Oleh: Dadang Kadarusman
Menakjubkan. 
Semua orang di kubikal sudah menunjukkan semangat untuk belajar. Semangat yang  terlihat seperti ketika mereka baru masuk ke sekolah. Serba antusias.  Sekarang, mereka siap untuk belajar lagi. 
Hihi, seperti anak  sekolahan aja.
Apa nggak salah ya?  Ini kan kantor. Bukan taman kanak-kanak...he....
Para ladies yang  paling modis. Dengan gayanya yang glamor mereka menunjukkan bahwa  belajar itu memang menyenangkan. Nggak peduli di rumah mereka sudah  punya 1 atau 2 anak. Mulai hari ini, di mereka jadikan kantor tempat  untuk belajar.
Long life education.
Nggak ada istilah  berhenti belajar. 
Makanya, orang-orang  yang berhenti belajar seringkali karirnya juga berhenti berkembang.  Sementara mereka yang terus belajar, karirnya juga terus menanjak naik.  Meski tidak selalu berarti jabatan yang naik. Tapi keterampilan mereka.  Minimal semangat kerja mereka selalu up to date.
Di bagian lain ada  mendung yang menggelayut.
Opri, Aiti, Fiancy,  dan Sekris sedang mengerumuni seorang working lady. Untuk menjaga nama  baiknya, namanya dirahasiakan saja. Biar gampangnya sebut saja ’Mrs X’.
Ada beberapa tetes  air mata yang menitik di pipinya. 
Jelas sekali sedang  terjadi sesuatu dengan Mrs X. Galau.
Para ladies  membujuknya untuk menjelaskan apa yang menyebabkan kegalauan itu. Siapa  tahu mereka bisa membantu meringankan bebannya. Setelah berkali-kali  dibujuk, akhirnya Mrs X bersedia untuk mengungkapkan sumber galau  dihatinya.
Biasanya, masalah  working ladies yang sudah dewasa kan cuman di seputar itu-itu saja.  Resah karena masalah keuangan. Atau, galau karena suaminya sudah jarang  memuji lagi. Atau..., gelisah karena bentuk tubuhnya sudah nggak seindah  dulu lagi. 
Sungguh diluar  dugaan.
Sumber kegalauan Mrs  X bukanlah hal-hal semacam itu. 
Ada satu penyebab  yang diungkapkannya. Yang sungguh di luar dari perkiraan.
”Gue baru nyadar  sekarang....” katanya.
”Setelah belasan  tahun gue kerja ya..” diusapkan basah di pipinya. ”Gue baru nyadar hari  ini,” katanya. ”Kalau selama ini gue salah.” lanjutnya.
Semua orang saling  pandang. Salah apa?
Mrs X kemudian  menceritakan betapa dia telah salah memasang niat saat pergi bekerja.  Yang penting ada kegiatan aja. Daripada suntuk di rumah. Yang penting  dapat bayaran aja. Enak banget rasanya punya uang sendiri. Bisa  menggunakannya untuk apa saja. Nggak tergantung pada pemberian dari  suami yang jatahnya memang untuk dapur dan keperluan sehari-hari.
”Gue merasa merdeka  dengan bekerja,” imbuhnya.
”Jadi Mbak nyesel  jadi wanita karir, Mbak....?” Sekris bertanya sambil meringis. Dia tidak  ingin membayangkan sepuluh tahun lagi menyesali diri seperti Mrs X.  Setelah punya suami nanti, dia masih ingin bekerja. Tapi nggak mau  dipaksa. Setelah punya anak kelak. Dia ingin tetap berkarya. Tapi nggak  mau galau seperti Mrs X.
”Oh, bukan begitu.”  Mrs X buru-buru menimpali.
”Gue justru bahagia  jadi wanita karir, Kris.” lanjutnya. ”Dan gue pikir, semua perempuan  seharusnya punya penghasilan sendiri, Kris. Biar dia bisa menjaga  dirinya sendiri.”
”BETTTUUUUUUUULLLLLL!!!!!!!”  Opri melompat sambil berteriak. ”Ups!” katanya, ketika sadar semua  orang memelototi dirinya.
”Yang gue sesali  adalah....” Mrs X meneruskan. ”Kenapa gue baru sekarang ini mengenal Natin,” lanjutnya.
”Selama ini gue  merasa pergi kerja ya cuman gitu doang. Datang ke kantor jam 8 – kerja  ini itu – terus pulang jam 5 sore. Setiap tanggal 25 gajian. Teruuus aja  gitu.”
”Lho, bukannya semua  orang juga begitu Mbak?” tanya Fiancy.
”Ternyata kita salah  Fi,” balas Mrs X. ”Kita nggak akan dapat apa-apa kalau mikirnya cuman  begitu doang.”
Emmmh....uh...oh...  rada berat nih.
Keempat gadis itu  tatap-tatapan. Tapi nggak mau ambil resiko jika mengakhiri pembicaraan  itu. Kesatu, karena takut mengecewakan Mrs X. Kedua – ini yang lebih  mereka takutkan – gimana kalau sudah ’dewasa’ kelak mereka mengalami  galau seperti Mrs X? Hiiiy..., amit-amit.
”Uang yang kita  dapatkan pasti habis-habis juga kan?” Mata Mrs X berkeliling menatap  para gadis itu satu demi satu. 
Sekris menujukkan  tas dan sepatunya.
Aiti mengangkat  gadgetnya yang canggih.
Fiancy, menyodorkan  kedua tangannya yang penuh cincin dan gelang.
Opri? Memperlihatkan  fotonya ketika bermain soft gun bersama para cowok macho.
Lalu mereka tertawa  bersama-sama. Tapi cuman sebentar. Karena setelah itu mereka sadar jika  Mrs X benar.
”Apa yang kita  dapatkan yang bisa kita bawa-bawa terus ladies?!” Pertanyaan Mrs X  benar-benar menghentak dada mereka.
”Selama ini gue  pasrah aja. Menjalani pekerjaan apa adanya.” Suara Mrs X melembut. ”Gue  pikir, perempuan ini. Jadi ya seperti air mengalir aja....” suaranya  melambat.
”Terus apa  hubungannya dengan Natin Mbak?” Opri  masih belum ’dong’. Ketiga centil lainnya juga sama nggak ’dong’ nya.
”Elo semua pada  beruntung ketemu Natin sekarang,”  sahut Mrs X. ”Jadi elo bisa nyadar kalau cara berpikir gue dan working  ladies umumnya itu salah.”
”Kita nggak boleh  kerja hanya untuk sekedar mengisi waktu. Kita nggak boleh kerja hanya  sekedar nyari uang biar bisa belanja belanji.”
Para ladies merasa  tersindir. Mereka hanya bisa nyengir.
”Apa lagi jika niat  kita bekerja itu hanya untuk bantu-bantu penghasilan suami. Jangan  pernah mau begitu!” 
”HYYYYES!!!” teriak  Opri. ”Kalau yang itu gue setuju banget!” semangatnya nyaris  menggetarkan seisi kubikal.
Mrs X mengingatkan  pesan Natin. Perbaiki  niat kita dalam bekerja. Kata Natin, bekerjalah  untuk membahagiakan diri sendiri. Bekerjalah untuk meraih kemuliaan diri  sendiri. Bekerjalah untuk menunjukkan betapa berharganya diri kita ini.
Dengan niat yang  tepat, maka tak seorang pun akan membiarkan reputasi dirinya buruk.  Sehingga kita terdorong untuk mengerahkan semua kemampuan yang kita  miliki. Tak mungkin ada yang bekerja asal-asalan. Tak mungkin ada yang  menyia-nyiakan amanah dan kepercayaan. Karena semua orang berharga. Dan  butuh dihargai.
Obrolan para ladies  itu terhenti oleh suara isak tangis seseorang. Tanpa mereka sadari.  Semua orang dikubikal berdiri disekeliling mereka. Menyaksikan dan mendengarkan  apa yang mereka bicarakan. Semua terdiam. Semua terpaku. Kecuali Jeanice  yang tak kuasa menahan tangis.
Para ladies segera  bangkit. Lalu memeluk Jeanice. ”Kamu masih muda Jean. Masih banyak  waktu,” kata Mrs X.”Yuk, sama-sama dengan saya. Meski agak terlambat,”  lanjutnya.  ”Tapi belum terlalu terlambat. Untuk memperbaiki niat kita dalam  bekerja.”
Para cowok macho  nggak mau ketinggalan.  Mereka saling berpelukan. Dan  menepuk bahu teman-temannya. Meski nggak ada yang nangis. Tapi mereka  merasakan keharuan yang sama.
”Saya ikutan pelukan  juga dong.....” Pak Mergy berlari kedalam kerumunan.
Semua orang berhenti  berpelukan. Lalu memandang ke arah Pak Mergy yang berdiri dengan  senyumnya yang sumeringah.
Wajahnya segera  berubah menjadi merah.
”Ohm...,  so-sory....” katanya sembari membalikkan badan. ”Nggak ada yang mau  memeluk saya.......” sambungnya.
Hooooooh…….  Orang-orang langsung merasa lemas…..
Tiba-tiba  saja semua orang di kubikal menyadari bahwa bekerja pun perlu niat yang  tepat. Agar selama menjalani kehidupan kerja, kita tidak diombang-ambing  oleh keadaan. Melainkan mampu mengendalikan keadaan apapun untuk  mencapai tujuan. Dalam  bekerja kita perlu niat yang tepat. Agar setelah memasuki masa pensiun  kelak, kita tidak hanya sekedar mendapatkan sejumlah uang yang belum  tentu akan bersisa banyak. Melainkan juga mendapatkan kesempatan untuk  mengaktualisasikan diri. Hingga di puncak potensi yang paling tinggi. 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman –  3 April 2012Catatan Kaki:
Salah satu ciri jika niat kita dalam bekerja sudah benar  adalah; kita tidak pernah mau berperilaku buruk atau menghasilkan  kinerja yang nggak bagus.
Salam  hormat,
Mari  Berbagi Semangat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar