Oleh: Dadang Kadarusman
Sudah menjadi  panggilan hati.
Setiap pagi,  orang-orang di kubikal mampir ke pantry. Bukan semata-mata untuk mengambil air  minum. Tetapi untuk melihat ’menu hari ini’ yang disajikan oleh Natin. Tanpa  mereka sadari. Sudah terbentuk  sebuah kultur baru di seantero kubikal. Yaitu kultur untuk menerima pencerahan setiap pagi.
Sayangnya, menu hari  ini yang disajikan oleh Natin terasa  terlalu berat. Nggak mungkin bisa dilakukan oleh semua orang di kubikal. Makanya, rasanya kurang nendang. Bukan hanya satu dua orang  yang menilainya  begitu. Hampir semua orang di kubikal menilai jika menu Natin di  whiteboard hari ini kurang membumi. 
’Mungkin Natin sudah  kehabisan ide,’ sebagian orang berpikir demikian. Ada juga yang mengira  jika sekarang Natin sudah agak  ng-boss. Belagu. Mentang-mentang dia dibutuhkan oleh banyak orang.  Omongannya sudah mulai tidak terukur. Bagaimana pun juga, dia harus tahu  diri. Seperti halnya orang lain yang juga mesti sadar posisinya  masing-masing.
Diantara pendapat  yang miring itu, masih banyak juga pendapat yang positif. ’Bagaimanapun  juga Natin itu manusia  biasa, jadi terima aja jika sesekali menyajikan menu yang kurang  nendang.’ 
Ada juga yang tetap  ngefans padanya. ”Siapa sih orang yang bisa memberikan semangat di kubikal ini selain Natin?” katanya.  ”Nyadar nggak sih, kalau selama ini Natin sudah  memberikan pengaruh baik pada diri kita dan kehidupan di seluruh kubikal?” 
Biasalah. Pro dan  kontra. Dimana pun selalu ada. 
Jangankan soal Natin yang  posisinya sekedar Office Boy. Orang-orang terkenal pun tidak selamanya  benar. Tidak ada motivator yang nggak pernah sedih. Bo’ong dia kalau  bilang nggak pernah ’down’. Tidak ada orang terhormat yang selamanya  bersih. Semua hanya manusia biasa.
Aiti enggan ikutan  dalam perdebatan.  Dia memilih menyingkir. Dia pergi ke  pantry. Untuk menghabiskan secangkir kopi pahit sendirian disana. Selagi  menyeruput sajian hangat itu, matanya tertuju pada secarik kertas yang  terselip di balik lemari penyimpanan gelas-gelas kering. Di bagian  kertas yang menyembul itu ada tulisan tangan berbunyi ”Belongs to Natin”.
”Gihiiile. Pake  bahasa Inggis segala nih si Natin...” bisik  dihatinya. ”Boleh juga nih Office Boy....” gumamnya sulit untuk  dihentikan. Tapi dia juga merasa ragu, apa benar Natin bisa bahasa  Inggris. Atau sekedar niru tulisan orang lain. Atau..., mungkin ya cuman  itu doang yang dia bisa selain nyebut ’I Love You....”
Rasa penasaran  mendorong Aiti untuk menarik kertas itu. Ternyata satu bundelan sekitar  delapan halaman. Mata Aiti langsung terbelalak melihatnya. Mukanya  melongo seperti orang bego. Tangan kanannya menutup mulut yang menganga  tanpa ada sedikit pun kata.
Baru beberapa detik  kemudian Aiti tersadar. Nggak disangka. Ternyata selama ini, Natin..... Dia  berlari menuju ke kubikal. Disana orang-orang masih terkurung dalam perbedaan pendapat  itu. Kata kubu yang satu,  Natin sudah  kehilangan wibawa. Kata-katanya mulai ngelantur. Ngawur. Nggak cocok  lagi dengan dinamika orang-orang di kubikal.
Pihak yang lainnya  membela Natin mati-matian.  Mereka mengatakan jika Natin itu  kemungkinan adalah seorang sufi. Atau orang bijak yang sedang menyamar.  Atau orang berilmu tinggi yang sedang turun gunung. Makanya tidak semua  ajaran dia bisa difahami.
”Sebaiknya kalian  liat ini!” Teriakan Aiti menghentikan perdebatan itu. Dia menenteng  kertas yang ditemukannya sambil tergopoh-gopoh.
Opri segera menyambar  kertas itu dari tangannya. Yang lain tidak mau ketinggalan. Langsung  mengerubuti Opri yang tidak sabar untuk mengetahui apa yang tertulis  disitu. Siapa tahu kertas itu berisi dokumen rahasia yang membeberkan  identitas Natin yang  sebenarnya.
Tapi. Ketika membaca  apa yang tertulis di halaman depan.
Mereka semakin  terkejut. Bukan karena berhasil membongkar tabir yang selama ini  menutupi identitas Natin yang  sebenarnya. Melainkan karena di kertas yang bertuliskan ’Belongs to Natin’ itu ada  sebuah logo yang tidak sembarangan.
Selain logo itu. Di  bagian atas halaman depan dokumen itu ada sebuah tulisan yang membuat  mereka terkesima. Tulisan itu berbunyi; ”HARVARD BUSINESS REVIEW”.
Mereka bergidik.
Nggak seorang pun  dari penghuni kubikal yang pernah membaca dokumen serupa itu sebelumnya. Mereka  percaya jika itu hanyalah pantas untuk menjadi santapan para boss.  Sedangkan pegawai biasa-biasa saja nggak cocok membaca yang begituan.
Diantara keterkejutan  itu, mereka menemukan pemahaman atas menu hari ini yang ditemukan dalam  whiteboard di pantry. Sekarang mereka mengerti maksudnya.
Setelah berdebat  dalam perbedaan pendapat, akhirnya mereka mengerti apa yang dimaksud  oleh Natin dengan menu  hari ini yang dibuatnya. Ternyata memang Natin tidak  sekedar membual. Atau meneriakkan jargon-jargon seperti yang  digembar-gemborkan oleh orang-orang pintar diatas podium. Natin mengatakan  sesuatu yang realistis. Yaitu sesuatu yang dia sendiri sudah  melakukannya. Bukan sekedar teori dalam bualan.
Pantas jika Natin menulis menu  hari ini di whiteboard seperti itu. Karena dia sendiri sudah terlebih  dahulu melakukannya. Wajar jika di whiteboard itu Natin menulis  begini:
Menu hari ini:
”SEKOLAH DI KANTOR”
Bekerja itu. Bukan  sekedar mencari uang.
Bekerja itu adalah  proses belajar dan meningkatkan kapasitas diri. Tidak ada orang yang  langsung terampil begitu selesai kuliah. Tidak ada pengalaman yang bisa  didapatkan tanpa melakukannya. Maka bekerja, adalah saat terbaik untuk  menempa diri. Sehingga kantor, adalah tempat terbaik untuk ’bersekolah’.  Begitulah prinsip hidup Natin.   
Semua orang di kubikal saling pandang. Tak ada kata terucap. Setidaknya untuk  beberapa waktu. Mereka terjerat dalam perenungan tentang apa yang selama  ini mereka lakukan di kubikal. Uang. Adalah kejaran nomor satu-satunya. Segala sesuatunya  diukur hanya dengan uang. Uang. Dan uang. 
Jika nggak ada uang  yang sepadan. Ngapain susah-susah ngerjain.
Jika nggak ada uang  tambahan. Ngapain ada tambahan penugasan.
Jika ngga ada uang  lebih. Ngapain harus kerja lebih dari job description.
Sekarang mereka  mengerti. Mengapa Natin selalu mau  menerima perintah mengerjakan apapun. Disuruh membantu manager ini,  siap. Diperintah membantu manager yang itu, mau. Bahkan Natin sering  datang kepada orang-orang yang sibuk. Lalu bertanya;”Boleh saya bantuin  kerjaannya Mbak....”
Namun belum  benar-benar mereka pahami hingga pagi ini. Bahkan ketika Natin menuliskan  menu hari ini di whiteboard kesayangannya. Orang-orang dikubikal tidak serta merta memahaminya. Mereka malah  memperdebatkannya.
Namun, fakta yang  tertulis dalam dokumen berbahasa Inggris setebal delapan halaman itu  menceritakan hal lain. Yang tak seorang pun bisa membantahnya. Ternyata.  Semangat belajar Natin benar-benar  melampaui siapapun yang jabatan dan kedudukannnya di kantor lebih  terhormat.
Seorang karyawan  keren membaca buku? Itu biasa.
Seorang manager ngomong bahasa Inggris? Itu sudah seharusnya. Masak manager nggak ngerti bahasa Inggris. Kursuslah biar ngerti sedikit-sedikit.
Seorang manager ngomong bahasa Inggris? Itu sudah seharusnya. Masak manager nggak ngerti bahasa Inggris. Kursuslah biar ngerti sedikit-sedikit.
Tapi. Seorang office  boy menyantap ’Harvard Business Review’? Itu bukan hal yang biasa.  Jangan-jangan. Cuma Natin satu-satunya  yang menyantap bacaan semacam itu di seantero kantor.
Apapun itu. Telah  membuat semua orang di kubikal sadar. Bahwa mereka harus segera memperbaiki orientasi  kerjanya. Uang. Ya. Semua orang membutuhkan uang. Tetapi, uang sudah  pasti didapatkan oleh mereka yang bekerja dengan baik. Di tempat yang  baik.
Selain uang, apa?
”Weleh, weleh,  weleeeeeeeh......” suara Pak Mergy memecah keheningan. ”Khusyuk sekali  kalian ini membacanya.” katanya. ”Kertas apa-an tuch?” seraya menarik  dokumen itu dari tangan Opri.
Air mukanya  menyiratkan senyum sumeringah. Sampai ketika matanya menangkap apa yang  tertulis di dokumen itu. Mendadak saja sekujur tubuhnya membeku.
”N-Natin.... b-baca  artikel ini....?” Nyaris tidak jelas. Apakah Pak Mergy bertanya kepada  orang-orang. Atau sekedar bergumam untuk dirinya sendiri.
”Ah, ya. Ehm.”  Secepat kilat Pak Mergy kembali kepada gaya bicaranya yang berkelas.  Membetulkan dasinya yang sebenarnya baik-baik saja. Lalu kembali  berkata;”Ini adalah sesuatu yang layak kalian contoh.”
”Jangan mau jadi  orang yang terkungkung oleh keterbatasan kubikal,” kata Pak Mergy lagi. ”Ingat. Ilmu itu bisa diakses oleh  siapa saja. Maka belajarlah kalian. Biar jadi orang pintar. Karena orang  pintar, punya masa depan yang lebih baik.”
Pak Mergy sekali lagi  membetulkan dasinya. 
”Sekris.” teriak Pak  Mergy. 
”I-Iya Pak,” Sekris  menyahut setengah gugup.
”Tolong terjemahkan  dokumen itu untuk saya.....” katanya.
Hooooooh…….  Orang-orang langsung merasa lemas…..
Tiba-tiba  saja semua orang di kubikal menyadari bahwa setiap orang mempunyai  kesempatan yang sama untuk belajar. Peluang yang sama untuk berkembang.  Kemungkinan yang sama untuk terus meningkatkan diri. Hanya saja. Cuma  sedikit yang mau mengambil tindakan. Beruntung sekali. Hari ini mereka  bisa mencerna pesan penting yang  dituangkan oleh Natin  di whiteboard didalam pantry. Kata Natin,  bekerja itu seperti sekolah. Karena selama bekerja, kita berkesempatan  untuk mempelajari banyak hal. 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman –  2 April 2012Catatan Kaki:
Mengembangkan diri itu adalah tanggungjawab pribadi. Jangan  menunggu perusahaan melakukannya untuk Anda. Lakukanlah sejauh yang Anda  bisa.
Salam  hormat,
Mari  Berbagi Semangat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar