Oleh: Dadang Kadarusman
Berkabung.
Itulah yang sedang terjadi. Bukan hanya di rumah keluarga yang ditinggalkan. Tetapi juga di kubikal. Dan seluruh kantor cabang perusahaan. 
Sebagian besar orang di kubikal  baru mendapatkan beritanya tadi pagi. Ketika mereka memasuki kantor.  Namun ada beberapa orang yang sudah tahu sejak tadi malam. Salah seorang  pegawai mengalami kecelakaan lalu lintas ketika pulang kerja. Saking  parahnya. Jiwanya nggak tertolong lagi.
Seolah nggak percaya.
Semua orang hanya  bisa bengong. Bukan hanya teman-teman dekatnya. Tetapi juga teman yang  hanya mengenalnya selintas. Bahkan mereka yang belum mengenalnya. Pagi  itu. Semua orang tercenung. Sambil merenungkan; Apakah seseorang harus  sampai meninggal ketika sedang berjuang mencari nafkah buat keluarganya?
Pertanyaan yang menggugat.
Tetapi begitulah  kenyataannya. Bukan sekali itu saja kejadiannya. Di koran. Sudah  berkali-kali peristiwa serupa itu diberitakan. Ada pegawai yang jatuh  ketika sedang membersihkan gedung. Ada teknisi yang terkena sengatan  listrik saat memperbaiki instalasi. Ada operator yang tergencet mesin  penggiling. Ada yang.... Macam-macam.
Kematian juga nggak  pilih kasih. Nggak cuma pegawai kecil yang direnggut hidupnya. Pegawai  kelas atas pun demikian. Ada direktur yang meninggal di ruang kerjanya.  Ada boss besar yang tengah berdinas di luar kota, dan pulang tinggal  jasadnya. Ada top eksekutif yang tiba-tiba jatuh di ruang rapat. Lalu  pulang ke rumah dengan keranda.
Kematian itu adil. 
Tidak memilih. Dan tidak memilah. Semuanya mendapatkan kesempatan yang sama. Tapi kenapa harus orang yang sedang bekerja?
Ada begitu banyak pertanyaan yang memenuhi benak semua orang di kubikal.  Untuk sehari itu. Mereka menyadari jika hidup tidak pernah bisa  diprediksi kapan berakhirnya. Namun karena kita menghabiskan sekitar  setengah dari hidup kita di tempat kerja. Maka peluang untuk  mengalaminya pada saat bekerja selalu terbuka.
Ada gundah di hati mereka.
Namun ada penghiburan yang menyertainya. Sebuah kalimat kecil yang dituliskan Natin  di whiteboard yang menempel di dinding pantry. Menu hari ini. Begitu  seperti biasanya tertulis. ”HARAPKAN LEBIH DARI SEKEDAR GAJI”.
Dengan menu itu Natin seolah hendak mengingatkan orang-orang di kubikal  bahwa bekerja itu. Tidak peduli berapapun gajinya. Tetap tidak sepadan  dengan resikonya. Jangankan ngomong soal resiko. Soal tenaga. Soal  kesal. Soal  lelah di hati. Soal ganjalan didada. Soal perasaan tertekan. Semuanya.  Sungguh. Gaji yang kita terima itu nggak bakal pernah sepadan. Meski  dinaikkin jumlah berkali-kali lipat.
”Gaji kita emang dari dulu kurang besar,” bisik Opri. Seolah mengiyakan menu hari ini itu. Seolah mencemooh juga.
”Di kali sepuluh juga  akan tetap kurang, Pri.” begitu sergah Fiancy. ”Jiwa kita masih terlalu  berharga untuk dibayar berapapun.” lanjutnya. 
”Jadi kita nggak usah  kerja aja, kaleeee....” balas Opri. Emosional. Tapi bisa dimaklumi. Tak  ada orang yang dengan senang hati menerima kepergian sahabatnya ketika  dia sedang menjalankan tugas. 
”Bukan begitu,” sela Aiti. 
”So?” mulut Opti bulat agak memonyong.
”Bener yang dibilang Natin,” balas Aiti. ”Kita mesti mengharapkan lebih dari sekedar gaji.” katanya.
”Jadi kita demo aja?” lonjaknya. ”Biar top managemen tahu kalau pekerjaan kita semua beresiko?”
”Nggak ada pekerjaan  yang nggak beresiko, Pri.” Fiancy menimpali. ”Ini nggak semata-mata soal  pekerjaan. Ini soal hidup kita yang sedemikian berharga.” 
”Elo sembunyi di rumah juga tetap saja bakal mati juga,” ceplos Sekris.
”Jadi kita ini sebenarnya ngomongin apa-an sih?” Opri makin sewot. ”Ngomongin pekerjaan atau ngomongin soal kematian?”
”Diiih, kok jadinya serem amat sih....” Jeanice merinding. ”Ngomongin yang lain aja yuuuukk.....hhh...”
”Coba elo renungkan menu hari ini yang Natin tulis Jean,” Fiancy berbalik menatap Jeanice. ” Natin mengajak kita untuk mulai ngebenerin niat kita dalam bekerja.” lanjutnya.
”Gue rasa, Natin pengen kita kalau kerja nggak cuman mikirin gaji doang.” katanya. ” Natin pengen kita semua kalau kerja itu mengharapkan lebih dari gaji, Galz...”
”Apakah kita bisa berharap lebih dari itu?” tanya Opri.
”Bonus, maksudnya? Kan kita udah dapet?” Jeanice ikut mempertanyakannya.
”Gaji, bonus,  tujangan, asuransi, fasilitas, semua sama saja.” jawab Fiancy. ”Semua  yang kita dapatkan secara materi dari kantor. Itulah yang dimaksud oleh Natin.”
Matanya Fiancy memandang berkeliling. ” Natin  mengajak kita untuk mengharapkan lebih dari sekedar imbalan-imbalan  material begitu.” lanjutnya. ”Dia ingin kita semua belajar mengharapkan  sesuatu yang... hakiki. Emh... maksud gue... yang benar-benar sepadan  dengan resiko dan pengorbanan kita dalam bekerja.”
”IYYA TAPI APPPPAAAAAAA?” semua orang serempak meminta kejelasan.
Fiancy terdiam untuk beberapa saat. Lalu. Dia berkata; ”Gue rasa.” katanya ”Natin ngajak kita untuk meniatkan setiap pekerjaan yang kita lakukan untuk Tuhan.”
Tuhan? Rasanya. Kata  itu jarang sekali disebut-sebut disitu. Padahal tidak ada sesuatu pun  yang terjadi dengan hidup kita tanpa seizin-Nya. Padahal. Dia Yang Maha  Kuasa menjanjikan balasan yang terbaik untuk setiap kebaikan yang kita  lakukan. Padahal. Tak ada satu pun tindakan kita yang tidak tercatat.  Lalu diperhitungkan-Nya di hari kemudian.
Sungguh  berbahagialah. Orang yang mempersembahkan setiap tindakan dan hasil  karyanya hari ini. Bagi Tuhannya. Beruntung karena orang itu pasti  mendapatkan balasan yang setimpal. Dia sudah mendapatkan gaji atau bonus  untuk pekerjaannya itu. Namun lebih dari itu. Dia mendapatkan kebaikan  dan pahala yang diharapkannya dari Tuhannya.
Maka harapkanlah balasan yang terbaik kepada Tuhan. Begitu kata Natin. Agar untuk setiap pekerjaan yang kita lakukan. Kita bisa mendapatkan lebih dari sekedar gaji. 
Jika kita hanya  mengharapkan gaji. Ya cuman gaji itu doang yang kita dapatkan. Tapi jika  kita juga berharap Tuhan mencatatkannya sebagai kebaikan. Maka niat  kita itu pasti kesampaian.
Orang itu juga  beruntung, kalau meniatkan pekerjaannya untuk melayani Tuhan. Karena.  Dengan niat yang bernilai tinggi itu. Dia nggak mungkin kerja  asal-asalan. Malu dia kalau bertindak demikian. Bukan malu pada teman.  Atau pada atasan. Tapi malu pada Tuhan. Masa sih melayani Tuhan  asal-asalan. Jadi. Pasti dia bekerja lebih baik di sepanjang hari itu.
Prestasinya pasti  bagus. Kualitas kerjanya. Pasti memuaskan. Karena dia malu pada Tuhan  jika hanya menghasilkan sesuatu yang berkualitas rendah.
Orang itu juga akan  tahan banting. Karena meskipun menghadapi situasi sulit. Diomelin  pelanggan yang bawel. Dimarahin atasan yang sok kuasa. Dia percaya.  Bahwa dia sedang melayani Tuhan. Jadi. Mengapa pusing dengan  gangguan-gangguan kecil seperti itu. Fokus saja pada usahanya melayani  Tuhan. Maka dia akan dengan khusyu. Dan khidmat. Dalam menjalani  pekerjaannya.
”Can we not to talk  about the thing doesn’t exist, please?” suara itu datang dari belakang.  ”Gue nggak percaya kalau Tuhan itu ada,” lanjutnya.
Semua orang  terperangah. Tetapi hanya sebentar saja. Karena mereka percaya jika  keyakinan adalah hak asasi manusia. Nggak ada yang boleh memaksa  seseorang yang mengimani ini atau itu. Jadi. Mereka santai aja  menyikapinya.
”Nah..., kalau elo  nggak percaya Tuhan itu ada,” giliran Opri yang berdiri sekarang. Lalu  berjalan menghampirinya. ”Setidaknya elo bisa meniatkan bekerja itu  untuk melayani sesama. Oke?” telapak tangan Opri sudah ada di bahunya.  Nggak ada pilihan lain bagi orang itu selain mengangguk. ”Hidup elo  singkat. Pastikan elo berguna buat orang lain.”
”Anak-anak, dengarkan  sebentar. Ada pengumuman penting,” suara Pak Mergy membuyarkan  pembicaraan mereka. Semua bersiap untuk mendengarkan pengumuman yang  kata Pak Mergy penting itu.
”Pagi ini saya mendapatkan kabar jika tadi malam terjadi kecelakaan lalu lintas. Dan teman kita......” lanjutnya.
”Meninggal dunia kan Pak.” Opri dengan cekatan memotongnya.
”Lho, kok kamu tahu sih?” Pernyataan Opri benar-benar membuat Pak Mergy bengong. 
Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…..
Tiba-tiba saja semua orang di kubikal  menyadari bahwa apapun yang kita dapatkan sebagai imbalan dari  pekerjaan yang kita lakukan sungguh tidak sepadan dengan pengorbanan.  Dan resiko yang kita hadapi selama bekerja itu. Maka bukan imbalan  berupa materi yang bisa mengimbanginya. Melainkan imbalan yang kita  harapkan dari Dzat yang maha membalas kebaikan. Tenteram hati mereka  setelah mengganti niatnya. Sekarang. Mereka bukan sekedar mengharapkan  gaji dan imbalan lainnya. Dalam bekerja. Mereka juga mengharapkan pahala  dari sisi Tuhannya. 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman – 16 April 2012
Author, Trainer, & Public Speaker ”Natural Intelligence”  
Catatan Kaki:
Setiap  kali mengerjakan tugas-tugas harian kita, harapkanlah kebaikan di dunia  dan diakhirat. Agar kita mendapatkan kedua-duanya.
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat  bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong,  jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak  berkurang karenanya.  
Minggu, 15 April, 2012 18:57

Tidak ada komentar:
Posting Komentar