Oleh: Rky Refrinal Patiradjawane
Apa beda seorang  profesional dengan seorang wirausahawan? Apakah sifat-sifat kewirausahaan dapat diajarkan dan ditularkan kepada  orang lain? Inilah dua pertanyaan yang paling kerap ditanyakan. Namun jawaban mengenai profil wirausahawan ini tak pernah sama. 
  Meskipun begitu, kita  masih bisa menemukan kesamaan para wirausahawan itu. Mereka merasa memiliki kontrol terhadap nasib mereka  sendiri. "Jika saya gagal, paling tidak sayalah yang menggagalkannya. Saya tidak akan membiarkan orang lain yang tak tahu siapa diri saya ikut menentukan  nasib saya. Jika saya berani mengambil risiko, saya pula yang harus menerima hasilnya." Itulah kira-kira yang bakal diucapkan seorang wirausahawan  jika diminta menjelaskan siapa dirinya. 
  Perasaan "kontrol atas  nasib" inilah yang menjadi spesialisasi Howard H. Stevenson dari sekolah bisnis Harvard University.  Ia mengajukan teori yang memilah-milah perasaan itu di antara dua kutub.  Kutub pertama disebutnya "promoter." Ini adalah ciri wirausahawan yang terus mengejar kesempatan tanpa mempedulikan apakah ia punya cukup  sumber daya atau tidak. Kutub lainnya adalah "trustee" yang selalu memeriksa sumber dayanya terlebih dahulu dan baru mengejar kesempatan berdasar  inventaris yang dimilikinya itu. 
  Tentu saja, tidak ada  seorang pun yang murni "promoter" atau sebaliknya "trustee" sempurna. Namun, jika dibandingkan dengan profesional, seorang wirausahawan cenderung  mendekati tipe "promoter" di dalam spektrum kontrol nasib ini. Mereka terus-menerus membuat keputusan berdasarkan kesempatan yang muncul.
  Pelatihan Wiraswasta
  Lalu, apakah  kewirausahaan dapat diajarkan? Dapat, dengan mengetengahkan beberapa materi. Pertama berkaitan dengan pengetahuan  dasar. Kedua, mengenai pengembangan motif berprestasi. Dan ketiga mengenai  sikap. 
  Dengan kerangka  berpikir yang diungkapkan oleh McClelland mengenai kebutuhan berprestasi, sebuah pelatihan untuk mestimulasi motif  ini perlu diberikan. Pelatihan ini bermaksud menyebarkan virus nAch (need  for achievement) bagi para pesertanya, agar memiliki daya juang yang tinggi  dalam meraih prestasi. 
  Hal terakhir yang  harus dikembangkan adalah serangkaian sikap. Minimal tiga sikap yang harus dipunyai seorang wirausahawan.  Sikap pertama, selalu yakin bahwa di balik setiap situasi selalu ada  kesempatan untuk memperbaiki diri dan meningkatkan segala hal. Sikap kedua mencakup  tanggung jawab pribadi untuk melaksanakan perbaikan tersebut. Dan sikap ketiga,  selalu meragukan kebenaran yang disampaikan para pakar dan mereka yang lebih  berpengalaman. Jangan sekadar "meniru ahlinya." Karena, kalau anda mengetahui mengapa mereka sampai bisa salah, maka anda bisa mengambil tindakan  perbaikan yang diperlukan. 
  Sekadar menjadi  seorang pembangkang yang melawan segala peraturan bukanlah hal yang baik. Kekuasaan lebih banyak datang dari  kemampuan berfikir orisinil -- yang membuat anda lebih kreatif -- pada saat orang  lain sekadar meneruskan cara lama. 
  Yang perlu dicermati,  sukses acap menjadikan anda kurang bersikap wirausaha. Berbeda dengan saat anda memulai pertama kali dulu,  saat masih miskin. Saat itu sangat mudah menciptakan strategi yang didorong  oleh kesempatan. Anda tak punya sumber daya yang harus dilindungi. "Nothing  to lose." 
  Akan tetapi, begitu  anda mulai bertanya-tanya, "Apa yang harus kulakukan atas sumber daya yang kumiliki?" maka anda mulai terjebak dalam rutinitas, mengulangi hal-hal lama yang sama. Anda memang  harus mengenal sumber daya ekonomi dan konsumen anda. Namun bukan berarti anda  harus terkungkung di dalamnya. 
  Apa yang harus  dikatakan seorang wirausahawan sejati adalah, "Dengan keunggulan tak adil yang kumiliki ini, kesempatan apa  yang akan kuperoleh?" Sebagai seorang wirausahawan, anda jangan berharap berkompetisi dalam permainan yang adil. Anda harus siap menghadapi  ketakadilan. Bagaikan antitesis dari para ekonom yang percaya akan adanya pasar  sempurna. 
  Seorang wirausahawan  selalu menggenggam keyakinan seperti itu. Yakin mengenai ketaksempurnaan, sehingga selalu mengambil  kesempatan yang dilihatnya. Mungkin ini egois, namun ini juga merupakan keyakinan yang mendasari bentuk keyakinan lainnya: bahwa dia bisa mengenali hal-hal  yang tidak diketahui oleh orang banyak. 
Jadi, seperti renungkan apa yang dinasehatkan oleh Randy Komisar dalam Harvard Business Review. Goodbye career, hallo success. Jangan biarkan karir mengendalikan Anda, tapi biarkan semangat Anda yang mengendalikannya.
  Jadi, seperti renungkan apa yang dinasehatkan oleh Randy Komisar dalam Harvard Business Review. Goodbye career, hallo success. Jangan biarkan karir mengendalikan Anda, tapi biarkan semangat Anda yang mengendalikannya.
Rky Refrinal Patiradjawane
Praktisi Riset Pemasaran dan Strategi

Tidak ada komentar:
Posting Komentar