Oleh: Dadang KadarusmanJadi penasaran. 
Apa sih  isi pesan Natin hari ini. Sebenarnya mereka mengharapkan kalau isi pesan  itu relevan dengan issyu yang sekarang sedang hangat dibicarakan. Tapi.  Sayang sekali. Kali ini Natin tidak memberikan pesan yang bisa langsung  dibaca oleh semua orang. Mesti usaha ekstra sebelum orang-orang bisa  membacanya. Meskipun begitu. Nggak ada seorang pun yang beranjak dari  tempat itu. Malah mereka semakin terikat oleh rasa penasaran untuk  memecahkan teka-teki itu. 
Awalnya  sih orang-orang pada ribut membicarakan soal bossnya masing-masing.  Setiap boss itu emang macam-macam ya. Masing-masing punya gaya sendiri.  Dari mulai hal-hal yang sepele sampai yang serius banget. Misalnya aja  soal jam kantor. Ada boss yang cuek aja kalau anak buahnya pada pulang  cepat-cepat. Ada juga boss yang bawelnya minta ampun.  
Emang sih  kalau dipikir-pikir, kan kita digaji itu kan buat kerja yang baik dong.  Sudah ada aturan jam kerja masuknya jam berapa. Pulangnya jam berapa.  Tapi kayaknya sih nggak semua orang peduli soal itu. 
Malahan pernah juga tuch orang-orang pada iri-irian segala. 
Enak  banget deh kayaknya kerja dengan boss yang nggak terlalu  mempermasalahkan soal jam kerja. Jadinya nggak ada yang ngomelin kalau  pas kita telat.  Kebalikan banget sama boss yang sok  disiplin. Bukan sok disiplin juga sih sebenarnya. Soalnya boss sendiri  kan emang disiplin. Jadinya ya dia nuntut anak buahnya disiplin juga.
Bagaimanapun  juga boss disiplin yang menuntut anak buahnya untuk disiplin kan emang  lebih baik sih. Dibandingkan dengan boss yang cuman bisa nuntut anak  buahnya doang untuk berdisiplin. Sementara dirinya sendiri nggak  nyontohin kayak apa disiplin itu.
“Kalian  nggak usah usil dengan urusan saya,” ada loh boss yang pernah bilang  begitu. “Saya ini punya urusan yang banyak. Nggak bakal terjangkau sama  orang-orang seperti kalian.” Sebel banget kan dengernya?
Kalau  orang yang paling disiplin itu mendapatkan imbalan lebih banyak juga  enggak, kok. Sama aja sih perasaan. Gaji paling beda-beda sedikit.  Bonus, ya nggak jauh-jauh juga kan. Soal kenaikan gaji juga begitu. Kan  bergantung hasil penilaian atasan? Jadi, ya semuanya bergantung atasan  kita baik apa nggak. Kalau pas dapat atasan yang bawel dan pelit, ya  nasib lah itu. Nilai appraisal kita jadi nggak terlalu tinggi.
Emang  wajar juga sih kalau orang ada yang iri sama teman-teman yang punya  atasan gampangan. Nggak ribet-ribet. Nggak bawel. Dan kalau ngasih nilai  ya gampang juga. 
Kalau  dipikir sih emang atasan seharusnya nggak mesti bawel-bawel deh sama  bawahannya. Mereka kan sudah pada dewasa. Jadinya ya mesti dikasih  kepercayaan dong kalau mereka itu bisa mengatur dirinya sendiri.
“Emangnya  elo pade udah bisa dikasih kepercayaan?” Begitu kata Sekris ketika kita  lagi ngerumpiin soal pengawasan ketat atasan kita.
“Ya  mestinya begitu dong,” jawab Opri. “Bukannya atasan yang bagus itu bisa  memastikan bawahannya kerja bagus meskipun dia tidak ditempat?”  tambahnya. “Kalau anak buahnya cuman bagus selama dia tongkrongin, ya  nggak baguslah atasan itu…”
“Hebat juga elo, Pri,” Aiti menimpali. “Bisa ngomong seperti itu. Dapat ilmu kayak gitu dari mana, tuch…?”
“Ya…  logika aja kaleee…,” sahut Opri. “Elo bayangin aja kalau seorang atasan  punya 100 anak buah, misalnya. Gimana coba, dia bisa ngawasin anak  buahnya yang bejibun itu satu persatu? Kan nggak mungkin.”
“Bener  banget.” Timpal Sekris. “Tapi menurut artikel yang pernah gue baca sih,  katanya orang Indonesia itu belum bisa memegang integritasnya…”
“Maksud elo?” Opri kelihatan nggak terlalu sependapat dengan itu.  
“Iyalah, kalau kita dikasih kepercayaan dan tidak diawasi, biasanya kan suka-suka aja.” Jelas Sekris.
“Gue nggak ngerti,” balas Opri. “Suka-suka seperti apa maksud elo…?”
“Kan ada  pepatah ‘Kucing Mendengkur, Tikus berpesta’, Pri….” Kilah Sekris. “Kalau  atasan nggak ada ditempat, ya bawahannya pada berleha-leha.”
“Gue nggak gitu!” Opri protes berat.
“Ya, elo  nggak gitu. Orang yang lain, gimana?” Sekris ngeles. “Lagian juga,  mendingan elo jujur aja deh Pri. Kadang-kadang elo juga gitu, kale…”
“Elo berani ya menghina bangsa sendiri!” hardik Opri.
“Diiih, menghina apa-an sih?” Sekris mengerutkan wajahnya. 
“Nah tadi  elo bilang kalau orang Indonesia itu belum bisa dipercaya untuk begitu.”  Balas Opri. “Elo pikir cuman bangsa Indonesia aja yang gitu? Jangan  sembarangan dong kalau ngomong…..” Rasa nasionalisme Opri sudah  benar-benar terusik.
“Loooh,  kok elo marah sama guuuue, siiih…?” Jawab Sekris. “Gue kan cuman bilang  itu yang gue baca dari artikel. Bukan gue sendiri yang bilang begitu…..”  tambahnya.
“Asal tahu  aja ya Kris, bule-bule yang dibayar gede itu juga belum tentu kerjanya  lebih bagus dari orang Indonesia,” Opri kembali menekan Sekris. “Bisa  jadi mereka dibayar mahal cuman karena hidungnya doang yang lebih  panjang. Bukan karena lebih bagus kerjanya.”
“Pri, elo kok ngomongnya jadi melebar sampai kesitu-situ sih?” Protes Sekris.
“Kayaknya bener deh, Pri…” Aiti menimpali. “Elo ngomongnya udah out of context gitu deh…” tambahnya.
“Gue nggak  ngomong out of context ya, Ti,” balas Opri. “Gue mau ngomong apa adanya  aja. Elo lihat nggak, siapa tuch yang masih ada di kantor sampai  malam-malam. Emangnya cuman orang bule doang? Banyak orang Indonesianya,  tauk!…..”
“Yeee,  siapa lagi yang ngomongin soal bule. Kita kan lagi ngomongin soal waktu  kerja kita di kantor yang beda-beda…..” Sekris mencibir.
“Nyambung kok… semuanya nyambung…” Jeanice akhirnya ikutan nimbrung.
“Ya nyambunglah Jean, kalau mau disambung-sambungin….” Tukas Fiancy.
“Nah,  kalau kita tahu bisa disambung-sambungin, kenapa mesti berantem, kan?”  timpal Jeanice. “Mendingan kita fokus sama hal-hal yang nyambungnya  dong, ya nggak?” Matanya yang bening memandang wajah semua orang.
Nggak ada yang sanggup mendebatnya lagi kali ini. Nggak ada pilihan lain. Selain menyetujui usulan dan cara berpikir gadis itu.
“Oke,  sekarang kita perjelas duduk masalahnya dulu…” Jeanice melanjutkan. “Ini  kan kita ngomongin soal waktu kerja kita yang beda-beda nih. Ada orang  yang kerjaanya lama di kantor, dan ada yang langsung teng go, gitu…”  katanya. “Terus, kita suka iri-irian karena beda boss, beda juga  kebijakannya.”
“Iya, terus?” Aiti tak sabar ingin mendengar uraian hasil pengamtan jeli Jeanice.
“Terus ada juga boss yang marah kalau anak buahnya pulang duluan daripada dia…” lanjut Jeanice.
“Marah sih  nggak, Jean….” Potong Fiancy. “Cuman beliau menganggap kalau anak buah  yang pulang awal itu artinya kurang profesional.”
“Ya bener dong, Fi,” tukas Opri. “Kalau elo pulang awal ya nggak profesionallah.” Tambahnya.
“Bukan gitu maksudnya, Pri…” jelas Fiancy. “Beliau ini menganggap kalau orang kerja yang baik itu mesti sampai malam, gitu.”
“Dia sendiri pulangnya malam terus?” Selidik Opri.
“Ya iyya sih kayaknya…” jawab Fiancy. 
“Lho, kok kayaknya sih?!” hardik Opri. “Elo kalau ngomong yang pasti-pasti aja dong, Fi…”
“Yeee, elo nggak usah nyolot kayak gitu juga kaleee…” balas Fiancy.
“Kita ini ngomongin orang lain, Fi…” tukas Opri. “Makanya elo ngomong yang bener dong. Kalau nggak pasti, ya elo diam aja deh…”
“Yaaa… gue  juga kan nggak tahu. Dia kan bukan boss gue. Cuman begitulah isyu yang  diributin sama orang-orang di kubikal. Ya gue omongin disini dong!”  Fiancy nggak kalah sengit.
“Tapi  emang sih Pri, elo juga kan tahu kalau beliau itu sering pulang malem…”  Aiti mencoba menolong Fiancy dari serangan Opri. Tapi, kali ini dia  mengatakannya dengan nada yang tenang.
“Gue sih,  nggak terlalu merhatiin ya. Cuman kalau dianya sendiri pulang malam, ya  wajarlah kalau nuntut anak buahnya juga pulang malam…iya kan?” Jawab  Opri. “Lagian, elo pade kan dapat uang lembur dong…”
“Iya sih  Pri…” sahut Fiancy. “Tapi elo tahu kan kalau hidup kita ini nggak  semuanya soal uang melulu. Kan kasihan tuch mama-mama yang mesti pulang  ke rumah buat ngurusin suami sama anak-anaknya. Kan mereka juga berhak  untuk mendapatkan kasih sayang mamanya…”
“Naaah… kalau itu sih urusannya lain.” Jawab Opri. Dia emang fair sih orangnya. Cuman bicaranya aja yang suka sekenanya.
“Selain  itu ya jadi masalah juga dong Pri, kalau beliaunya sendiri menilai buruk  orang-orang yang nggak biasa pulang sampai malam.” Aiti menambahkan.
“Maksudnya?” Opri mengernyitkan dahi.
“Iya, orang yang kerja sampai malam dinilai bagus. Sedangkan orang yang lainnya dianggap kurang kerja keras…..” jelas Aiti.
“Naaaah, yang itu sih urusannya lain…” timpal Opri lagi.
“Elo tuch ya, dari tadi ‘Nah yang itu sih urusannya lain’ ‘Nah yang itu sih urusannya lain’ melulu…..” Sekris menimpali.
“Bukan  begitu, Kris.” Tukas Opri. “Gue cuman mau bilang kalau soal itu sih  emang cocok untuk kita bahas, gitu lo Kris….” Bukan juga Opri kalau  sampai nggak punya ilmu ngeles.
“Nah terus gimana dong jalan keluarnya?” tanya Sekris.
“Nah…kalau yang itu sih…” Suara Opri berhenti.
“Nape, elo mau bilang ‘Nah yang itu sih urusannya lain’ lagi?” Sekris melotot.
“Kalau yang itu sih…” Opri nyengir sebentar. “Gue… gue juga nggak tahu mesti ngapain….he….”
Jawaban  Opri yang terakhir itu mengundang teriakan dari teman-teman seisi  kubikal. “Yeeeee… elo mah cuman ngomong doang. Dassssssaarrrr!” 
Beberapa benda kecil seperti kertas yang digulung. Pensil. Pulpen dan penghapus beterbangan menghujani tubuh gempal Opri. 
“Iyaya, mesti gimana dong?” Opri mulai bicara lagi setelah teriakan teman-temannya mereda.
“Kalau tahu gitu gue nggak denger omongan elo dari tadi,” hardik Sekris.
“Ya udah, kita tanya Natin aja kalau gitu. Gimana? Hemh? Hemh?” Opri berdiri sambil menatap temannya satu-satu.
“Nggak  usah.” Jawaban itu terdengar dari jarak yang agak jauh. Mbak Aster,  sedang berjalan kearah mereka. “Natin, lagi nggak ada ditempat.”  Lanjutnya.
“Cieeee…, gaya bener si Natin,” celetuk Opri lagi. “Nggak ada di tempat.” Tambahnya. “Kayak boss aja, nggak ada ditempat.”
“Natin  cuman nitip ini, nih…” Mbak Aster menyodorkan amplop cokelat besar.  Semua orang sudah bisa menebak jika itu pasti pesan menu hari ini dari  Natin.
“Ya udah, Mbak buka aja deh. Biar kita semua dengerin,” kata Opri.
“Dari tadi juga udah gue buka, Pri….” Kata Mbak Aster.
“Terus?” Opri jadi penasaran.
“Terus gue nggak ngerti,” jawab Mbak Aster.
“Emangnya Natin nulis pake bahasa Sansekerta, Mbak?” Ceplos Aiti.
“Yaah… elo liat aja sendiri deh…” Mbak Aster meletakkan amplop cokelat itu diatas meja yang mereka kerubuti.
Opri yang  penasaran buru-buru meraihnya. Lalu mengintip isinya. “Yiiih, banyak  baanget…” katanya. Seraya menumpahkan semua isi amplop itu diatas meja.
Pantesan  Mbak Aster nggak ngerti isi pesan itu. Soalnya. Amplop itu cuman berisi  potongan-potongan kertas kecil yang masing-masing hanya ditulisi satu  kata saja.
“Nah, loh. Pusing, kan?” Mbak Aster seolah ingin menjelaskan mengapa dia tidak mengerti isi pesan itu.
Seperti  potongan puzzle aja. Semua potongan kertas kecil itu mesti disusun  membentuk kalimat sempurna yang berisi pesan utamanya. Tanpa ada yang  menyuruh. Semua orang merapatkan diri mengerumuni tumpukan kertas kecil  itu. Lalu semua tangan memutar-mutar. Memindahkan. Menyusun. Membongkar  lagi. 
Perlahan tapi pasti.
Satu demi  satu potongan kertas yang hanya punya satu kata itu mulai terusun.  Membentuk potongan kalimat yang memiliki arti. Dan. Ketika potongan  kertas terakhir terpasang ditempatnya. Dihadapan orang-orang kubikal  sekarang terpampang menu hari ini dari Natin yang berbunyi begini:
BUKAN BERAPA LAMA ANDA DIKANTOR 
YANG MENJADIKAN JAM KERJA ANDA BERNILAI
MELAINKAN APA YANG ANDA LAKUKAN
SELAMA ANDA MENJALANI JAM KERJA ITU
“Tuch kan bener. Apa gue bilang….” Opri langsung berteriak. 
“Emangnya elo bilang apa, Pri….” Tanya Fiancy.
“Ya, itu. Seperti yang Natin bilang itu…” jawab Opri nyantai banget.
“Perasaan, elo nggak pernah bilang gitu deh, Pri….” Timpal Aiti.
“Yaaa,  setidaknya. Gue sependapatlah dengan Natin,” kilah Opri. Semua orang  udah pada maklum sama dia. Jadi. Ya…. cuman bisa mengamini aja deh.  Daripada berdebat lagi. Bisa ribet lagi urusannya, nanti.
Kalau dipikir-pikir. Emang bener yang yang Natin bilang. 
Kita  berada dikantor selama delapan jamlah, anggap aja gitu. Dari delapan jam  itu. Berapa jam yang bener-bener kita gunakan untuk bekerja. Atau  setidaknya. Melakukan sesuatu yang ada kaitannya dengan pekerjaan. Yang  menguntungkan buat kantor. Atau menambah keterampilan kerja kita  misalnya.
Kayaknya.  Delapan jam sehari itu cuman waktu kotor. Nggak seluruhnya dipake untuk  urusan kantor kan? Sedangkan orang-orang yang di kantor sampai malam  juga belum tentu dikantor ngerjain urusan kantor kok.
Pernah loh  kejadian. Ini kejadian beneran. Teman kita juga sih. Tapi nggak usahlah  disebutin namanya. Off the record aja ya. Kan niat kita juga bukan  membuka aib orang lain. Jadi santai aja lagi.
Teman kita  ini mungkin lagi suntuk kali ya. Terus dia main game di komputernya.  Padahal itu kan di jam kerja yang emang nggak dibolehin melakukan apapun  yang bukan urusan kerja kan? Kita sih sudah sering ngingetin dia. Tapi  orangnya aja yang bandel. Ada aja alesannya buat ngeles.
Nah. Suatu  waktu. Pak Presiden Direktur lewat ke kubikal. Kalau yang lain sih pada  tahu Pak Presiden Direktur kesitu. Tapi. Orang itu malah asyik aja  dengan gamesnya. Emang sih nggak ada suara yang kedengeran. Soalnya dia  kan pake earphone. Jadi. Suara noneno-neno-nenotnya cuman didengar sama  telinganya sendiri.
Pak  Presiden Direktur sih nggak bilang apa-apa waktu itu. Kita juga nggak  tahu kalau beliau lihat kelakuan teman kita atau nggak. Cuman, besoknya.  Teman kita itu dipanggil atasannya. Terus. Keluar dari ruangan  atasannya sambil membawa surat peringatan pertama.
Itu orang yang kerja di kubikal loh. 
Nggak tahu  deh kalau orang yang kerja di ruangan tertutup seperti para boss. Kalau  disini kan level manager sudah dikasih ruangan sendiri-sendiri. Pake  laptop segala. Dan duduknya menghadap ke pintu. Pastinya dong nggak ada  yang bisa liat layal monitor laptopnya. Cuman denger-denger sih. Bukan  cuman teman kita itu yang kecanduan nge-game. Ternyata beberapa manager  juga udah pernah kepergok main game waktu meeting tahunan dengan Pak  Presiden Direktur. Makanya beliau marah besar waktu ngeliat masih ada  yang berani main games dikantor.
“Kita berhak untuk pulang tepat waktu, kan?” celetuk Mbak Aster.
“Ya iyyalah Mbak,” kata Aiti.
“Tapi, kenapa kita suka nggak enak kalau keluar jam 5?” Pertanyaan Mbak Aster itu seperti menyentak kesadaran semua orang.
Natin  benar soal waktu produktif di kantor itu. Bukan lamanya. Tapi apa yang  kita kerjakannya. Memang ada banyak alasan mengapa orang tinggal  lama-lama di kantor. Padahal. Itu belum tentu menambah waktu produktif  mereka. Yang sudah pasti sih, keluarga mereka kehilangan haknya untuk  berkumpul sebagaimana mestinya. Dan. Kantor harus membayar tagihan  listrik dan internet lebih banyak lagi.
Nggak  berarti nggak boleh kerja sampai malam. Boleh aja. Tapi mesti sesuai  dengan kebutuhan. Peruntukan. Dan justifikasi pekerjaan. 
“Saya pulang duluan ya anak-anak…” Pak Mergy melintasi ruang kubikal dengan santainya.
“Iya Pak, hati-hati…” jawab Sekris. “Saya juga sebentar lagi pulang kok…” lanjutnya.
Pak Mergy berhenti. Menatap Sekris.  Lalu  katanya; “Sebelum pulang, lihat dulu email dari saya barusan ya, Kris.  Ada tugas yang mesti kamu selesaikan. Paling lama juga  sampai jam delapan kok…” 
Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…..
Tiba-tiba  saja semua orang di kubikal menyadari bahwa waktu bukanlah alat ukur  paling akurat untuk menentukan produktivitas seseorang. Apa yang  dikerjakannya selama menjalani waktu kerja itulah faktor penentunya.  Seseorang tidak patut bekerja dalam waktu yang lebih sedikit dari yang  semestinya. Seseorang juga tidak harus dituntut untuk bekerja lebih lama  dari yang seharusnya. Tetapi. Selama menjalani jam kerjanya. Setiap  orang wajib melakukan hal-hal yang terkait langsung dengan pekerjaannya.  Karena. Itulah yang menentukan profesionalitas kerja seorang karyawan. 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DeKa – Dadang Kadarusman – 30 Mei 2012Catatan Kaki:
Profesionalisme  seseorang tidak diukur oleh jam kerja semata. Melainkan oleh aktivitas  yang dilakukannya selama jam kerja itu berlangsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar