Hore!
Hari Baru, Teman-teman.
Trial  and error itu artinya kira-kira adalah ‘mencoba dan salah’. Setelah  melakukan kesalahan itu lalu apa? Harapannya, kita bisa belajar dari  kesalahan yang sudah kita lakukan dan kelak bisa melakukannya lebih baik  lagi tanpa mengulang kesalahan yang sama. Dalam beberapa situasi,  prinsip trial and error itu bisa dilakukan dengan hasil yang cukup  memuaskan. Misalnya, dalam konteks R&D. Ilmuwan mencoba ini dan itu,  memperbaikinya, kemudian menghasilkan produk atau temuan yang memenuhi  harapan.
Tetapi, ternyata bahkan ilmuwan yang  memang pekerjaannya ‘melakukan’ trial and error itu pun tidak  sembarangan melakukannya. Sebelum melakukan trial and error itu, mereka  terlebih dahulu dibekali dengan ilmu yang memadai. Dengan demikian,  tiral and error yang mereka lakukan dilandasi dengan pengetahuan, dan  pemahaman yang tinggi terhadap subyek yang sedang ditelitinya. Dengan  kata lain, trial end error yang ‘bener’ itu mesti dibentengi oleh ilmu.  Jika tidak, maka trial and error itu akan benar-benar error hingga  menimbulkan kerugian yang mungkin fatal.
Didalam   kepemimpinan, prinsip trial and error lazim sekali dilakukan. Khususnya  oleh para pemimpin yang baru di promosi. Misalnya, staff yang diangkat  menjadi supervisor atau manager. Pola yang jelas sekali terlihat adalah  seperti ini: staff yang bagus – naik level menjadi leader – lalu mereka  menjalankan tugas kepemimpinannya tanpa bekal ilmu memimpin yang memadai. Mengapa tidak memadai? Antara lain karena perusahaan tidak membekali mereka dengan training kepemimpinan  yang memadai sebelum mereka menjalankan tugasnya masing-masing.
Banyak  perusahaan yang percaya – secara keliru – bahwa seorang staff yang  bagus kalau diangkat jadi manager atau group leader akan bisa belajar  memimpin manusia secara trial and error. Sehingga mereka mengira bahwa  selembar kertas pengangkatan bisa menjadi bekal memadai bagi mereka  untuk menjadi pemimpin yang handal. Faktanya, banyak leader baru yang  justru frustrasi karena bingung mesti melakukan apa ketika menghadapi  anak buahnya. Lalu pemimpin senior bilang; “Bagus. Kalau kamu sudah  frustrasi, berarti kamu belajar sesuatu.” Betapa klise-nya, bukan?
Ingatlah  para ilmuwan yang terlebih dahulu memiliki ilmu sebelum melakukan  percobaan. Mestinya, leader yang baru pun demikian. Mereka mesti  memiliki ilmu yang memadai – minimum required knowledge – agar bisa  melakukan trial and error secara efektif. Jika tidak, sama seperti  ilmuwan yang bisa mengalami kecelakaan dalam melakukan uji cobanya;  pemimpin baru tanpa bekal ilmu pun bisa sangat membahayakannya.
Mungkin  bahaya trial memimpin tanpa ilmu itu tidak berupa ledakan di  laboratorium. Atau residu beracun dalam suatu produk. Tapi, tidak  berarti lebih rendah kadar bahayanya. Sebab, efek samping berbahaya  memimpin tanpa ilmu itu munculnya justru tidak dalam bentuk yang  langsung kelihatan seperti itu. Melainkan berupa kebiasaan yang tanpa  terasa mempengaruhi perilaku leader dan orang-orang yang dipimpinnya.  Resiko ini akan semakin bertambah tidak kelihatan lagi ketika fokus  perusahaan dalam penilaian kinerja leader itu terletak kepada ukuran  berupa angka-angka. Jika salesnya masuk terus, misalnya; maka leader itu  dianggap bagus. Jika tidak ada gejolak, leader itu juga dianggap bagus.
Faktanya,  sales bisa dicapai degan berbagai cara. Dan tidak ada gejolak bisa saja  sebenarnya merupakan efek dari ketidak pedulian orang sehingga mereka  memasabodohkan keberadaan atasannya. Jika managemen ‘puas’ pada ukuran  yang mungkin semu itu, maka leader yang bersangkutan merasa bahwa cara  memimpinnya sudah tepat. Walhasil, cara memimpin itulah yang kemudian  menjadi karakter yang mendarah daging disepanjang karir kepemimpinannya.
Ilmuwan  dan pemimpin yang melakukan percobaan tanpa ilmu bisa sama menimbulkan  resiko merugikannya. Bedanya, belum tentu resiko buruk itu bisa langsung  kelihatan. Khususnya, jika pola memimpin itu keliru namun tertutupi  oleh ukuran angka-angka. Diatas kertas bagus, namun didalamnya ternyata  keropos. Maka agar resiko itu bisa diminimalisir dengan baik, para  ilmuwan belajar ilmunya terlebih dahulu sebelum melakukan trial and  error yang penting. Begitu pula seharusnya para leader. Mereka perlu  mempelajari ilmu memimpin yang memadai, sebelum melakukan percobaan lebih jauh dalam mengelola orang-orang yang dipimpinnya.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
Catatan Kaki:
Bagaimanapun juga, melakukan sesuatu dengan dukungan ilmu jauh lebih baik daripada melakukannya sekedar trial and error saja.
Silakan  di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung  saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai  tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman
DEKA - Dadang Kadarusman
Kamis, 14 Juni, 2012 19:51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar