Waktu itu sudah malam, sekitar  jam 10 malam. Seorang wanita manis masuk ke kamar saya membawakan kabel  untuk mengetes internet di kamar. Dia adalah seorang Guest Relation  Officer di hotel tempat saya menginap. Saya lalu bertanya  kepadanya,"Chandra, kamu pernah nginap di sini?". Dia menjawab, "Ya  tidaklah, pak."
Saya bertanya heran, "Lho  kok ngga pernah? ". Dia memandang saya seolah-olah pertanyaan saya  sangat aneh, "Ya enggalah, pak. Saya kan bukan tamu. Bisa dipecat saya  nanti, kalau saya menginap di sini." begitu kurang lebih tanggapannya.
Di  suatu waktu yang lain, saat saya sedang melatih SPG, saya bertanya  kepada mereka, "Produk yang ini rasanya gimana? Enakan mana yang itu  dengan yang ini?" saya bertanya sambil menunjuk. Mereka menjawab, "Nggak  tau, pak. Kami nggak pernah coba."
Saya  memiliki sebuah hotel. Kami memiliki program, bahwa setiap karyawan yang  bekerja haruslah pernah menginap di hotel kami sendiri. Mereka  mendapatkan jatah menginap bergilir. Saat sudah menginap, mereka diminta  komentar. Mulai dari penyambutannya, pengalaman mereka menginap, saat  sarapan, dll. Mereka mencatat semua pengalamannya.
Saya  memilih untuk tidak menunjukkan di mana letak kesalahan sebuah kamar.  Saat mereka menginap, mereka sadar apa yang dirasakan oleh tamu. Mereka  tau apa enak dan tidak enaknya. Saat perabot berbedu dan merekapun  enggan untuk meletakkan tangan mereka, barulah mereka sadar. Mereka jadi  punya inisiatif untuk memperbaiki kamarnya!
Saat  saya menginap, saya bisa tau bahwa kasur saya ternyata sudah melengkung  & tidak enak lag ditiduri Saya tau bel kamar rusak dan shower tidak  bisa disetel. Saat nginap, saya tau ternyata suara dari laundry masuk  ke kamar mandi. Saat nginap, saya tau bahwa ternyata pemakaian air per  kamar sangat boros.
Saat nginap saya bisa  merasakan jijiknya menginjak lantai yang tidak bersih. Saya tidak  menyewa mysterious shopper atau pembelanja misterius. Saya nginap  sendiri, saya mencoba sendiri menjadi tamu di tempat saya.
Manusia itu membeli karena alasan emosional, dan membenarkannya karena logika.  Bagaimana kita bisa tau kelemahan produk, rasa produk, kualitas  pelayanan kalau kita tidak mencobanya sendiri? Bagaimana kita bisa  menjual secara emosi kalau kita bahkan tidak tau seperti apa produk  kita.
Menurut anda mana yang bisa menjual lebih bagus? Yang membaca brosur saja atau yang betul-betul merasakan produk kita sendiri?
Salam dahsyat!
Minggu, 10 Juni, 2012 13:38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar