Rabu, 06 Juni 2012

Matinya Realitas: Ekonomi Spekulasi Global


Oleh: Andre Vincent Wenas

“Inilah geografi realitas yang sepenuhnya dibangun dalam keliaran fantasi, ilusi, dan halusinasi manusia; yang digerakkan oleh kekuatan ekstasi, panik, histreria, dan paranoia yang tanpa penghalang; yang didorong oleh energi libido, mesin hasrat, dan kehendak kuasa yang tanpa kendali.” – Yasraf Amir Piliang, buku: ‘Posrealitas - Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika’, Jalasutra 2009.

***


     Malapetaka JP Morgan Chase & Co (JPM) yang mesti menanggung rugi sampai 2 milyar dollar masih membawa rentetan akibat yang berkepanjangan. Dalam laporannya Erik Schatzker & Stephanie Ruhle (BloombergBusinessweek, May 21, 2012) menyebutkan, “…JPM may face even bigger losses on faulty bets in credit markets if Europe’s debt crisis worsens… JP Morgan, the biggest U.S. bank by assets, is seeking to stanch losses in its chief investment office as other hedge funds exploit its money-losing positions by trading in indexes tied to credit-default swaps. New York-based JP Morgan revealed a $2 billion loss on May 10, and CEO Jamie Dimon said it could increase by as much as $1 billion this quarter.”

     Robohnya bangunan bisnis virtual derivatif keuangan macam ini bukanlah yang pertama kali. Kasus rontoknya Lehman Brothers merupakan peristiwa financial-fiasco yang kolosal juga. Reportase Andrew Ross Sorkin yang dibukukan berjudul “Too Big To Fail” menggambarkan dengan gamblang peristiwa itu. Bahkan diceritakan pada awalnya, tokoh pertama yang tampil untuk merencanakan penyelamatan Lehman Brothers adalah Jamie Dimon sang CEO JP Morgan Chase itu sendiri. Sekarang malah ia yang jadi pesakitannya.

***

     Lanskap industri Amerika Serikat dipenghujung abad kesembilanbelas masih bercirikan pabrik-pabrik independen yang terdiri dari berbagai macam ukuran, dan tipikalnya masing-masing dimiliki oleh entrepreneur-industrialis, dimiliki sebuah keluarga, atau oleh sebuah asosiasi usaha.

     Lawrence E. Mitchell dalam penelitian sejarahnya (buku: The Speculation Economy – How Finance Triumphed Over Industry, 2007) berusaha merekonstruksi masa pembentukan kapitalisme korporasi di Amerika Serikat yang berlangsung antara tahun 1897 dan 1919. Dimana pada kisaran itu adalah masa, “…the birth of the giant modern corporation spurred by the rise of the stock market and how, by the 1920s, the stock market left behind its business origins to become the very reason for the creation of business itself.”

     Penyebabnya adalah situasi kompetitif yang cenderung destruktif, mengakibatkan terjadinya banyak pencaplokan perusahaan (merger & acquisition), korporasi jadi begitu besar dan akhirnya terjadi surplus modal. Dengan ringkas Mitchell merangkum, “Destructive competition had been a problem for years. But it was only during the last few years of the nineteenth century that business distress combined with surplus capital searching for investment opportunities, changes in state corporation laws, and the creative greed of private bankers, trust promoters and the newly evolving investment banks created the perfect storm that shifted the production goals of American industry from goods and services to manufacturing and selling stock. Within twenty years the strong ripples of the merger wave had transformed the nineteenth-century industrial corporation into the giant corporation, and the stock market into the focus of American business life. While regulators were embroiled in questions of monopoly, the speculation economy subtly took form.” Pasar modal yang awalnya merupakan alat untuk membantu menciptakan bisnis baru, malah berujung pada penundukkan bisnis di bawah kekuasan pasar modal itu sendiri.

     Kejadiannya – setelah New York Stock Exchange dibuka kembali pada December 1914 – seperti tutur Lawrence E. Mitchell, “Almost overnight American business transformed into a vista of giant combinations of industrial plants owned directly and indirectly by widely dispersed shareholders. Business reasons sometimes justified these combinations. But they might never have come into being if financiers and promoters had not discovered that they could be used to create and sell massive amount of stock for their own gain.” Maka hasilnya adalah sebentuk kapitalisme yang mana pasar modal yang spekulatif mendominasi kebijakan-kebijakan bisnis Amerika. Lahirlah, the speculation economy.

     Ekonomi spekulasi ini adalah ketika manajemen usaha yang dulunya lebih memusatkan perhatian pada produksi, kini tergantikan dengan manajemen usaha yang memusatkan perhatian pada harga saham! Dari manajemen orientasi jangka panjang ke orientasi jangka pendek.

     Namun dari penelitan sejarahnya, akhirnya Mitchell menarik pelajaran penting, “One lesson of the formative period is that meaningful reform can be achieved only by reforming the market, by reforming finance itself to create the incentives for stockholders and managers to relearn the lesson that profits come from industrial production, not from the breeze that blows toward tomorrow. It is a lesson that we often forgotten during these formative years and many times since.”

     Realitas ekonomi semakin kabur (dikaburkan). Virtualitas ekonomi lewat beragam instrumen derivatif keuangan global telah menghadirkan semacam geografi realitas baru, yang sayangnya di dalamnya ditemukan banyak keterputusan (discontinuity), keretakan (rupture) dan titik balik (reverse). Akibatnya adalah ekstremitas, fatalitas, banalitas, promiskuitas, ketidakberaturan, ketidakterdugaan, ketidakpastian dan keacakan. Dengan begitu, apa yang disampaikan Jean Baudrillard mungkin malah lebih romantis, “Ketika yang nyata tidak lagi seperti adanya, nostalgia menemukan maknanya yang sempurna.”


 ----------------------------------------------------

Catatan: Artikel ini telah dikontribusikan ke Majalah MARKETING edisi Juni 2012 oleh Kontributor. Untuk itu segala hal yang menyangkut sengketa Hak atas Kekayaan Intelektual, menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh Kontributor.
Rabu, 6 Juni, 2012 05:03

Tidak ada komentar:

Posting Komentar