Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Catatan Kepala: ”Ketika  tiba masa kadaluarsanya, maka produk-produk terbaik sekalipun bisa  berubah dari aset menjadi sampah. Sumber daya manusia, tidak ubahnya  seperti produk itu.”
Saya  menyimak sebuah forum intelektual yang membahas perdebatan seru dan  berkepanjangan mengenai kebenaran tentang anggapan bahwa manusia itu  adalah aset perusahaan. Terasa sekali jika perdebatan itu, dipenuhi  semangat untuk menggugat terhadap komitmen perusahaan dalam menempatkan  manusia sebagai aset perusahaan. Meskipun top management bolak-balik  mengatakan jika karyawan itu adalah aset perusahaan, namun faktanya;  didalam pembukuan, karyawan tidak pernah tercatat sebagai aset. Beda  dengan mesin produksi misalnya, yang selalu disebut sebagai aset. Namun.  Seperti arena perdebatan lainnya. Tampaknya tidak menghasilkan hal  berarti selain wacana belaka. Kalau Anda sendiri, merasa menjadi aset perusahaan atau tidak?
Setiap  bulan, system komputer memberi laporan tentang stok produk yang masih  tersimpan di gudang. Para manager terkait tahu detailnya. Termasuk masa  kadaluarsa masing-masing item. Namun, kadang-kadang ada produk yang  tidak berhasil dijual hingga tiba tanggal kadaluarsanya. Sehingga suka  atau tidak, harus dimusnahkan dengan pengawasan yang sangat ketat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua produk itu aset bagi perusahaan. Ketika  tiba masa kadaluarsanya, maka produk-produk itu sudah berubah dari aset  menjadi sampah. Sumber daya manusia, tidak ubahnya seperti produk itu.  Apakah bisa dimasukkan sebagai aset atau tidak, sangat bergantung kepada  kualitas dirinya sendiri. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar  menjadikan diri kita sebagai aset bagi perusahaan, saya ajak memulainya  dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™), berikut ini:  
1.      Tujuan rekrutmen dan tujuan utama perusahaan. Pasti, semua  perusahaan  punya tujuan utama (ultimate goal). Dan alasan mereka merekrut kita  adalah untuk membantu tercapainya ultimate goal itu. Gampangnya, tujuan  utama itu dituangkan dalam target-target. Bisa berupa angka-angka  ataupun ukuran-ukuran lain berdasarkan kriteria perusahaan. Apakah kita  bisa membantu perusahaan mewujudkan target-target yang menjadi  terjemahan ultimate goal perusahaan itu atau tidak, sangat  menentukan apakah kita masih layak disebut sebagai aset atau tidak.  Merekrut kita, bukanlah tujuan akhir perusahaan. Oleh karenanya,  masuknya kita ke perusahaan itu baru sebuah langkah awal. Karena, nasib  kita selanjutnya akan sangat ditentukan oleh kontribusi kita pada  pencapaian ultimate goal perusahaan itu.
2.      Penyelesaian pekerjaan dan laba perusahaan.  Bottom line, adalah segala-galanya. Karena baris paling bawah dari  laporan keuangan itu mencerminkan berapa banyak imbal hasil yang bisa  didapatkan pemilik perusahaan atas investasinya. Itulah yang disebut  sebagai laba. Karyawan sering berpikir sebaliknya; yang penting  pekerjaan beres. Atau yang penting target penjualan tercapai. Kita  jarang berhitung berapa banyak ongkos yang harus dikeluarkan untuk  mencapainya. Padahal, ongkos itu sangat menentukan bottom line. Makanya  tidak heran kalau banyak karyawan yang berprinsip ‘asal kerjaan beres’  tapi tidak memperhatikan kualitasnya. Atau dampak yang ditimbulkan dari  pekerjaan terhadap laba yang dihasilkan perusahaan.  Meksipun dengan laba itulah, perusahaan bisa melakukan sesuatu untuk  karyawan.
3.      Penurunan nilai karena waktu dan perilaku resisten.  Dalam pembukuan, lazimnya ada depresiasi. Nilai aset berkurang seiring  dengan berjalannya waktu. Nilai mesin mungkin menjadi nol setelah  umurnya mencapai 50 tahun. Nilai karyawan bisa dianggap menjadi nol  ketika usianya mencapai 55 tahun alias usia pensiun. Kedua situasi itu  wajar. Tapi. Ada kalanya nilai mesin dijadikan nol kalau produk yang  dihasilkannya tidak lagi sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan oleh  strategi baru perusahaan. Mesin bisa dijual. Dan diganti dengan yang  lebih cocok. Karena mesin lama, ‘resisten’ dengan perubahan  strategy dan arah pengembangan perusahaan. Karyawan, lebih canggih lagi  kalau soal menunjukkan perilaku resistennya kepada kebijakan  perusahaan. Dan karyawan yang resisten, biasanya nilainya berkurang  secara drastis. Tapi karyawan yang mau beradaptasi, nilainya membumbung  tinggi.
4.      Pertukaran posisi aset dan liability. Dalam  pembukuan, kita kadang melihat perpindahan dari aset menjadi liability.  Atau sebaliknya. Ukurannya bisa dibuat sesederhana ini: Apakah sesuatu  itu menghasilkan lebih banyak pendapatan dari kewajiban perusahaan atau  sebaliknya. Jika kita percaya bahwa sebagai karyawan kita ini layak  disebut sebagai aset, maka kita juga perlu fair melihat kemungkinan yang  sebaliknya. Faktanya, tidak semua karyawan yang menghasilkan lebih  banyak kontribusi bagi perusahaan daripada beban biaya plus  tunjangan-tunjangan lainnya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Anda  sendiri  masuk kedalam kategori mana? Apakah Anda layak disebut sebagai aset  perusahaan? Ataukah Anda lebih cocok ditempatkan dalam kolom  ‘liability’? Hal itu tidak penting bagi orang lain. Namun. Mungkin  sangat penting bagi Anda. Yang jelas, aset selalu membikin hepi.
5.      Kapasitas manusia dan kapasitas mesin produksi.  Kita dan mesin, sama-sama aset penting. Bedanya, mesin tidak suka  menolak jika disuruh menggunakan kapasitas produksinya hingga 100%.  Kita? Kalau merasa bayarannya kurang, kenapa harus kerja 100%? Memang,  kadang mesin membandel juga. Itu terjadi ketika mesinnya rusak. Kalau  karyawan membandel, apakah bisa dikatagorikan sebagai karyawan yang  rusak seperti halnya mesin  yang membandel itu? Kelihatannya tidak cocok ya. Begini saja: Jika mesin  produksi hanya dipakai 25% dari total kapasitasnya, maka mesin itu  tidak rugi apapun. Tapi, jika kapasitas diri kita hanya terpakai 25%  dari kapasitas diri yang sesungguhnya, maka kita benar-benar rugi  karenanya. Kita rugi karena kemampuan kita bisa hilang. Dan kita juga  rugi karena, tidak mendapatkan hasil optimal untuk diri dan orang-orang  yang kita cintai. 
Tidak  perlu ikut-ikutan terjebak dalam dikotomi tentang sesuatu yang abstrak.  Atau terjebak dalam istilah-istilah dalam textbook management yang tidak  membumi. Sudahlah. Biarkan hal itu menjadi santapan para akademisi.  Atau ahli management tingkat tinggi. Bagi kita. Cukup fokus saja kepada  bagaimana kita bisa menjadikan diri kita sendiri menggunakan kesempatan  kerja yang kita miliki ini untuk terus mengeksplorasi seluruh kemampuan.  Karena jika kita bisa bekerja secata optimal hingga di puncak kapasitas  diri kita. Tak perlu diragukan lagi jika kita bisa menjadi aset  perusahaan. Yang bernilai tinggi.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DeKa – Dadang Kadarusman – 4 Juni 2012
  Catatan Kaki:
Seorang  karyawan layak disebut aset perusahaan, hanya jika keberadaannya  benar-benar menyokong kemajuan perusahaan. Tapi kalau malah membuat  perusahaan jadi ruwet, ya dia bukan aset. 
Silakan  di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung  saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai  tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya. 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman
DEKA - Dadang Kadarusman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar