, karena sudah terlambat  makan siang, dan sebentar lagi harus mengejar agenda yang lain. Saya  memang sempat berpikir, libur-libur kok ya harus kerja. Meskipun hari  Jumat, namun hari tersebut kebetulan memang merupakan hari libur  nasional karena bertepatan dengan Hari Libur Wafat Nabi Isa Al Masih.  Sehabis Jumatan di Masjid Agung Baiturrahman  tadi waktunya terlalu lama untuk mencari rumah makan yang cocok di kota  kecil Buntok, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah yang memang  hanya sedikit rumah makan yang representative di kota tersebut, yang  menumbuhkan perdebatan panjang di antara kami berenam untuk memilih  rumah makan yang cocok bagi keenam selera yang ada.
Akhirnya kami  sepakat memilih Rumah makan Pak nDut yang spesialisasinya adalah ayam  dan bebek goreng di Jalan Pelita Jaya, di sebelah kiri dari kantor  Kabupaten.Yang bukan kebetulan jika tidak terlalu jauh dengan Masjid  Agung Baiturrahman. Kawasan yang dipenuhi oleh banyak perkantoran dari  institusi  birokrasi Pemerintah Daerah.
                                                 ooOoo
Proses eliminasi Indonesian Idol sedang berlangsung, yang  dapat saya lihat di televisi yang ada di Rumah Makan Pak nDut. Eliminasi  adalah salah satu tahapan proses rekruitmen untuk mencari Top 15 di  antara 27 perserta yang tersisa dari kontes Indonesian Idol, yang sudah  terjaring dari proses audisi dan proses eliminasi awal sebelumnya.  Proses audisi sudah terlewati, dimana lebih dari 200.000 calon peserta  saling berhadapan mengadu nasib untuk menggapai popularitas secara 
instant lewat media televisi. Tinggal 27 peserta yang masih harus berjuang menuju Top 15 yang dilanjutkan dengan Top 10 sebelum menuju 
The Best One, melalui tahapan 
Spectacular Show.
Prosesnya  sendiri dimulai dengan Audisi yang menjaring calon-calon peserta dari  seluruh pelosok tanah air, dengan berbagai sistem atau cara. Kemudian  dilanjutkan  dengan proses Eliminasi Awal, dan Eliminasi Akhir sebelum masuk ke  ajang inti kompetisi yang disebut sebagai Spectacular Show yang biasanya  disebut Top 10, karena yang beradu kemampuan tinggal 10 orang saja di  antara ratusan ribu peserta tersebut.
Yang menarik di sini adalah. Jika kita jeli maka jika kita telaah dari perspektif 
Human Capital Management  (Manajemen Modal Insani, yang selanjutnya akan saya singkat menjadi  MMI), proses rekruitmen di sini sudah mencakup 3 dimensi dari MMI yang  selama ini saya perkenalkan.
Di sini (dalam Indonesian Idol)  ada pencarian calon yang berbasis profesionalisme atau 
ability (skill & knowledge) sebagai dimensi pertama dari MMI. Juga ada proses seleksi 
moral (attitude & behavior) sebagai  dimensi kedua dari MMI.   Juga ada tuntutan kreatifitas dan spontanitas  serta improvisasi yang wajib dimiliki oleh para peserta, serta  penggodokan jati diri atau karakter calon peserta, sebagai dimensi  ketiga dari MMI. Jadi rekruitmen sudah lengkap menggunakan pendekatan 3  dimensi. Padahal biasanya dalam proses reruitmen dan proses-proses lain  dalam lingkup 
Human Capital Framework,sering hanya melihatnya dari perspektif 
Human Resource Management-HRM  (Manajemen Sumber Daya Manusia-MSDM) belum sampai ke tataran 
Human Capital Management–HCM (Manajemen Modal Insani-MMI).  Dimana  hanya melibatkan dimensi pertama yaitu 
ability(skill & knowledge) dan dimensi kedua yaitu 
moral (attitude & behavior) saja. Masalah dimensi ketiga yaitu Arts (inovasi, kreatifitas, akseptabilitas, adabtabilitas, flexibilitas,  dll) baru muncul setelah saya menyampaikan konsep dasar 
Human Capital Management (HCM) secara  lebih matematis dan komprehensif. Pendekatan matematis saya perlukan  untuk konvergenitas dalam pola pikir dan pola tindak, supaya lebih mudah  dicerna dan dieksekusi.  Mengingat bahwa supaya dapat tercapai 
Human Value,  esensi yang paling hakiki bagi suatu organisasi (meskipun sifatnya  “hanya” organisasi proyek seperti Indonesian Idol), diperlukan ketiga  dimensi tersebut. 
Human Value sendiri wajib bermata air dari 
Human Creditability, atau 
Human Honorability, atau 
Human Recognizability. (Untuk jelasnya, seluruh aspek ini dapat dicerna dengan penjelasan secara tatap muka).
Mengapa  selama ini dalam  rekruitmen selalu “hanya” melibatkan dimensi pertama dan kedua saja?   Menurut saya karena selama ini filosofinya masih berkutat hanya pada 
Iceberg Model  (Model Gunung Es) dalam 
Human Resource Management.
Iceberg Model selama ini dianggap sebagai  fisosofi dasar. Dimana 
ability (skill & knowledge)  dianggap lebih mudah dipelajari diamati dan dikembangkan,  sehingga  dianggap sebagai bagian dari gunung es yang berada di atas permukaan air  laut. Bagian ini nampak dengan jelas dan mudah diamati, diseleksi atau  dikembangkan. Dimensi yang pertama ini merupakan 
basic requirement and important, but not enough.   Sedangkan bagian dari gunung es yang berada di bagian bawah permukaan  air laut, yang volumenya sangat jauh lebih besar, tidak tampak. Ini  melambangkan  dimensi yang kedua atau dimensi 
moral (attitude & behavior) atau  integritas, akuntabilitas, kredibilitas dan honestabilitas. Bagian   dari gunung es yang berada di bawah permukaan air laut ini tidak nampak,  sangat absurd. Ini melambangkan sesuatu yang lebih sulit untuk  dipahami, dideteksi, diobservasi dan dikembangkan. Dengan tambahan  dimensi ke-2 ini juga masih belum cukup untuk bekal memenangkan  persaingan global yang penuh dengan kejutan perubahan. Maka perlu  ditambah dengan dimensi ke-3, bahkan dimensi ke-4.
Sekedar 
set-back, jika kita membahas 
Human Resource Management (HRM) kita “hanya” berkutat pada dua dimensi saja, yaitu 
human ability (skill & knowledge) atau lebih sering disebut sebagai 
human capacity, dan juga 
human moral (attitude & behavior). Sementara dalam 
Human Capital Management (Manajemen Modal Insani) wajib ditambahkan dengan 
Arts sebagai dimensi ketiga, yang meliputi  
human creativity (kemampuan berkreasi atau ber-inovasi), 
human acceptability (kemampuan untuk dapat diterima oleh lingkungannya), 
human adabtability, human flexibility. Dua yang terakhir ini adalah potensi atau kemampuan untuk menghadapi perubahan, bukan kemampuan untuk 
mencla-mencle. Saya sering menyebut secara matematis, bahwa 
Human Resource Management-HRM ( Manajemen Sumber Daya Manusia-MSDM) diproyeksikan pada  pendekatan 2-dimensi atau pendekatan linier, sementara 
Human Capital Management-HCM (Manajemen Modal Insani-MMI) diproyeksikan pada pendekatan 3-dimensi atau pendekatan volumetrik.
Di samping itu dengan pendekatan pada 3-dimensi, 
Human Being atau 
Workforce tidak  sekedar hanya dapat memenuhi requirements sebagai pekerja keras, namun  juga sebagai pekerja cerdas dan pekerja waras.  Karena tuntutannya  adalah memenuhi kemampuan fisik dan mental, kemampuan teknis, kemampuan  manajerial dan kemampuan visioner.
 Di kemudian hari mungkin saja  dapat dikembangkan menjadi 4-dimensi. Tentang dimensi ke-4 ini sedang  dalam penelitian saya. Belum dapat diungkapkan di sini. Masih 
off the records.
(BERSAMBUNG)
                                                           ooOoo
(Catatan: 
Catatan  Ringan  ini terinspirasi ketika menonton  rekaman proses  seleksieliminasi  Indonesia Idol di RCTI, Jum’at, 6 April 2012 jam  14:00  s/d 15:00 WIB,dengan jury Ahmad Dani, Anang Hermawan  dan Agnes  Monika)