Sabtu, 30 Juni 2012

Natin: Apa Gunanya?



Ternyata banyak banget loh yang bisa kita pelajari dari teman-teman sendiri. Sepertinya ilmu itu nggak ada habis-habisnya. Apalagi yang berhubungan langsung dengan pekerjaan. Kerasa banget kalau kita hanya menguasainya sedikit saja. Padahal, katanya kepengen sukses karirnya. Tapi kemampuan kerja kita cemen banget. Cemen karena cuman bisa mengerjakan bagian kita aja. Sementara soal pekerjaan teman di departemen lain kita gelap banget.
 
Emang sih paling enak kalau cuman mikirin kerjaan sendiri. Kalau kerjaan udah selesai ya udah aja. Damai sentosa gitu. Kalau perlu langsung cabut deh dari kantor. Lho, kan kerjaan sudah selesai. Mau apa lagi. Kalau boss sampai negur kita juga tenang aja lagi. ‘Semua pekerjaan sudah selesai boss, silakan periksa kalau nggak percaya…’ tantang gitu aja sekalian. Pasti semuanya beres.
 
Lha, terus boss mau ngapain lagi? Kalau semuanya sudah kelar, nggak mungkin kan dia menghukum? Ya, kecuali kalau boss yang senewen. Kan ada aja tuch boss yang kayak gitu. Seperti YKW-lah. Tapi nggak fair juga sih kalau nyorotin YKW aja. Soalnya kan bisa jadi boss yang kayak YKW itu ada nggak cuman di perusahaan ini aja. Buktinya kalau lagi pada ngumpul dengan teman-teman lama, mereka selalu bilang hal-hal buruk soal bossnya. Kalau dipikir-pikir, ya mirip YKW juga. You Know Who.
 
Nah kalau pas beliau ada di kantor, mau tidak mau kita juga mesti pinter bawain dirilah sedikit. Pura-pura aja ada disana. Pura-pura ngerjain apaaaa gitu. Dan pura-pura pak pik pek. Kalau nggak, maka akan ada 2 kemungkinan. Kalau anak buanya sendiri, dimarahin. Kalau anah buah orang lain dilaporin ke atasannya. Emang sih, boss lain juga udah tahu kok gayanya yang sok sempurna itu. Makanya kita sering EGP aja. Tapi kan kita temenan sama anak buahnya. Mesti solider dong, ya kan? Pokoknya ribet deh.
 
Sekarang keadaannya beda banget. Setelah menjalankan saran Natin untuk saling mengajari dengan teman, cara orang-orang kubikal mengisi waktu luang itu benar-benar berbeda 180 derajat. Pikiran mereka sudah terbuka. Alias nyadar kalau waktu yang kita miliki itu terlalu berharga untuk dilewati dengan sekedar nongkrong. Atau terbuang percuma hanya gara-gara pekerjaan sudah diselesaikan.
 
Sekarang, mereka tahu kalau waktu yang masih tersisa itu bisa menjadi aset berharha yang sangat tinggi nilainya. Dan nggak perlu lagi pura-pura ngerjain sesuatu saat ada waktu luang. Karena waktu itu sangat berharga untuk mempelajari sesuatu yang baru.
 
Setelah mengikuti kelas dari Fiancy, mereka menjadi lebih paham tentang cara berpikir orang finance. Bagaimana mereka bekerja. Dan apa saja hal-hal terpenting dalam melaksanakan tugasnya. Memang sih, nggak semua yang diajarkan Fiancy itu bisa dipahami 100%. Tapi, hal-hal prinsipilnya sudah mereka pahami. Bahkan ada beberapa hal praktis yang mereka bisa kerjakan. Misalnya, kalau dikasih tugas kecil-kecil soal urusan finance pede juga kok ngerjainnya. Ternyata nggak sulit-sulit amat.
 
Sewaktu Aiti sharing soal tugas dan pekerjaannya juga begitu. Orang-orang di kubikal jadi tahu kenapa komputer jadi sering ngehang. Malahan, dari Aiti itu mereka jadi paham kalau ternyata aktivitas komputer kita bisa dimonitor tanpa disadari. Singkatnya, semua yang ada di layar komputer itu bisa dilihat oleh ‘seseorang’ dari jarak jauh sehingga mereka tahu persis apa yang sedang dilakukan oleh seorang karyawan dengan komputernya. Pokoknya, kita bisa lebih waspada dari sebelumnya deh.
 
Tapi itu juga nggak berarti kalau semuanya berjalan mulus. Surga kali ya kalau semuanya oke-oke aja. Kalau di kubikal sih sama saja seperti di tempat lainnya. Semangat kerja kadang naik, kadang juga turun. Emosi kita juga sama. Nggak selamanya datar aja. Ketika baru menjalankan suatu ide, kita semangat banget. Tapi kalau sudah berjalan beberapa waktu, biasanya sih sudah mulai kendor lagi tuh. Bukan sekerdar kendor. Bahkan bisa aja dipertanyakan; buat apa kita melakukan itu.
 
“Iya ya. Sebenernya kita melakukan semuanya ini buat apa sih!?” Cetus Opri. Nggak terlalu jelas apakah dia itu mengajukan pertanyaan atau pernyataan. Tapi nada bicaranya terdengar seperti sebuah gugatan.
 
“Maksud eloh?” Seperti halnya teman-teman lain, Sekris nggak benar-benar paham apa maksudnya.
 
“Ya kita ngapain ngelakuin yang begini-begini. Toh gue juga nggak bakal disuruh ngerjain pekerjaan orang lain.” Balas Opri.
 
Wajar. Jika manusia mempertanyakan sesuatu ketika tengah dilanda kebosanan. Jangankan urusan sepele seperti yang tengah Opri gugat itu. Pada urusan penting pun kita begitu kok. Misalnya. Ketika pekerjaan sedang tidak menyenangkan orang cenderung bertanya; ‘apa nggak ada kerjaan lain yang bisa gue dapat?’. Kalau lagi bête sama pacar pun begitu ‘emangnya nggak ada cowok lain yang lebih baik dari dia?’
 
Wajar. Karena pertanyaan itu sangat manusiawi. Nggak usah menyesal punya perasaan galau kayak gitu. Justru hal itu menunjukkan jika jiwa kita sedang membutuhkan tambahan alasan untuk menjalani segala sesuatu. Artinya, ada ruang kosong dalam jiwa kita yang butuh ‘zat pengisi’. Yang paling penting kita mesti segera mengisi ruang kosong itu dengan sesuatu yang positif aja. Biar nggak keburu dikuasai oleh ‘zat pengisi yang buruk’. Bahaya.
 
Makanya dalam setiap pertanyaan menggugat itu selalu ada titik kritisnya. Yaitu suatu keadaan yang paling menentukan apakah pertanyaan itu menjadi penguat jiwa kita dalam melakukan sesuatu. Atau sebaliknya bakal menumbangkan semangat yang sudah ada sehingga nggak mau lagi melakukannya. Banyak banget loh contohnya. Misalnya aja ya. Banyak orang yang berhenti bekerja tanpa alasan yang jelas. Cuman kebawa emosi doang.  Karena kesal dengan system. Gondok sama atasan. Kecewa karena nggak berhasil rebutan jabatan. Keluar. Padahal belum punya kerjaan baru dan nggak tahu mau ngapain sesudah itu. Nah itu contoh kalau zat pengisi yang buruk keburu mengisi ruang kosong didalam jiwanya.
 
Bukan berarti kalau zat pengisinya baik orang itu nggak bakal keluar juga sih. Tapi, ketika dia memutuskan untuk keluar itu, pastinya dia lakukan tidak semata-mata karena emosi yang memuncak sampai ke ubun-ubun gitu. Melainkan dengan pertimbangan yang matang dan dewasa.
 
Pertanyaan Opri bukannya dapat jawaban dari teman-temannya. Mereka malah jadi pada bengong. Setelah itu mereka seperti tertular virus penyebab kezombian. “Iya ya. Sebenernya kita melakukan semuanya ini buat apa sih!?”
 
Harusnya giliran Sekris yang sharing tentang pekerjaannya sebagai sekretaris. Tapi gara-gara pertanyaan menular itu semuanya jadi nggak ngapa-ngapain sama sekali. Mulut mereka melongo seperti sedang menyerbut huruf ‘O’ setengah hati. Mata melotot seperti lagi kesambet. Tubuh mematung seperti sedang terserang mantra pembeku orang Eskimo.
 
“Nok. Nok. Nok….” Seseorang datang entah darimana asalnya. Tapi tak seorang pun yang memperdulikan kehadirannya.
 
“Hellllloooooo…..?” kata orang itu.
 
Mereka masih pada diam juga.
 
“WOOOOOOY, ELO PADE UDAH PADA SEDENG YA!” Akhirnya, orang itu berteriak sekeras-kerasnya.
 
Seperti bayi yang terserang sawan karena mendengar bunyi petir. Mereka terkejut alang kepalang.
 
“VOLDY….!!!!” Opri mendampratnya dengan suara yang nggak kalah keras. “NGAPAIN SIH ELO TERIAK-TERIAK KAYAK GITU!?”
 
“Lha, itu elo sendiri teriak-teriak,” balas Voldy nyantai aja.
 
Sementara kedua sejoli itu sibuk dengan gaya ributnya yang kayak kucing lagi kawin itu, semua orang di kubikal cuman mesam-mesem aja. Mereka seperti sedang menonton telenovela Korea yang pastinya ribut dulu sebelum jadian.
 
“Ya udah deh terserah elo!” tampaknya Voldy benar-benar menemukan lawan yang seimbang. “Gue kesini juga demi kepentingan elo!” katanya.
 
“Maksud elo apa?” Opri masih garang. Tapi nada suaranya menurun. Telinganya terpengaruh oleh ‘demi kepentingan elo!’ yang barusan Voldy katakan.
 
“Nih, ada surat buat elo yang nyasar ke tempat gue!” katanya, sambil mengacungkan amplop berwarna pink. Lalu menghempaskannya diatas meja Opri.
 
“Woooooow…….” Tanpa disadari bunyi itu keluar dari mulut orang-orang kubikal.
Opri melirik tajam kepada mereka yang langsung menutup mulut dengan tangannya masing-masing. Dia hampir kembali membalikkan badan kearah Voldy ketika tiba-tiba saja Sekris nggak dapat menahan diri untuk mengatakan “Toooooo twiiiiit…….”
 
“Eeehhh… apaan sih!” protes Opri.
“Ngaco lu!” hardik Voldy.
 
Sementara kedua sejoli itu mendamprat Sekris. Semua orang lainnya melihat mereka berdua sebagai pasangan yang sangat kompak.
 
“Jangan mikir yang nggak-nggak ya!” kata mereka. Nyaris bersamaan banget. Ketika selesai mengucapkan itu, Opri langsung melihat ke arah Voldy. Begitu pula sebaliknya.
 
Tweweweng…. Tweng tweweweng…. Seperti ada kabel listrik yang mengalirkan setrum PLN kedalam dada mereka. Badegup. Blep! Kayaknya jantung mereka sempat berhenti sebentar. Lalu berfungsi lagi seperti baru saja di setrum di ruang UGD.
 
Kejadiannya hanya berlangsung sepersekian detik. Tapi efeknya sepertinya bakal menempel hingga berabad-abad.
 
“Ehm.. em.. gue… gue pergi dulu….” Kata Voldy. Dia langsung balik badan dengan dadanya yang ditegap-tegapin kedepan seperti biasanya. Tapi kali itu sikap angkuhnya tidak berhasil menyembunyikan kegugupannya.
 
Opri nggak terlalu memperhatikan apa yang terjadi setelah itu karena pikirannya tiba-tiba menghilang entah kemana. Dia baru nyadar beneran ketika teman-temannya berteriak nyaris terpekik,”Cepetan buka surat cintanya Pri…..”
 
“Eh, mmmh… apaaa-an sih lo. Dia kan udah bilang kalau ini surat buat gue yang nyasar ke tempatnya.” Katanya. Percuma aja dia pura-pura nggak deg-degan. Suara degup jantungnya terdengar seperti pake toa.
 
“Keren juga cara cowok elo itu menyatakan cinta Pri…” celetuk Mbak Aster.
Protes Opri sudah tidak ada artinya lagi dibandingkan kekompakan teman-temannya. Dia gagal meyakinkan mereka kalau itu bukan surat cinta. Terutama ketika mereka bilang; “Gimana elo tahu itu bukan surat cinta kalau belum membukanya?”
 
Sekarang Opri menghadapi dua pilihan yang sulit. Kalau surat itu tidak dibuka didepan teman-temannya, maka mereka pasti akan mengira kalau itu beneran surat cinta. Tapi. Kalau dia membukanya disitu. Gimana kalau itu beneran surat cinta dari Voldy? Bukankah memalukan sekali?
 
Opri melihat teman-temannya yang tengah mengerubungi dirinya seperti segerombolan kucing liar yang mengelilingi seorang musafir yang sedang makan dengan sepotong ikan. Akhirnya.. dia mengalah juga. Sambil berusaha menguatkan hatinya untuk mengambil resiko jika surat itu benar-benar dibuat oleh Voldy khusus untuk dirinya.
 
Matanya terpejam ketika tangannya membuka amplop pink itu. Namun secepat kilat dia menarik surat itu kedadanya ketika semua orang pada berebutan untuk melihat isinya. “Ini surat buat gue!” katanya. Sepontan aja teman-temannya jadi surut ke belakang.
 
“Bacain dong Pri… “ kata Aiti.
“Iya Pri… please…” timpal Jeanice. “Udah lama banget gue nggak denger orang yang menulis surat cinta seperti itu lagi….” Tambahnya.
“Iya, sekarang sih kebanyakan cuman menggombal lewat BBM doang!” Kata Mrs. X dengan wajahnya yang berubah menjadi kecut.
 
Opri nggak punya pilihan lain selain membacakan surat itu buat teman-temannya. Tapi dalam hati dia sudah berniat kalau misalnya ada kata-kata khusus yang dia nggak ingin teman-temannya tahu bakal dia lewat aja. Nggak bakal dibacain. Nanti dibaca bagian yang ‘aman-aman’ aja….
 
Begitu dia membuka surat itu. Wajahnya tiba-tiba berubah. Tidak terlalu jelas antara suka dan sebel. Pokoknya campur aduk aja deh. Hal itu membuat semua orang di kubikal menjadi bingung. Apa sih sebenarnya yang  ditulis Voldy di surat itu?
 
“Bacain dong, Pri…” Jeanice tidak sabar lagi menanti.
“Nih, baca aja sendiri…” kata Opri sembari menghempaskan surat itu ke atas meja. Untuk sesaat teman-temannya hanya bisa terpaku. Menatap surat itu dengan ragu. Kemudan termangu. Tanpa seorang pun yang melakukan apapun.
 
Baru beberapa menit kemudian Mbak Aster yang sudah senior mengulurkan tangannya untuk melihat isi surat itu. Membacanya. Lalu mengeluarkan bunyi ‘Oooooh’ yang membuat semua orang semakin penasaran.
 
Kemudian Mbak Aster menyerahkan surat itu kepada Mrs. X. Setelah membacanya, Mrs. X pun hanya mengeluarkan bunyi ‘Ooooh…..” yang sama. Tak lebih dari itu.
 
Semua orang makin penasaran. Sedangkan permintaannya untuk dibacakan nggak juga direspon. Bukannya ngasih tahu isi surat itu, Mrs. X menyerahkannya kepada Jeanice yang sedari tadi sudah bilang ‘please’ lebih dari seratus kali.
 
Begitu surat itu tiba ditangan Jeanice, Aiti langsung menghardiknya;”Kalau bilang ‘Ooooh…’ juga awwas lu ya Jean!” katanya.
 
Jeanice langsung gugup lalu berjanji membacakannya untuk semua orang. Ternyata surat yang katanya untuk Opri namun nyasar ke tempatnya Voldy itu isinya begini:
 
BAYANGKAN KALAU NANTI JADI ATASAN
ANDA TIDAK TAHU APA PEKERJAAN ANAK BUAH ANDA
 
Ternyata dugaan mereka keliru. Amplop pink itu bukan surat cinta Voldy untuk Opri. Tapi pesan dari Natin untuk semua orang. Sebenarnya ada banyak pertanyaan di benak mereka. Bagaimana surat itu bisa ada di tempat Voldy. Dan bagaimana ceritanya kok Voldy bisa begitu yakin kalau surat itu buat Opri? Aneh. Tapi pikiran aneh itu langsung tertutupi oleh kesadaran mereka atas apa yang barusan diingatkan oleh Natin.
 
Secara semua orang di kubikal itu masih berharap untuk bisa membangun karirnya lebih baik lagi di kemudian hari. Nggak hanya yang masih muda-muda seperti Opri, Aiti, Fiancy, Sekris maupun Jeanice. Mbak Aster dan Mrs. X juga masih berharap kalau mereka bisa mendapatkan perbaikan karirnya. Tapi, saat nyadar kalau selama ini mereka hanya terpaku kepada pekerjaannya saja dan tidak peduli dengan pekerjaan orang lain, mereka melihat ketidakcocokan antara cita-cita dan kelakuan.
 
“Makanya elo pade kalau kerja jangan cuman menyelesaikan pekerjaan elo sendiri aja,” kata Opri. “Kalau kerjaan elo udah selesai, gunakan waktu buat memahami pekerjaan yang lain,” tambahnya.
 
Semua orang nyengir. Perasaan tadi dia sendiri yang menggungat. Kenapa sekali jadi berbalik begitu? Tapi mereka mengamininya saja. Karena mereka maklum dengan kegalauan yang melanda sahabatnya.
 
“Biar elo pade bisa memenuhi kualifikasi untuk menjadi atasan yang bagus kelak…” kata Opri lagi.
 
“Selain itu,” lanjutnya. “Jangan pernah godain gue sama Voldy lagi. Gue nggak mau denger lagi…” kata Opri.
 
Teman-temannya mengangguk meskipun dalam hati mereka tidak yakin kalau hal itu akan ditepatinya. Meskipun berusaha untuk memalingkan wajahnya, tapi semua orang tahu kalau Opri benar-benar galau.
 
“Ada apa ini? Kalian kok pada menggerombol disini?” Pak Mergy sekonyong-konyong datang dengan gayanya yang elegan campur lebay.
 
“Oh.. mhhm. Nggak ada apa-apa kok Pak, eh…” Sekris menjawabnya dengan gugup sambil memberi isyarat kepada teman-temannya.
 
Nggak perlu dikasih kode dua kali, mereka langsung merapat untuk melindungi Opri biar Pak Mergy nggak bisa melihat wajahnya yang seperti es campur.
 
“Ah, kalian menyembunyikan seusatu ya…” kata Pak Mergy. “Minggir, saya mau lihat…” lanjutnya.
 
Percuma saja mereka mencegahnya karena beliau sudah melesak ketengah kerumunan hingga berhasil berhadapan langsung dengan Opri yang sedang bête.
 
Disaat semua orang menahan nafas was-was, Pak Mergy nyeplos seenaknya; “Oooh, kamu toh Pri…. Tenang saja,” katanya. “Voldy memang begitu kok, tapi dia baik loh orangnya…”
 
Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas….... orang ini benar-benar sotoy…
 
Tiba-tiba saja semua orang di kubikal menyadari bahwa tak seorang pun yang bekerja dengan tujuan hanya untuk mendapatkan pekerjaan alakadarnya. Semuanya pastinya mengharapkan untuk mendapatkan yang lebih baik lagi. Gampangnya, pengen dapat kesempatan yang lebih baik daripada apa yang selama ini mereka dapatkan. Mereka sadar jika mesti belajar banyak.
 
Yang lebih baik dalam pekerjaan itu tentunya bukan melulu soal promosi. Bisa jadi juga kesempatan untuk bekerja di bidang lain yang lebih nyaman, atau lebih disukainya. Atau di tempat yang lebih dekat dengan rumah. Dengan memiliki banyak keterampilan, maka kesempatan pun bisa semakin luas lagi. Dan kalau semuanya sedang pas banget, mungkin berkesempatan juga untuk menempati posisi yang lebih tinggi. Mungkin. Kalau itu benar terwujud, maka pantesnya sih seseorang memiliki kemampuan yang memadai untuk memahami semua jenis pekerjaan yang menjadi tanggungjawab berbagai macam bagian yang dipimpinnya kelak. Semoga saja, kan.
 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!

 
Catatan Kaki:
Orang yang rugi itu bukan mereka yang terus sibuk meningkatkan kapasitas diri. Melainkan mereka yang menghamburkan waktu untuk hal-hal yang sekedar memenuhi kesenangannya aja.
 
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.
 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman
Minggu, 17 Juni, 2012 21:54
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar